Anda di halaman 1dari 25

Emergency Trauma Life Support Fak.

Kedokteran Unmuh Malang

BAB VII

TRAUMA MUSKULOSKELETAL

Tujuan

Setelah menyelesaikan bab ini, peserta diharapkan dapat melakukan


pemeriksaan awal dan pengelolaan penderita trauma
muskuloskeletal yang mengancam nyawa dan ancaman kehilangan
anggota gerak. Secara khusus peserta diharapkan dapat :

A. Mengenal dan dapat menjelaskan pentingnya trauma


muskuloskeletal pada penderita trauma multipel.

B. Menjelaskan prioritas dalam penilaian trauma muskuloskeletal


yang berkaitan dengan adanya ancaman nyawa atau kehilangan
anggota gerak.

C. Menjelaskan prinsip pengelolaan awal trauma muskuloskeletal.

D. Memperagakan kemampuan memeriksa, menentukan prioritas,


dan pengelolaan awal trauma muskuloskeletal pada penderita
simulasi, termasuk pembalutan luka, bidai dan bidai traksi.

161
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

I. PENDAHULUAN

Trauma sistem muskuloskeletal sering tampak dramatis dan


akan ditemukan pada 85% penderita trauma tumpul, tetapi jarang
menjadi penyebab ancaman nyawa atau ancaman kehilangan
anggota gerak. Walaupun demikian trauma muskuloskeletal harus
diperiksa dan ditangani secara tepat dan memadai agar tidak
membahayakan nyawa dan anggota gerak. Dokter harus belajar
mengenal adanya trauma ini, menjelaskan anatomi traumanya,
melindungi penderita dari kecacatan selanjutnya dan dapat
melakukan tindakan untuk mencegah komplikasi.
Trauma muskuloskeletal berat menunjukkan gaya besar yang
mengenai tubuh. Sebagai contoh, penderita dengan patah tulang
panjang di atas dan di bawah diafragma mempunyai kemungkinan
lebih besar untuk menderita cedera internal, Fraktur pelvis yang tidak
stabil dan fraktur femur yang bergeser dapat disertai dengan
perdarahan yang banyak, yang dapat menimbulkan gangguan
hemodinamik. Crush injury berat menyebabkan pelepasan mioglobin
yang akan mengendap pada tubulus renalis clan menimbulkan
kegagalan ginjal. Pembengkakan di dalam rongga muskulofasial
dapat menimbulkan sindroma kompartemen yang akut, yang jika
tidak segera terdiagnosis dan ditindak akan berakhir dengan
kehilangan anggota gerak. Emboli lemak sebagai komplikasi patah
tulang panjang jarang ditemukan tetapi sangat letal karena timbulnya
gagal paru dan gangguan fungsi otak.
Trauma muskuloskeletal tidak mengubah urutan prioritas
resusitasi (ABCDE), namun akan menyita perhatian dokter, karena
trauma muskuloskeletal tidak boleh diabaikan atau ditangani
terlambat. Dokter harus menangani penderita secara keseluruhan,
termasuk trauma muskuloskeletal, untuk memperoleh hasil yang
optimal.
Meskipun pemeriksaan awal dan pengelolaan telah dilakukan
secara teliti pada penderita trauma multipel , mungkin adanya patah
tulang atau cedera jaringan lunak luput dari perhatian. Perlu diingat
bahwa reevaluasi harus dilakukan secara terus menerus agar
dapat menemukan seluruh cedera yang ada.

II. PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI

Selama primary survey, perdarahan harus dikenal dan


dihentikan. Kerusakan pada jaringan lunak dapat mengenai
pembuluh darah besar dan menimbulkan kehilangan darah yang
banyak. Menghentikan perdarahan yang terbaik adalah dengan

162
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

melakukan tekanan langsung.


Patah tulang panjang dapat menimbulkan perdarahan yang berat.
Fraktur kedua femur dapat menimbulkan kehilangan darah di dalam
tungkai sampai 3 - 4 unit, menimbulkan syok kelas III. Pemasangan
bidai yang baik akan dapat menurunkan perdarahan secara nyata
dengan mengurangi pergerakan dan meningkatkan pengaruh
tamponade otot sekitar fraktur. Pada patah tulang terbuka,
penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan
perdarahan. Resusitasi cairan yang agresif merupakan hal yang
penting disamping usaha menghentikan perdarahan.

III. TINDAKAN TAMBAHAN PADA PRIMARY SURVEY

A. Imobilisasi fraktur

Tujuan imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstremitas yang


cedera dalam posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerak yang
berlebihan pada tempat fraktur. Hal ini akan tercapai dengan
melakukan traksi untuk meluruskan extremitas dan
mempertahankannya dengan alat imobilisasi. Alat tambahan ini tidak
dimaksudkan untuk mencapai reposisi sempurna dan bukan cara
imobilisasi fraktur yang menetap. Pemakaian bidai secara benar akan
membantu menghentikan perdarahan, mengurangi nyeri dan
mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Jika terdapat patah
tulang terbuka tidak perlu dikuatirkan mengenai kemungkinan tulang
yang keluar akan masuk ke dalam luka karena semua patah tulang
terbuka wajib dilakukan debridemen secara operatif.
Dislokasi sendi umumnya perlu dibidai dalam posisi yang
ditemukan. Jika reposisi tertutup berhasil mengembalikan posisi
sendi, imobilisasi dalam posisi anatomis dapat dikerjakan dengan
bidai yang tersedia. Bantal atau gips dapat dipakai untuk
mempertahankan posisi ekstremitas yang belum dilakukan reposisi.
Pemasangan bidai harus dilakukan segera, namun tidak boleh
mengganggu resusitasi yang merupakan prioritas utama.
Pemasangan bidai akan sangat menolong untuk menghentikan
perdarahan dan mengurangi nyeri.

B. Foto ronsen

Umumnya pemeriksaan ronsen pada trauma skeletal merupakan


bagian dari secondary survey. Jenis dan saat pemeriksaan ronsen
dilakukan ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan
hemodinamik serta mekanisme trauma.

163
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

Foto pelvis AP perlu dikerjakan segera pada penderita trauma


multipel dengan syok dan sumber perdarahan yang belum dapat
ditentukan.

IV. SECONDARY SURVEY

A. Riwayat

1. Mekanisme trauma

Informasi yang diperoleh dari pengantar, penderita, keluarga dan


saksi mata, di tempat kejadian harus dicatat sebagai bagian dari
catatan medik. Kepentingan mekanisme trauma adalah untuk
mencari cedera lain yang saat ini belum tampak. Dokter harus
melakukan rekonstruksi kejadian, menetapkan trauma penyerta yang
mungkin terjadi pada penderita, dan mendapatkan sebanyak
mungkin informasi sebagai berikut :

a. Dimana posisi penderita dalam kendaraan sebelum kecelakaan,


misalnya pengemudi atau penumpang. Hal ini dapat
menentukan jenis fraktur, misalnya fraktur kompresi lateral
pelvis akibat tabrakan dari samping kendaraan.

b. Dimana posisi penderita setelah kecelakaan, misalnya didalam


kendaraan atau terlempar keluar. Hal ini dapat menentukan
bentuk trauma. Jika penderita terlempar tentukan jarak
terlemparnya. Terlempar keluar menimbulkan trauma yang lebih
berat dan bentuk cederanya sulit untuk diramalkan.

c. Apakah ada kerusakan bagian luar kendaraan, misalnya


kerusakan bagian depan mobil karena tabrakan depan.
Informasi ini meningkatkan kecurigaan adanya dislokasi
panggul.

d. Apakah terdapat kerusakan bagian dalam kendaraan, misalnya


stir bengkok, kerusakan dashboard, kerusakan kaca depan.
Penemuan ini memberi petunjuk besar kemungkinan terdapat
trauma dada, klavikula, tulang belakang atau dislokasi panggul.

e. Apakah penderita memakai sabuk pengaman dan jika memakai


jenis apa (lap belt atau 3 point safety belt), dan apakah dipasang
secara benar. Pemakaian yang salah akan menimbulkan patah
tulang punggung atau trauma abdomen.

164
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

f. Apakah penderita jatuh, bila jatuh berapa jaraknya dan


bagaimana mendaratnya. Informasi ini menolong menentukan
jenis -jenis trauma yang terdapat, jatuh kaki terlebih dahulu akan
menimbulkan cedera ankle dan kaki, disertai patah tulang
belakang.

g. Apakah penderita terlindas (crush) sesuatu, jika benar tentukan


berat benda tersebut, sisi yang cedera, lamanya beban
menekan bagian yang cedera. Tergantug dari tulang yang
ditutupi subkutis atau daerah yang berotot, perbedaan tingkat
kerusakan jaringan lunak dapat terjadi, mulai dari kontusio
sederhana sampai degloving ekstremitas dengan sindroma
kompartemen dan kehilangan jaringan.

h. Apakah terjadi ledakan, berapa besar ledakan, berapa jarak


penderita dengan sumber ledakan. Jika dekat maka penderita
terkena cedera ledakan primer dari gelombang tenaga ledakan.
Cedera ledakan sekunder terjadi karena pecahan atau benda
lain yang terlempar karena ledakan, menimbulkan luka tembus,
laserasi dan kontusio. Penderita dapat cedera karena terlempar
ke tanah atau membentur benda lain, menimbulkan trauma
tumpul muskuloskeletal dan cedera lain.(cedera ledakan tersier).

i. Apakah penderita pejalan kaki yang ditabrak kendaraan. Trauma


muskuloskeletal dapat diramalkan ( cedera bumper)
berdasarkan ukuran dan usia penderita.

2. Lingkungan

Petugas pra rumah sakit harus ditanya tentang (1) apakah peoderita
terkena trauma termal (panas atau dingin), (2) apakah terkena gas
atau bahan-bahan beracun, (3) pecahan kaca (yang juga dapat
mencederai penolong), (4) sumber-sumber kontaminasi ( kotoran,
feces binatang, air tawar atau laut) . Informasi ini akan membantu
dokter mengatasi masalah yang dapat timbul serta pemilihan jenis
antibiotika awal.

3. Keadaan sebelum trauma dan faktor predisposisi

Penting mengetahui keadaan sebelum cedera, karena dapat


mengubah kondisi penderita, cara terapi dan hasil terapi. Riwayat
AMPLE harus mencakup : (1) kemampuan fisik dan tingkat aktivitas,

165
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

(2) penggunaan obat dan alkohol, (3) masalah emosional dan


penyakit lain , dan (4) trauma muskuloskeletal sebelumnya.

4. Observasi dan pelayanan pra rumah sakit

Hasil penemuan di tempat kejadian akan membantu menemukan


trauma yang potensial yaitu : (1) posisi penderita ditemukan, (2)
perdarahan atau tumpahan darah di tempat kejadian dan perkiraan
banyaknya, (3) tulang atau ujung patah tulang yang keluar, (4) luka
terbuka dan kemungkinannya berhubungan dengan patah tulang
yang nyata atau tersembunyi (5) dislokasi atau deformitas, (6) ada
tidaknya gangguan motorik dan sensorik pada setiap anggota gerak,
(7) adanya kelambatan transportasi atau ekstrikasi. Waktu kejadian
harus dicatat, terutama jika terdapat perdarahan yang berlanjut serta
keterlambatan mencapai rumah sakit.

Observasi dan tindakan pra rumah sakit harus dicatat dan dilaporkan.
Informasi lain yang penting adalah (1) perubahan fungsi ekstremitas,
perfusi atau status neurologi terutama setelah imobilisasi atau
selama transfer ke rumah sakit, (2) reposisi fraktur atau dislokasi
selama ekstrikasi atau pemasangan bidai di tempat kejadian dan (3)
pembalutan dan pemasangan bidai dengan perhatian kusus pada
tekanan di atas tonjolan tulang yang dapat mengakibatkan cedera
tekanan pada saraf perifer, sindroma kompartemen atau crush
sindrome.

B. Pemeriksaan Fisik

Seluruh pakaian penderita harus dibuka agar dapat dilakukan


pemeriksaan yang baik. Cedera ekstremitas yang nyata harus dibidai
sebelum sampai di ruang gawat darurat. Pemeriksaan penderita
cedera ekstremitas mempunyai tiga tujuan : (1) menemukan masalah
mengancam nyawa (primary survey), (2) menemukan masalah yang
mengancam ekstremitas (secondary survey) , dan (3) pemeriksaan
ulang secara sistematis untuk menghindari luputnya trauma
muskuloskeletal yang lain (re-evaluasi berlanjut).
Pemeriksaan trauma muskuloskeletal dapat dilakukan dengan
melihat dan berbicara kepada penderita, palpasi ekstremitas yang
cedera serta penilaian yang sistematis dari setiap ekstremitas. Empat
komponen yang harus diperiksa adalah (1) kulit yang melindungi
penderlta dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi
neuromuskular, (3) status sirkulasi, dan (4) integritas figamentum dan
tulang. Evaluasi ini mencegah adanya trauma yang terlupakan.

166
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

1. Lihat dan tanya

Memeriksa dengan melihat adanya (1) warna dan perfusi, (2) luka,
(3) deformitas (angulasi , pemendekan), (4) pembengkakan dan (5)
perubahan warna atau memar.
Penilaian keseluruhanan penderita yang dilakukan, dengan cepat,
akan dapat menemukan perdarahan aktif. Bila bagian distal
ekstremitas pucat atau putih menunjukkan tidak adanya aliran darah
arteri. Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot
menunjukkan adanya crush syndrome dengan ancaman sindroma
kompartemen. Pembengkakan sekitar sendi dan atau sekitar subkutis
yang menutupi tulang merupakan tanda adanya trauma muskulo
skeletal. Deformitas pada ekstremitas merupakan tanda yang jelas
akan adanya trauma ekstremitas berat. (Lihat Tabel 1. Deformitas
karena dislokasi sendi). Memeriksa seluruh tubuh penderita akan
adanya laserasi dan abrasi dilakukan pada secondary survey. Luka
terbuka akan jelas terlihat kecuali pada bagian punggung. Penderita
harus dilakukan log-rolling secara hati-hati. Jika tulang menonjol atau
tampak dari luka maka ini adalah patah tulang terbuka. Setiap luka
diekstremitas disertai patah tulang harus dianggap patah tulang
terbuka sampai dibuktikan sebaliknya oleh dokter bedah.

Observasi gerakan motorik membantu menentukan adanya


gangguan neurologi atau muskular. Pada penderita tidak sadar bila
tidak ada gerakan spontan maka ini mungkin satu-satunya tanda
adanya gangguan fungsi. Penderita yang kooperatif gerakan aktif dan
fungsi saraf perifer dapat diperiksa dengan menyuruh penderita
menggerakan otot-otot besar. Kemampuan menggerakkan sendi
besar dengan ruang lingkup sendi yang penuh, menunjukkan
hubungan otot-saraf yang utuh dan sendi yang stabil.

2. Raba

Dilakukan palpasi pada ekstremitas untuk memeriksa sensorik


(fungsi neurologi) dan daerah nyeri tekan (fraktur atau trauma
jaringan lunak) . Kehilangan rasa raba dan nyeri menunjukkan
adanya trauma spinal atau saraf tepi. Nyeri dan nyeri tekan diatas
otot menunjukkan kontusi jaringan lunak atau fraktur. Adanya nyeri,
nyeri tekan, pembengkakan, dan deformitas menyokong diagnosis
fraktur. Jika ditemukan nyeri, nyeri tekan, disertai gerak abnormal
maka diagnosis fraktur adalah pasti. Bagaimanapun usaha untuk
memeriksa krepitasi dan gerakan abnormal tidak dibolehkan. Pada
saat melakukan log-rolling,punggung penderita diperiksa adanya

167
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

laserasi, jarak yang melebar antar prosesus spinosus, hematoma,


cacat/kerusakan di bagian belakang pelvis menunjukkan trauma
skeletal aksial yang tidak stabil.

Trauma jaringan lunak tertutup lebih sulit dievaluasi. Avulsi jaringan


lunak dapat memisahkan kulit dari fasia dalam, menyebabkan
pengumpulan darah yang cukup banyak. Crush injuries tampak
abrasi atau memar kulit yang sesungguhnya terdapat kerusakan
berat pada otot dan berpotensi terjadi sindroma kompartemen atau,
crush syndrome. Evaluasi kerusakan jaringan lunak ini yang terbaik
adalah dengan pengenalan mekanisme trauma dan palpasi daerah
yang terkena.

Stabilitas sendi dinilai dengan pemeriksaan klinis. Setiap gerakan


abnormal melalui bagian persendian menunjukkan ruptur ligamen.
Sendi dipalpasi untuk menemukan pembengkakan dan nyeri tekan
dari ligamen atau cairan intra artikular. Selanjutnya secara hati-hati
diperiksa ligamen secara lebih spesifik. Nyeri yang sangat dapat
menutupi gerakan abnormal, karena perlawanan oleh kontraksi atau
spasme otot dan memerlukan pemeriksaan lanjutan.

3. Pemeriksaan sirkulasi

Pulsasi bagian distal tiap ekstremitas diperiksa dengan palpasi dan


diperiksa pengisian kapiler jari-jari. Jika hipotensi mempersulit
pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler (probe ultrasonik
yang tidak invasif dapat membedakan aliran darah dan cairan). Hasil
pemeriksaan Doppler harus mempunyai kualitas trifasik untuk
memastikan tidak ada cedera diproximalnya. Kehilangan rasa

168
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

berbentuk kaus kaki atau sarung tangan merupakan tanda awal


gangguan vaskular.

Pada penderita dengan hemodinamik normal, perbedaan pulsasi,


dingin, pucat, parestesi dan motorik yang abnormal menunjukkan
trauma arteri. Luka terbuka dan fraktur didekat arteri dapat memberi
petunjuk adanya trauma arteri. Pemeriksaan Doppler di
anklebrachialis dengan index dibawah 0.9 menunjukkan aliran arteri
yang tidak normal yang disebabkan oleh cedera atau penyakit
vaskular perifer. Ankle/brachial index ditentukan oleh tekanan sistolik
tungkai yang cedera dibagi tekanan sistolik lengan yang tidak cedera
yang diukur dengan Doppler. Auskultasi dapat menyatakan adanya
bruit disertai thrill yang terasa. Hematoma yang membesar atau
perdarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya
trauma arterial.

4. Foto ronsen

Kebutuhan pemeriksaan foto ronsen ditentukan oleh pemeriksaan


klinik. Pada tulang yang terletak pada permukaan bila ada rasa nyeri
dan deformitas, besar kemungkinan ada fraktur. Jika hemodinamik
penderita normal boleh dikerjakan pemeriksaan ronsen. Efusi sendi,
nyeri tekan dipersendian atau deformitas menunjukkan adanya
trauma sendi atau dislokasi, dan memerlukan pemeriksaan ronsen.
Bila ada gangguan vaskular atau ancaman kerusakan kulit maka
pemeriksaan ronsen dapat ditunda. Hal ini sering dijumpai pada
fraktur dislokasi ankle. Reduksi segera atau meluruskan ekstremitas
harus dikerjakan untuk mengembalikan aliran darah arteri dan
mengurangi tekanan dikulit, jika dilakukan foto ronsen akan terjadi
keterlambatan. Kelurusan dapat dipertahankan dengan teknik
imobilisasi yang tepat.

V. TRAUMA EKSTREMITAS DENGAN POTENSI ANCAMAN


NYAWA

A. Kerusakan Pelvis Berat dengan Perdarahan

1. Trauma

Fraktur pelvis yang disertai perdarahan seringkali disebabkan fraktur


sakrolliaka, dislokasi, atau fraktur sakrum yang kemudian akan
menyebabkan kerusakan posterior osseus-ligamentous complex
(sendi sakroiliaka, sakrospinosus, sakrotuberosus atau dasar

169
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

panggul yang fibro-muskular). Arah gaya yang membuka pelvic ring,


akan merobek pleksus vena di pelvis dan kadang-kadang merobek
sistem arteri iliaka interna (trauma kompresi anterior-posterior).
Mekanisme trauma pelvic ring disebabkan tabrakan sepeda motor
atau pejalan kaki yang ditabrak kendaraan, benturan langsung pada
pelvis atau jatuh dari ketinggian lebih dari 12 feet (3.5 m).

Pada tabrakan kendaraan, mekanisme fraktur pelvis yang tersering


adalah tekanan yang mengenai sisi lateral pelvis dan cenderung
menyebabkan hemipelvis rotasi kedalam, mengecilkan rongga pelvis
dan melepas regangan sistem vaskularisasi pelvis (lateral
compression injury). Gerakan rotasi ini akan menyebabkan pubis
mendesak ke arah sistem urogenital bawah, sehingga menyebabkan
trauma uretra atau buli-buli. Trauma urogenital bagian bawah ini
jarang akan menimbulkan kematian baik perdarahan yang terjadi
maupun komplikasinya, sehingga tidak separah trauma pelvis yang
tidak stabil.

2. Pemeriksaan

Bila perdarahan pelvis banyak, maka akan terjadi dengan cepat, dan
diagnosis harus dibuat secepat mungkin agar dapat dilakukan
tindakan resusitasi. Hipotensi yang sebabnya tidak diketahui
merupakan salah satu indikasi adanya disrupsi pelvis berat dengan
instabilitas posterior ligamentous complex. Tanda klinis yang paling
penting adalah adanya pembengkakan atau hematom yang progresif
pada daerah panggul, skrotum atau perianal. Pada keadaan ini
mungkin akan ditemukan kegagalan resusitasi cairan inisial. Tanda-
tanda trauma pelvic ring yang tidak stabil adalah adanya patah tulang
terbuka daerah pelvis (terutama daerah perineum, rektum, atau
bokong), high riding prostate (prostat letak tinggi), perdarahan di
meatus uretra, dan didapatkannya instabilitas mekanis.

Instabilitas mekanik dari pelvic ring diperiksa dengan manipulasi


manual dari pelvis. Prosedur ini hanya dikerjakan satu kali selama
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan berulang adanya instabilitas pelvis
akan menyebabkan perdarahan bertambah. Petunjuk awal adanya
instabilitas mekanik adalah dengan ditemukannya perbedaan
panjang tungkai atau rotasi tungkai (biasanya rotasi eksternal)
sedangkan ekstremitas tersebut tidak fraktur. Hemipelvis yang tidak
stabil akan tertarik ke atas oleh tarikan otot dan rotasi eksternal
karena pengaruh sekunder dari gravitasi. Pelvis tidak stabil dapat
dibuktikan dengan merapatkan krista iliaka pada spina iliaka anterior

170
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

superior. Gerakan dapat dirasakan waktu memegang krista iliaka dan


hemipelvis yang tidak stabil ditekan ke dalam atau keluar (manuver
kompresi-distraksi). Pada disrupsi posterior, hemipelvis yang terkena
dapat didorong ke kranial maupun kaudal. Gerakan ke-atas/bawah ini
dapat dikenali dengan meraba spina iliaka posterior dan tuberkulum
dan kemudian mendorong dan menarik pelvis. Pada fraktur pelvic
ring yang tidak stabil mungkin ditemukan juga adanya kelainan
neurologis atau luka terbuka di daerah punggung, perineum atau
rektum. Bila penderita sudah stabil, maka foto ronsen AP pelvis akan
menunjang pemeriksaan klinis.

3. Pengelolaan

Pengelolaan awal disrupsi pelvis berat disertai perdarahan


memerlukan penghentian perdarahan dan resusitasi cairan.
Penghentian perdarahan dilakukan dengan stabilisasi mekanik dari
pelvic ring dan external counter pressure (pneumatic anti shock
garment). Pemeriksaan awal dan pengelolaan penderita dengan
cedera seperti ini mungkin dilakukan di rumah sakit yang tidak
mempunyai kemampuan untuk penanganan definitif dan kemampuan
menangani perdarahan berat. Teknik sederhana dapat dikerjakan
untuk stabilisasi pelvis sebelum penderita dirujuk. Traksi kulit
longitudinal atau traksi skeletal dapat dikerjakan sebagai tindakan
pertama. Karena cedera ini membuat hemipelvis mengalami
eksorotasi, rotasi internal tungkai dapat mengecilkan volume pelvis.
Prosedur ini dapat ditambah dengan memberi stabilitas langsung
pada pelvis dengan memasang kain pembungkus sekitar pelvis yang
berfungsi sebagai sling, vacum type long spine splinting device, atau
PASG. Cara-cara sementara ini dapat membantu stabilisasi awal.
Pengobatan definitif penderita dengan hemodinamik tidak normal
memerlukan kerjasama team spesialis bedah dan ortopedi, serta
disiplin lain yang mungkin diperlukan.
Fraktur pelvis terbuka dengan perdarahan yang jelas, memerlukan
balut tekan dengan tampon untuk menghentikan perdarahan.
Konsultasi bedah segera sangat diperlukan.

B. Perdarahan Besar Arterial

1. Trauma

Luka tusuk di ekstremitas dapat menimbulkan trauma arteri. Trauma


tumpul yang menyebabkan fraktur atau dislokasi sendi dekat arteri

171
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

dapat merobek arteri. Cedera ini dapat menimbulkan perdarahan


besar pada luka terbuka atau perdarahan didalam jaringan lunak.

2. Pemeriksaan

Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal,


hilangnya pulsasi nadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan
kualitas nadi , dan perubahan pada pemeriksaan Doppler dan enkle
brachial index. Ekstremitas yang dingin, pucat, dan pulsasi tidak ada
di ekstremitas menunjukkan gangguan aliran darah arteri. Hematoma
yang membesar dengan cepat menunjukkan adanyan trauma
vaskular. Cedera ini menjadi berbahaya jika hemodinamik penderita
tidak stabil.

3. Pengelolaan.

Jika dicurigai atau ditemukan trauma arteri besar maka harus


konsultasi segera ke dokter bedah. Pengelolaan perdarahan besar
arteri berupa tekanan langsung dan resusitasi cairan yang agresif.
Penggunaan tourniquet pneumatik secara bijaksana mungkin akan
menolong menyelamatkan nyawa. Penggunaan klem vaskular
ditempat perdarahan pada ruang gawat darurat tidak dianjurkan,
kecuali pembuluh darahnya terletak superfisial dan tampak dengan
jelas. Jika fraktur disertai luka terbuka yang berdarah aktif, harus
segera diluruskan dan dipasang bidai serta balut tekan di atas luka.
Dislokasi sendi harus langsung dibidai, karena usaha untuk
melakukan reposisi dapat sangat sulit, karena itu perlu konsultasi
bedah. Pemeriksaan arteriografi dan penunjang yang lain baru
dikerjakan jika penderita telah teresusitasi dan hemodinamik normal.
Konsultasi ke spesialis bedah harus dilakukan, lebih baik ke ahli yang
berpengalaman dalam trauma vaskular.

C. Crush Syndrome ( Rabdomiolisis Traumatika)

1. Trauma

Crush syndrome adalah keadaan klinis yang disebabkan pelepasan


zat berbahaya hasil kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan
menyebabkan kegagalan ginjal. Kondisi ini terdapat pada keadaan
crush injury dan kompresi lama pada sejumlah otot, yang tersering
paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi otot,
iskemia, pelepasan mioglobin dan zat toksik lainnya.

172
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

2. Pemeriksaan

Mioglobin menimbulkan urine berwarna gelap, yang akan postif bila


diperiksa untuk adanya hemoglobin. Pemeriksaan khusus mioglobin
perlu untuk menunjang diagnosis. Rabdomiolisis dapat menyebabkan
hipovolemi, metabolik asidosis, hiperkalemia, hipokalsemia dan DIC
(disseminated intravascular coagulation)

3. Pengelolaan

Pemberian cairan IV selama ekstrikasi sangat penting untuk


melindungi ginjal dari gagal ginjal. Gagal ginjal yang disebabkan oleh
mioglobin dapat dicegah dengan pemberian cairan dan diuresis
osmotik untuk meningkatkan isi tubulus dan aliran urine. Pada
kebanyakan penderita lebih baik mengusahakan akalinisasi urine
dengan natrium bikarbonat untuk mengurangi pengendapan
mioglobin di intratubulus .

VI. TRAUMA MENGANCAM EKSTREMITAS

A. Patah Tulang Terbuka dan Trauma Sendi

1.Trauma

Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan


lingkungan luar. Otot dan kulit mengalami cedera, dan beratnya
kerusakan jaringan lunak ini akan berbanding lurus dengan energi
yang menyebabkannya. Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri,
menyebabkan patah tulang terbuka mengalami masalah infeksi,
gangguan penyembuhan dan gangguan fungsi.

2. Pemeriksaan

Diagnosis didasarkan atas riwayat trauma dan pemeriksaan fisik


ekstremitas yang menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan
atau tanpa kerusakan luas otot, serta kontaminasi. Pengelolaan
didasarkan atas riwayat lengkap kejadian dan pemeriksaan trauma.
Dokumentasi luka terbuka seharusnya dimulai pada saat pra rumah
sakit dengan deskripsi trauma dan pengobatan yang dilakukan pada
saat pra rumah sakit. Jika ada dokumentasi lengkap tidak diperlukan
pemeriksaan luka lagi. Bila dokumentasi tidak lengkap, penutup luka
harus dibuka dalam keadaan steril, dan kemudian ditutup kembali
secara steril. Luka jangan dikutak-katik. Jika terdapat luka dan patah

173
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

tulang di segmen yang sama, maka dianggap sebagai patah terbuka


sampai dinyatakan sebaliknya oleh ahli bedah.
Jika terdapat luka terbuka didekat sendi, harus dianggap luka ini
berhubungan dengan atau masuk kedalam sendi, dan konsultasi
bedah harus dikerjakan. Tidak boleh memasukkan zat warna atau
cairan untuk membuktikan rongga sendi berhubungan dengan luka
atau tidak. Cara terbaik membuktikan hubungan luka terbuka dengan
sendi adalah eksplorasi bedah dan pembersihan luka.

3. Pengelolaan

Adanya patah tulang atau trauma sendi terbuka harus segera dapat
dikenali. Setelah deskripsi luka dan trauma jaringan lunak, serta
menentukan ada/tidaknya gangguan sirkulasi atau trauma saraf
maka segera dilakukan imobilisasi. Harus segera konsultasi bedah.
Penderita segera diresusitasi secara adekuat dan hemodinamik
dibuat sestabil mungkin. Profilaksis tetanus segera diberikan.
Antibiotika diberikan setelah konsultasi dengan dokter bedah.

B. Trauma Vaskular,Termasuk Amputasi Traumatika

1. Riwayat dan pemeriksaan

Trauma vaskular harus dicurigai jika terdapat insufisiensi vaskular


yang menyertai trauma tumpul, remuk (crushing), puntiran, atau
trauma tembus ekstremitas. Pada mulanya ekstremitas mungkin
masih tampak "hidup" (viable) karena sirkulasi kolateral yang
mencukupi aliran secara retrograd. Trauma vaskular parsial
menyebabkan ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler
lambat, pulsasi melemah, dan ankle brachial index abnormal. Aliran
yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin, pucat, dan nadi tak
teraba.

2. Pengelolaan

Ekstremitas yang avaskular secara akut harus segera dapat dikenal


dan ditangani segera. Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah
lebih dari 6 jam dan nekrosis akan segera terjadi. Saraf juga sangat
sensitif terhadap keadaan tanpa oksigen, Operasi revaskularisasi
segera diperlukan untuk mengembalikan aliran darah pada
ekstremitas distal yang terganggu. Jika gangguan vaskularisasi
disertai fraktur, harus dikoreksi segera dengan meluruskan dan
memasang bidai.

174
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

Jika terdapat gangguan vaskular ekstremitas trauma setelah


dipasang bidai atau gips, tanda-tandanya adalah menghilangnya atau
metemahnya pulsasi. Bidai, gips dan balutan yang menekan harus
dilepaskan dan vaskularisasi dievaluasi. Jika trauma arteri disertai
dislokasi sendi, dokter yang terlatih boleh melakukan reduksi dengan
hati-hati. Atau pasang bidai dan segera konsultasi bedah. Arteriografi
tidak boleh memperlambat tindakan/konsultasi bedah.
Amputasi merupakan kejadian yang traumatik bagi penderita secara
fisik maupun emosional. Amputasi traumatik merupakan bentuk
terberat dari fraktur terbuka yang menimbulkan kehilangan
ekstremitas dan memerlukan konsultasi dan intervensi bedah.
Terdapat keadaan patah tulang terbuka dengan iskemia
berkepanjangan, trauma saraf dan kerusakan otot yang memerlukan
amputasi. Amputasi trauma ekstremitas dapat menyelamatkan nyawa
penderita dengan hemodinamik tidak normal yang sulit ditakukan
resusitasi.
Walaupun kemungkinan reimplantasi ada, harus dipertimbangkan
cedera-cedera lain yang ada. Penderita dengan trauma multipel yang
memedukan resusitasi intensif dan operasi gawat darurat bukan
kandidat untuk reimplantasi. Reimplantasi biasanya dikerjakan untuk
trauma ekstremitas distal, dibawah lutut atau siku, bersih, dan akibat
trauma tajam. Prosedur ini dikerjakan tim bedah yang terlatih dalam
menentukan dan menangani prosedur reimplantasi.

Anggota yang teramputasi dicuci dengan larutan isotonik dan


dibungkus dengan kasa steril dan dibasahi larutan penisilin ( 100.000
unit dalam 50 ml Ringer laktat). Setelah dibungkus dalam kasa steril
diletakkan dalam kantong plastik. Kantong plastik ini dimasukkan
dalam termos berisi pecahan es, lalu dikirimkan bersama penderita.

C. Sindroma Kompartemen

1. Trauma

Sindroma kompartemen akan ditemukan pada tempat dimana otot


dibatasi oleh rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit
juga berfungsi sebagai lapisan penahan. Daerah yang sering terkena
adalah tungkai bawah, lengan bawah, kaki, tangan, regio glutea, dan
paha. Sindroma kompartemen terjadi bila tekanan di ruang
osteofasial menimbulkan iskemia dan berikutnya nekrosis. Iskemia
dapat terjadi karena peningkatan isi kompartemen akibat edema
yang timbul akibat revaskularisasi sekunder dari ekstremitas yang
iskemi, atau karena penurunan isi kompartemen yang disebabkan

175
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

tekanan dari luar misalnya dari balutan yang menekan. Tahap akhir
dari kerusakan neuromuskular disebut Volkman's ischemic
contracture.

2. Pemeriksaan

Semua trauma ekstremitas potensial untuk terjadinya sindroma


kompartemen. Sejumlah cedera mempunyai resiko tinggi yaitu tibia
dan lengan bawah, imobilisasi dengan balutan atau gips yang ketat,
kerusakan otot yang luas, tekanan lokal yang lama pada ekstremitas,
peningkatan permeabilitas kapiler dalam kompartemen akibat
reperfusi otot yang mengalami iskemia, luka bakar atau latihan berat.
Kewaspadaan yang tinggi sangat penting pada penderita dengan
penurunan kesadaran atau keadaan lain yang tidak dapat merasakan
nyeri.

Gejala dan tanda-tanda sindroma kompartemen adalah (1) nyeri


bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang
meregangkan otot, (2) parestesi di daerah distribusi saraf perifer
yang terkena, (3) menurunnya sensasi atau hilangnya fungsi dari
saraf yang melewati kompartemen tersebut, dan (4) tegang serta
bengkak di daerah tersebut.
Pulsasi di daerah distal biasanya masih teraba. Kelumpuhan atau
parese otot dan hilangnya pulsasi (disebabkan oleh tekanan
kompartemen melebihi tekanan sistolik) merupakan tingkat lanjut dari
sindroma kompartemen .

Perubahan pulsasi distal dan penurunan pengisian kapiler bukan


petunjuk diagnosis sindroma kompartemen. Diagnosis klinik
didasarkan atas riwavat trauma dan pemeriksaan fisik serta sikap
waspada akan adanya sindroma kompartemen. Tekanan di dalam
kompartemen dapat diukur dan dapat membantu diagnosis. Tekanan
melebihi 35-45 mmHg menyebabkan penurunan aliran kapiler dan
menimbulkan kerusakan otot dan saraf karena anoksia. Tekanan
darah sistemik penting karena semakin rendah tekanan darah, makin
rendah pula tekanan kompartemen yang diperlukan untuk dapat
menimbulkan sindroma kompartemen. Pengukuran tekanan
diperlukan pada semua penderita dengan perubahan rasa nyeri.

176
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

3. Pengelolaan

Dibuka semua balutan yang menekan, gips dan bidai. Penderita


harus diawasi dan diperiksa setiap 30 sampai 60 menit. Jika tidak
terdapat perbaikan, fasciotomi diperlukan. Sindroma kompartemen
merupakan keadaan yang ditentukan oleh waktu. Semakin tinggi dan
semakin lama meningkatnya tekanan intra-kompartemen, makin
besar kerusakan neuromuskular dan hilangnya fungsi.
Terlambat melakukan fasiotomi menimbulkan mioglobinemia, yang
dapat menimbulkan menurunnya fungsi ginjal. Bila menegakkan
diagnosis atau curiga sindroma kompartemen harus segera
konsultasi bedah.

D. Trauma Neurologi akibat Fraktur - Dislokasi

1. Trauma

Fraktur atau/dan dislokasi, dapat menyebabkan trauma saraf yang


disebabkan hubungan anatomi atau dekatnya posisi saraf dengan
persendian, misalnya nervus iskhiadikus dapat tertekan oleh dislokasi
posterior sendi panggul atau nervus aksilaris oleh dislokasi posterior
sendi bahu. Kembalinya fungsi hanya akan optimal bila keadaan ini
diketahui dan ditangani secara cepat.

2. Pemeriksaan

Pemeriksaan neurologis yang teliti selalu dilakukan pada penderita


dengan trauma muskuloskeletal. Kelainan neurologis atau perubahan
neurologis yang progresif harus dicatat.
Pada pemeriksaan biasanya akan didapatkan deformitas dari
ekstremitas. Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja sama
penderita. Setiap saraf perifer yang besar, diperiksa fungsi motorik
dan sensorik perlu diperiksa secara sistematik. (lihat tabel 2,
Pemeriksaan saraf perifer pada ekstremitas superior dan tabel 3,
Pemeriksaan saraf perifer pada ekstremitas inferior). Pemeriksaan
otot termasuk palpasi otot yang berkontraksi.
Pada kebanyakan penderita dengan trauma multipel, pada awalnya
sulit menilai fungsi saraf. Karena itu pemeriksaan harus diulang-
ulang, terutama setelah penderita stabil. Keadaan yang bertambah
berat menunjukkan tekanan terhadap saraf berlangsung terus. Yang
terpenting pada pemeriksaan saraf adalah dokumentasi
progresivitas, yang merupakan hal penting dalam penentuan
keputusan untuk operasi.

177
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

178
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

3. Pengelolaan

Ekstremitas yang cedera harus segera di-imobilisasi dalam posisi


dislokasi dan konsultasi bedah segera dikerjakan. Jika terdapat
indikasi dan dokter yang menangani mempunyai kemampuan,
reposisi dapat dicoba secara berhati-hati. Setelah reposisi, fungsi
saraf di-re-evaluasi dan ekstremitas dipasang bidai.

VII. TRAUMA EKSTREMITAS YANG LAIN

A. Kontusio dan Laserasi

Kontusio dan laserasi sederhana harus diperiksa untuk


menyingkirkan trauma vaskular dan saraf. Secara umum laserasi
memerlukan debridemen dan penutupan luka. Jika laserasi meluas
sampai di bawah fasia, perlu intervensi operasi untuk membersihkan
luka dan memeriksa struktur-struktur di bawahnya yang rusak.

Kontusio umumnya dikenal karena ada nyeri dan penurunan fungsi.


Palpasi menunjukkan adanya pembengkakan lokal dan nyeri tekan.
Penderita tidak dapat mempergunakan otot itu dan terjadi penurunan
fungsi karena nyeri. Kontusio diobati dengan istirahat dan pemakaian
kompres dingin pada fase awal.

Hati-hati akan luka kecil, terutama akibat crush injury. Jika


ekstremitas menderita beban sangat besar dan sangat perlahan,
vaskularisasi akan terganggu dan kerusakan otot akan terjadi
walaupun ditemukan luka yang hanya kecil saja. Crush dan degloving
injury dapat tidak tampak dan harus dicurigai atas dasar mekanisme
trauma.

Resiko tetanus meningkat dengan adanya luka yang (1) lebih dari 6
jam, (2) disertai kontusi dan atau abrasi, (3) dalamnya lebih dari l cm,
(4) akibat peluru velositas tinggi, (5) luka panas atau dingin dan (6)
adanya kontaminasi ( terutama luka bakar dan luka dengan
denervasi atau iskemia jaringan).

179
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

B Trauma Sendi

1. Trauma

Trauma sendi bukan dislokasi (sendi masih dalam konfigurasi


anatomi normal tetapi terdapat trauma ligamen) biasanya tidak
mengancam ekstremitas, walaupun dapat menurunkan fungsi
ekstremitas

2. Pemeriksaan

Biasanya ditemukan adanya riwayat gaya abnormal terhadap sendi,


sebagai contoh tekanan terhadap tibia bagian anterior yang
mendorong lutut kebelakang, tekanan terhadap bagian lateral tungkai
yang menimbulkan regangan valgus pada lutut, atau jatuh dengan
lengan ekstensi yang menimbulkan trauma hiperfleksi pada siku.
Pemeriksaan fisik terdapat nyeri tekan pada ligamen yang terkena.
Hemartrosis biasanya akan ditemukan, kecuali bila kapsul sendi
robek dimana perdarahan akan menyebar ke jaringan lunak. Test
pasif dari ligamen membuktikan adanya instabilitas. Pada foto ronsen
tidak akan ditemukan kelainan. Bila ada fraktur avulsi pada insersi
ligamen mungkin akan dapat terlihat pada foto ronsen.

3. Pengelolaan

Trauma sendi harus di-imobilisasi. Keadaan vaskular dan status


neurologi distal pada tungkai yang cedera harus diperiksa. Konsultasi
bedah harus dilakukan.

C. Fraktur

1. Trauma

Definisi fraktur adalah terputusnya kontinuitas korteks tulang


menimbulkan gerakan yang abnormal disertai krepitasi dan nyeri.
Fraktur tertutup maupun terbuka biasanya disertai berbagai bentuk
kerusakan jaringan lunak.

180
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

2. Pemeriksaan

Pemeriksaan ekstremitas didapatkan nyeri, pembengkakan,


deformitas, nyeri tekan, krepitasi, dan gerakan abnormal di tempat
fraktur. Krepitasi dan gerakan abnormal di tempat fraktur kadang-
kadang dilakukan untuk memastikan diagnosis, tetapi sangat nyeri
dan dapat menambah kerusakan jaringan lunak. Pemeriksaan ini
bukan pemeriksaan rutin, apalagi bila dilakukan berulang-ulang.
Pembengkakan, nyeri tekan dan deformitas biasanya cukup untuk
membuat diagnosis. Sangat penting untuk memeriksa keadaan
neurovaskular ekstremitas berulang-ulang, terutama jika bidai telah
terpasang.
Riwayat dan pemeriksaan fisik dikonfirmasi dengan foto ronsen 2
view yang saling tegak lurus. Mempertimbangkan status
hemodinamik penderita, foto ronsen dapat ditunda sampai penderita
stabil. Foto ronsen harus mencakup sendi atas dan bawah tulang
yang fraktur, untuk menyingkirkan dislokasi dan trauma lain.

3. Pengelolaan

a. Imobilisasi harus mencakup sendi di atas dan di bawah fraktur.


Setelah dipasang bidai, status neurulogi dan vaskular harus
diperiksa.
b. Konsultasl bedah diperlukan untuk pengobatan lebih lanjut.

VIII. PRINSIP IMOBILISASI

Membidai trauma ekstremitas bila tidak disertai masalah ancaman


nyawa, bisa ditunda sampai secondary survey. Walaupun demikian
cedera ini harus dibidai sebelum penderita dirujuk. Setelah
pemasangan bidai dan meluruskan fraktur harus dilakukan
pemeriksaan status neurovaskular.
Fraktur tertentu dapat dipasang bidai khusus. PASG tidak dianjurkan
sebagai bidai tugkai bawah, walaupun dapat berguna sebagai bidai
sementara pada perdarahan dengan ancaman nyawa pada fraktur
pelvis atau pada trauma ekstremitas berat dengan kerusakan
jaringan lunak. Pemasangan lama (lebih dari 2 jam) pada tungkai
penderita dengan hipotensi dapat menimbulkan sindroma
kompartemen.
Long spine board digunakan untuk penderita trauma multipel dengan
kemungkinan atau terdapat trauma spinal yang tidak stabil, namun
karena keras apalagi bila dipakai tanpa bantalan dapat menimbulkan
dekubitus pada oksiput, skapula, sakrum dan tumit. Karena itu

181
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

sesegera mungkin penderita dipindahakan secara hati-hati ketempat


yang lebih lembut, dengan memakai scoop stretcher atau cara log
rolling. Bila akan dirujuk, penderita harus dilakukan imobilisasi penuh
dengan cukup tenaga pendamping untuk membantu pemindahkan
penderita.

A. Fraktur Femur

Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint.


Traction splint ini menarik bagian distal tungkai di atas kulit
pergelangan kaki. Di proximal, traction splint didorong ke pangkal
paha melalui ring yang menekan bokong, perineum dan pangkal
paha. Tarikan yang berlebihan akan merusak kulit pada kaki, ankle,
pangkal paha dan perineum. Gangguan neurovaskular terjadi karena
tarikan saraf perifer. Fraktur kolum femoris dapat dilakukan
imobilisasi dengan traction splint, tetapi lebih nyaman dengan traksi
kulit atau traksi sepatu busa dengan posisi lutut sedikit fleksi. Cara
paling sederhana adalah membidai tungkai yang trauma dengan
tungkai sebelahnya.

B. Trauma Lutut

Pemakaian bidai lutut atau long leg splint atau gips dapat membantu
kenyamanan dan stabilitas.Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi
dalam ekstensi penuh, melainkan dalam fleksi kurang lebih 10 derajat
untuk menghindari tekanan pada struktur neurovaskular.

C. Fraktur Tibia

Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau


metal gutter, long leg splint. Jika tersedia dapat dipasang gips
dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut dan ankle.

D. Fraktur Ankle

Fraktur ankle dapat di-imobilisai dengan bidai bantal atau karton


dengan bantalan, dengan demikian menghindari tekanan pada
daerah tulang yang menonjol.

E. Lengan dan Tangan

182
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

Tangan dapat dibidai sementara dalam posisi anatomis fiangsional,


dengan pergelangan tangan sedikit dorsofleksi dan jari-jari fleksi 45 o
pada sendi metakarpofalangeal. Posisi ini diperoleh dengan
imobilisasl tangan dengan rol kasa dan bidai pendek.
Lengan dan pergelangan tangan di-imobilisasi datar pada bidai
dengan bantalan. Siku diimobillsasi pada posisi fleksi, memakai bidai
dengan bantalan atau langsung di-imobilisasi ke badan memakai
sling dan swath. Lengan atas dibidai dengan sling dan swath atau
ditambah balutan torako-brakial. Bahu dilakukan imobilisasi dengan
sling dan swath atau balutan Velpeau.

IX. KONTROL NYERI

Analgesia diperlukan untuk trauma sendi atau fraktur, walaupun


pemberiannya tergantung keadaan klinis penderita. Pemasangan
bidai yang tepat akan mengurangi rasa nyeri /tidak nyaman dengan
menghambat gerak yang terjadi didaerah fraktur.
Penderita yang seolah-olah tidak kesakitan walaupun ada fraktur
yang cukup berat, harus dicurigai adanya cedera lain, misalnya lesi
intrakramal, hipoksia, atau pengaruh alkohol dan obat-obatan.
Pemberian narkotik akan mengurangi rasa nyeri, dan harus diberikan
dalam dosis rendah secara intravena dan diulang sesuai kebutuhan.
Sedativa dan muscle relaxan kalaupun perlu, misalnya untuk reduksi
distokasi, harus diberikan secara hati-hati. Pemberian analgetika,
muscle relaxans , atau sedativa dapat mengakibatkan henti nafas.
Dengan demikian peralatan resusitasi yang memadai harus tersedia.

X. TRAUMA PENYERTA

Karena mekanisme trauma yang mengakibatkan cedera yang lebih


berat, cedera muskulo-skeletalnya menjadi tersembunyi (lihat tabel 4
Trauma penyerta). Langkah untuk memastikan adanya trauma
penyerta dan pengelolaannya :

A. Periksa riwayat trauma, terutama mekanismenya, untuk


menentukan cedera lain yang mungkin ada.

B. Periksa ulang semua ekstremitas dengan perhatian khusus untuk


tangan, pergelangan tangan, kaki dan sendi di atas dan di bawah
fraktur atau dislokasi.

183
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

C. Periksa punggung penderita, termasuk tulang belakang dan


pelvis. Perlukaan dan kerusakan jaringan lunak yang menunjuk
pada ketidak-stabilan, harus dicatat.

D. Periksa ulang foto ronsen yang telah dilakukan pada secondary


survey, untuk menemukan trauma tersembunyi yang mungkin
menyertai cedera yang tampak jelas.

XI. TRAUMA SKELETAL TERSEMBUNYI

Harus diingat, tidak semua trauma dapat dikenali pada waktu


pemeriksaan dan pengelolaan awal. Pada sendi dan tulang yang
ditutupi jaringan otot yang tebal mungkin terdapat cedera
tersembunyi. Fraktur yang undisplaced atau trauma sendi, terutama
pada penderita tidak sadar atau cedera berat mungkin sulit
terdiagnosis. Sering cedera ini baru diketahui setelah penderita
dirawat beberapa hari, misalnya ketika akan dimobilisasi. Penting

184
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

untuk melakukan pemeriksaan ulang secara teratur untuk


memberitahukan kemungkinan luputnya diagnosis kepada anggota
tim trauma ataupun keluarga penderita.

XII. PERMASALAHAN

A. Trauma muskuloskeletal merupakan sumber perdarahan


tersembunyi pada penderita yang dengan hemodinamik tidak
normal. Tempat perdarahan tersembunyi adalah retroperitoneal
dari trauma pelvic ring yang tidak stabil, paha pada fraktur femur,
dan semua fraktur terbuka dengan kerusakan luas dari jaringan
lunak. Perdarahan hebat ini dapat terjadi sebelum penderita
mencapai rumah sakit.
B. Sindroma kompartemen mengancam ekstremitas. Keadaan ini
harus dapat dikenali dan segera melakukan konsultasi bedah.
Keadaan ini mungkin tidak nampak bila penderita ada hipotensi.
C. Meskipun pemeriksaan menyeluruh, trauma tersembunyi dan
trauma penyerta dapat tidak terdiagnosis pada pemeriksaan awal
penderita. Pemeriksaan berulang harus selalu dikerjakan.

XIII. RINGKASAN

Tujuan pemeriksaan dan pengelolaan awal trauma muskuloskeletal


adalah melakukan identifikasi hal yang mengancam nyawa dan
mengancam ekstremitas. Walaupun jarang, ancaman nyawa pada
trauma muskuloskeletal harus dapat dikenal dan ditangani secara
tepat. Sebagian besar trauma muskuloskeletal secara tepat
didiagnosis dan ditangani pada secondary survey. Fraktur pelvis,
trauma arteri, sindroma kompartemen, fraktur terbuka, crush injury
dan fraktur dislokasi harus dilakukan diagnosis dengan tepat dan
pengelolaan dengan cepat.
Pengetahuan tentang mekanisme cedra dan riwayat kejadian
membuat dokter waspada akan keadaan yang mungkin terjadi pada
trauma ekstremitas. Pemasangan bidai segera pada fraktur dan
dislokasi dapat mencegah komplikasi berat dan cacat lebih lanjut
lanjut. Perhatian pada imunisasi tetanus, terutama pada patah tulang
terbuka atau luka dengan kontaminasi berat, akan mencegah
komplikasi. Berbekal pengetahuan dan ketrampilan yang cukup
seperti yang dijelaskan dalam bab ini akan memberikan hasil yang
memuaskan pada pengelolaan trauma muskuloskeletal.

185

Anda mungkin juga menyukai