Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi meng-


hilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pem-
bedahan. Definisi anestesiologi berkembang terus sesuai dengan per-
kembangan ilmu kedokteran. Adapun definisi ilmu anestesi dan reanimasi saat ini
adalah cabang ilmu kedokteran yangmempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa,
baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak nyaman serta ilmu yang mempelajari tatalaksana
untuk menjaga dan mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama mengalami
kematian akibat obat anestesi.

Anestesi pada semua pasien yang dilakukan operasi itu bertujuan untuk
memudahkan operator dalam melakukan operasi dan hasil akhirnya diharapkan
tujuan operasi tercapai. Adapun target anestesi itu sendiri yaitu yang lebih dikenal
dengan trias anestesia yang meliputi tiga target yaitu hipnotik, anelgesia, relaksasi.
Tidak terkecuali pada operasi fraktur, perlu dilakukan tindakan anestesi agar
pelaksanaan operasi lebih mudah.

Dewasa ini fraktur lebih sering terjadi dengan makin pesatnya kemajuanlalu lintas di
Indonesia maupun dunia baik dari segi jumlah pemakai jalan, jumlah kendaraan, jumlah
pemakai jasa angkutan, dan bertambahnya jaringan jalan serta kecepatan kendaraan.
Di samping itu fraktur juga bisa disebabkan oleh faktor lain, diantaranya adalah jatuh
dari ketinggian, kecelakaan kerja, dan cedera olah raga.
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di
pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Sebagian besar fraktur disebabkan oleh
kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa benturan,
pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisimiring,
pemuntiran, atau penarikan.

Efek trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya. Batang
femur dapat mengalami fraktur oleh trauma langsung pada bagian depan lutut yang
berada dalam posisi fleksi pada saat kecelakaan lalu lintas.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Fraktur Femur


2.1.1 Definisi
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan
yang disebabkan oleh kekerasan. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa (Mansjoer, 2000).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang tulang femur yang bisa terjadi
akibat trauma langsung. Akibat trauma pada tulang tergantung pada jenis trauma,
kekuatan, dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat
dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut
fraktur terbuka. Patah tulang dekat sendi atau yang mengenai sendi dapat
menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.

Gambar 1. Fraktur segmental pada shaft femur (kiri) dan fraktur


antebrachii (kanan)

2.1.2 Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan
daya pegas untuk menahan tekanan. Menurut Smeltzer & Bare (2001),
penyebab fraktur adalah dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Fraktur Traumatik
a). Trauma langsung yaitu pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit di atasnya.

b). Trauma tidak langsung berarti pukulan langsun berada jauh dari lokasi
benturan.
c). Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.

2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur. Dapat terjadi pada tumor tulang jinak maupun ganas,
infeksi seperti osteomielitis, dan rakhitis yaitu suatu penyakit tulang yang disebabkan
oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skeletal lain.

3. Fraktur Spontan
Fraktur spontan biasanya disebakan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio.

2.1.3. Manifestasi Klinis


Adapun tanda dan gejala dari fraktur menurut Smeltzer & Bare (2001) antara lain:
1. Deformitas yang disebabkan oleh otot-otot ekstremitas yang menarik patahan tulang.
2. Krepitasi yaitu rasa gemeretak ketika ujung tulang bergeser
3. Bengkak
4. Ekimosis
5. Spasme otot dan spasme involunters dekat fraktur
6. Nyeri yang mungkin disebabkan oleh spame otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan
7. Kehilangan sensasi yang dapat terjadi akibat rusaknya saraf
8. Syok hipovolemik akibat dari kehilangan darah
9. Pergerakan abnormal dimana tempat fraktur menjadi sendi palsu
10. Gangguan fungsi dimana ekstremitas tidak dapat digerakkan

2.1.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis fraktur dan
komplikasinya antara lain:
1. Reduksi fraktur.
Reduksi fraktur adalah mengembalikan fungsi normal dan mencegah
komplikasi seperti kekakuan, deformitas, dan perubahan osteoartritis di
kemudian hari.
3. Retensi.
Retensi adalah metode yang dilaksanakan untuk mempertahankan fragmen-fragmen
tulang selama masa penyembuhan dengan cara imobilisasi.
4. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilaksanakan untuk mengembalikan aktifitas fungsional
semaksimal mungkin.

Untuk mempertahankan imobilisasi dalam fraktur, setelah dilakukan


reduksi, fragmen tulang harus dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain:
a) Open Reduction and External Fixation (OREF)
Tindakan ini merupakan pilihan bagi sebagian besar fraktur. Fiksasi eksternal
dapat menggunakan konselosa screw, metil metakrilat, atau dengan jenis lain
seperti gips.

b) Open Reduction and Internal Fixation (ORIF)


ORIF akan mempertahankan posisi tulang yang fraktur dengan melakukan
pembedahan untuk memasukkan paku, sekrup, atau pen ke dalam tempat fraktur
untuk memfiksasi bagian-bagian tulang pada fraktur secara bersamaan.

Indikasi dilakukannya ORIF antara lain:


- Fraktur yang tidak bisa sembuh dan bahaya nekrosis avaskulernya tinggi
- Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup misalnya fraktur dislokasi
- Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan misalnya fraktur femur
- Fraktur yang memberikan hasil baik dengan operasi

Gambar 2. ORIF dengan pemasangan


Plate dan screw pada fraktur femur (kanan)

Pada pasien dengan fraktur femur dengan reposisi atau operasi fiksasi
eksternal atau internal dan reduksi terbuka dislokasi, patah tulang paha, lutut, kruris dan
tulang kaki ada beberapa masalah anestesi dan reanimasi yang harus diperhatikan,
antara lain:
1. Posisi miring pada tulang paha
2. Perdarahan luka operasi (pada patah tulang multiple
3. Operasi berlangsung lama (pada patah tulang multiple)
4. Kerusakan jaringan lunak
5. Nyeri yang hebat
6. Pada beberapa kasus operasinya bersifat darurat
7. Bahaya emboli lemak pada patah tulang panjang.

2.2 Manajemen Perioperatif pada Pasien Fraktur

2.2.1 Evaluasi Pra Anestesi


Evaluasi pra anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesi yang
bertujuan untuk mengetahui status fisik pasien prabedah dan menganalisa jenis operasi
sehingga dapat memilih jenis atau teknik anestesi yang sesuai, juga dapat meramalkan
penyulit yang akan terjadi selama operasi dan atau pasca bedah dan kemudian
mempersiapkan obat atau alat untuk menanggulangi penyulit tersebut.

Tatalaksana evaluasi praanestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


penunjang, konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital dan penentuan
status fisik pasien praanestesi. Hal ini dilakukan untuk menegakkan diagnosis
sehingga persiapan pasien dapat dilakukan sesegera mungkin. Yang harus
diperhatikan pada anamnesis adalah identifikasi pasien, riwayat penyakit yang
pernah atau sedang diderita misalnya gangguan faal hemostatis, penyakit saraf
otot, infeksi di daerah lumbal, syok, anemia, dan kelainan tulang belakang, riwayat
obat-obatan yang sedang atau telah digunakan, riwayat operasi dan anestesia yang
pernah dialami diwaktu yang lalu, serta kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin
dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti merokok. Pemeriksaaan fisik rutin
meliputi pemeriksaan tinggi, berat, suhu badan, keadaan umum, kesadaran umum,
tanda-tanda anemia, tekanan darah, nadi dan lain-lain. Pemeriksaan laboratorium yang
diperlukan pada pasien fraktur adalah pemeriksaan darah (Hb, leukosit, golongan
darah, faal hemostasis), foto polos AP/ lateral pada bagian yang dicurigai fraktur, foto
polos toraks, dan EKG. Gangguan elektrolit dan abnormalitas dari faktor
koagulasi harus dikoreksi terlebih dahulu.

Berdasarkan hasil pemeriksaan praanestesia tersebut maka dapat disimpulkan


status fisik pasien praanestesia. American Society of Anesthesiologist
(ASA) membuat klasifikasi status fisik praanestesia menjadi 5 kelas, yaitu :
ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
ASA 2 : pasien penyakit bedah dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang dan
tidak ada gangguan aktivitas rutin.
ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik berat sehingga aktivitas rutin
terbatas tetapi tidak mengancam nyawa
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik berat dan pasien tidak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat.
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai penyakit sistemik berat yang sudah tidak
mungkin ditolong lagi, dioperasi atau tidak dalam 24 jam pasien akan
meninggal.
Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat maka dicantumkan
tanda E (emergency) di belakang angka.

2.2.2 Persiapan Pra Anestesi


Persiapan pra-anestesi adalah mempersiapkan pasien baik psikis maupun fisik
agar pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur anestesi dan
diagnostik atau pembedahan yang direncanakan sesuai hasil evaluasi praanestesi,
persiapan juga mencakup surat persetujuan tindakan medis.
Sebagai seorang ahli anestesi yang menjadi perhatian utama pada pasien
dengan peritonitis adalah memperbaiki keadaan umum pasien sebelum
diambilnya tindakan operasi.Tindakan mencakup airway, breathing dan circulation,
Oksigenisasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan.
Pemasangan infus bertujuan untuk mengganti defisit cairan selama puasa dan
mengkoreksi defisit cairan prabedah, sebagai fasilitas vena terbuka untuk memasukan
obat-obatan selama operasi dan sebagai fasilitas transfusi darah, memberikan cairan
pemeliharaan, serta mengkoreksi defisit atau kehilangan cairan selama operasi. Berikut
adalah tujuan dari terapi cairan, yaitu mengganti cairan dan kalori yang dialami pasien
prabedah akibat puasa, fasilitas vena terbuka bahkan untuk koreksi defisit akibat
hipovolemik atau dehidrasi.

Cairan yang digunakan adalah:


- Untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan
- Untuk koreksi defisit puasa atau dehidrasi berikan cairan kristaloid.
- Perdarahan akut berikan cairan kristaloid + koloid atau transfusi darah

Pedoman koreksinya sebagai berikut :


- Hitung kebutuhan cairan perhari (perjam)
- Hitung defisit puasa (lama puasa) atau dehidrasi (derajat dehidrasi)
- Jam pertama setelah infus terpasang berikan 50% defisit + cairan
pemeliharaan/jam
- Pada jam ke dua, diberikan 25% defisit + cairan pemeliharaan per jam.
- Pada jam ke tiga, diberikan 25% defisit + cairan pemeliharaan per jam.
Pasien sebaiknya menggunakan kateter foley untuk memonitor pengeluaran
urin. Untuk pasien yang sangat berat dapat digunakan monitor hemodinamik untuk
melihat kebutuhan resusitasi dan suport inotropik. Persiapkan analgesia yang cukup
dengan segera jika mampu dilakukan. Selain persiapan fisik, psikologis pasien juga
harus diperhatikan sebelum tindakan operatif. Persiapan psikologis adalah
persiapan farmakologis penting untuk anestesia dan pembedahan.
Persiapan di kamar operasi meliputi persiapan meja operasi, mesin anestesi,
alat resusitasi, obat resusitasi, obat anestesi, tiang infus, alat pantau kondisi pasien,
kartu catatan medik anestesi, serta selimut penghangat khusus untuk bayi dan
orangtua. Pada pasien fraktur multipel harus ada persiapan khusus misalnya koreksi
gangguan fungsi organ yang mengancam, penanggulangan nyeri, serta persiapan
transfusi darah.

2.2.3 Premedikasi
Premedikasi adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam rangka
pelaksanaan anestesi dengan tujuan : meredakan kecemasan dan ketakutan, jumlah
obat anestetik, serta mengurangi mual-muntah pasca bedah. Premedikasi dapat
diberikan secara suntikan intramuskuler (diberikan 30-45 menit sebelum induksi
anestesia) atau secara suntikan intravena (diberikan 5-10 menit sebelum induksi
anestesi). Obat-obatan yang digunakan untuk premedikasi adalah obat antikolinergik,
obat sedatif, dan obat analgetik narkotik. Pemberian obat golongan antikolinergik,
contohnya sulfas atropin, bertujuan untuk mengurangi sekresi kelenjar (saliva, saluran
nafas, dan saluran cerna), mengurangi motilitas usus, mencegah spasme laring dan
bronkus, mencegah bradikardi, dan melawan efek depresi narkotik terhadap pusat
nafas. Pemberian obat golongan sedatif, contohnya midazolam, bertujuan untuk
memberikan rasa nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut.

2.2.4 Manajemen intraoperatif


Pilihan anestesia-anelgesia yang akan diberikan kepada pasien yang akan
menjalani pembedahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya umur, jenis
kelamin, status fisik, jenis operasi, keterampilan dan fasilitas yang tersedia, serta
permintaan pasien. Dalam praktek anestesi, ada 3 jenis anestesia-analgesia yang
diberikan pada pasien yang akan menjalani pembedahan, yaitu anestesia umum,
analgesia regional dan analgesia lokal. Menentukan teknik anestesi harus didasari oleh
4 hal, yaitu lokasi operasi, posisi pasien saat operasi, manipulasi yang dilakukan, serta
durasi.

Anestesi umum paling sering digunakan untuk operasi pada fraktur multipel. Induksi
dicapai dengan agen intravena diikuti intubasi trakea difasilitasi oleh perelaksasi
otot. Induksi pada anestesia umum dapat dilakukan dengan obat anestetik intravena
kerja cepat (rapid acting). Pada pasien dengan hipotensi, pemilihan induksi anestesi
adalah bagian yang penting karena hampir sebagian besar obat yang digunakan untuk
induksi dapat menurunkan tekanan darah. Pemberian ketamin hidroklorida (ketalar)
dapat dipertimbangkan karena bersifat simpatomimetik sehingga menyebabkan ketalar
dapat meningkatkan darah dan denyut jantung. Peningkatan tekanan darah disebabkan
oleh karena efek inotropic positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Perelaksasi otot memiliki peranan penting dalam mengurangi pergerakan pada
lapangan operasi.
1. Anestesia dapat dipertahankan dengan dosis intermiten atau melalui infus yang
berlanjut, dengan agen intravena.seperti thiopental, propofol dan opioid.dan
dikombinasi dengan NO2
. Anestesi halogen (halotan, enfluran, isofluran) adalah obat yang paling sering dipakai.
Obat-obatan tersebut dapat mengontrol reflex hemodinamik. Akan tetapi, isofluran dan
enfluran menjaga aliran darah hepar dan intestinal lebih baik dibandingkan
halotan. Sevofluran dapat juga dipertimbangkan karena memiliki efek yang
mirip dengan isofluran, efek kardiovaskular cukup stabil dan belum ada laporan
toksik terhadap hepar. Walaupun halonated agent dikombinasikan dengan perelaksasi
otot dapat membuat kondisi anestesi yang baik saat operasi abdomen, obat-obat ini
sering digunakan dengan kombinasi N2O dan opioid. N2O dapat digunakan
pada permulaan operasi untuk memastikan status anestesi ketika efek agen intravena
telah menghilang. Penggunaan N2O juga dapat menurunkan konsentrasi
halonated agent sekitar 50% dan mempercepat pulihnya kesadaran pasien,
sehingga digunakan untuk pemeliharaan.

Untuk terapi nyeri pasien intraoperatif dapat digunakan golongan opioid. Golongan
opioid ini bermanfaat pada intraoperatif maupun post-operatif obat yang paling populer
saat ini adalah fentanyl. Fentanyl mempunyai efek analgesia yang kuat, bersifat
depresan terhadap susunan saraf pusat, tidak berefek pada sistem kardiovaskular
dan berefek menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stres
anestesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah tetap
stabil.

Terapi cairan durante operasi juga perlu mendapat perhatian dengan


perhitungan yang tepat dan cermat. Tujuan terapi cairan durante operasi yaitu untuk
fasilitas vena terbuka, koreksi kehilangan cairan melalui luka operasi, mengganti
pedarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui organ ekskresi. Cairan yang
digunakan adalah cairan pengganti, bisa kristaloid dan koloid atau transfusi darah.

Pedoman koreksinya adalah sebagai berikut:


 Mengikuti pedoman terapi cairan prabedah
 Berikan tambahan cairan sesuai dengan jumlah perdarahan yang terjadi
ditambah dengan koreksi cairan sesuai dengan perhitungan cairan yang hilang
berdasarkan jenis operasi yang dilakukan, dengan asumsi :
- Operasi besar : 6 – 8 ml/kgbb/jam
- Operasi sedang : 4 - 6 ml/kgbb/jam
- Operasi kecil : 2 - 4 ml/kgbb/jam
 Koreksi perdarahan selama operasi :
# Dewasa :
- Perdarahan > 20% dari perkiraan volume darah = transfuse
- Perdarahan <20% dari perkiraan volume darah = berikan kristaloid sebanyak 2 - 3 x
jumlah perdarahan atau koloid yang jumlahnya sama dengan perkiraan jumlah
perdarahan atau campuran kristaloid + koloid.

# Bayi dan anak :


- Perdarahan > 10% dari perkiraan volume darah = transfuse
- Perdarahan <10% dari perkiraan volume darah = berikan kristaloid sebanyak 2 - 3 x
jumlah perdarahan atau koloid yang jumlahnya sama dengan perkiraan jumlah
perdarahan atau campuran kristaloid + koloid.
 Jumlah perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan :
- Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung
- Tambahan berat kasa yang digunakan ( 1 gram = 1 ml darah)
- Ditambah dengan faktor koreksi sebesar 25% x jumlah yang terukur + terhitung
(jumlah darah yang tercecer dan melekat pada kain penutup lapangan operasi)

Operasi yang invasif dan melibatkan struktur yang kaya pembuluh darah memiliki risiko
yang lebih besar terhadap terjadinya perdarahan intraoperatif, misalnya operasi
laparotomi dan operasi patah tulang paha. Maka dari itu penting untuk mempersiapkan
transfusi darah pra operatif. Pasien dengan anemia yang terjadi sebelum operasi
harus lebih diwaspadai. Pasien dikatakan anemia jika terdapat keadaan dimana massa
eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik dijabarkan
sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit, dan
hematokrit.

10
Cut off point yang umum dipakai adalah kriteria WHO 1968 sebagai berikut: laki-laki
dewasa Hb < 13 g/dl; perempuan dewasa tak hamil < 12 g/dl; perempuan hamil < 11
g/dl; anak umur 6-14 tahun < 12 g/dl; anak 6 bulan-6 tahun < 11 g/dl. Derajat anemia
adalah sebagaiberikut: ringan sekali Hb 10 g/dl – cut off point
; ringan Hb 8 g/dl – 9,9 g/dl;
sedang 6 g/dl – 7,9 g/dl; dan berat Hb < 6 g/dl. Anemia salah satunya disebabkan
oleh perdarahan akut, termasuk perdarahan intraoperatif. Transfusi darah dapat
diberikan dengan tujuan mengganti volume darah yang hilang selama operasi dan
koreksi terhadap faktor pembekuan. Indikasi diberikannya transfusi intra operatif
antara lain jika volume darah yang tersisa tidak cukup mengisi intra vaskular,
yaitu perdarahan >20% pada orang dewasa dan >10% pada bayi dan anak, jika
oksigenasi tidak adekuat, atau terdapat defek faal hemostasis.
Satu unit sel darah
merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 2-3% pada
orang dewasa.
Darah untuk transfusi intraoperatif harus dihangatkan sampai 37°C
terutama jika lebih dari 2-3 unit yang akan ditransfusi untuk mencegah terjadinya
hipotermia.
7,10

DAFTAR PUSTAKA
1.
Mangku G. dan T. G. A. Senapathi. 2009. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks
2.
Massachusetts General Hospital. 2005. Clinical Anesthesia Procedures of
the Massachusetts General Hospital. Massachusetts
3.
Braden, H. 2002. Anesthesia and Resuscitation. MCCQE 2002: hal 6-18
4.
Suryantara, M.H. 2009. Penatalaksanaan Fraktur.
5.
Latief, S.A., K.A. Suryadi, M.R. Dachlan. 2010. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
6.
Katzung, B.G., S.B. Masters, dan A.J. Trevor. 2009.
Basic & Clinical
Pharmacology 11
th
edition. San Fransisco: McGraw-Hill Companies
7.
Rusmono. 2011.
Referat Penatalaksanaan Anestesi dan Reanimasi pada
Fraktur Femur.
Yogyakarta: RS Muhammadiyah
8.
Schug, S.A. dan P. Dodd. 2004.Perioperative Analgesia. Australia
Prescribe 2004;27:hal152–4
9.
Ivandri. 2011. Penanganan Nyeri Pasca Bedah. Jakarta. Tersedia di
http://ivan-atjeh.blogspot.com/p/contact.html (Diakses tanggal 5 Agustus
2012)
10.
Bakta, I.M. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai