PENDAHULUAN
Anestesi pada semua pasien yang dilakukan operasi itu bertujuan untuk
memudahkan operator dalam melakukan operasi dan hasil akhirnya diharapkan
tujuan operasi tercapai. Adapun target anestesi itu sendiri yaitu yang lebih dikenal
dengan trias anestesia yang meliputi tiga target yaitu hipnotik, anelgesia, relaksasi.
Tidak terkecuali pada operasi fraktur, perlu dilakukan tindakan anestesi agar
pelaksanaan operasi lebih mudah.
Dewasa ini fraktur lebih sering terjadi dengan makin pesatnya kemajuanlalu lintas di
Indonesia maupun dunia baik dari segi jumlah pemakai jalan, jumlah kendaraan, jumlah
pemakai jasa angkutan, dan bertambahnya jaringan jalan serta kecepatan kendaraan.
Di samping itu fraktur juga bisa disebabkan oleh faktor lain, diantaranya adalah jatuh
dari ketinggian, kecelakaan kerja, dan cedera olah raga.
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di
pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Sebagian besar fraktur disebabkan oleh
kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa benturan,
pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisimiring,
pemuntiran, atau penarikan.
Efek trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya. Batang
femur dapat mengalami fraktur oleh trauma langsung pada bagian depan lutut yang
berada dalam posisi fleksi pada saat kecelakaan lalu lintas.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1.2 Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan
daya pegas untuk menahan tekanan. Menurut Smeltzer & Bare (2001),
penyebab fraktur adalah dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Fraktur Traumatik
a). Trauma langsung yaitu pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit di atasnya.
b). Trauma tidak langsung berarti pukulan langsun berada jauh dari lokasi
benturan.
c). Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur. Dapat terjadi pada tumor tulang jinak maupun ganas,
infeksi seperti osteomielitis, dan rakhitis yaitu suatu penyakit tulang yang disebabkan
oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skeletal lain.
3. Fraktur Spontan
Fraktur spontan biasanya disebakan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio.
Pada pasien dengan fraktur femur dengan reposisi atau operasi fiksasi
eksternal atau internal dan reduksi terbuka dislokasi, patah tulang paha, lutut, kruris dan
tulang kaki ada beberapa masalah anestesi dan reanimasi yang harus diperhatikan,
antara lain:
1. Posisi miring pada tulang paha
2. Perdarahan luka operasi (pada patah tulang multiple
3. Operasi berlangsung lama (pada patah tulang multiple)
4. Kerusakan jaringan lunak
5. Nyeri yang hebat
6. Pada beberapa kasus operasinya bersifat darurat
7. Bahaya emboli lemak pada patah tulang panjang.
2.2.3 Premedikasi
Premedikasi adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam rangka
pelaksanaan anestesi dengan tujuan : meredakan kecemasan dan ketakutan, jumlah
obat anestetik, serta mengurangi mual-muntah pasca bedah. Premedikasi dapat
diberikan secara suntikan intramuskuler (diberikan 30-45 menit sebelum induksi
anestesia) atau secara suntikan intravena (diberikan 5-10 menit sebelum induksi
anestesi). Obat-obatan yang digunakan untuk premedikasi adalah obat antikolinergik,
obat sedatif, dan obat analgetik narkotik. Pemberian obat golongan antikolinergik,
contohnya sulfas atropin, bertujuan untuk mengurangi sekresi kelenjar (saliva, saluran
nafas, dan saluran cerna), mengurangi motilitas usus, mencegah spasme laring dan
bronkus, mencegah bradikardi, dan melawan efek depresi narkotik terhadap pusat
nafas. Pemberian obat golongan sedatif, contohnya midazolam, bertujuan untuk
memberikan rasa nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut.
Anestesi umum paling sering digunakan untuk operasi pada fraktur multipel. Induksi
dicapai dengan agen intravena diikuti intubasi trakea difasilitasi oleh perelaksasi
otot. Induksi pada anestesia umum dapat dilakukan dengan obat anestetik intravena
kerja cepat (rapid acting). Pada pasien dengan hipotensi, pemilihan induksi anestesi
adalah bagian yang penting karena hampir sebagian besar obat yang digunakan untuk
induksi dapat menurunkan tekanan darah. Pemberian ketamin hidroklorida (ketalar)
dapat dipertimbangkan karena bersifat simpatomimetik sehingga menyebabkan ketalar
dapat meningkatkan darah dan denyut jantung. Peningkatan tekanan darah disebabkan
oleh karena efek inotropic positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Perelaksasi otot memiliki peranan penting dalam mengurangi pergerakan pada
lapangan operasi.
1. Anestesia dapat dipertahankan dengan dosis intermiten atau melalui infus yang
berlanjut, dengan agen intravena.seperti thiopental, propofol dan opioid.dan
dikombinasi dengan NO2
. Anestesi halogen (halotan, enfluran, isofluran) adalah obat yang paling sering dipakai.
Obat-obatan tersebut dapat mengontrol reflex hemodinamik. Akan tetapi, isofluran dan
enfluran menjaga aliran darah hepar dan intestinal lebih baik dibandingkan
halotan. Sevofluran dapat juga dipertimbangkan karena memiliki efek yang
mirip dengan isofluran, efek kardiovaskular cukup stabil dan belum ada laporan
toksik terhadap hepar. Walaupun halonated agent dikombinasikan dengan perelaksasi
otot dapat membuat kondisi anestesi yang baik saat operasi abdomen, obat-obat ini
sering digunakan dengan kombinasi N2O dan opioid. N2O dapat digunakan
pada permulaan operasi untuk memastikan status anestesi ketika efek agen intravena
telah menghilang. Penggunaan N2O juga dapat menurunkan konsentrasi
halonated agent sekitar 50% dan mempercepat pulihnya kesadaran pasien,
sehingga digunakan untuk pemeliharaan.
Untuk terapi nyeri pasien intraoperatif dapat digunakan golongan opioid. Golongan
opioid ini bermanfaat pada intraoperatif maupun post-operatif obat yang paling populer
saat ini adalah fentanyl. Fentanyl mempunyai efek analgesia yang kuat, bersifat
depresan terhadap susunan saraf pusat, tidak berefek pada sistem kardiovaskular
dan berefek menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stres
anestesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah tetap
stabil.
Operasi yang invasif dan melibatkan struktur yang kaya pembuluh darah memiliki risiko
yang lebih besar terhadap terjadinya perdarahan intraoperatif, misalnya operasi
laparotomi dan operasi patah tulang paha. Maka dari itu penting untuk mempersiapkan
transfusi darah pra operatif. Pasien dengan anemia yang terjadi sebelum operasi
harus lebih diwaspadai. Pasien dikatakan anemia jika terdapat keadaan dimana massa
eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik dijabarkan
sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit, dan
hematokrit.
10
Cut off point yang umum dipakai adalah kriteria WHO 1968 sebagai berikut: laki-laki
dewasa Hb < 13 g/dl; perempuan dewasa tak hamil < 12 g/dl; perempuan hamil < 11
g/dl; anak umur 6-14 tahun < 12 g/dl; anak 6 bulan-6 tahun < 11 g/dl. Derajat anemia
adalah sebagaiberikut: ringan sekali Hb 10 g/dl – cut off point
; ringan Hb 8 g/dl – 9,9 g/dl;
sedang 6 g/dl – 7,9 g/dl; dan berat Hb < 6 g/dl. Anemia salah satunya disebabkan
oleh perdarahan akut, termasuk perdarahan intraoperatif. Transfusi darah dapat
diberikan dengan tujuan mengganti volume darah yang hilang selama operasi dan
koreksi terhadap faktor pembekuan. Indikasi diberikannya transfusi intra operatif
antara lain jika volume darah yang tersisa tidak cukup mengisi intra vaskular,
yaitu perdarahan >20% pada orang dewasa dan >10% pada bayi dan anak, jika
oksigenasi tidak adekuat, atau terdapat defek faal hemostasis.
Satu unit sel darah
merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 2-3% pada
orang dewasa.
Darah untuk transfusi intraoperatif harus dihangatkan sampai 37°C
terutama jika lebih dari 2-3 unit yang akan ditransfusi untuk mencegah terjadinya
hipotermia.
7,10
DAFTAR PUSTAKA
1.
Mangku G. dan T. G. A. Senapathi. 2009. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks
2.
Massachusetts General Hospital. 2005. Clinical Anesthesia Procedures of
the Massachusetts General Hospital. Massachusetts
3.
Braden, H. 2002. Anesthesia and Resuscitation. MCCQE 2002: hal 6-18
4.
Suryantara, M.H. 2009. Penatalaksanaan Fraktur.
5.
Latief, S.A., K.A. Suryadi, M.R. Dachlan. 2010. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
6.
Katzung, B.G., S.B. Masters, dan A.J. Trevor. 2009.
Basic & Clinical
Pharmacology 11
th
edition. San Fransisco: McGraw-Hill Companies
7.
Rusmono. 2011.
Referat Penatalaksanaan Anestesi dan Reanimasi pada
Fraktur Femur.
Yogyakarta: RS Muhammadiyah
8.
Schug, S.A. dan P. Dodd. 2004.Perioperative Analgesia. Australia
Prescribe 2004;27:hal152–4
9.
Ivandri. 2011. Penanganan Nyeri Pasca Bedah. Jakarta. Tersedia di
http://ivan-atjeh.blogspot.com/p/contact.html (Diakses tanggal 5 Agustus
2012)
10.
Bakta, I.M. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran.