Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas jaringan tulang. Fraktur paling sering
ditimbulkan oleh trauma eksternal langsung maupun deformitas tulang seperti
frakturpatologis pada osteoporosis sedangkan fraktur femur biasanya disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas (Potter Perry, 2010). Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun
2007 terdapat lebih dari delapan juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan
sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaaan yang memiliki
angka kejadian cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah yakni sebesar 46,2 %
dari insiden kecelakaan yang terjadi (Noviardi dalam Triono dan Murinto, 2015).
Pembedahan merupakan penanganan dari fraktur yang biasa dilakukan. Pembedahan
adalah sebuah proses invasif karena insisi dilakukan pada tubuh atau ketika bagian tubuh
diangkat (Rosdahl dan Kowalski, 2014). Setelah seseorang dilakukan pembedahan, sesuai
dengan rencana keperawatan akan dilakukan mobilisasi oleh perawat, namun yang terjadi
perawat hanya sekedar menganjurkan pada pasien untuk menggerak-gerakkan anggota badan
yang dioperasi. Ketidaktahuan pasien akan pentingnya mobilisasi membuat pasien menjadi
takut sehingga menyebabkan bengkak, kesemutan, kekakuan sendi, nyeri, dan pucat anggota
gerak yang dioperasi (Lestari, 2014). Berdasarkan penelitian Maharani dan Agung (2013)
tindakan mobilisasi dini dilakukan oleh perawat sebanyak 51,6% sedangkan 48,4% tidak
melakukan mobilisasi dini
Pasien post operasi memerlukan perubahan posisi kecuali pada pasien yang memiliki
kontraindikasi, posisi pasien diubah setiap 30 menit dari sisi ke sisi sampai sadar dan
kemudian dilakukan mobilisasi dini 8-12 jam pertama. Mobilisasi sebaiknya dilakukan 24
jam pertama post operasi dan dilakukan dibawah pengawasan supaya mobilisasi dapat
dilakukan dengan tepat serta dengan cara aman. Selama ini mobilisasi belum dilakukan secara
benar karena pasien mengalami nyeri akibat tindakan pembedahan dan tidak adanya
penyuluhan mengenai manfaat melakukan mobilisasi dini sehingga mengakibatkan gangguan
fleksibilitas sendi sehingga pasien mengalami hambatan mobilitas fisik (Gusti dan Armayanti,
2014).
Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keadaan keterbatasan kemampuan pergerakan
fisik secara mandiri yang dialami oleh seseorang, hambatan mobilitas fisik dapat disebabkan
oleh penyakit yang dideritanya seperti trauma, fraktur pada ekstremitas, atau menderita
kecacatan ( Asmadi, 2008). Hambatan mobilitas dapat mengakibatkan kontraktur sendi,
atrofi, dan terjadi pemendekan serat otot karena sendi tidak digunakan (Kneale dan Davis,
2011). Menurut penelitian pasien post operasi fraktur mengalami gangguan fungsi dan gerak

1
serta adanya nyeri dan oedem sehingga mengalami hambatan mobilitas fisik (Damping,
2012). Hambatan mobilitas dapat diatasi dengan tindakan rehabilitasi untuk mencegah
terjadinya kontraktur. Rehabilitasi adalah suatu tindakan yang bertujuan agar pada bagian
yang fraktur dapat kembali normal dan mengembalikan kemampuan individu. Pada
rehabilitasi pasien diajari mobilisasi, mobilisasi dini yang diajarkan disesuaikan dengan
kondisi pasien (Adwi, Septian, dan Retno, 2016). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Penerapan mobilisasi dini pada asuhan keperawatan
pasien post operasi fraktur femur dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah “Bagaimana
penerapan mobilisasi dini pada asuhan keperawatan pasien Post operasi fraktur femur dengan
gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas?”

C. Tujuan
Studi Kasus Mengetahui tentang gambaran penerapan mobilisasi dini pada asuhan
keperawatan pasien post operasi fraktur femur dengan gangguan pemenuhan kebutuhan
aktivitas.

D. Manfaat
Studi Kasus Studi kasus ini, diharapkan memberikan manfaat bagi :
1. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan dapat memberikan informasi tentang pelaksanaan mobilisasi dini sehingga
dapat memberikan pelayanan secara optimal dan memberikan penatalaksanaan lebih baik
pada pasien post operasi fraktur femur.
2. Bagi pasien dan keluarga
Sebagai informasi dan pengetahuan dalam mobilisasi dini untuk meningkatkan
kemandirian pasien.
3. Bagi institusi pendidikan
Sebagai informasi dan referensi kepada mahasiswa tentang penerapan mobilisasi dini
pada asuhan keperawatan pasien post operasi fraktur femur dengan gangguan pemenuhan
kebutuhan aktivitas.
4. Bagi penulis
Memperoleh pengalaman dalam mengimplementasikan prosedur penerapan mobilisasi
dini pada asuhan keperawatan pasien post operasi fraktur femur dengan gangguan
pemenuhan kebutuhan aktivitas.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP TEORI
B. Definisi

Fraktur (fraktura) atau patah tulang adalah kondisi ketika tulang menjadi patah, retak, atau
pecah sehingga mengubah bentuk tulang. Kondisi ini bisa terjadi karena adanya tekanan kuat pada
tulang atau karena kondisi tulang yang melemah, seperti osteoporosis.
Tulang yang retak atau patah dapat terjadi di area tubuh manapun. Namun, kasus ini lebih sering
terjadi di beberapa bagian tubuh, seperti patah tulang selangka atau bahu, patah tulang tangan
(termasuk pergelangan tangan dan lengan), patah kaki (termasuk tungkai dan engkel), patah tulang
belakang, serta fraktur pinggul.
Fraktur femur mempunyai insiden yang cukup tinggi diantara jenis - jenis patah tulang.
Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3 tengah. Fraktur femur lebih sering terjadi
pada laki-laki dari pada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan atau kecelakaan. Menurut jenisnya fraktur dibagi menjadi dua yaitu fraktur
tertutup dan terbuka, fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit,
integritas kulit masih utuh.sedangkan fraktur terbuka adalah fraktur dengan luka pada kulit
(integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol sampai menembus kulit) atau membran mukosa
sampai ke patahan tulang(Mansjoer,2000)
Fraktur femur 1/3 distal dextra adalah rusaknya kontinuitas tulang femur pada sepertiga distal
bagian kanan yang di sebabkan oleh trauma secara langsung maupun tidak langsung. Tulang yang
mengalami fraktur biasanya diikuti kerusakan jaringan disekitarnya seperti ligamen, otot, tendon,
pembuluh darah dan persyarafan

C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya remuk, gerakan punter mendadak, dan
bahkan kontraksi otot ekstrem. Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat
tekanan yang berlebihan pada tulang. Pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur
dari pada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait
dengan perubahan hormon pada menopause (Lukman & Ningsih, 2012).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) (dalam Andini, 2018) dapat
dibedakan menjadi:
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan

3
b. Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
2. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor mengakibatkan :
a. Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
b. Infeksi seperti osteomielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
c. Rakitis
d. Secara spontan disebabkan oleh stres tulang yang terus menerus
Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja, kecelakaan lalu
lintas dan sebagainya. Tetapi fraktur juga bisa terjadi akibat faktor lain seperti proses
degeneratif dan patologi (Noorisa dkk, 2017).

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur menurut Smeltzer (2018) meliputi :
a. Nyeri akut terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema
b. Kehilangan fungsi
c. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
d. Pemendekan ekstremitas. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
e. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
f. Edema local
g. Ekimosis

E. Patofisiologis
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang fraktur
suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika
gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkepingkeping. Saat
terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami
spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan
spasme yang kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur.
Pada kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk mematahkan batang femur individu
dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi karena trauma langsung dan tidak langsung pada pria
muda yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian. Kondisi
degenerasi tulang (osteoporosis) atau keganasan tulang paha yang menyebabkan fraktur patologis
tanpa riwayat trauma, memadai untuk mematahkan tulang femur (Muttaqin, 2012).

4
F. Komplikasi
Komplikasi Awal :
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksterna
maupun interna) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak (Smeltzer,
2015).
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan
oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya
globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit
membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok
otak, paru, ginjal, dan organ lain. Awitan gejalanya yang sangat cepat dapat terjadi dari
beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, namun paling sering terjadi dalam 24
sampai 72 jam (Smeltzer, 2015).
c. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam
otot kurang dari yang dibutuhkan untuk jaringan, bisa disebabkan karena penurunan
kompartemen otot (karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau
balutan yang menjerat) atau peningkatan isi kompartemen otot (karena edema atau
perdarahan) (Smeltzer, 2015).

Komplikasi Lambat :
1. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan

Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal.
Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi (tarikan
jauh) fragmen tulang.

2. Nekrosis avaskuler tulang


Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati. Tulang yang
mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan tulang baru (Smeltzer, 2015).
3. Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi, namun
pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala. Masalah
yang dapat terjadi meliputi kegagalan mekanis (pemasangan dan stabilisasi yang tidak

5
memadai), kegagalan material (alat yang cacat atau rusak), berkaratnya alat, respon alergi
terhadap campuran logam yang dipergunakan (Smeltzer, 2015).

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terapi latihan menurut Kuncara (2011) dalam Pramaswary (2016)
meliputi :
a. Active exercise
Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan sendi melalui gerakan penuh atau parsial yang
ada sesuai keinginannya sendiri. Tujuan latihan kisaran gerak aktif adalah menghindari
kehilangan ruang gerak yang ada pada sendi. Latihan ini diindikasikan pada fase awal
penyembuhan tulang, saat tidak ada atau sedikitnya stabilitas pada tempat fraktur. Umpan
balik sensorik langsung pada pasien dapat membantu mencegah gerakan yang dapat
menimbulkan nyeri atau mempengaruhi stabilitas tempat fraktur.
b. Active assisted (gerak aktif dengan bantuan)
Pada latihan ini, pasien dilatih menggunakan kontraksi ototnya sendiri untuk
menggerakkan sendi, sedangkan professional yang melatih, memberikan bantuan atau
tambahan tenaga. Latihan ini paling sering digunakan pada keadaan kelemahan atau
inhibisi gerak akibat nyeri atau rasa takut, atau untuk meningkatkan kisaran gerak yang
ada. Pada latihan ini dibutuhkan stabilitas pada tempat fraktur, misalnya bila sudah ada
penyembuhan tulang atau sudah dipasang fiksasi fraktur.
c. Resisted exercise
Latihan penguatan meningkatkan kemampuan dari otot. Latihan ini meningkatkan
koordinasi unit motor yang menginvasi suatu otot serta keseimbangan antara kelompok
otot yang bekerja pada suatu sendi. Latihan penguatan bertujuan untuk meningkatkan
tegangan potensial yang dapat dihasilkan oleh elemen kontraksi dan statis suatu unit otot-
tendon.
d. Hold relax
Hold rilex adalah suatu latihan yang menggunakan otot secara isometrik kelompok
antagonis dan diikuti relaksasi otot tersebut. Dengan kontraksi isometrik kemudian otot
menjadi rileks sehingga gerakan kearah agonis lebih mudah dilakukan dan dapat
mengulur secara optimal. Tujuan dari latihan hold rilex ini adalah untuk mengurangi
nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS). Indikasi dilakukannya latihan hold
rilex ini adalah pasien yang mengalami penurunan lingkup gerak sendi (LGS), dan
merasakan nyeri, serta kontra indikasinya adalah pasien yang tidak dapat melakukan
kontraksi isometrik.

6
3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah pertama yang paling penting dalam proses keperawatan.
Pengkajian terdiri dari pengumpulan informasi subjektif dan objektif dan peninjauan
informasi riwayat pasien pada rekam medik (Herdman, 2015).
1. Identitas
Kebanyakan fraktur femur terjadi pada pria muda yang mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian dan pada lansia
juga bisa terjadi karena degenerasi tulang (osteoporosis) (Muttaqin, 2012).
2. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Biasanya hasil pemeriksaan pergerakan yang didapat adalah adanya
gangguan/keterbatasan gerak tungkai, didapatkan ketidakmampuan
menggerakkan kaki dan penurunan kekuatan otot ekstremitas bawah dalam
melakukan pergerakan. Karena timbulnya nyeri dan keterbatasan gerak,
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain (Muttaqin, 2012).
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
a. (P) Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b. (Q) Quality of Pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c. (R) Region : apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. (S) Severity (Scale) of Pain : seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e. (T) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur femur yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien, berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut. Pada pasien
fraktur/ patah tulang dapat disebabkan oleh trauma/ kecelakaan, degeneratif

7
dan patologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan
sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat/ perubahan
warna kulit dan kesemutan (Wicaksono, 2016).
4. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka sangat beresiko terjadinya osteomielitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Padila,
2012 dalam Andini, 2018).
5. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik. Kemungkinan
lain anggota keluarga yang mengalami gangguan seperti yang dialami klien
atau gangguan tertentu yang berhubungan secara langsung dengan
gangguan hormonal seperti:
a. Obesitas
b. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan
c. Kelainan pada kelenjar tiroid
d. Diabetes mellitus
e. Infertilitas (Purwanto, 2016).
6. Riwayat psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari (Padila, 2012 dalam Andini,
2018). Mungkin klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa
nyeri dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi rawat inap
dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta ketakutan terjadi
kecacatan pada dirinya.
7. Pola kesehatan sehari-hari
1. Pola nutrisi
Asupan nutrisi yang seimbang, khususnya kalori, protein, kalsium,
dan serat tambahan, memungkinkan pemulihan fraktur dan luka bedah serta
memberikan energi lebih banyak untuk mobilisasi dan rehabilitasi. Vitamin

8
C diketahui sangat penting dalam proses penyembuhan dan terbukti bahwa
suplemen vitamin C mempercepat pemulihan. Cara paling mudah
memberikan nutrisi tambahan adalah memotivasi pasien untuk makan lebih
banyak dengan memastikan bahwa makanan tersedia dalam bentuk yang
sesuai, jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat, dan secara fisik pasien
mampu untuk makan (Kneale & Peter, 2011).
2. Pola eliminasi
Pola eliminasi dapat dikaji dengan melihat frekuensi, konsistensi,
warna serta bau feses pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi urin dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah urine.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak dalam BAK maupun
BAB. Masalah perkemihan, khususnya infeksi dan retensi urine, lazim
disebabkan oleh imobilisasi dan stasis urine. Retensi urine sering terjadi
sesudah pembedahan (Kneale & Peter, 2011).
3. Pola aktivitas
Semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain karena adanya keterbatasan gerak atau
kehilangan fungsi motorik pada bagian yang terkena (dapat segera atau
sekunder, akibat pembengkakan atau nyeri) (Lukman & Ningsih, 2012).
4. Pola istirahat tidur
Pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur. Semua klien
fraktur timbul rasa nyeri dan keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
menimbulkan kesulitan dalam istirahat-tidur akibat dari nyeri (Lukman &
Ningsih, 2012).

8. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum :
a) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b) Tanda-tanda vital : Kaji dan pantau potensial masalah
yang berkaitan dengan pembedahan : tanda vital, derajat
kesadaran, cairan yang keluar dari luka, suara nafas,
pernafasan infeksi kondisi yang kronis atau batuk dan
merokok.
c) Pantau keseimbangan cairan

9
d) Observasi resiko syok hipovolemia akibat kehilangan
darah pada pembedahan mayor (frekuensi nadi
meningkat, tekanan darah turun, konfusi, dan gelisah)
e) Observasi tanda infeksi (infeksi luka terjadi 5-9 hari,
flebitis biasanya timbul selama minggu kedua) dan tanda
vital
f) Kaji komplikasi tromboembolik : kaji tungkai untuk
tandai nyeri tekan, panas, kemerahan, dan edema pada
betis
g) Kaji komplikasi emboli lemak : perubahan pola panas,
tingkah laku, dan tingkat kesadaran
h) Kaji kemungkinan komplikasi paru dan jantung :
observasi perubahan frekuensi frekuensi nadi,
pernafasan, warna kulit, suhu tubuh, riwayat penyakit
paru, dan jantung sebelumnya
i) Kaji pernafasan : infeksi, kondisi yang kronis atau batuk
dan merokok.
2) Secara sistemik menurut Padila (2012) antara lain:
a) Sistem integumen
Terdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, edema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu normo cephalik simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tak
edema
e) Mata
f) Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
g) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan
normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
h) Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.

10
i) Mulut dan faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak
terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
j) Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan
dada simetris
k) Paru
 Inspeksi :Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru
 Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba
sama
 Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara
tambahan lainnya
 Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronkhi
l) Jantung
 Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung
 Palpasi :Nadi meningkat, iktus tidak teraba
 Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal tak ada mur-mur
m) Abdomen
 Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia
 Palpasi : Turgor baik, tidak ada defands muskuler
hepar tidak teraba
 Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang
cairan
 Auskultasi : Kaji bising usus
n) Inguinal-genetalis-anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, ada
kesulitan buang air besar.
o) Sistem muskuloskeletal
Tidak dapat digerakkan secara bebas dan terdapat
jahitan, darah merembes atau tidak.

9. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Diagnosis keperawatan ini merupakan
kesimpulan atas pengkajian yang dilakukan terhadap pasien, diagnosis
keperawatan ini adalah masalah keperawatan pasien sebagai akibat atau respon

11
pasien terhadap penyakit yang ia alami. Diagnosis Keperawatan ini dapat
ditegakkan dalam 3 (tiga) kategori/jenis, yaitu : aktual, potensial/resiko, resiko
tinggi (Purwanto, 2016).

10. intervensi
Intervensi merupakan tahapan selanjutnya dalam asuhan keperawatan
setelah tahapan pengkajian dan diagnosis keperawatan. Dalam merencanakan
tindakan sangat tergantung pada diagnosis yang diangkat, kondisi pasien dan
sarana prasarana rumah sakit tempat pasien tersebut dirawat (Purwanto, 2016).

11. Implementasi

Implementasi keperawatan merupakan langkah berikutnya dalam proses


keperawatan. Semua kegiatan yang digunakan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien harus direncankan untuk menunjang tujuan
pengobatan medis, dan memenuhi tujuan rencana keperawatan.

Implementasi rencana asuhan keperawatan berarti perawat mengarahkan,


menolong, mengobservasi dan mendidik semua personil keperawatan dan
pasien, termasuk evaluasi perilaku dan pendidikan, merupakan supervisi
keperawatan yang penting (Hidayah, 2014).

12. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari asuhan keperawatan,
dimana pada tahapan ini mengevaluasi apakah tindakan yang dilakukan
sudah efektif atau belum untuk mengatasi masalah keperawatan pasien atau
dengan kata lain, tujuan tersebut tercapai atau tidak. Evaluasi ini sangat
penting karena manakala setelah dievaluasi ternyata tujuan tidak tercapai
atau tercapai sebagian, maka harus di reassesment kembali kenapa tujuan
tidak tercapai (Purwanto, 2016). Dalam evaluasi menggunakan metode
SOAP (subyektif, obyektif, assessment, planning).

12
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Setelah dilakukan mobilisasi dini pada pasien post operasi fraktur femur didapatkan
bahwa kemampuan masing-masing individu dalam melakukan mobilisasi berbeda. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan individu dalam mobilisasi dini antara lain
umur, tingkat nyeri yang dirasakan, dan pengalaman operasi.

Dari empat belas prosedur tindakan, ada dua prosedur yang tidak dilakukan hanya
diajarkan kepada pasien saja sehingga dalam melakukan mobilisasi tetap memperhatikan
kondisi pasien. Selain itu, mobilisasi dini yang telah dilakukan pada pasien post operasi
fraktur femur juga dapat meningkatkan kekuatan otot, mengurangi nyeri pada pasien,
mengurangi bengkak, dan mengurangi kekakuan sendi sehingga sendi yang awalnya
susah untuk digerakkan atau bahkan tidak bisa digerakan akan dapat digerakkan.
Selain itu, pemenuhan kebutuhan aktivitas pasien juga dapat dilakukan secara mandiri
sehingga ketergantungan pasien kepada orang lain akan berkurang.

B. Saran

1. Bagi Rumah Sakit


Perlu dilakukan penyuluhan tentang mobilisasi dini secara lebih
optimal dan melakukan evaluasi secara nyata. Selain itu, perawat di
rumah sakit diharapkan mampu melakukan mobilisasi secara dini
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien yang sudah memenuhi
kriteria untuk dilakukan mobilisasi dini. Perawat juga diharapkan
mampu mengetahui indikator keberhasilan dari mobilisasi dini.
2. Bagi pasien dan keluarga
Diharapkan pasien dapat melakukan mobilisasi secara dini sehingga
akan meningkatkan kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas.
Keluarga juga diharapkan untuk ikut mendampingi dan membantu
dalam pelaksanaan mobilisasi dini serta memberikan motivasi kepada
pasien.

13
3. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan dapat mengetahui manfaat dan pentingnya mobilisasi
dini sehingga nantinya akan melakukan penyuluhan pada pasien post
operasi fraktur femur
4. Bagi penulis

Penelitian studi kasus pada bidang ini diharapkan dapat


dikembangkan dengan cakupan yang lebih luas dan aspek yang lebih
lengkap. Belum adanya standar operasional prosedur menjadikan
mobilisasi dini jarang dilakukan sehingga perlu adanya standar
operasional prosedur tentang mobilisasi dini pada pasien post operasi
fraktur femur

14
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1360/7/7%20CONCLUSION.pdf

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1360/4/4%20CHAPTER%202.pdf

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1360/3/3%20CHAPTER%201.pdf

http://eprints.umpo.ac.id/6136/3/BAB%202.pdf

15

Anda mungkin juga menyukai