FRAKTUR FEMUR
“Keperawatan Dewasa I”
Disusun Oleh:
Kelompok 9 (A.15.2)
DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma, tekanan
maupun kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 2005). Sedangkan menurut Smeltzer (2005)
fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang
diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Salah satu tindaka
yang dapat dilakukan saat sesorang mengalami fraktur yaitu pembidaian.
Pembidaian merupakan tindakan pertolongan pertama pada korban yang
mengalami fraktur selama korban masih di tempat kejadian cedera. Tatalaksana
tersebut biasanya dikenal dengan pemasangan bidai sederhana. Pemasangan
bidai dilakukan setelah dipastikan tidak ada gangguan pada pernapasan dan
sirkulasi korban dan luka sudah ditangani. Bidai bertujuan untuk mencegah
pergerakan (imobilisasi) pada tulang dan sendi yang mengalami cedera.
Imobilisasi ini menghindari pergerakan yang tidak perlu, sehingga mencegah
perburukan patah tulang dan cedera sendi serta menghindari rasa nyeri
Surgeons, 2012). Pemasangan bidai juga akan memberikan gaya tarik dengan
perlahan namun konsisten sehingga membantu mereposisi bagian yang cedera
mendekati posisi normalnya (Salter RB, 1999).
Saleh (2006), menyatakan bahwa pembidaian (splinting) adalah suatu cara
pertolongan pertama pada cedera atau trauma pada sistem muskuloskeletal yang
harus diketahui oleh dokter, perawat, atau orang yang akan memberikan
pertolongan pertama pada tempat kejadian kecelakaan. Pembidaian adalah cara
untuk mengistirahatkan (imobilisasi) bagian tubuh yang mengalami cedera
dengan menggunakan suatu alat. Fitch (2008), menyatakan bahwa pembidaian
mengimobilisasi ekstremitas yang mengalami cedera dan melindungi dari cedera
yang lebih lanjut, mengurangi nyeri dan perdarahan serta digunakan untuk
memulai proses penyembuhan. Pemakaian pembidaian pada pasien rawat jalan
termasuk didalamnya fraktur, dislokasi dan sprain otot. Stabilisasi dari ektremitas
yang patah tulang dengan pembidaian membantu kesejajaran tulang dan
mengurangi ketidaknyamanan. Sesudah dilakukan reduksi dari dislokasi, posisi
anatomi dijaga dengan pembidaian. Menurut Saleh (2006), bidai dapat kaku atau
lunak. Ada bidai buatan pabrik untuk penggunaan pada tempat tertentu pada
tubuh kita dan ada pula bidai yang dapat dibuat dengan melakukan improvisasi
dari barang atau benda yang sudah ada disekitar kita.
2. Tipe-Tipe Bidai/Splint
Menurut pendapat dari Gilbert (2011) menyatakan bahwa pembidaian
membantu mengurangi komplikasi sekunder dari pergerakan fragmen tulang,
trauma neurovaskular dan mengurangi nyeri. Ada beberapa macam splint,
yaitu:
a. Hard splint (bidai kaku)
Bidai kaku biasanya digunakan untuk fraktur ekstremitas. Bidai kaku
sederhana bisa dibuat dari kayu dan papan. Bidai ini juga bisa dibuat dari
plastik, aluminium, fiberglass dan gips back slab. Gips back slab ini
dibentuk dan diberi nama sesuai peruntukannya untuk area trauma yang
dipasang bidai. Gips back slab merupakan alat pembidaian yang lebih baik
dan lebih tepat digunakan pada ekstremitas atas dan bawah serta digunakan
untuk imobilisasi sementara pada persendian.
b. Soft splint (bidai lunak)
Pembidaian dimulai dari tempat kejadian yang dilakukan oleh penolong
dengan menggunakan alat pembidaian sederhana seperti bantal atau
selimut.
c. Air slint atau vacuum splint
Bidai ini digunakan pada trauma yang spesifik seperti bidai udara. Bidai
udara mempunyai efek kompresi sehingga beresiko terjadi compartment
syndrome dan iritasi pada kulit.
d. Traction splint (bidai dengan traksi)
Bidai dengan tarikan merupakan alat mekanik yang mampu melakukan
traksi pada bidai. Bidai dengan tarikan ini biasanya digunakan untuk
trauma pada daerah femur dan sepertiga bagian tengah ekstremitas bawah.
3. Tujuan Pembidaian
Saleh (2006), menyatakan bahwa ada 5 alasan dalam melakukan pembidaian
pada cedera musculoskeletal yaitu:
a. Untuk mencegah gerakan (imobilisasi) fragmen patah tulang atau
sendi yang mengalami dislokasi.
b. Untuk meminimalisasi/mencegah kerusakan pada jaringan lunak
sekitar tulang yang patah (mengurangi/mencegah cedera pada pembuluh
darah, jaringan saraf perifer dan pada jaringan patah tulang tersebut).
c. Untuk mengurangi perdarahan dan bengkak yang timbul.
d. Untuk mencegah terjadinya syok.
e. Untuk mengurangi nyeri dan penderitaan.
4. Kontra Indikasi Pembidaian
Fitch (2008) menyatakan bahwa meskipun tidak ada kontraindikasi absolut
dalam menggunakan pembidaian/splinting pada ekstremitas yang mengalami
cedera, beberapa hal unik harus diperhatikan. Pembengkakan alami akan terjadi
sesuda terjadi cedera dapat menjadi hambatan dari keamanan metode dari
imobilisasi.
5. Prinsip Dasar Pembidaian
Prinsip dasar pembidaian ini harus selalu diingat sebelum kita melakukan
pembidaian (Saleh, 2006) yaitu :
a. Harus melakukan proteksi diri sebelum pembidaian.
b. Jangan melepaskan stabilisasi manual pada tulang yang cedera
sampai kita benar- benar melakukan pembidaian.
c. Jangan mereposisi atau menekan fragmen tulang yang keluar kembali
ketempat semula.
d. Buka pakaian yang menutupi tulang yang patah sebelum memasang
bidai.
e. Lakukan balut tekan untuk menghentikan perdarahan pada fraktur
terbuka sebelum memasang bidai.
f. Bidai harus melewati sendi proksimal dan sendi distal dari tulang
yang patah.
g. Bila persendian yang mengalami cedera, lakukan juga imobilisasi
pada tulang proksimal dan distal dari sendi tersebut.
h. Berikan bantalan atau padding untuk mencegah penekanan pada
bagian tulang yang menonjol dibawah kulit.
i. Sebelum dan sesudah memasang bidai lakukan penilaian terhadap
nadi, gerakan dan rasa /sensasi pada bagian distal dari tempat yang fraktur
atau cedera
j. Berikan dukungan dan tenangkan penderita menghadapi cedera ini.
Bidai sederhana dapat dibuat dari bahan apapun yang kaku, seperti kayu,
penggaris, atau tongkat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pemasangan bidai, yaitu:
a. Bidai harus cukup panjang. Pada kasus patah tulang: Melewati sendi
yang ada di pangkal dan ujung tulang yang patah. Pada kasus cedera sendi:
Mencapai dua tulang yang mengapit sendi yang cedera.
b. Bidai harus cukup kuat untuk menghindari gerakan pada bagian yang
patah tulang atau sendi yang cedera, namun tidak mengganggu sirkulasi.
c. Bila tidak ada alat yang kaku untuk dijadikan bidai, bagian tubuh
yang cedera bisa diikatkan dengan bagian tubuh yang sehat, misalnya
dengan membalut lengan ke tubuh, atau membalut kaki ke kaki yang sehat.
d. Jangan meluruskan (reposisi) tangan atau kaki yang mengalami
deformitas, pasang bidai apa adanya.
6. Langkah-langkah Pemasangan Bidai
2) Sakit bertambah
Gambar 4. Pemasangan
bidai untuk patah tulang lengan
bawah atau pergeseran sendi
siku
Gambar 5. Pemasangan bidai untuk patah tulang tungkai atas
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma, tekanan maupun
kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Price, 2005). Sedangkan menurut Smeltzer (2005) fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi
jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang diabsorpsinya. Saat terjadi fraktur,
pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalah pembidaian. Fitch (2008),
menyatakan bahwa pembidaian mengimobilisasi ekstremitas yang mengalami cedera
dan melindungi dari cedera yang lebih lanjut, mengurangi nyeri dan perdarahan serta
digunakan untuk memulai proses penyembuhan. Pembidaian ini harus dilakukan oleh
orangg yang sudah ahli dalam bidangnya, namun tidak hanya perawat atau dokter.
Pembidaian juga dapat dilakukan oleh masyarakat yang mengetahui teknik dan
langkah-langkah dalam pembidaian. Pembidaian ini dilakukan dengan tujuan tidak
memperburuk keadaan fraktur.
B. Saran
Seorang yang melakukan pembidaian haruslah memahami bagian anatomi tubuh
yang mana saja yang bisa dilakukan sebuah pertolongan pembidaian jangan sampai
salah melakukan proses pembidian dibagian faktur yang terjadi dan juga harus bisa
menguasai pelaksanaan sebuah pembidaian yang benar jangan sampai melakukan
pembidaian pasien semakin kesakitan.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Orthopaedic Surgeons. (2012). First Aid, AED, and AED Standard,
Sixth Edition. Sudbury: Jones & Bartlett Learning.
Diana, D. (2011). Fraktur Femur. Diakses pada tanggal 8 Nopember 2016, dari
http://www.repository.usu.ac.id
Salter RB. (1999). Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system, Third
Edition. Baltimore: Williams & Wilkins.