Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KEPERAWATAN DEWASA

FRAKTUR FEMUR

Guna untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Keperawatan Dewasa I”

Dosen Pengampu : Ns. Susana Widyaningsih, S. Kep, MNS

Disusun Oleh:
Kelompok 9 (A.15.2)

1. Yusak Gawe 22020115100113


2. Nur Holiza 22020115120012
3. Fatia Zulfa 22020115120038
4. Dian Ayu Cahyaningsih 22020115120060
5. Nikita Apriani 22020115140097

DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma, tekanan
maupun kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 2005). Sedangkan menurut Smeltzer (2005)
fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang
diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Salah satu tindaka
yang dapat dilakukan saat sesorang mengalami fraktur yaitu pembidaian.
Pembidaian merupakan tindakan pertolongan pertama pada korban yang
mengalami fraktur selama korban masih di tempat kejadian cedera. Tatalaksana
tersebut biasanya dikenal dengan pemasangan bidai sederhana. Pemasangan
bidai dilakukan setelah dipastikan tidak ada gangguan pada pernapasan dan
sirkulasi korban dan luka sudah ditangani. Bidai bertujuan untuk mencegah
pergerakan (imobilisasi) pada tulang dan sendi yang mengalami cedera.
Imobilisasi ini menghindari pergerakan yang tidak perlu, sehingga mencegah
perburukan patah tulang dan cedera sendi serta menghindari rasa nyeri

(American Academy of Orthopaedic Surgeons, 2012). Pemasangan bidai juga


akan memberikan gaya tarik dengan perlahan namun konsisten sehingga
membantu mereposisi bagian yang cedera mendekati posisi normalnya (Salter
RB, 1999). Pemasangan bidai pada dasarnya dapat dilakukan oleh orang awam
bukan hanya tenaga kesehatan. Namun dewasa ini yang melakukan pembidaian
adalah tenaga kesehatan (dokter perawat) padahal jika pembidaian cepat
dilaksanakan ketika pasien masih ditempat kejadian dapat membantu menangani
fraktur yang di alami pasien. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk
membahas pembidaian fraktur femur dalam paper ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Fraktur?
2. Apa saja penyebab Fraktur?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur?
4. Apa saja jenis jenis fraktur?
5. Bagaimana manifestasi klinik pada fraktur?
6. Bagaimana komplikasi yang terjadi pada fraktur?
7. Apa yang dimaksud dengan Pembidaian?
8. Apa saja Tipe-Tipe Bidai/Splint ?
9. Apa saja Tujuan Pembidaian?
10. Apa saja Kontra Indikasi dilakukan Pembidaian?
11. Bagaimana Prinsip Dasar Pembidaian?
12. Bagaimana langkah-langkah dilakukan pembidaian?
BAB II
ISI
A. Anatomi Ekstermitas
B. Konsep Teori fraktur
1. Pengertian fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma, tekanan
maupun kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 2005). Sedangkan menurut Smeltzer (2005)
fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang
diabsorpsinya.
2. Penyebab fraktur
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
puntir mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah tulang mempengaruhi
jaringan sekitarnya mengakibatkan oedema jaringan lunak, perdarahan ke otot
dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan pembuluh darah.
Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur
atau gerakan fragmen tulang (Brunner & Suddarth, 2005).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur:
a. Faktor ekstrinsik yaitu meliputi kecepatan dan durasi trauma yang
mengenai tulang, arah serta kekuatan tulang.
b. Faktor intrinsik yaitu meliputi kapasitas tulang mengabsorpsi energi
trauma, kelenturan, densitas serta kekuatan tulang.
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti
kecelakan mobil, olah raga atau karena jatuh. Jenis dan beratnya patah tulang
dipengaruhi oleh arah, kecepatan, kekuatan dari tenaga yang melawan tulang,
usia penderita dan kelenturan tulang. Tulang yang rapuh karena osteoporosis
dapat mengalami patah tulang.
4. Jenis fraktur
a. Menurut Smeltzer (2005), jenis fraktur dapat dibagi menjadi:
1) Fraktur komplit
Patah pada seluruh garis tulang dan biasanya mengalami pergeseran dari
posisi normal.
2) Fraktur tidak komplit
Patah tulang yang terjadi pada sebagian garis tengah tulang.
3) Fraktur tertutup
Patah tulang yang tidak menyebabkan robekan pada kulit. Patah tulang
tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
4) Fraktur terbuka/fraktur komplikata
Patah tulang dengan luka pada pada kulit dan atau membran mukosa sampai
patahan tulang.
Fraktur terbuka di gradasi menjadi:
a) Grade I : fraktur terbuka dengan luka bersih kurang dari 1 cm
b) Grade II : fraktur dengan luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan
extensif sekitarnya.
c) Grade III : fraktur dengan kondisi luka mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif dan sangat terkontaminasi.
Menurut Feldman (1999), fraktur terbuka grade III dibagi lagi menjadi:
a) Grade IIIA: terjadi kerusakan soft tissue pada bagian tulang yang
terbuka.
b) Grade IIIB: trauma yang menyebabkan kerusakan periosteum
ekstensif dan membutuhkan teknik bedah plastik untuk menutupnya.
c) Grade IIIC: fraktur terbuka termasuk rusaknya pembuluh darah besar
b. Jenis fraktur khusus
Menurut Smeltzer (2005), jenis fraktur yang khusus lain seperti:
1) Greenstick: salah satu sisi tulang patah dan sisi lainnya membengkok.
2) Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
3) Oblik: garis patahan membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
4) Spiral: fraktur yang memuntir seputar batang tulang.
5) Kominutif: tulang pecah menjadi beberapa bagian.
6) Kompresif: tulang mengalami kompresi/penekanan pada bagian
tulang lainnya seperti (pada tulang belakang).
7) Depresif: fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (pada
tulang tengkorak)
8) Patologik: fraktur pada tulang yang berpenyakit seperti penyakit
Paget, Osteosarcoma.
9) Epifiseal: fraktur pada bagian epifiseal
c. Tipe Fraktur berdasarkan Ekstermitas
1) Tipe fraktur ekstremitas atas
a) Fraktur collum humerus
b) Fraktur humerus
c) Fraktur suprakondiler humerus
d) Fraktur radius dan ulna (fraktur antebrachi)
e) Fraktur colles
f)Fraktur metacarpal
g) Fraktur phalang proksimal, medial, dan distal
2) Tipe fraktur ekstremitas bawah
a) Fraktur collum femur
b) Fraktur femur
c) Fraktur supra kondiler femur
d) Fraktur patella
e) Fraktur plateu tibia
f)Fraktur cruris
g) Fraktur ankle
h) Fraktur metatarsal
i)Fraktur phalang proksimal, medial dan distal
5. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan perubahan warna
(Smeltzer, 2005).
a. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang
diimobilisasi.
b. Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan bagian yang normal.
c. Pemendekan tulang yang disebabkan karena kontraksi otot yang
melekat diatas maupun dibawah tempat fraktur.
d. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat gesekan
antara fragmen satu dengan yang lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
6. Penatalaksanaan Fraktur dan Kegawatdaruratannya
Menurut Brunner & Suddarth (2005) selama pengkajian primer dan
resusitasi, sangat penting untuk mengontrol perdarahan yang diakibatkan oleh
trauma muskuloskeletal. Perdarahan dari patah tulang panjang dapat menjadi
penyebab terjadinya syok hipovolemik. Pasien dievaluasi dengan seksama dan
lengkap. Ekstremitas sebisa mungkin jangan digerakkan untuk mencegah
kerusakan soft tissue pada area yang cedera.
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi.
a. Reduksi fraktur
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan
rotasi anatomis. Reduksi bisa dilakukan secara tertutup, terbuka dan traksi
tergantung pada sifat fraktur namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.
1) Reduksi tertutup
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
kembali keposisinya dengan manipulasi dan traksi manual.
2) Reduksi terbuka
Reduksi terbuka dilakukan pada fraktur yang memerlukan pendekatan
bedah dengan menggunakan alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,
plat sekrew digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan solid terjadi.
b. Traksi
Traksi digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Menurut Brunner & Suddarth
(2005), traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh untuk
meminimalisasi spasme otot, mereduksi, mensejajarkan, serta mengurangi
deformitas. Jenis – jenis traksi meliputi:
1) Traksi kulit : Buck traction, Russel traction, Dunlop traction
2) Traksi skelet: traksi skelet dipasang langsung pada tulang dengan
menggunakan pin metal atau kawat. Beban yang digunakan pada traksi
skeletal 7 kilogram sampai 12 kilogram untuk mencapai efek traksi.
c. Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna.
Fiksasi eksterna dapat menggunakan pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin
dan teknik gips. Fiksator interna dengan implant logam.
d. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Latihan otot dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan meningkatkan peredaran
darah. Partisipasi dalam aktifitas sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga diri.
7. Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) dibagi menjadi 2
yaitu:
a. Komplikasi awal
1) Syok
Syok hipovolemik akibat dari perdarahan karena tulang merupakan organ
yang sangat vaskuler maka dapat terjadi perdarahan yang sangat besar
sebagai akibat dari trauma khususnya pada fraktur femur dan fraktur pelvis.
2) Emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler dan katekolamin
yang dilepaskan memobilisasi asam lemak kedalam aliran darah. Globula
lemak ini bergabung dengan trombosit membentuk emboli yang dapat
menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok darah ke otak, paruparu,
ginjal dan organ lainnya.
3) Compartment Syndrome
Compartment syndrome merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan
dalam otot kurang dari yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh karena
penurunan ukuran fasia yang membungkus otot terlalu ketat, balutan yang
terlalu ketat dan peningkatan isi kompartemen karena perdarahan atau edema.
4) Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, tromboemboli dan
koagulopati intravaskular.
b. Komplikasi lambat
1) Delayed union, malunion, nonunion
Penyatuan terlambat (delayed union) terjadi bila penyembuhan tidak terjadi
dengan kecepatan normal berhubungan dengan infeksi dan distraksi (tarikan)
dari fragmen tulang. Tarikan fragmen tulang juga dapat menyebabkan
kesalahan bentuk dari penyatuan tulang (malunion). Tidak adanya penyatuan
(nonunion) terjadi karena kegagalan penyatuan ujungujung dari patahan
tulang.
2) Nekrosis avaskular tulang
Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kekurangan asupan darah dan mati.
Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan
tulang yang baru. Sinar-X menunjukkan kehilangan kalsium dan kolaps
struktural.
3) Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna diangkat setelah terjadi penyatuan tulang namun pada
kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala.
Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator terjadinya masalah.
Masalah tersebut meliputi kegagalan mekanis dari pemasangan dan stabilisasi
yang tidak memadai, kegagalan material, berkaratnya alat, respon alergi
terhadap logam yang digunakan dan remodeling osteoporotik disekitar alat.
C. Konsep Dasar Pembidaian
1. Pengertian Pembidaian
Selama korban masih di tempat kejadian cedera, ada pertolongan pertama
yang dapat dilakukan oleh masyarakat awam. Tatalaksana tersebut adalah
pemasangan bidai sederhana. Pemasangan bidai dilakukan setelah dipastikan
tidak ada gangguan pada pernapasan dan sirkulasi korban dan luka sudah
ditangani. Bidai bertujuan untuk mencegah pergerakan (imobilisasi) pada
tulang dan sendi yang mengalami cedera. Imobilisasi ini menghindari
pergerakan yang tidak perlu, sehingga mencegah perburukan patah tulang dan
cedera sendi serta menghindari rasa nyeri (American Academy of Orthopaedic

Surgeons, 2012). Pemasangan bidai juga akan memberikan gaya tarik dengan
perlahan namun konsisten sehingga membantu mereposisi bagian yang cedera
mendekati posisi normalnya (Salter RB, 1999).
Saleh (2006), menyatakan bahwa pembidaian (splinting) adalah suatu cara
pertolongan pertama pada cedera atau trauma pada sistem muskuloskeletal yang
harus diketahui oleh dokter, perawat, atau orang yang akan memberikan
pertolongan pertama pada tempat kejadian kecelakaan. Pembidaian adalah cara
untuk mengistirahatkan (imobilisasi) bagian tubuh yang mengalami cedera
dengan menggunakan suatu alat. Fitch (2008), menyatakan bahwa pembidaian
mengimobilisasi ekstremitas yang mengalami cedera dan melindungi dari cedera
yang lebih lanjut, mengurangi nyeri dan perdarahan serta digunakan untuk
memulai proses penyembuhan. Pemakaian pembidaian pada pasien rawat jalan
termasuk didalamnya fraktur, dislokasi dan sprain otot. Stabilisasi dari ektremitas
yang patah tulang dengan pembidaian membantu kesejajaran tulang dan
mengurangi ketidaknyamanan. Sesudah dilakukan reduksi dari dislokasi, posisi
anatomi dijaga dengan pembidaian. Menurut Saleh (2006), bidai dapat kaku atau
lunak. Ada bidai buatan pabrik untuk penggunaan pada tempat tertentu pada
tubuh kita dan ada pula bidai yang dapat dibuat dengan melakukan improvisasi
dari barang atau benda yang sudah ada disekitar kita.

2. Tipe-Tipe Bidai/Splint
Menurut pendapat dari Gilbert (2011) menyatakan bahwa pembidaian
membantu mengurangi komplikasi sekunder dari pergerakan fragmen tulang,
trauma neurovaskular dan mengurangi nyeri. Ada beberapa macam splint,
yaitu:
a. Hard splint (bidai kaku)
Bidai kaku biasanya digunakan untuk fraktur ekstremitas. Bidai kaku
sederhana bisa dibuat dari kayu dan papan. Bidai ini juga bisa dibuat dari
plastik, aluminium, fiberglass dan gips back slab. Gips back slab ini
dibentuk dan diberi nama sesuai peruntukannya untuk area trauma yang
dipasang bidai. Gips back slab merupakan alat pembidaian yang lebih baik
dan lebih tepat digunakan pada ekstremitas atas dan bawah serta digunakan
untuk imobilisasi sementara pada persendian.
b. Soft splint (bidai lunak)
Pembidaian dimulai dari tempat kejadian yang dilakukan oleh penolong
dengan menggunakan alat pembidaian sederhana seperti bantal atau
selimut.
c. Air slint atau vacuum splint
Bidai ini digunakan pada trauma yang spesifik seperti bidai udara. Bidai
udara mempunyai efek kompresi sehingga beresiko terjadi compartment
syndrome dan iritasi pada kulit.
d. Traction splint (bidai dengan traksi)
Bidai dengan tarikan merupakan alat mekanik yang mampu melakukan
traksi pada bidai. Bidai dengan tarikan ini biasanya digunakan untuk
trauma pada daerah femur dan sepertiga bagian tengah ekstremitas bawah.
3. Tujuan Pembidaian
Saleh (2006), menyatakan bahwa ada 5 alasan dalam melakukan pembidaian
pada cedera musculoskeletal yaitu:
a. Untuk mencegah gerakan (imobilisasi) fragmen patah tulang atau
sendi yang mengalami dislokasi.
b. Untuk meminimalisasi/mencegah kerusakan pada jaringan lunak
sekitar tulang yang patah (mengurangi/mencegah cedera pada pembuluh
darah, jaringan saraf perifer dan pada jaringan patah tulang tersebut).
c. Untuk mengurangi perdarahan dan bengkak yang timbul.
d. Untuk mencegah terjadinya syok.
e. Untuk mengurangi nyeri dan penderitaan.
4. Kontra Indikasi Pembidaian
Fitch (2008) menyatakan bahwa meskipun tidak ada kontraindikasi absolut
dalam menggunakan pembidaian/splinting pada ekstremitas yang mengalami
cedera, beberapa hal unik harus diperhatikan. Pembengkakan alami akan terjadi
sesuda terjadi cedera dapat menjadi hambatan dari keamanan metode dari
imobilisasi.
5. Prinsip Dasar Pembidaian
Prinsip dasar pembidaian ini harus selalu diingat sebelum kita melakukan
pembidaian (Saleh, 2006) yaitu :
a. Harus melakukan proteksi diri sebelum pembidaian.
b. Jangan melepaskan stabilisasi manual pada tulang yang cedera
sampai kita benar- benar melakukan pembidaian.
c. Jangan mereposisi atau menekan fragmen tulang yang keluar kembali
ketempat semula.
d. Buka pakaian yang menutupi tulang yang patah sebelum memasang
bidai.
e. Lakukan balut tekan untuk menghentikan perdarahan pada fraktur
terbuka sebelum memasang bidai.
f. Bidai harus melewati sendi proksimal dan sendi distal dari tulang
yang patah.
g. Bila persendian yang mengalami cedera, lakukan juga imobilisasi
pada tulang proksimal dan distal dari sendi tersebut.
h. Berikan bantalan atau padding untuk mencegah penekanan pada
bagian tulang yang menonjol dibawah kulit.
i. Sebelum dan sesudah memasang bidai lakukan penilaian terhadap
nadi, gerakan dan rasa /sensasi pada bagian distal dari tempat yang fraktur
atau cedera
j. Berikan dukungan dan tenangkan penderita menghadapi cedera ini.
Bidai sederhana dapat dibuat dari bahan apapun yang kaku, seperti kayu,
penggaris, atau tongkat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pemasangan bidai, yaitu:
a. Bidai harus cukup panjang. Pada kasus patah tulang: Melewati sendi
yang ada di pangkal dan ujung tulang yang patah. Pada kasus cedera sendi:
Mencapai dua tulang yang mengapit sendi yang cedera.
b. Bidai harus cukup kuat untuk menghindari gerakan pada bagian yang
patah tulang atau sendi yang cedera, namun tidak mengganggu sirkulasi.
c. Bila tidak ada alat yang kaku untuk dijadikan bidai, bagian tubuh
yang cedera bisa diikatkan dengan bagian tubuh yang sehat, misalnya
dengan membalut lengan ke tubuh, atau membalut kaki ke kaki yang sehat.
d. Jangan meluruskan (reposisi) tangan atau kaki yang mengalami
deformitas, pasang bidai apa adanya.
6. Langkah-langkah Pemasangan Bidai

Berikut adalah langkah-langkah pemasangan bidai:

a. Pastikan lokasi luka, patah tulang atau cedera sendi dengan


memeriksa keseluruhan tubuh korban (expose) dan membuka segala jenis
aksesoris yang menghalangi (apabila tidak melukai korban lebih jauh)
b. Perhatikan kondisi tubuh korban, tangani perdarahan jika perlu. Bila
terdapat tulang yang mencuat, buatlah donat dengan menggunakan kain dan
letakkan pada tulang untuk mencegah pergerakan tulang.
c. Memeriksa PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban yang
cedera masih teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan (M, Motorik),
dan masih dapat merasakan sentuhan (S, Sensorik) atau tidak.
d. Tempatkan bidai di minimal dua sisi anggota badan yang cedera
(misal sisi samping kanan, kiri, atau bagian bawah). Letakkan bidai sesuai
dengan lokasi cedera.
e. Hindari mengangkat tubuh pasien untuk memindahkan pengikat
bidai melalui bawah bagian tubuh tersebut. Pindahkan pengikat bidai melalui
celah antara lekukan tubuh dan lantai. Hindari membuat simpul di
permukaan patah tulang.
f. Buatlah simpul di daerah pangkal dan ujung area yang patah berada
pada satu sisi yang sama. Lalu, pastikan bidai dapat mencegah pergerakan
sisi anggota badan yang patah. Beri bantalan/padding pada daerah tonjolan
tulang yang bersentuhan dengan papan bidai dengan menggunakan kain.
g. Memeriksa kembali PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban
yang cedera masih teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan (M,
Motorik), dan masih dapat merasakan sentuhan (S, Sensorik) atau tidak.
Bandingkan dengan keadaan saat sebelum pemasangan bidai. Apabila terjadi
perubahan kondisi yang memburuk (seperti: nadi tidak teraba dan / atau tidak
dapat merasakan sentuhan dan / atau tidak dapat digerakkan) maka
pemasangan bidai perlu dilonggarkan.
h. Tanyakan kepada korban apakah bidai dipasang terlalu ketat atau
tidak. Longgarkan balutan bidai jika kulit disekitarnya menjadi:
1) Pucat atau kebiruan

2) Sakit bertambah

3) Kulit di ujung tubuh yang cedera menjadi dingin

4) Ada kesemutan atau mati rasa


Berikut contoh mengenai pemasangan bidai sederhana sebagai pertolongan
pertama:

Gambar 3. Pemasangan bidai


untuk patah tulang lengan atas atau
pergeseran sendi bahu

Gambar 4. Pemasangan
bidai untuk patah tulang lengan
bawah atau pergeseran sendi
siku
Gambar 5. Pemasangan bidai untuk patah tulang tungkai atas

Gambar 6. Pemasangan bidai untuk patah tulang tungkai bawah


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma, tekanan maupun
kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Price, 2005). Sedangkan menurut Smeltzer (2005) fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi
jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang diabsorpsinya. Saat terjadi fraktur,
pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalah pembidaian. Fitch (2008),
menyatakan bahwa pembidaian mengimobilisasi ekstremitas yang mengalami cedera
dan melindungi dari cedera yang lebih lanjut, mengurangi nyeri dan perdarahan serta
digunakan untuk memulai proses penyembuhan. Pembidaian ini harus dilakukan oleh
orangg yang sudah ahli dalam bidangnya, namun tidak hanya perawat atau dokter.
Pembidaian juga dapat dilakukan oleh masyarakat yang mengetahui teknik dan
langkah-langkah dalam pembidaian. Pembidaian ini dilakukan dengan tujuan tidak
memperburuk keadaan fraktur.
B. Saran
Seorang yang melakukan pembidaian haruslah memahami bagian anatomi tubuh
yang mana saja yang bisa dilakukan sebuah pertolongan pembidaian jangan sampai
salah melakukan proses pembidian dibagian faktur yang terjadi dan juga harus bisa
menguasai pelaksanaan sebuah pembidaian yang benar jangan sampai melakukan
pembidaian pasien semakin kesakitan.
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Orthopaedic Surgeons. (2012). First Aid, AED, and AED Standard,
Sixth Edition. Sudbury: Jones & Bartlett Learning.
Diana, D. (2011). Fraktur Femur. Diakses pada tanggal 8 Nopember 2016, dari
http://www.repository.usu.ac.id
Salter RB. (1999). Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system, Third
Edition. Baltimore: Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai