Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

A. Anatomi Fisiologi
Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar
Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang
dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata – rata panjang 3,4 cm, lebar
4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis terdiri dari 5 lobus yaitu lobus
medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2
buah. Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus
posterior akan menjadi satu disebut lobus medius. Pada penampang lobus
medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini
tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti
susu, kista ini disebut kelenjar prostat.

Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri


dari:
1. Kapsul anatomis. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa
dan jaringan muskuler. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok
bagian :
a. Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya
b. Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut
juga sebagai adenomatus zone

1
c. Di sekitar uretra disebut periuretral gland. Saluran keluar dari
ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika
seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang
bermuara ke dalam uretra. Menurut Mc Neal, prostat dibagi atas:
1) Zona perifer
2) Zona sentral
3) Zona transisional
4) Segmen anterior
5) Zona spingter preprostat
Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-
kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada
uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum, kelenjar – kelenjar ini
dilapisi oleh selaput epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid
(Anderson, 1999).
Pada laki – laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur,
sedangkan pada orang dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya
mudah teraba. Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi
prostat, jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar
menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas
jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan
dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan, keluar cairan seperti susu. Apabila
jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu padat
dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat
menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah.
Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis
jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi
dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan(Brunner & Suddarth,
2001).

2
B. Definisi
Benign Prostatic Hyperplasiamerupakan suatu keadaan yang sering
terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya
perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular,
pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan
obstruksi urine (Baradero, Dayrit, dkk, 2007)
Benign Prostatic Hyperplasia merupakakan pertumbuhan nodul -
nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut
dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh
dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi
uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher
kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih
dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
C. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi
terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia, namun beberapa hipotesisi
menyebutkan bahwa Benign Prostatic Hyperplasia erat kaitanya dengan
peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat
perubahan mikroskopik pada prostat yang terjadi pada pria usia 30-40 tahun.
Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya
sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90
tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011).
Sementara itu, menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun1998
etiologi dari Benigna Prostat Hiperplasiaadalah :
1. Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan
keseimbangan testosteron dan estrogen.
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon
Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap yang
dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.
2. Ketidakseimbangan endokrin.

3
3. Faktor umur atau usia lanjut.
Biasanya terjadi pada usia diatas 50 tahun.
4. Unknown atau tidak diketahui secara pasti.
Etiologi yang belum jelas ini maka melahirkan beberapa hipotesa
yang diduga menjadi penyebab timbulnya Benign Prostatic
Hyperplasiamenurut Purnomo (2011) meliputi :
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel
kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor
terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan
inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis
protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai
penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada Benign Prostatic
Hyperplasiatidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal,
hanya saja pada Benign Prostatic Hyperplasia, aktivitas enzim alfa –
reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada Benign
Prostatic Hyperplasia. Hal ini menyebabkan sel – sel prostat pada
Benign Prostatic Hyperplasialebih sensitive terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal
(Purnomo, 2011).
2. Teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron
sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan
antara kadar estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon
estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat
rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada

4
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih
besar (Purnomo, 2011).
3. Faktor interaksi stroma dan epitel – epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut
Growth factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari
DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor
yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin
dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma
dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien
dengan pembesaran prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh
adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi (Purnomo,
2011).
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-
sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di
sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan
normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada
prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang
mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat
baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi
pertambahan masa prostat (Purnomo, 2011).
5. Teori sel stem.
Sel – sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem,

5
yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif.
Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone
androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan
terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel – sel BPH dipostulasikan
sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2011).
D. Patofisiologi
Menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong (1998), umumnya
gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal.
Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang
tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan
prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah.
Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung
tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin.
Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung
kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang
menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih. Pada beberapa kasus
jika obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih
menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara
efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan
batu kandung kemih.
Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi
progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat.
Edema ini berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi
dapat terjadi pada pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah
dihilangkan obstruksinya. Pada awalnya air, elekrolit, urin dan beban solut
lainya meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan yang progresif
bias merusakkan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan serta
menahan air dan natrium akibat kehilangan cairan dan elekrolit yang
berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia.

6
Menurut Mansjoer Arif (2000) pembesaran prostat terjadi secara
perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran
prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi
uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan
kontraksi lebih kuat. Akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan
penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai
balokbalok yang tampai (trabekulasi).
Dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat
menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan
mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut
diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila
berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi
retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas.

7
E. Pathway Benign Prostatic Hyperplasia

F. Manifestasi Klinis
Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala
iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars
prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot
detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga
kontraksi terputus-putus.

8
Beberapa gejala obstruktif adalah:
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder
emptying).
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat
masih tergantung tiga faktor yaitu, volume kelenjar periuretral, elastisitas
leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat dan kekuatan kontraksi
otot detrusor.Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala
obstruksi,sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar
dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun,
tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot
detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan. Obstruksi uretra
menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal
karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis (Presti et al,
2013).
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris
yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena
hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun
belum penuh, gejalanya ialah:
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk
menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu
sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai
ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada

9
malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini
disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga
menurunnya tonus spingter dan uretra.
Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat
dengan volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan
terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin
didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika
keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga
penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus
terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin
sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica
menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia
paradoks (overflow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan
terjadinya refluk vesico uretradan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem
pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke
ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi (Roehrborn, 2013).
Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka
tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan
menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa
urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan
batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri.
Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan
terjadinya infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat
terjadi juga pielonefritis (Roehrborn, 2013).
G. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih

10
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi
menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika
meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada
waktu miksi pasien harus mengedan.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE)
sangat penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran
tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa
rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum
dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan
(Homma et al, 2011):
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya
kenyal)
b. Adakah asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi
prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri
simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma
prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara

11
lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba
krepitasi.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus


urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila
sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok
pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi
retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk
mengetahui adanya hernia (Andriole, 2011). Genitalia eksterna harus
pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang
dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis
atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah
meatus.Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang
terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat
retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis (Andriole,
2011).

12
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasanya dilakukan adalah
uroflowmetri dan tes prostate-specific antigen (PSA). Uroflowmetri
merupakan teknik urodinamik untuk menilai uropati obstruktif dengan
mengukur pancaran urin pada waktu miksi. Apabila Flow rate < 15
mL/sec, ini menandakan obstruksi, dan apabila postvoid residual
volume > 100 mL, ini menandakan retensi. Angka normal laju pancaran
urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20
ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8
ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat
derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan
(Roehrborn, 2013).
Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies) dapat
dilihat dengan pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar
pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah
penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang
melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan
pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan AbramsGriffiths
Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan
laju pancaran urin dapat diukur (Homma et al, 2011).
Tes Prostate-Specific Antigen menghitung PSA di dalam darah
pasien. Tes ini digunakan untuk mendiagnosa BPH dan carcinoma
prostat. Direkomendasikan untuk laki-laki diantara 40 - 50 tahun yang
punya risiko tinggi. Stamey, adalah pertama untuk mengaitkan kadar
serum PSA dengan volume jaringan prostate. Dalam penelitian yang
dilakukan pada tahun 1980-an didapatkan kadar serum PSA daripada
BPH adalah 0.30 ng/mL per gram jaringan dan 3.5 ng/mL per cm3 dari
jaringan kanker. Vesely, mendapatkan bahawa volume prostat dan
kadar serum serum PSA mempunyai korelasi signifikan dan meningkat
dengan pertambahan usia. Kadar PSA meningkat secara moderate
dalam 30 hingga 50% pasien BPH, tergentung besarnya prostat dan

13
derajat obstruksi, dan PSA juga meningkat bagi 25 hingga 92% pasien
dengan carcinoma prostat, tergantung volume tumor tersebut
(Roehrborn, 2013).
Pemeriksaan Volume Residu Urin dapat dilihat dengan volume
residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa
volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga
diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding
atau USG (Homma et al,2011).

3. Pemeriksaan Pencitraan (Imaging)


a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan
misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel
kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis
ke tulang dari carsinoma prostat (Burnicardi, 2010).
b. Pielografi Intravena (IVP)
Pemeriksaan ini untuk melihat adanya obstruksi pada traktus
urinarius.Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek
isian kontras (filling defect/indentasi prostat) pada dasar
kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas
berbentuk seperti mata kail (hooked fish). Mengetahui adanya
kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun
hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu
adanyatrabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli. foto
setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin (Burnicardi,
2010).

14
c. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi
urin, maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran
indentasi.
d. Ultrasonografi / Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
Dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal
ultrasonografi (TRUS). Selain untuk mengetahui pembesaran
prostate, pemeriksaan ini dapat pula menentukan volume
kandung kemih, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain
seperti divertikel, tumor dan batu. Dengan ultrasonografi
transrektal dapat diukur besar prostate untuk menentukan jenis
terapi yang tepat (Andriole, 2011).
e. USG :untuk memeriksa konsistensi, volume & besar prostat,
keadaan kandung kemih & residual urin.
f. foto BNO (blass nier oversich) : untuk melihat tractus urinaria
hingga kandung kemih.
I. Penatalaksanaan
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang
ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat
dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien
dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar
perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan
kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk
menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih.
Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan,
pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur
(Purnomo, 2011).

15
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011)
dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat
diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau
ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksii
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung
jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik
pancaran urin.
2. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero, dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang
diberikan pada penderita Benign Prostatic Hyperplasia adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot
berelaksasi untuk mengurangi tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan
golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone atau dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH,
menurut Purnomo (2011) diantaranya :
a. Penghambat adrenergenik alfa
Obat – obat yang sering dipakai adalah prazosin,
doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a
(Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis
tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa
1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi
obstruksi pada buli – buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
Obat ini menghambat reseptor – reseptor yang banyak
ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat,
dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat.
Obat – obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan

16
laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada
uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan
gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan
berkurangnya keluhan dalam 1 – 2 minggu setelah ia mulai
memakai obat.
Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing,
sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang
menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari
seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer,
dekongestan, obatobat ini mempunyai efek pada otot kandung
kemih dan sfingter uretra.
b. Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan
dosis 1 kali 5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan
mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan
alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru
menunjukkan perbaikan sedikit 28 % dari keluhan pasien
setelah 6 – 12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus,
hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi.
Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido,
impoten dan gangguan ejakulasi
c. Fitofarmaka atau fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain
eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw
palmetto dan serenoa repeus. Afeknya diharapkan terjadi
setelah pemberian selama 1 – 2 bulan dapat memperkecil
volum prostat

17
3. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio
urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran
kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk
tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat
dilakukan meliputi :
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi
terbuka yang biasa digunakan adalah :
1) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi
abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar
prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan
untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang
mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup
banyak dibanding dengan metode lain, kerugian lain yang dapat
terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua
prosedur bedah abdomen mayor.
2) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui
suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat
berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka
bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat
dnegan rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan
ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
3) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi
abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus
pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak

18
tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih
dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah dilihat,
akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral
dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
1) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan,
reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra
menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan
dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-
gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.
Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat
terjadi dalam lobus medial yang langsung mengelilingi uretra.
Setelah TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi kandung
kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah
pembekuan darah.
Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan
atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal
dirumah sakit lebih singkat.
Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada 22 kandung
kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya
perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani Benign Prostatic
Hyperplasia. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat
tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan
TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat
normal/kecil (30 gram atau kurang).
Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan
instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat
pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan

19
prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral.
Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi
retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).
3) Terapi invasive minimal
Menurut Purnomo (2011) terapai invasive minimal
dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan
pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya
a) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT)
Jenis pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa
rumah sakit besar. Dilakukan dengan cara pemanasan
prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di
uretra pars prostatika, yang diharapkan jaringan prostat
menjadi lembek. Alat yang dipakai antara lain prostat.
b) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD)
Pada tehnik ini dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran
kemih yang berada di prostat dengan menggunakan balon
yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada
pasien dengan prostat kecil, 23 kurang dari 40 cm3.
Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala sumbatan,
namun efek ini hanya sementar, sehingga cara ini sekarang
jarang digunakan.
c) Transuretral Needle Ablation (TUNA)
Pada teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang
menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius,
sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien
yang menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri,
disuria, dan kadang-kadang terjadi retensi urine (Purnomo,
2011).

20
d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatt
Dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi
karena pembesaran prostat, selain itu supaya uretra
prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati
lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan
bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena
resiko pembedahan yang cukup tinggi.
J. Masalah Keperawatan yang Muncul
1. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli,
distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomik.
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi prosedur bedah
4. Retensi urin berhubungan dengan sumbatan saluran perkemihan
5. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan sebagai efek
sekunder dari prosedur pembedahan
6. Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma efek samping
pembedahan
Data Fokus berkaitan dengan Gejala Benign Prostatic Hperplasia
1. Aliran kencing yang lemah, terputus, dan terkesan meragukan
2. Sensasi urgensi (ingin segera kencing) atau kencing menetes
3. Sering kencing terutama malam hari Perlu mengejan untuk bisa kencing
4. Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran
pada pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination (DRE)

21
K. Asuhan Keperawatan
1. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli,
distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.

DX
NO KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN

1. Nyeri ( akut ) Rasa nyeri klien Pain management


berhubungan hilang terkontrol, 1. Kaji nyeri, 1. Nyeri tajam,
dengan iritasi dalam waktu 2x24 perhatikan intermitten
mukosa buli – jam dengan kriteria lokasi, dengan dorongan
buli, distensi hasil : intensitas ( berkemih /
kandung kemih, 1. Skala nyeri klien skala 0 - 10 ). masase urin
kolik ginjal, infeksi terkontrol atau sekitar kateter
urinaria. berkurang dari 6-3 menunjukkan
2. Klien tampak rileks spasme buli-buli,
dan mampu tidur / yang cenderung
istirahat lebih berat pada
pendekatan
TURP ( biasanya
menurun dalam
48 jam ).
2. Pertahankan 2. Mempertahankan
patensi kateter fungsi kateter
dan sistem dan drainase
drainase. sistem,
Pertahankan menurunkan
selang bebas resiko distensi /
dari lekukan spasme buli -
dan bekuan. buli.
3. Pertahankan 3. Diperlukan
tirah baring bila selama fase awal

22
diindikasikan selama fase akut.
4. Berikan 4. Menurunkan
tindakan tegangan otot,
kenyamanan ( memfokusksn
sentuhan kembali
terapeutik, perhatian dan
pengubahan dapat
posisi, pijatan meningkatkan
punggung ) dan kemampuan
aktivitas koping.
terapeutik.

5. Berikan rendam 5. Meningkatkan


duduk atau perfusi jaringan
lampu dan perbaikan
penghangat bila edema serta
diindikasikan. meningkatkan
penyembuhan
( pendekatan
perineal ).
6. Kolaborasi 6. Menghilangkan
dalam spasme
pemberian
antispasmodik

2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomik.

DX
NO KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN

23
Gangguan eliminasi Tidak terjadinya Bladder irrigation
urin berhubungan retensi urine dalam 1. Lakukan irigasi 1. Menghindari
dengan obstruksi waktu 2x24 jam kateter secara terjadinya
anatomik. dengan kriteria hasil : berkala atau gumpalan yang
1) Pasien dapat buang terus- menerus dapat
air kecil teratur dengan teknik menyumbat
bebas dari distensi steril. kateter,
1.
kandung kemih. menyebabkan
2) Menunjukan peregangan dan
residu pasca perdarahan
berkemih kurang kandung kemih
dari 50 ml, dengan 2. Atur posisi 2. Untuk mencegah
tidak adanya selang kateter peningkatan
tetesan/kelebihan. dan urin bag tekanan pada
sesuai gravitasi Kandung kemih.
dalam keadaan
tertutup.
3. Observasi 3. Untuk mencegah
adanya tanda- komplikasi
tanda berlanjut.
shock/hemoragi
(hematuria,
dingin, kulit
lembab,
takikardi,
dispnea).
4. Mempertahanka 4. Pemberi
n kesterilan perawatan
sistem drainage menjadi
cuci tangan penyebab
sebelum dan terbesar infeksi

24
sesudah nosokomial.
menggunakan Kewaspadaan
alat dan umum
observasi aliran melindungi
urin serta pemberi
adanya bekuan perawatan dan
darah atau pasien.
jaringan.
5. Monitor urine 5. Cairan
setiap jam (hari membantu
pertama mendistribusikan
operasi) dan obat-obatan ke
setiap 2 jam seluruh tubuh.
(mulai hari Risiko terjadinya
kedua post ISK dikurangi
operasi). bila aliran urine
encer konstan
dipertahankan
melalui ginjal.
6. Ukur intake 6. Menjamin
output cairan. keamanan untuk
membantu
penyembuhan
7. Beri tindakan 7. Cairan
asupan/pemasuk membantu
an oral 2000- mendistribusikan
3000 ml/hari, obat-obatan ke
jika tidak ada seluruh tubuh.
kontra indikasi. Risiko terjadinya
ISK dikurangi
bila aliran urine

25
encer konstan
dipertahankan
melalui
ginjal.
8. Berikan latihan 8. Mengajarkan
perineal (kegel pasien
training) 15- bagaimana
20x/jam selama melakukannya
2-3 minggu, sendiri.
anjurkan dan
motivasi pasien
untuk
melakukannya.

3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau


menghadapi prosedur bedah

DX
NO KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN

Ansietas Pasien tampak rileks. Anxiety


berhubungan Dalam waktu 2x24
Reduction
dengan perubahan jam dengan kriteria
status kesehatan hasil : 1. Dampingi klien 1. Menunjukka
atau menghadapi 1) Menyatakan
dan bina perhatian dan
prosedur bedah
pengetahuan yang
hubungan saling keinginan untuk
akurat tentang
percaya membantu
1. situasi,
2. Memberikan 2. Membantu
2) Menunjukkan
informasi pasien dalam
rentang yang tepat
tentang memahami
tentang perasaan
prosedur tujuan dari suatu
dan penurunan
tindakan yang tindakan.
rasa takut.
akan dilakukan.

26
3. Dorong pasien 3. Memberikan
atau orang kesempatan pada
terdekat untuk pasien dan
menyatakan konsep solusi
masalah atau pemecahan
perasaan. masalah

4. Retensi Urine (Pre Operasi)


a. Pre operasi :
Retensi urin berhubungan dengan sumbatan: obstruksi kandung
kemih (Herdman & Heather, 2012)

DX
NO KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN

Retensi urin Setelah dilakukan Urinary 1. Agar klien


berhubungan tindakan keperawatan Catheterization mengetahui
dengan sumbatan selama 2 x 24 jam, >>> tentang kateter
saluran perkemihan klien mampu 2. Agar di dalam
menunjukkan kriteria 1. Jelaskan bak steril yang
Definisi : hasil : prosedur tersedia hanya
Pengosongan 1. Pengosongan pemasangan alat khuus
kandung kemih kandung kemih kateter kepada untuk
1. tidak tuntas normal klien pemasangan
2. Pola eliminasi urin 2. Siapkan alat – kateter
Batasan teratur alat yang 3. Agar klien
Karakteristik : 3. Frekuensi dibutuhkan merasa nyaman
1. Berkemih eliminasi urin untuk 4. Agar tidak
sedikit teratur pemasangan terkontaminasi
2. Sensasi kandung kateter bakteri dari
kemih penuh 3. Jaga privasi lingkungan
3. Inkontinensia klien (hanya 5. Agar pasien

27
aliran berlebih membuka area merasa nyaman
4. Disuria genetalia) 6. Agar daerah
5. Distensi 4. Jaga kondisi genetalia bersih
kandung kemih tetap steril pada saat
5. Posisikan dilakukan
pasien kateterisasi
senyaman 7. Agar pasien
mungkin tidak merasa
6. Bersihkan area tidak nyaman
genetalia ketika
7. Masukkan pemasukan
kateter secara kateter
hati – hati ke 8. Untuk
dalam saluran memfiksasi
kemih kateter agar
8. Isi balon kateter tidak lepas
dengan air 9. Untuk
9. Hubungkan menampung
selang kateter urin
ke kantong urin

10. Fiksasi selang 10. Agar kateter


kateter pada tidak terlepas
kulit paha

28
b. Retensi Urine (Post Operasi)
Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik; spasme kandung
kemih
DX
NO KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
Nyeri akut
berhubungan dengan
agen injuri fisik;
spasme kandung
1. Mengetahui
kemih 1. Kaji status
tingkat nyeri
nyeri pasien
yang
Setelah dilakukan
dirasakan
Definisi: tindakan
klien
Pengalaman sensori keperawatan selama
2. Teknik
dan emosional tidak 2 x 24 jam, klien 2. Ajarkan
relaksasi
menyenangkan yang mampu teknik
membantu
muncul akibat menunjulukkan relaksasi
mengurangi
kerusakan jaringan kriteria hasil :
1. nyeri pada
aktual atau potensial 1) Klien tampak
klien
atau yang rileks
3. Identifikasi
digambarkan 2) Klien melaporkan 3. Bantu klien
kenyamanan
sebagai kerusakan status nyeri mengidentifik
masa lalu
(International berkurang asai tindakan
membantu
Association for the kenyamanan
menentukan
Study of yang efektif
metode
Pain):awitan yang dimasa lalu
mengurangi
tiba-tiba atau lambat Rasional:
rasa sakit
dan intensitas ringan
hingg berat dengan
akhir yang dapat
diantisipasi atau di

29
prediksi

Batasan
Karakteristik:
1. Ekspresi wajah
nyeri
2. Mengeskspresik
an
perilaku(gelisah
,menangis)

4. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan sebagai efek


sekunder dari prosedur pembedahan
DX
NO KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
Resiko infeksi Setelah dilakukan Infection Protection 1. Agar mendapat
berhubungan dengan tindakan >>> pemantauan
kerusakan jaringan keperawatan selama lebih terhadap
sebagai efek 2 x 24 jam, klien 1. Monitor lokasi lokasi yang
sekunder dari mampu yang memiliki terdapat luka
prosedur menunjulukkan kemungkinan 2. Hewan mampu
pembedahan kriteria hasil : untuk terinfeksi mentransmisikan
2. 1. Luka operasi (luka operasi) virus atau
Definisi : tidak lembab 2. Hindari kontak bakteri
Rentan mengalami 2. Suhu tubuh dengan hewan 3. Perawatan kulit
invasi dan normal 3. Sarankan kepada secara baik dan
multiplikasi 3. Integritas jaringan klien untuk dapat mencegah
organisme patogenik normal melakukan timbulkan
yang dapat perawatan kulit infeksi
mengganggu 4. Ajarkan kepada 4. Agar tanda dan

30
kesehatan klien dan gejala infeksi
keluarga tanda dapat diketahui
Batasan dan gejala sejak dini
Karakteristik : terjadinya ifeksi 5. Agar tenaga
1. Gangguan 5. Ajarkan kepada kesehatan dapat
integritas kulit keluarga kapan segera mencegah
2. Perubahan pH mereka harus penyebaran
sekresi melaporkan infeksi
3. Terpajan pada kejadian infeksi
wabah kepada tenaga Kolaborasi
kesehatan 1. Mencegah
keparahan
Kolaborasi infeksi
1. Berikan
antibiotik sesuai in
dikasi

5. Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma efek samping pembedahan


DX
NO KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
Resiko perdarahan Setelah dilakukan Bleeding Precaution 1. Mengetahui
berhubungan dengan tindakan keperawatan >>> tanda dan gejala
trauma efek samping selama 2 x 24 jam, perdarahan sejak
pembedahan klien mampu 1. Monitor tanda dan awal
menunjukkan kriteria gejala dari 2. Agar pasien
3.
Definisi : hasil : perdarahan terhindar dari
Rentan mengalami 1. Perdarahan post 2. Lindungi pasien trauma
penurunan volume operasi tidak ada dari trauma perdarahan
darah yang dapat 2. Tekanan darah 3. Hindari akibat prosedur
mengganggu normal pemberian injeksi bedah

31
kesehatan 3. Suhu tubuh 4. Sarankan kepada 3. Injeksi dapat
normal pasien untuk membuat klien
Batasan mengonsumsi merasa tidak
Karakteristik : makanan yang nyaman
1. Trauma mengandung 4. Vitamin K baik
vitamin K dikomsumsi
5. Ajarkan kepada pada klien yang
klien untuk mengalami
melakukan perdarahan
tindakan yang 5. Agar perdarahan
tepat pada saat dapat segera
tanda dan gejala ditangani
perdarahan telah
diketahui Kolaborasi
1. Agar pasien
Kolaborasi merasa nyaman
1. Berikan
antasida sesuai ind
ikasi

32
DAFTAR PUSTAKA

Andriole, G. L., 2011. Benign Prostate Disease, In : The Merck Manual. 19th ed.
New York: Elsevier Inc.
Arief, Mansjoer. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan
Sistem Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Burnicardi, F. C., et al., 2010. Urology, In: Schwart'z Principles of Surgery. 9th
ed.New York; McGraw-Hill Companies.
Deters, L. A., 2014. Benign Prostate Hypertrophy, Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview#aw2aab6b2b4
Gloria M. Bulechek, Howard K. Butcher, Joanne M. Dochterman, Cheryl M.
Wagner. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth Edition.
USA: Elsevier
Homma, Y. et al. 2011. Outline of JUA Clinical Guidelines For Benign Prostatic
Hyperplasia. Japanese Urological Association.
Kamitsuru, Shigemi., Herdman, Heather. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi
& Klasifikasi. Edisi 10. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta :
Media Aesculapius
Nurarif, H, Amin., Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Giagnosia Medis & NANDA. Jilid 2. Yogyakarta: MediAction
Presti, J. C., 2008. Smith’s General Urology. 17th ed. McGraw-Hill Companies.
Price, S. A dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
penyakit, Edisi 6, Volume 2, Alih Bahasa Brham,..(dkk). Jakarta: EGC
Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi,. Jakarta: Sagung Seto
Roehrborn, C. G., 2012 Benign Prostate Hyperplasia. In: Campbell-Walsh
Urology. 10th ed. Elsevier Inc
Sue Moorhead, Marion Johnson, Meridean L. Maas, Elizabeth Swanson. 2013.
Nursing Outcomes Classification (NOC). Fifth Edition. USA: Elsevier.

33

Anda mungkin juga menyukai