Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR
A. PENGERTIAN
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak
langsung (Nurarif & Kusuma, 2015)
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, 2007).
B. ETIOLOGI
1. Trauma langsung/ direct trauma
Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat
ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah
tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma
Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat
terjadi fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu
sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini
disebut dengan fraktur patologis.
4. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
(Nurarif & Kusuma, 2015)
C. TANDA DAN GEJALA
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna
yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran
fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada
integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1
sampai 2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
(Nurarif & Kusuma, 2015)
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur
impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis
fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien.
Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.
D. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow,
dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan
untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang
(Nurarif & Kusuma, 2015)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang
yang cedera.
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
5. Pemeriksaan Darah Lengkap
Leukosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit
sering rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila
kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan Ca meningkat
di dalam darah, traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multiple, atau cedera hati.
F. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan kedaruratan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk
melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan
(breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak.
Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan
penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS,
mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi
infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara
cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis.
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain
memudahkan proses pembuatan foto.
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak
menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang
patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi
bagain tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang
mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat
dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan
fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan
lunak dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi
dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur.
Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan
jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai
sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat
dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat
juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan
ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang
cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada,
atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal
cedera harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril)
untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-
kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang
keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan diatas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap.
Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan
kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada
sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.
2. Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus
menjalani pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang
dapat dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi,
jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (mis; sindrom
komparteman), adanya tumor. Prpsedur pembedahan yang sering
dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau
disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini
jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan :
a. Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang
yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan
tulang yang patah
b. Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan
skrup, plat, paku dan pin logam
c. Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun
heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi
atau mengganti tulang yang berpenyakit.
d. Amputasi : penghilangan bagian tubuh
e. Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat
yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa
irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka
f. Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
g. Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan
logam atau sintetis
h. Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler
dalam sendi dengan logam atau sintetis
i. Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
j. Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi
otot atau mengurangi kontraktur fasia
k. Terapi Medis
a. Pengobatan dan Terapi Medis
l. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone
m. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
n. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
o. Bedrest, Fisioterapi
(Mansjoer, 2007)
3. Prinsip 4 R pada Fraktur
Menurut Price (1995) konsep dasar yang harus dipertimbangkan
pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.
a. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada
tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak.
Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka. fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan
bengkak.
b. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti
letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat
dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka.
Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur
menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan (Mansjoer, 2007).
c. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode
fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,
pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di
gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna
untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang
diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang
dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus
menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat
fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan
digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat
dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer,
2007).
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan,
harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi
(Mansjoer, 2007).
Fraktur terbuka baik karena cedera dari luar maupun karena
tembusnya ujung patah tulang dari dalam, terancam bahaya infeksi dan
osteomilitis. Seperti biasanya penanganan terdiri atas pembilasan luka,
pengeluaran benda asing, fragmen tulang yang terlepas, dan nekrosis.
Luka kemudian dirawat secara terbuka dengan anggota yang
bersangkutan diletakkan tinggi. Kontusio kulit diperhatikan betul karena
mengakibatkan nekrosis. Bila ujung patahan tulang terletak berjauhan
akibat kehilangan pecahan tulang, kedua ujung ini harus dipertemukan
agar tetap bersentuhan. Yang paling sering ditemukan pada anak ialah
patah tulang klavikula, humerus, suprakondiler, dan antebrakius
(Sjamsuhidajat: 2004).

G. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pengkajian primer
1) Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya
penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk
2) Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas
terdengar ronchi /aspirasi
3) Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap
lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini,
disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis
pada tahap lanjut.
b. Pengkajian sekunder
1) Aktivitas/istirahat
a) Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
b) Keterbatasan mobilitas
2) Sirkulasi
a) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
b) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
c) Tachikardi
d) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
e) Capilary refil melambat
f) Pucat pada bagian yang terkena
g) Masa hematoma pada sisi cedera
3) Neurosensori
a) Kesemutan
b) Deformitas, krepitasi, pemendekan
c) Kelemahan
4) Kenyamanan
a) Nyeri tiba-tiba saat cidera
b) Spasme/ kram otot
5) Keamanan
a) Laserasi kulit
b) Perdarahan
c) Perubahan warna
d) Pembengkakan local
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
a. Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder
terhadap fraktur.
Tujuan Keperawatan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan,
diharapkan :
 Melaporkan gejala nyeri terkontrol
 Melaporkan kenyamanan fisik dan psikologis
 Mengenali factor yang menyebabkan nyeri
 Melaporkan nyeri terkontrol (skala nyeri: <4 )
 Tidak menunjukkan respon non verbal adanya nyeri
 Menggunakan terapi analgetik dan non analgetik
 Tanda vital dalam rentang yang diharapkan
Intervensi:
1) Kaji tingkat nyeri yang komprehensif : lokasi, durasi,
karakteristik, frekuensi, intensitas, factor pencetus, sesuai
dengan usia dan tingkat perkembangan.
2) Monitor skala nyeri dan observasi tanda non verbal dari
ketidaknyamanan
3) Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum menjadi berat
4) Kelola nyeri pasca operasi dengan pemberian analgesik tiap 4
jam, dan monitor keefektifan tindakan mengontrol nyeri
5) Kontrol faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon
klien terhadap ketidaknyamanan : suhu ruangan, cahaya,
kegaduhan.
6) Ajarkan tehnik non farmakologis kepada klien dan keluarga :
relaksasi, distraksi, terapi musik, terapi bermain,terapi
aktivitas, akupresur, kompres panas/ dingin, masase.
imajinasi terbimbing (guided imagery),hipnosis ( hipnoterapy
) dan pengaturan posisi.
7) Informasikan kepada klien tentang prosedur yang dapat
meningkatkan nyeri : misal klien cemas, kurang tidur, posisi
tidak rileks.
8) Kolaborasi medis untuk pemberian analgetik, fisioterapis/
akupungturis.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler.
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan klien
menunjukkan dapat bergerak secara normal dengan KH:
 Mampu mandiri total
 Membutuhkan alat bantu
 Membutuhkan bantuan orang lain
 Membutuhkan bantuan orang lain dan alat
Intervensi :
1) Melakukan perpindahan/ ambulasi : miring kanan-kiri,
berjalan, kursi roda
2) Ajarkan dan berikan dorongan pada klien untuk melakukan
program latihan secara rutin
3) Ajarkan teknik Ambulasi & perpindahan yang aman kepada
klien dan keluarga.
4) Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan
walker
5) Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan
yang aman. Latihan mobilisasi dengan kursi roda
6) Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara pemakaian kursi
roda & cara berpindah dari kursi roda ke tempat tidur atau
sebaliknya.
7) Dorong klien melakukan latihan untuk memperkuat anggota
tubuh
8) Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara penggunaan kursi
roda
9) Ajarkan pada klien & keluarga untuk dapat mengatur posisi
secara mandiri dan menjaga keseimbangan selama latihan
ataupun dalam aktivitas sehari hari.
10) Ajarkan pada klien/ keluarga untuk mem perhatikan postur
tubuh yg benar untuk menghindari kelelahan, keram &
cedera.
11) Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk program latih.
c. Cemas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi.
Tujuan Keperawatan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan,
diharapkan cemas klien dan keluarga berkurang.
Kriteria Hasil :
 Monitor intensitas kecemasan
 Menggunakan strategi koping efektif
Intervensi :
1) Tenangkan klien
Rasional : Agar klien merasa aman
2) Jelaskan prosedur tindakan kepada klien dan perasaan yang
mungkin muncul pada saat melakukan tindakan
Rasional : Agar keluarga mengetahui prosedur sebelum
dilakukan operasi
3) Instruksikan untuk menggunakan metode/teknik relaksasi
Rasional : Untuk meminimalisir kecemasan
(Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2016)
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3.
EGC. Jakarta

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). NIC dan NOC
edisi Bahasa Indonesia. Singapore: Elsevier.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa medis dan Nanda Nic-Noc Jilid 2. Yogyakarta: Medi Action.
LAPORAN PENDAHULUHAN
FRAKTUR

Oleh :

NAMA : DIAN IKA PERTIWI


NIM : 2016 0305 073

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2017

Anda mungkin juga menyukai