Anda di halaman 1dari 20

RESUME

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Dosen pengampuh : Ns Luh Titi , H, M.Kes.

Disusun Oleh :

Nama : Mohammad Zulkifli

NIM : 1911011029

Kelas : 5A

PROGRAM STUDI S-1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

2021
RANGKUMAN KONSEP
1. Perioperatif
istilah yang digunakan untuk menggambarkan fungsi keperawatan yang berkaitan dengan
pengalaman pembedahan pasien. Kata “perioperatif” adalah suatu istilah gabungan yang
mencakup tiga fase pengalaman pembedahan, yaitu praoperatif, intraoperatif, dan
pascaoperatif.
Menurut Brunner dan Suddarth (2010) fase perioperatif mencakup tiga fase dan
pengertiannya yaitu :
a) Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk
intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi
b) Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai ketika pasien masuk atau
dipindah ke bagian atau departemen bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi : memasang infus (IV),
memberikan medikasi intravena, dan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan dan menjaga keselamatan pasien
c) Fase Pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan . dan berakhir
dengan evaluasi tindak lanjut pada tatana klinik atau di rumah. pada fase pascaoperatif
berlangsung fokus termasuk mengkaji efek agens anastesia, dan memantau fungsi vital serta
mencegah komplikasi.
Fase Pembedahan Perioperatif
Klien bedah datang ke tempat pelayanan kesehatan dengan kondisi kesehatan yang berbeda-
beda. Klien mungkin akan datang ke rumah skait atau unit bedah sehari sebelum hari
pembedahan dengan perasaan sehat dan siap menghadapi pembedahan. Sebaliknya, korban
kecelakaan kendaraan bermotor mungkin akan menghadapi pembedahan darurat tanpa waktu
persiapan. Kemampuan menciptakan hubungan dan mempertahankan hubungan profesional
merupakan komponen yang sangat penting dalam fase preoperatif. Perawat harus
melakukannya dengan cepat, mudah, dan efektif (Brunner & Suddarth, 2010).
Proses Keperawatan dan Klien Bedah
Klien akan bertemu dengan anggota tim kesehatan antara lain dokter bedah, perawat anastesi,
atau ahli anastesi, petugas fisioterapi, dan perawat. Semuanya berperan dalam asuhan
keperawatan dan pemulihan klien. Perawat mengkaji kesehatan fisik dan emosional klien,
mengetahui tingkat resiko pembedahan, mengkordinasi berbagai pemeriksaan diagnostik,
mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang menggambarkan kebutuhan klien dan keluarga,
mempersiapkan kondisi fisik dan mental klien untuk menghadapi pembedahaan, serta
mengkomunikasikan informasi yang berkaitan dengan pembedahan kepada tim (Brunner &
Suddarth, 2010).
Jenis dan Indikasi Pembedahan
Pembedahan dilakukan jika diduga kuat adanya indikasi-indikasi yang mendukung untuk
diharuskannya tindakan pembedahan. Sebagai contoh, untuk pemeriksaan diagnostik yang
perlu dilakukannya biopsi, untuk memperkirakan luas penyakit ataupun injury yaitu dengan
eksplor laparatomi, mungkin juga untuk mengembalikan tampilan dan fungsi sebelumnya
misalnya dengan mammoplasty, pembedahan juaga dilakukan untuk mengangkat organ yang
tidak bisa ditunda, seperti contoh pada kasus darurat. Pembedahan juga dapat diklasifikan
sesuai tingkat urgensinya, dengan penggunaan istilah-istilah kedaruratan, urgen, diperlukan,
elektif, dan pilihan (Brunner & Suddarth, 2010). Berikut adalah Tabel 2.1 yang merupakan
klasifikasi pembedahan menurut Brunner & Sudddart.
2. Fraktur
Fraktur adalah patahan yang terjadi didalam kontinuitas struktural tulang. Hal ini mungkin
tidak lebih dari sebuah retakan, suatu pengisutan, atau pecahnya korteks; lebih sering disebut
sebagai patahan yang sempurna. Fragmen tulang yang dihasilkan mungkin akan berada di
tempatnya atau keluar dari tempatnya. Jika kulit atasnya tetap utuh, maka disebut juga fraktur
tertutup. Namun jika kulit atau salah satu dari rongga tubuh menerobos keluar atau tertembus,
maka disebut juga fraktur terbuka (atau compound) yang dapat menyebabkan kontaminasi
dan infeksi (Apley & Solomon,2018).
Fraktur Tertutup
Menurut Nursing Care Related to the Musculoskeletal system (2013),Dalam fraktur tertutup,
atau sederhana, tidak ada retakan pada kulit yang berhubungan dengan patah tulang yang
terjadi. Fraktur sederhana (sering disebut "tertutup") yaitu fraktur dengan keadaan kulit
belum pecah dan tetap utuh (Andra & Yessie, 2013). Fraktur tertutup atau fraktur sederhana
adalah patah tulang yang tidak menyebabkan robekan pada kulit (Brunner & Suddarth, 2013).
Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka adalah subset fraktur yang unik karena paparan langsung tulang terhadap
kontaminasi dari lingkungan dan gangguan integritas jaringan lunak, yang meningkatkan
risiko infeksi, persatuan tertunda, nonunion, danbahkan amputasi. Fraktur terbuka atau
fraktur campuran / kompleks yaitu patah dengan luka pada kulit atau membran mukosa
meluas ke tulang yang mengalami fraktur.
Etiologi Fraktur
Fraktur disebabkan oleh cidera, stress berulang,kelainan tulang.
Cidera
a. Cedera langsung, yaitu tulang patah pada titik benturan; jaringan lunak juga rusak.
Pukulan langsung biasanya membagi tulang secara melintang atau membengkokkannya di
atas titik tumpu sehingga menciptakan patahan dengan fragmen ‗kupu-kupu‘. Kerusakan
pada kulit diatasnya adalah umum; Jika penghancuran terjadi atau dalam cedera energi tinggi,
pola fraktur akan diperhitungkan dengan kerusakan jaringan lunak yang luas.
b. Cedera tidak langsung, yaitu tulang patah pada jarak dari tempat gaya diterapkan;
kerusakan jaringan lunak di situs fraktur tidak bisa dihindari.
Stress berulang
fraktur kelelahan, fraktur ini terjadi pada tulang normal yang mengalami pemuatan berat
berulang, biasanya pada atlet, penari atau personil militer yang memiliki program latihan
yang melelahkan atau ketika intensitas latihan meningkat secara signifikan dari baseline.
Kelainan tulang yang abnormal (fraktur 'patologis'), yaitu fraktur yang dapat terjadi bahkan
dengan tekanan normal jika tulang telah dilemahkan oleh perubahan dalam strukturnya atau
karena proses penyakit(misalnya pada pasien dengan osteoporosis, osteogenesis imperfecta
atau penyakit Paget, terapi bifosfonat) atau melalui lesi lisis (misalnya kista tulang atau
metastasis).
3. Dislokasi

Dislokasi adalah kondisi ketika tulang keluar atau bergeser dari posisi normalnya pada
sendi. Semua persendian yang ada di tubuh dapat mengalami dislokasi, terutama saat terjadi
benturan akibat kecelakan berkendara atau terjatuh ketika berolahraga.
Dislokasi paling sering terjadi pada bahu dan jari tangan, walau sebenarnya dislokasi dapat
terjadi di semua sendi, termasuk lutut, siku, rahang, dan panggul.

Penyebab Dislokasi
Dislokasi terjadi ketika sendi mengalami benturan atau tekanan yang keras. Kondisi yang
dapat menyebabkan dislokasi antara lain:
 Terjatuh, misalnya akibat terpeleset
 Kecelakaan kendaraan bermotor
 Cedera akibat olahraga yang melibatkan kontak fisik, seperti sepak bola atau bela diri
Faktor risiko dislokasi

Dislokasi dapat terjadi pada siapa saja, tetapi ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan
risiko seseorang mengalami kondisi ini, yaitu:

 Melakukan olahraga yang melibatkan kontak fisik


 Berkendara dengan kendaraan bermotor
 Memiliki otot dan keseimbangan yang lemah, misalnya akibat menderita distrofi otot 
 Berusia lanjut atau masih anak-anak

Gejala Dislokasi

Sendi adalah area di mana dua atau lebih tulang bertemu. Sendi terbentuk dari jaringan ikat
dan tulang rawan, serta berfungsi sebagai penghubung di antara tulang-tulang saat bergerak.
Kondisi ini dapat menimbulkan gejala dan keluhan berupa:
 Sakit dan nyeri pada sendi yang cedera
 Sendi bengkak dan memar
 Bagian sendi yang cedera menjadi kemerahan atau menghitam
 Bentuk sendi menjadi tidak normal
 Sakit ketika bergerak
 Mati rasa di bagian sendi yang cedera

Diagnosis Dislokasi

Untuk mendiagnosis dislokasi, dokter akan melakukan tanya jawab mengenai gejala yang
dialami pasien dan aktivitas terakhir yang berpotensi menyebabkan dislokasi. Dokter juga
akan melakukan pemeriksaan fisik dengan melihat bagian sendi yang dicurigai mengalami
dislokasi, serta memeriksa sirkulasi darah di bagian tersebut.
Untuk memastikan diagnosis, dokter dapat melakukan beberapa pemeriksaan penunjang,
seperti:

 Rontgen, untuk memastikan adanya dislokasi atau kerusakan lain yang mungkin
terjadi pada sendi
 MRI, untuk membantu dokter memeriksa kerusakan pada struktur jaringan lunak di
sekitar sendi yang mengalami dislokasi
Pengobatan Dislokasi

Pengobatan tergantung pada lokasi sendi yang mengalami dislokasi serta tingkat
keparahannya. Secara garis besar, pengobatan dislokasi bertujuan untuk mengembalikan
tulang yang keluar atau bergeser ke posisinya semula dan mencegah kerusakan saraf atau
pembuluh darah di sekitar sendi.
Berikut ini adalah metode pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi dislokasi:

Obat-obatan

Dokter dapat meresepkan obat-obatan pereda nyeri, seperti ibuprofen atau naproxen, untuk


mengurangi rasa nyeri dan peradangan yang timbul akibat dislokasi.

Perawatan medis

Perawatan medis yang dapat diberikan untuk mengatasi dislokasi antara lain:

 Tindakan reduksi, untuk mengembalikan tulang pada posisi normalnya


 Imobilisasi, untuk menyangga tulang dan mencegah bergeraknya sendi yang telah
kembali pada posisi normalnya, sehingga pemulihan dapat lebih cepat
 Operasi, untuk mengatasi dislokasi yang tidak bisa diperbaiki dengan tindakan
reduksi atau telah terjadi kerusakan pada pembuluh darah, saraf, atau ligamen di
sekitar sendi
 Rehabilitasi, untuk memperkuat sendi dan melatih pasien agar dapat bergerak seperti
sedia kala

Perawatn mandiri

Setelah dislokasi ditangani dokter, ada beberapa perawatan mandiri yang bisa dilakukan di
rumah untuk mempercepat proses pemulihan sekaligus meringankan rasa tidak nyaman yang
mungkin timbul. Beberapa perawatan tersebut adalah:

 Mengompres sendi dengan es atau air hangat selama 15–20 menit beberapa kali sehari
 Mengistirahatkan sendi yang mengalami dislokasi dan menghindari gerakan yang
menimbulkan rasa nyeri
 Melatih sendi dengan gerakan-gerakan ringan dan dilakukan secara perlahan
Komplikasi Dislokasi

Dislokasi yang tidak segera ditangani dapat menimbulkan komplikasi berupa:

 Robeknya otot, ligamen, dan tendon pada sendi


 Kerusakan saraf atau pembuluh darah di daerah sendi
 Peradangan pada sendi
 Dislokasi berulang

Pencegahan Dislokasi

Ikuti langkah-langkah berikut ini untuk mencegah terjadinya dislokasi:

 Hati-hati dan selalu waspada terhadap kecelakaan atau terjatuh saat beraktivitas.
 Gunakan perlengkapan pelindung ketika berolahraga.
 Hindari berdiri di atas tempat-tempat yang tidak stabil, seperti kursi.
 Tutupi lantai rumah dengan karpet yang tidak licin.
 Lakukan olahraga secara rutin untuk meningkatkan keseimbangan dan kekuatan otot-
otot tubuh.

Pada anak-anak, dislokasi dapat dicegah dengan beberapa cara berikut:

 Pastikan sebisa mungkin tidak ada barang atau area rumah yang dapat mencelakai
anak.
 Perhatikan dan awasi anak ketika bermain.
 Ajari anak mengenai perilaku yang aman ketika beraktivitas atau bermain.
 Pasang pintu pengaman di tangga agar anak tidak terjatuh karena bermain-main di
tangga.
4. Osteoarthritis
peradangan kronis pada sendi akibat kerusakan pada tulang rawan. Osteoarthritis adalah jenis
arthritis (peradangan sendi) yang paling sering terjadi. Kondisi ini menyebabkan sendi-sendi
terasa sakit, kaku, dan bengkak.

Penyakit ini bisa menyerang semua sendi, namun sendi di jari tangan, lutut, pinggul, dan
tulang punggung, adalah sendi-sendi yang paling sering terkena. Gejala yang timbul saat
mengalami osteoarthritis akan berkembang secara perlahan.
Penyebab dan Faktor Risiko Osteoarthritis

Osteoarthitis disebabkan oleh kerusakan pada tulang rawan dan sendi. Kerusakan ini
berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Kondisi ini dimulai saat tulang rawan yang
merupakan bantalan pelindung tulang mengalami kerusakan.
Kerusakan ini kemudian menyebabkan terjadinya gesekan langsung antar tulang. Gesekan ini
lama kelamaan akan merusak dan menyebabkan peradangan pada sendi. Pertambahan usia
adalah salah satu faktor utama terjadinya kondisi ini.
Selain itu, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya osteoarthritis,
antara lain:
 Berjenis kelamin wanita, terutama yang sudah menopause
 Mengalami obesitas
 Mengalami cedera pada sendi atau pernah menjalani operasi pada tulang dan sendi
 Melakukan pekerjaan atau aktivitas fisik yang menyebabkan sendi tertekan secara
terus-menerus, misalnya terlalu sering mengenakan sepatu hak tinggi
 Memiliki riwayat osteoarthritis di keluarga
 Mengalami kelainan bawaan atau cacat pada tulang rawan atau sendi
Gejala Osteoarthritis
Pada tahap awal, penderita osteoarthritis akan merasakan rasa sakit atau nyeri sendi dan kaku
pada sendi. Gejala yang ditimbulkan akan berkembang secara perlahan dan menjadi semakin
parah seiring waktu. Hal ini akan membuat penderita kesulitan menjalani aktivitas sehari-
hari.
Selain rasa sakit dan kaku, beberapa gejala lain yang bisa terjadi adalah:
 Pembengkakan pada sendi
 Munculnya suara gesekan pada sendi ketika digerakkan
 Melemahnya otot dan berkurangnya massa otot
 Munculnya taji atau tulang tambahan
 Munculnya benjolan pada sendi yang ada di jari tangan
 Membengkoknya jari tangan
Diagnosis Osteoarthritis
Dokter akan melakukan tanya jawab seputar keluhan dan riwayat kesehatan pasien. Setelah
itu, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh, termasuk melakukan pemeriksaan
pada sendi yang terasa nyeri dan mengidentifikasi apakah terjadi pembengkakan serta
keterbatasan gerakan sendi.
Untuk memastikan diagnosis, dokter akan meminta pasien untuk melakukan pemeriksaan
penunjang, seperti:
 Pemindaian dengan Rontgen dan MRI, untuk melihat kondisi tulang dan mendeteksi
peradangan pada tulang dan sendi
 Tes darah, untuk mendeteksi infeksi atau penyebab lain dari peradangan sendi,
seperti  rheumatoid arthritis
 Analisis cairan sendi, untuk mengetahui apakah terjadi peradangan atau infeksi pada
sendi
Pengobatan Osteoarthritis
Pengobatan osteoarthritis bertujuan untuk meredakan keluhan dan gejala agar penderitanya
bisa tetap beraktivitas secara normal.
Untuk meredakan rasa nyeri dan peradangan dokter akan memberikan obat-obatan, seperti:

 Paracetamol
 Obat antiflamasi seperti, ibuprofen, naproxen sodium
 Capsaicin krim
 Suntikan obat golongan kortikosteroid

bisa juga ditangani dengan fisioterapi dan operasi. Berikut penjelasannya:


 Fisioterapi
Penderita osteoarthritis dapat menjalani fisioterapi untuk memperkuat otot-otot di
sekitar persendian. Cara ini juga bisa meningkatkan fleksibilitas sendi dan otot, serta
mengurangi rasa sakit.
 Operasi
Meski jarang dilakukan, operasi bisa dilakukan untuk memperbaiki atau mengganti
sendi yang rusak agar penderita bisa lebih mudah bergerak. Contohnya adalah total
hip replacement  pada osteoarthritis panggul dan total knee replacement pada
osteoarthritis lutu.
Selain pengobatn yang dilakukan penderita juga disarankan untuk menerapkan pola hidup
sehat seperti :
 Rajin berolahraga
Olahraga secara teratur dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan memperkuat otot –
otot di sekitar persendian.

 Menurunkan berat badan


Penderita osteoarthritis yang mempunyai berat bedan berlebih disarankan untuk
menurunkan berat badan, bertujuan untuk mengurangi tekanan pada sendi dan bisa
mengurangi rasa sakit.

Komplikasi Osteoarthritis
Osteoarthritis yang tidak mendapatkan penanganan dapat menyebabkan nyeri dan rasa tidak
nyaman. Kondisi ini dapat menyebabkan pendeitanya mengalami beberapa komplikasi,
seperti:
 Gangguan tidur.
 Gangguan kecemasan.
 Depresi.
 Osteonecrosis atau avascular necrosis (kematian jaringan tulang).
 Infeksi pada sendi.
 Saraf terjepit di tulang belakang.
Pencegahan Osteoarthritis
Osteoarthritis tidak dapat dicegah. Namun, Anda dapat menurunkan risiko penyakit ini
dengan beberapa langkah di bawah ini:
 Menjaga berat badan ideal
 Selalu aktif, rajin bergerak, dan berolahraga
 Menjaga postur tubuh saat duduk atau berdiri
 Melakukan peregangan otot secara rutin
 Beristirahat dengan cukup dan teratur
RANGKUMAN PRAKTIKUM

A. Pengkajian Muskuloskeletal
 Riwayat Keperawatan
1. Biografi, demografi. Keluhan utama.
a. Nyeri sendi dan atau edema pada otot, sendi, tulang atau tanpa pergerakkan.
b. Kelemahan ekstrimitas.
c. Bentuk tidak tegap
d. Menurunnya nafsu makan, menurunnya berat badan.
e. Mudah lelah
f. Perubahan sensorik.
2. Penyakit saat ini.
3. Penyakit masa lalu.
Penyakit dan atau kondisi yang menyertai, misalnya : cedera medula spinalis, gangguan
persarafan, cedera secerbro vaskuler(CSV), artritis, bursitis, polioneuritis, sklerosis multiple,
distrfi muskuler, miastenia gravis, fraktur, ruptur diskus, labirinitis, osteoporosis, kondis
konginatel, nyeri pinggang, lupus eritematosus, pirai, kelainan darah.
Penyakit dan atau operasi sebelumnya, misalnya : poliomeilitis, hemiplegia, paraplegia,
serebral palsi, operasi ortopedi, operasi spinal, penyakit parkinson, ataksia.
4. Penyakit keluarga.
Misalnya : karsinoma, diabetes, tuberkulosa.
5. Psikososial.
Pekerjaan yang berbahaya atau kegiatan yang berbahaya, misalnya : pekerjaan konstruksi
bangunan atau olahraga, penggunaan alkohol, bahan-bahan kimia, tembakau.
 Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi dan palpasi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui : fungsi, integritas tulang, postur, fungsi
sendi, kekuatan otot, cara berjalan, kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari.
Sirkulasi perifer dilakukan dengan mengkaji : denyut perifer, warna, suhu, kapilerry
reffill.
Pengkajian sistem skelet tubuh ditujukan untuk mengetahui kesejajaran, deformitas, dan
krepitus.

 Pengkajian Sistem Tulang Belakang


a. Inspeksi. Untuk mengetahui Kalainan adanya : skoliosis, lordosis, kifosis.
b. Prosedur yang digunakan untuk pemeriksaan tulang belakang adalah sebagai berikut :
a) Buka baju pasien untuk menampakan seluruh punggung, bokong dan tungkai.
b) Posisi pasien berdiri tegak dan membungkuk kedepan.
c) Yang diperiksa : kurvatura tulang belakang, simetri batang tubuh dari pandangan
antrior, posterior dan lateral.
d) Berdiri di belakang pasien yang diperhatikan : tinggi bahu dan krista iliaka,
lipatan bokong(normalnya simetris), simetris bahu dan pinggul, kelurusan tulang
belakang.
 Pengkajian Sistem Persendian :
Yang diperiksa : memeriksa luas gerak, deformitas, stabilitas, adanya benjolan.
a. Pengukuran luas gerak yang tepat dapat dilakukan dengan geniometer(busur
derajat yang dirancang kusus untuk evaluasi gerak sendi. Jika sendi diekstensikan
maksimal masih ada sisa fleksi berarti terjadi keterbatasan gerak.
b. Keterbatasan gerak karena : deformitas skeletal, kontraktur otot dan tendon,
patologi sendi, patologi sendi pada lansia yang menimbulkan penurunan
kemampuan ADL
c. Deformitas sendi karena : kontraktur, dislokasi, subluksasi(lepasnya sebagian
permukaan sendi)
 Pengkajian Sistem Otot
a) Meliputi : kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, ukuran otot.
b) Kelainan otot : polineuropati, miastenia gravis, poliomeilitis, distrofi otot.
c) Penambahan ukuran dilakukan dengan mengukur lingkar ekstrimitas. Pengukuran
pada lingkar terbesar ekstrimitas.
 Pemeriksaan Penunjang
1. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a) Pemeriksaan darah lengkap :
Haemoglobin, lekosit, waktu pembekuan dan waktu perdarahan.
b) Pemeriksaan kimia darah :
1) Kalsium serum. Dilakukan pada pasien osteomalasia, fungsi paratiroid,
penyakit piaget, tumor tulang metastase, immobilisasi lama.
2) Fosfor serum. Berbanding terbalik dengan kalsium, menurun pada pasien
rikets karena malasorbsi.
3) Fosfatase asam. Meningkat pada piaget dan kanker metastase.
4) Fosfatase alkali. Meningkat pada proses penyembuhan, miningakt pada
penyakit dengan peningkatan aktivitas osteoblast, misalnya pada pasien
tumor tulang metastase
2. RADIOGRAFI.
a) X-rays.
b) Hasil dari foto rontgen mengambarkan kepadatan, tekstur, erosi, perubahan
hubungan/menunjukkan adanya pelebaran, dan penyempitan. Foto rontgen sendi
menggambarkan adanya cairan, sput, iregulitas, perubahan struktur sendi.
c) Ct scan.
d) Hasil foto yang diperoleh adalah rincian bidang yang diperiksa
e) EMG/elektromiografi memberikan informasi mengenai potensial listrik otot dan
saraf yang mensarafinya.
f) Tujuan dari EMG adalh untuk menentukan abnormalitas fungsi unit motor end.
g) Arthroscopy/endoskopi sendi.
h) Biopsy.
i) Biopsi dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi tulang, otot, dan
sinovium.
j) Arteriografi.
B. Pengkajian Traksi
 Pengkajian keperawatan
Yang perlu di kaji pada klien dengan traksi, yaitu :
a) Dampak psikologik dan fisilogik masalah moskuloskeletal dengan terpasang
traksi.
b) Adanya tanda – tanda disorientasi, kebigungan, dan masalah perilaku klien
akibat terkungkung pada tempat terbatas dalam waktu yang cukup lama.
c) Tingkat ansietas klien dan respon psikologi terhadapa traksi.
d) Status neurovaskuler, meliputi suhu, warna, dan pengisian kapiler.
e) Integritas kulit.
f) System intugumen perlu di kaji adanya ulkus akibat tekanan, dekubitus.
g) System respirasi perlu di kaji adanya kongesti paru, stasis pneumonia.
h) System gastrointestinal perlu di kaji adanya konstipasi, kehilangan nafsu
makan (anoreksia).
i) System perkemihan perlu di kaji adanya stasis kemih, dan ISK.
j) System kardiovaskuler perlu di kaji adanya perubahan dan gangguan pada
kardiovaskuler.
k) Adanya nyeri tekan betis, hangat, kemerahan, bengkak, atau tanda homa
positif (tidak nyaman ketika kaki didorsofleksi dengan kuat) mengarahkan
adanya thrombosis vena dalam.
Sedangkan pengkajian secara umum pada pasien traksi, meliputi :
1. Status neurology.
2. Kulit (dekubitus, kerusakan jaringan kulit).
3. Fungsi respirasi (frekuensi, regular/ irregular).
4. Fungsi gastroinstetinal (konstipasi, dullness).
5. Fungsi perkemihan (retensi urin, ISK).
6. Fungsi kardiovaskuler (nadi, tekanan darah, perfusi ke daerah traksi, akral
dingin).
7. Status nutrisi (anoreksia).
8. Nyeri.
 Diagnosa keperawatan
Diagnose keperawatan yang mungkin muncul :
1. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan dan alat traksi.
2. Nyeri berhubungan dengan traksi dan imobilisasi.
3. Kurang perawatan diri (makan, hygiene, atau toileting) berhubungan dengan
traksi.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan proses penyakit dan traksi.
5. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pertahanan primer tidak
efektif, pembedahan.
 Intervensi keperawatan
1) Dx. Keperawatan : Ansientas berhubungan dengan status kesehatan dan alat traksi.
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 4 x 24 jam, diharapkan klien
menunjukan penurunan ansietas.
Kriteria hasil : klien berpartispasi aktif dalam perawatan, mengekspresikan perasaan dengan
aktif.
Intervensi :
1. Jelaskan prosedur, tujuan, implikasi pemasangan traksi. R/ membantu klien untuk
mengerti mengenai regimen terapi.
2. Diskusikan bersama klien tentang apa yang dikerjakan dan mengapa perlu dilakukan.
R/ membantu klien untuk mengerti mengenai regimen terapi.
3. Lakukan kunjungan yang sering setelah pemasangan traksi. R/ memantau keadaan
klien setelah dilakukan pemasangan traksi.
4. Doronng klien mengekspresikan perasaan dan dengarkan dengan aktif. R/ membantu
mengkaji tingkat ansietas klien.
5. Anjurkan keluarga dan kerabat untuk sering berkunjung. R/ support dan dukungan
akan mengurangi ansietas yang dialami klien.
6. Berikan aktivitas pengalih. R/ mengurangi ansietas klien selama program terapi.
2) Dx. Keperawatan : nyeri berhubungan dengan traksi dan imobilasasi.
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 4 x 24 jam, diharapkan klien
menyebutkan peningkatan kenyamanan.
Kriteria hasil : klien mampu mengubah posisi sendiri sesering mungkin sesuai kemampuan
traksi, klien dapat beristirahat tenang.
Intervensi :
1. Berikan penyangga berupa papan pada tempat tidur dari kasur yang padat. R/
membantu posisi klien lebih nyaman.
2. Gunakan bantalan kasur khusus. R/ meminimalkan terjadi ulkus.
3. Miringkan dan rubah posisi klien dalam batas – batas traksi. R/ membantu dalam
sirkulasi ke area traksi.
4. Bebaskan linen tempat tidur dari lipatan dan kelembaban. R/ membantu mencegah
terjadi nya dekubitus.
5. Observasi setiap keluhan klien. R/ membantu dalam mengidentifikasikan terjadinya
gangguan komplikasi dan rencana perawatan selanjutnya.
3) Dx. Keperawatan : kurang perawatan diri (makan, hygiene, atau toileting)
berhubungan dengan traksi.
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 4 x 24 jam, klien mampu melakukan
perawatan diri.
Kriteria hasil : klien hanya memerlukan sedikit bantuan pada saat makan, mandi, berpakaian,
dan toileting.
Intervensi :
1. Bantu klien memenuhi kebutuhannya sehari – hari, seperti makan, mandi, dan
berpakaian. R/ membantu klien dalam ADL.
2. Dekatkan alat bantu disamping klien. R/ memudahkan klien untuk memenuhi
perawatan dirinya secara mandiri.
3. Tingkatkan rutinitas. R/ memaksimalkan kemandirian klien.
4) Dx. Keperawatan : gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan proses penyakit dan
traksi.
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 4 x 24 jam, diharapkan klien
menunjukkan mobilitas yang meningkat.
Kriteria hasil : klien melakukan latihan yang di anjurkan. Menggunakan alat bantu yang
aman.
Intervensi :
1. Dorong klien untuk melakukan latihan otot dan sendi yang tidak diimobilisasi. R/
mencegah terjadinya kaku otot dan sendi.
2. Anjurkan klien untuk mengerakkan secara aktif semua sendi. R/ mencegah terjadinya
kaku otot dan sendi.
3. Konsultasikan dengan ahli fisioterapi. R/ membantu dalam menentukkan program
terapi selanjutnya.
4. Pertahankan gaya tarikan dan posisi yang benar. R/ menghindari komplikasi akibat
ketidaksejajaran.
5) Dx. Keperawatan : resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pertahanan
primer tidak efektif, pembedahan.
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 4 x 24 jam, diharapkan tidak terjadi
integritas kulit.
Kriteria hasil : tidak ditemukan adanya dekubitus dan nyeri tekan.
Intervensi :
1. Periksa kulit dari adanya tanda tekanan dan lecet. R/ membantu dalam pemberian
intervensi awal untuk mengurangi tekanan.
2. Rubah posisi dengan sering dan memakai alat pelindung kulit (misalnya pelindung
siku). R/ mencegah terjadinya luka tekan dan sangat membantu perubahan posisi.
3. Konsultasikan penggunaan tempat tidur khusus. R/ mencegah kerusakan kulit.
4. Bila sudah ada ulkus akibat tekanan, perawat harus konsultasi dengan dokter atau
ahli terapi enterostomal, mengenai penangananya. R/ membantu dalam intervensi
dan penatalaksanaan lebih lanjut.
C. Pengkajian Dislokasi
1. Pengkajian Dislokasi
a) Pengkajian Primer
 Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan nafas oleh adanya penumpukan secret akibat
kelemahan reflek batuk
 Breathing
Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan nafas, timbulnya pernafasan yang
sulit dan/atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi/aspirasi.
 Circulation
TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut,takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membrane mukosa
pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
b) Pengkajian Sekunder
 Identitas Klien
Identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa, yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,asuransi, golongan darah,
nomor registrasi, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), dan diagnosis
medis. Dengan fokus, meliputi:
a. Umur Pada pasien lansia terjadi pengerasan tendon tulang sehingga
menyebabkan fungsi tubuh bekerja secara kurang normal dandislokasi
cenderung terjadi pada orang dewasa dari pada anak-anak, biasanya
klien jatuh dengan keras dalam keadaan strecth out.
b. Pekerjaan
Pada pasien dislokasi biasanya di akibatkan oleh kecelakaan yang
mengakibatkan trauma atau ruda paksa, biasanya terjadi pada klienyang
mempunyai pekerjaan buruh bangunan. Seperti terjatuh, atau pun
kecelakaan ditempat kerja, kecelakaan industri dan atlitolahraga seperti
pemain basket, sepak bola, dll.
c. Jenis kelamin
Dislokasi lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dari pada perempuan
karena cenderung dari segi aktivitas yang berbeda.
 Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan Keluhan
utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah
nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstermitas, nyeri kesehatan adalah nyeri,
kelemahan dan kelumpuhan ekstermitas, nyeritekan otot, dan deformitas pada
daerah trauma, untuk mendapatkantekan otot, dan deformitas pada daerah trauma,
untuk mendapatkan pengkajian yang lengkap mengenai nyeri klien dapat
dapat menggunakan metode PQRS.
 RIwayat Penyakit Sekarang
Kaji adanya trauma akibat kecelakaan pada lalu lintas, kecelakaan industry, dan
kecelakaan lan, seperti jatuh dari pohon atau bangunan, pengkajian yang di dapat
meliputi nyeri, paralisis extermitras bawah, syok.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit yang ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit, seperti osteoporosis,
dan osteoaritis yang memungkinkan terjadinya kelainan penyakit lainnya seperti
hipertensi, riwayat cedera, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, obat-
obatan tertentu yang sering digunakan klien perlu ditanyakan pada keluarga klien.
 Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamneses yang mengarah pada keluhan klien pemeriksaan
fisik sangat berguna untuk mendukung pengkajian anamnesis sebaiknya
dilakukan persistem B1-B6 dengan focus pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone).
D. Pengkajian Wound Care
1. Pengkajian
Kaji Data klien secara lengkap yang mencakup ; nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
agama, pekerjaan, suku bangsa, status perkawinan, alamat, diagnosa medis, No RM/CM,
tanggal masuk, tanggal kaji, dan ruangan tempat klien dirawat. Data penanggung jawab
mencakup nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, suku bangsa, hubungan dengan
klien dan alamat.
2. Riwayat atau adanya faktor resiko
Menurut smeltzer & Bare (2001) penkajian pada pasien dengan diabetes melitus meliputi
riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik difokuskan pada tanda dan gejala hiperglikemia dan
pada faktor-faktor fisik, emosional, serta sosial yang dapat mempengaruhi kemampuan
pasien untuk memelajar dan melaksanakan berbagai aktivitas perawatan mandiri diabetes.
Pasien dikaji dan diminta menjelaskan gejala yang mendahului diagnosis diabetes, seperti
poliuria, polidipsa, polifagia, kulit kering, penglihatan kabur, penurunan berat badan,
perasaan gatl-gatal pada vagina ulkus yang lama sembuh. Kadar glukosa dara dan untuk
penderita diabetes tipe 1, kadar keton dalam urin harus diukur.
Pada penderita diabetes tipe I dilakukan pengkajian untuk mendeteksi tanda-tanda
ketoasidosis diabetik, yang mencakup pernapasan kusmaul, hipotensi ortostatik, dan
letargi.pasin ditanya tentang gejala ketoasidosis diabetik, seperti mual, muntah dan nyeri
abdomen. Hasil-hasil laboratorium dipantau untuk mengenali tanda-tanda asidosis
metabolik, seperti penurunan nilai pH serta kadar bikarbonat dan untuk mendeteksi tanda-
tanda gangguan keseimbangan elektrolit. Pasien iabetes tipe II dikaji untuk melihat adanya
tanda-tanda sindrom HHNK, mencakup hitensi, gangguan sensori, dn penurunan turgor kulit.
Nila laboratorium dipantau untuk melihat adanya tanda hiperosmolaritas dan
ketidakseimbangan elektrolit
3. Pemeriksaan diagnostik
a. Tes toleransi glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 100mg/dL). Biasanya tes
ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa darah meningkat
dibawah kondisi stres
b. Gula darah puasa (FBS) normal attau diatas normal
c. Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal. Tes ini mengukur persentase
glukosa yang melekat pada hemoglobin. Glukosa tetap melekat pada hemoglobin
selama hidup sel dara merah. Rentang normal adalah 5-6%
d. Urinalisis posirif terhadap glukosa dan keton. Pada respons terhadap defisiensi
intraseluler, proteindan lemak diubah menjadi glukosa (glukoneogenesis) untuk
energi. Selama proses perubahan ini, asam emak bebas dipecah menjadi badan
keton oleh hepar. Ketosis terjadi ditunjukkan oleh ketonuria. Glukosuria
menunjukkan behawa ambang ginjal terhdap reabsorbsi glukosa dicapai. Etonusa
menandakan ketoasidosis.
e. Koleterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan
ketidakadekuatan kontorl glikemik dan peningkatan propensitas pada terjadinya
aterosklerosis

Anda mungkin juga menyukai