Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

FARINGITIS AKUT

BAB I KONSEP DASAR

A. Anatomi Fisiologi

1. Anatomi Faring

Faring merupakan jalan masuk udara dari hidung ke laring maupun

sebagai jalan makanan dari mulut menuju esofagus. Faring terdiri dari

tiga bagian: Nasofaring, orofaring, dan hipofaring.

Nasofaring berada di atas pallatum molle di belakang rongga hidung.

Pada dinding postero lateral terletak ostium tuba eustachius yang

dikelilingi oleh recessus pharyngeus (fossa rosenmuller).

Orofaring terletak di antara pallatum molle dan ujung atas epiglotis.

Isthmus fausium yang menghubungkan orofaring dengan rongga mulut,

terdiri dari palatum molle, arcus anterior, arcus posterior, dan uvula.
Hipofaring merupakan lanjutan ke caudal dari orofaring, makin

menyempit sehingga membentuk muara esofagus di bagian posterior dan

berhubungan dengan pintu laring di anterior.

Jaringan limfoid di daerah faring merupakan kelompok-kelompok

yang membentuk Ring of Waldeyer yang terdiri dari:

a. Tonsila palatina (tonsil) terletak antara arkus anterior dan posterior.

b. Tonsila pharingealis (adenoid) di atap nasofaring.

c. Tonsila lingualis, pada pangkal lidah.

d. Nodul-nodul limfoid yang tersebar di dinding faring.

Pada permukaan bawah lidah terdapat saluran kelenjar

submandibularis (ductus wharton) yang berjalan ke depan untuk

bermuara ke garis tengah.

Laring merupakan pintu masuk ke saluran pernafasan yang

dilengkapi plica vocalis atau pita suara yang dapat bergetas dan bergerak

membuka menutup sehingga menghasilkan suara.

2. Fisiologi Faring

a. Mulut dan faring, mempunyai beberapa fungsi antara lain:

1) Respirasi.

2) Deglutisi (menelan).

Proses menelan terdiri dari 3 stadium. Stadium pertama saat

makanan dari mulut menuju faring dan diikuti penutupan

palatum molle, terangkatnya laring dan menutupnya glotis serta

bergeraknya lidah ke belakang. Stadium kedua terjadi ketika


makanan menuju hipofaring masuk ke pintu esofagus. Stadium

ketiga adalah lewatnya makanan dari esofagus menuju lambung.

3) Proteksi terhadap infeksi. Ring of Waldeyer merupakan

pertahanan pertama terhadap infeksi.

4) Persepsi rasa, hal ini karena tersebarnya reseptor rasa di faring

dan lidah. Peran faring dalam hal ini adalah sebagai penghubung

antara rongga mulut dengan area olfaktoria rongga hidung.

b. Laring, mempunyai beberapa fungsi antara lain:

1) Produksi suara karena adanya plica vocalis.

2) Respirasi, sebagai pintu udara pernafasan.

3) Proteksi dengan adanya mekanisme penutupan glotis maupun

dengan reflek batuk.

4) Deglutisi, dengan mekanisme penutupan epiglotis, terangkatnya

laring dan penutupan glotis (pita suara).

(Sumber: Dwisang, 2014)

B. Definisi

Faringitis akut adalah peradangan akut membrane mukosa faring dan

struktur lain di sekitarnya (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008).

Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau

bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan

hiperemis, demam, pembesaran limfonodi leher, dan malaise (Vincent,

Nadhia, & Aneela, 2008).


Faringitis akut adalah radang akut pada mukosa faring dan jaringan

limfoid pada dinding faring (Rospa & Mulyani, 2011).

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa faringitis

akut adalah suatu peradangan akut yang menyerang tenggorokan atau faring

yang disebabkan oleh virus atau bakteri tertentu yang di tandai dengan nyeri

tenggorokan.

C. Epidemiologi

Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan

karena faringitis akut. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-

5 kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis akut

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Frekuensi munculnya faringitis akut lebih sering pada populasi anak-

anak. Kira-kira 15-30 % kasus faringitis akut pada anak-anak usia sekolah

dan 10 % kasus faringitisa akut pada orang dewasa. Biasanya terjadi pada

musim dingin yaitu akibat dari infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A.

Faringitis akut jarang terjadi pada anak-anak kurang dari tiga tahun (Acerra,

2010).

D. Etiologi

Faringitis akut adalah peradangan dinding faring yang disebabkan oleh

virus (40-60 %), bakteri (5-40 %), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).


Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri:

1. Virus yaitu Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenza, Coxsackievirus,

Epstein-Barr virus, Herpes virus.

2. Bakteri yaitu, Streptococcus ß hemolyticus group A, Chlamydia,

Corynebacterium diphtheriae, Hemophilus influenzae, Neisseria

gonorrhoeae.

3. Jamur yaitu Candida jarang terjadi kecuali pada penderita

imunokompromis yaitu mereka dengan HIV dan AIDS, iritasi makanan

yang merangsang sering merupakan faktor pencetus atau yang

memperberat.

E. Manifestasi Klinis

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008), faringitis streptokokus sangat

mungkin jika di jumpai tanda dan gejala sebagai berikit:

1. Awitan akut, disertai mual dan muntah.

2. Faring hiperemis.

3. Demam.

4. Nyeri tenggorokan.

5. Tonsil bengkak dengan eksudasi.

6. Kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri.

7. Uvula bengkak dan merah.

8. Ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder.

9. Ruam skarlantina.

10. Petekie palatum mole.


Menurut Wong (2009), manifestasi klinis dari faringitis akut, yaitu:

1. Demam (mencapai 40 °c).

2. Sakit kepala.

3. Anorekia.

4. Disfagia.

5. Mual, muntah.

6. Faring edema atau bengkak.

F. Patofisiologi

Menurut Mansjoer (2008) patofisiologi dari faringitis akut adalah

penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel

kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi

terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.

Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian oedem dan sekresi yang

meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan cenderung

menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi,

pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang

berwarna kuning, putih, atau abu-abu terdapat folikel atau jaringan limfoid.

Tampak bahwa folikel dan bercak-bercak pada dinding faring posterior atau

terletak lebih ke lateral menjadi meradang dan membengkak sehingga timbul

radang pada tenggorokan atau faringitis.

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) patofisiologi dari

faringitis akut adalah bakteri maupun virus dapat secara langsung menginfasi

mukosa faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal.


Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal.

Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring uvula, dan palatum mole.

Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring

yang menyebabkan peradangan local, sehingga menyebabkan eritema faring,

tonsil, atau keduanya. Infeksi streptokokus ditandai dengan invasi local serta

penglepasan toksin ekstraseluler dan protease. Transmisi dari virus yang

khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan sekret

hidung di bandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa

inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam.

G. Pathway

FARINGITIS AKUT

Inflamasi

Demam Edema mukosa Mukosa kemerahan Batuk

Penguapan Nafsu makan Kesulitan menelan Sputum


turun

Risiko Nyeri akut Ketidakefektifan


defisien Ketidakseimbangan bersihan jalan
volume nutrisi: Kurang dari nafas
cairan kebutuhan tubuh

Defisien pengetahuan

(Sumber: Mansjoer, 2008 & Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008)


H. Klasifikasi

1. Faringitis Akut

a. Faringitis viral

Dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus, Epstein Barr

Virus (EBV), virus influenza, Coxsachievirus, Cytomegalovirus dan

lain-lain. Gejala dan tanda biasanya terdapat demam disertai rinorea,

mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak

faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, Coxsachievirus dan

Cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat

menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa

maculopapular rash. Pada adenovirus juga menimbulkan gejala

konjungtivitis terutama pada anak. Epstein bar virus menyebabkan

faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak.

Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama

retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan

HIV menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual,

dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat

eksudat, limfadenopati akut di leher, dan pasien tampak lemah.

b. Faringitis bakterial

Infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A merupakan

penyebab faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak

(30%). Gejala dan tanda biasanya penderita mengeluhkan nyeri

kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan

suhu yang tinggi, jarang disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak


tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat

dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae

pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar,

kenyal dan nyeri apabila ada penekanan. Faringitis akibat infeksi

bakteri Streptococcus ß hemolyticus group A dapat diperkirakan

dengan menggunakan centor criteria, yaitu:

1) Demam.

2) Anterior Cervical lymphadenopathy.

3) Eksudat tonsil.

4) Tidak adanya batuk.

Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor 0-1

maka pasien tidak mengalami faringitis akibat infeksi Streptococcus

ß hemolyticus group A, bila skor 1-3 maka pasien memiliki

kemungkian 40 % terinfeksi Streptococcus ß hemolyticus group A

dan bila skor empat pasien memiliki kemungkinan 50 % terinfeksi

Streptococcus ß hemolyticus group A.

c. Faringitis fungal

Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.

Gejala dan tanda biasanya terdapat keluhan nyeri tenggorok dan

nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan

mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan

dalam agar sabouroud dextrosa.

d. Faringitis gonorea

Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.


2. Faringitis Kronik

a. Faringitis kronik hiperplastik

Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa

dinding posterior faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa

faring dan lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa

dinding posterior tidak rata, bergranular. Gejala dan tanda biasanya

pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering dan gatal dan

akhirnya batuk yang berdahak.

b. Faringitis kronik atrofi

Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis

atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta

kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi

pada faring. Gejala dan tanda biasanya pasien mengeluhkan

tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan

tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila

diangkat tampak mukosa kering.

3. Faringitis Spesifik

a. Faringitis tuberkulosis

Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada infeksi

kuman tahan asamjenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring

primer. Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang

mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi

endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberkulosis miliaris.


Bila infeksi timbul secara hematogen maka tonsil dapat terkena pada

kedua sisi dan lesi sering ditemukan pada dinding posterior faring,

arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole dan

palatum durum. Kelenjar regional leher membengkak, saat ini

penyebaraan secara limfogen. Gejala dan tandabiasanya pasien

dalam keadaan umum yang buruk karena anoreksi dan odinofagia.

Pasien mengeluh nyeri yang hebat di tenggorok, nyeri di telinga atau

otalgia serta pembesaran kelenjar limfa servikal.

b. Faringitis luetik

Treponema pallidum (Syphilis) dapat menimbulkan infeksi di

daerah faring, seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambaran

klinik tergantung stadium penyakitnya. Kelainan stadium primer

terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding posterior faring

berbentuk bercak keputihan. Apabila infeksi terus berlangsung akan

timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu

tidak nyeri dan didapatkan pula pembesaran kelenjar mandibula

yang tidak nyeri tekan. Kelainan stadium sekunder jarang

ditemukan, namun dapat terjadi eritema pada dinding faring yang

menjalar ke arah laring. Kelainan stadium tersier terdapat pada tonsil

dan palatum, jarang ditemukan pada dinding posterior faring. Pada

stadium tersier biasanya terdapat guma, guma pada dinding posterior

faring dapat meluas ke vertebra servikal dan apabila pecah akan

menyebabkan kematian. Guma yang terdapat di palatum mole,

apabila sembuh akan membentuk jaringan parut yang dapat


menimbulkan gangguan fungsi palatum secara permanen. Diagnosis

dilakukan dengan pemeriksaan serologik, terapi penisilin dengan

dosis tinggi merupakan pilihan utama untuk menyembuhkannya

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

I. Komplikasi

Komplikasi umum pada faringitis akut adalah sinusitis, otitis media,

epiglottitis, mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan oleh

infeksi Streptococcus jika tidak segera diobati dapat menyebabkan

peritonsillar abses, demam reumatik akut, toxic shock syndrome, peritonsillar

sellulitis, abses retrofaringeal dan obstruksi saluran pernasafan akibat dari

pembengkakan laring. Demam reumatik akut dilaporkan terjadi pada satu dari

400 infeksi GABHS yang tidak diobati dengan baik (Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia, 2013).

J. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik

Faringitis akut didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan (kultur

apus tenggorokan). Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90-95% dari

diagnosis, sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis akut

yang diandalkan.

Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk

menegaskan suatu diagnosis dari faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri

Group A Beta-Hemolytic Streptococcus (GABHS). Group A Beta-Hemolytic

Streptococcus (GABHS) rapid antigen detection test merupakan suatu metode


untuk mendiagnosa faringitis karena infeksi GABHS. Tes ini akan menjadi

indikasi jika pasien memiliki risiko sedang atau jika seorang dokter

memberikan terapi antibiotik dengan risiko tinggi untuk pasien. Jika hasil

yang diperoleh positif maka pengobatan diberikan antibiotik dengan tepat

namun apabila hasilnya negatif maka pengobatan antibiotik dihentikan

kemudian dilakukan follow-up. Rapid antigen detection test tidak sensitif

terhadap Streptococcus Group C dan G atau jenis bakteri patogen lainnya.

Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus tenggorokan

dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen

diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar

untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas

mencapai 90-99 %. Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang

lebih dari sepuluh hari (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

K. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan komprehensif penyakit faringitis akut, yaitu:

1. Istirahat cukup.

2. Minum air putih yang cukup.

3. Berkumur dengan air yang hangat.

4. Pemberian farmakoterapi:

a. Topikal

Obat kumur antiseptik:

1) Menjaga kebersihan mulut.


2) Pada faringitis fungal diberikan nystatin 100.000-400.000 2

kali/hari.

3) Faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan

kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argentin

25%.

b. Oral sistemik

1) Anti virus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi

virus dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali

pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak kurang dari

lima tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali

pemberian/hari.

2) Faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya

Streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu penicillin G

benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50

mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama sepuluh hari dan pada

dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4 x 500

mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena

steroid telah menunjukkan perbaikan klinis karena dapat

menekan reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa

deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama tiga hari dan pada

anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi tiga kali pemberian selama

tiga hari.

3) Faringitis gonorea, sefalosporin generasi ke-tiga, Ceftriakson 2

gr IV/IM single dose.


4) Pada faringitis kronik hiperplastik, jika diperlukan dapat

diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit hidung

dan sinus paranasal harus diobati.

5) Faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi.

6) Untuk kasus faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik

sekali sehari selama 3-5 hari (Wong, 2009).


BAB II KONSEP TUMBUH KEMBANG & HOSPITALISASI

A. Konsep Pertumbuhan Usia

1. Pengertian Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh

dalam arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multiflikasi sel-sel

tubuh dan juga karena bertambah besarnya sel yang berarti ada

pertambahan secara kuantitatif seperti bertambahnya ukuran berat badan,

tinggi badan, dan lingkar kepala (IDAI, 2008).

Secara umum, pertumbuhan fisik dimulai dari arah kepala ke kaki.

Kematangan pertumbuhan tubuh pada bagian kepala berlangsung lebih

dahulu, kemudian secara berangsur-angsur diikuti oleh tubuh bagian

bawah. Pada masa fetal pertumbuhan kepala lebih cepat dibandingkan

dengan masa setelah lahir, yaitu merupakan 50 % dari total panjang

badan. Selanjutnya, pertumbuhan bagian bawah akan bertambah secara

teratur.

Ada beberapa ahli yang mengemukakan tentang teori-teori

pertumbuhan dan perkembangan anak.

a Kartini Kartono membagi masa perkembangan dan pertumbuhan

anak menjadi 5, yaitu:

1) 0 - 2 tahun adalah masa bayi.

2) 1 - 5 tahun adalah masa kanak-kanak.

3) 6 - 12 tahun adalah masa anak-anak sekolah dasar.

4) 12 - 14 adalah masa remaja.

5) 14 - 17 tahun adalah masa pubertas awal.


b Aristoteles membagi masa perkembangan dan pertumbuhan anak

menjadi 3, yaitu:

1) 0 - 7 tahun adalah tahap masa anak kecil.

2) 7 - 14 tahun adalah masa anak-anak, masa belajar, atau masa

sekolah rendah.

3) 14 - 21 tahun adalah masa remaja atau pubertas, masa peralihan

dari anak menjadi dewasa.

2. Ciri-Ciri Pertumbuhan

Hidayat (2008), menyatakan bahwa seseorang dikatakan mengalami

pertumbuhan bila terjadi perubahan ukuran dalam hal bertambahnya

ukuran fisik, seperti berat badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar

kepala, lingkar lengan, lingkar dada, perubahan proporsi yang terlihat

pada proporsi fisik atau organ manusia yang muncul mulai dari masa

konsepsi sampai dewasa, terdapat ciri baru yang secara perlahan

mengikuti proses kematangan seperti adanya rambut pada daerah aksila,

pubis atau dada, hilangnya ciri-ciri lama yang ada selama masa

pertumbuhan seperti hilangnya kelenjar timus, lepasnya gigi susu, atau

hilangnya refleks tertentu.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Supariasa (2011), menyatakan pertumbuhan dipengaruhi oleh dua

faktor utama yaitu:


a. Faktor internal (genetik)

Faktor internal (genetik) antara lain termasuk berbagai faktor

bawaan yang normal dan patologis, jenis kelamin, obstetric, dan ras

atau suku bangsa. Apabila potensi genetik ini dapat berinteraksi

dengan baik dalam lingkungan maka pertumbuhan optimal akan

tercapai.

b. Faktor eksternal

Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan antara

lain keluarga, kelompok teman sebaya, pengalaman hidup, kesehatan

lingkungan, kesehatan prenatal, nutrisi, istirahat, tidur, dan olah raga,

status kesehatan, serta lingkungan tempat tinggal.

B. Konsep Perkembangan Usia

1. Pengertian Perkembangan

Desmita (2009), mendefinisikan perkembangan tidak terbatas pada

pengertian perubahan secara fisik, melainkan di dalamnya juga

terkandung serangkaian perubahan secara terus menerus dari fungsi-

fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju tahap

kematangan, melalui pertumbuhan, dan belajar.

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur fungsi

tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan,

dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh,

organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi. Dengan demikian, aspek

perkembangan ini bersifat kualitatif, yaitu pertambahan kematangan


fungsi dari masing-masing bagian tubuh. Hal ini diawali dengan

berfungsinya jantung untuk memompakan darah, kemampuan untuk

bernafas, sampai kemampuan anak untuk tengkurap, duduk, berjalan,

memungut benda-benda di sekelilingnya serta kematangan emosi dan

sosial anak.

2. Prinsip Perkembangan

Ada beberapa prinsip dalam perkembangan, yaitu:

a. Perkembangan merupakan suatu kesatuan

Perkembangan diidentifikasi dalam beberapa aspek. Semua

aspek saling berkaitan. Misalnya, anak belajar membaca berkaitan

dengan kesiapan aspek kognitif (berpikir).

b. Perkembangan dapat diprediksi

Anak sudah dapat berdiri dapat diperkirakan ia akan segera

berjalan. Dari sisi umur pun dapat diperkirakan perkembangan anak.

Anak usia satu tahun diperkirakan sudah dapat berkomunikasi

menggunakan satu kata. Misalnya, ’mam’ untuk menyatakan mau

makan.

c. Rentang perkembangan anak bervariasi

Ada anak usia 12 bulan sudah dapat berjalan tapi anak yang

lainnya baru bisa berjalan setelah berusia 18 bulan.

d. Perkembangan dipengaruhi oleh kematangan (maturation) dan

pengalaman (experience)
Kematangan (maturation) merupakan proses alami. Kapan masa

kematangan untuk satu kemampuan muncul ditentukan oleh diri

anak sendiri. Faktor gizi dan kesehatan turut menentukan terjadi

proses kematangan. Faktor kematangan untuk setiap aspek

kemampuan bervariasi. Tetapi, guru atau pendidik perlu mengetahui

kapan kira-kira kematangan untuk setiap kemampuan muncul. Hal

itu penting karena sangat erat dengan kesiapan belajar. Oleh

Montessori dikenal dengan masa ’siap’. Anak yang belajar

kemampuan di saat masa matang itu muncul akan memudahkan

anak melakukan dan membentuk kemampuanya. Anak yang kondisi

fisiknya (kaki) belum matang atau belum siap berdiri tidak akan bisa

berdiri walau sering dilatih. Bahkan, kalau dilatih terus bisa merusak

kaki. Kaki anak bisa menjadi bengkok (bentuk X atau O). Pada saat

anak siap anak perlu dilatih sehingga anak memperoleh pengalaman.

Pengalaman ini akan menentukan kemampuan itu terbentuk

e. Proses perkembangan terjadi dari atas ke bawah (cepalocaudal) dan

dari dalam ke luar (proximodistal)

Capaian perkembangan sebagai suatu urutan yang saling

berangkai dan merupakan tangga hirarki. Untuk telungkup, duduk,

berdiri, dan kemudian berjalan. Itu merupakan satu rangkaian

perkembangan. Hal tersebut yang menjadikan perkembangan dapat

diprediksi.
f. Perkembangan dipengaruhi aspek budaya

Anak yang hidup di sekitar orang yang biasa berbicara dengan

suara tinggi, kuat dan keras akan membuat anak juga memiliki cara

bicara yang seperti itu juga. Misal, orang Batak Toba memiliki

kebiasaan berbicara dengan suara tinggi dan cepat. Kebiasaan ini

juga akan muncul dalam perilaku anak berbicara. Bila berbicara

dengan temannya anak cenderung berbicara dengan suara tinggi,

kuat dan keras juga (Wong, 2009).

3. Tahap-Tahap Perkembangan

Perkembangan manusia berjalan secara bertahap melalui berbagai

fase perkembangan. Dalam setiap fase perkembangan ditandai dengan

bentuk kehidupan tertentu yang berbeda dengan fase sebelumnya.

Sekalipun perkembangan itu dibagi-bagi ke dalam masa-masa

perkembangan, hal ini dapat dipahami dalam hubungan keseluruhannya.

Secara garis besar seorang anak mengalami tiga tahap perkembangan

penting, yaitu kemampuan motorik, perkembangan fisik dan

perkembangan mental. Kemampuan motorik melibatkan keahlian

motorik kasar, seperti menunjang berat tubuh di atas kaki, dan keahlian

motorik halus seperti gerakan halus yang dilakukan oleh tangan dan jari.

Pertumbuhan dan perkembangan fisik mengacu pada perkembangan alat-

atal indra. Perkembangan mental menyangkut pembelajaran bahasa,

ingatan, kesadaran umum, dan perkembagan kecerdasan.


a. Anak usia 0-7 tahun

Pada tahun pertama perkembangannya bayi masih sangat

tergantung pada lingkungannya, kemampuan yang dimiliki masih

terbatas pada gerak-gerak, menangis. Usia setahun secara berangsur

dapat mengucapkan kalimat satu kata, 300 kata dalam usia 2 tahun,

sekitar usia 4-5 tahun dapat menguasai bahasa ibu serta memiliki

sifat egosentris, dan usia 5 tahun baru tumbuh rasa sosialnya

kemudian usia 7 tahun anak mulai tumbuh dorongan untuk belajar.

Dalam membentuk diri anak pada usia ini belajar sambil bermain

karena dinilai sejalan dengan tingakt perkembangan usia ini.

b. Anak usia 7-14 tahun

Pada tahap ini perkembangan yang tampak adalah pada

perkembangan intelektual, perasaan, bahasa, minat, sosial, dan

lainnya sehingga rasullullah menyatakan bahwa bimbingan dititik

beratkan pada pembentukan disiplin dan moral.

c. Anak usia 14-21 tahun

Pada usia ini anak mulai menginjak usia remaja yang memiliki

rentang masa dari usia 14/15 tahun hingga usia 21/22 tahun. Pada

usia ini anak berada pada masa transisi sehingga menyebabkan anak

menjadi bengal, perkataan-perkataan kasar menjadi perkataan harian

sehingga dengan sikap emosional ini mendorong anak untuk

bersikap keras dan mereka dihadapkan pada masa krisis kedua yaitu

masa pancaroba yaitu masa peralihan dari kanak-kanak ke masa


pubertas. Dalam kaitannya dengan kehidupan beragama, gejolak

batin seperti itu akan menimbulkan konflik (Wong. 2009).

C. Konsep Hospitalisasi Usia

1. Pengertian

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit

dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha

untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit,

sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap

anak maupun orang tua dan keluarga (Wong, 2009).

Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau

darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk

menjalani terapi dan perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah

sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan, cemas,

bagi anak (Supartini, 2008).

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana maupun darurat

yang mengharuskan anak dirawat atau tinggal di rumah sakit untuk

mendapatkan perawatan yang dapat menyebabkan beberapa perubahan

psikis pada anak.

2. Dampak Hospitalisasi

Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan dan stres

pada semua tingkat usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh


banyaknya faktor, baik faktor dari petugas (perawat, dokter, dan tenaga

kesehatan lainnya), lingkungan baru, maupun lingkungan keluarga yang

mendampingi selama perawatan. Keluarga sering merasa cemas dengan

perkembangan keadaan anaknya, pengobatan, dan biaya perawatan.

Meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung terhadap anak, secara

fisiklogis anak akan merasakan perubahan perilaku dari orang tua yang

mendampingi selama perawatan. Anak menjadi semakin stres dan hal ini

berpengaruh pada proses penyembuhan, yaitu menurunnya respon imun.

Pasien anak akan merasa nyaman selama perawatan dengan adanya

dukungan sosial keluarga, lingkungan perawatan yang terapeutik, dan

sikap perawat yang penuh dengan perhatian akan mempercepat proses

penyembuhan. Fakta tersebut merupakan masalah penting yang harus

mendapatkan perhatian perawat dalam pengelolah asuhan keperawatan

(Supartini, 2008).

3. Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi

Seperti telah dikemukakan di atas, anak akan menunjukkan berbagai

perilaku sebagai reaksi terhadap pengalaman hospitalisasi. Reksi tersebut

bersifat individual, dan sangat bergantung pada tahapan usia

perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem

pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimilikinya.

Pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena

perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Berikut ini


reaksi anak terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit sesuai dengan

tahapan perkembangan usia anak yaitu:

a. Masa bayi (0 sampai 1 tahun)

Masalah yang utama terjadi adalah karena dampak dari

perpisahan dengan orang tua sehingga ada gangguan pembentukan

rasa percaya dan kasih sayang. Pada anak usia lebih dari enam bulan

terjadi stranger anxiety atau cemas apabila berhadapan dengan orang

yang tidak dikenalnya dan cemas karena perpisahan. Reaksi yang

sering muncul pada anak usia ini adalah menangis, marah, dan

banyak melakukan gerakan sebagai sikap stranger anxiety. Bila

ditinggalkan ibunya, bayi akan merasakan cemas karena perpisahan

dan perilaku yang ditunjukkan adalah dengan menangis keras.

Respons terhadap nyeri atau adanya perlukaan biasanya menangis

keras, pergerakan tubuh yang banyak, dan ekspresi wajah yang tidak

menyenangkan.

b. Masa todler (2 sampai 3 tahun)

Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan

sumber stresnya. Sumber stres yang utama adalah cemas akibat

perpisahan. Respons perilaku anak sesuai dengan tahapannya,yaitu

tahap protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap

protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit

memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang

lain. Pada tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah

menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat


untuk bermain dan makan, sedih, dan apatis. Pada tahap

pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar mulai

menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak

mulai terlihat menyukai lingkungannya. Oleh karena adanya

pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan kehilangan

kemampuannya untuk mengontrol diri dan anak menjadi tergantung

pada lingkungannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur pada

kemampuan sebelumnya atau regresi. Walaupun demikian, anak

dapat menunjukkan lokasi rasa nyeri dan mengomunikasikan rasa

nyerinya.

c. Masa sekolah (6 sampai 12 tahun)

Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah

dengan lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama

kelompok sosialnya dan menimbulkan kecemasan. Kehilangan

control juga terjadi akibat dirawat di rumah sakit karena adanya

pembatasan aktivitas. Kehilangan control tersebut berdampak pada

perubahan peran dalam keluarga, anak kehilangan kelompok

sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan bermain atau

pergaulan sosial, perasaan takut mati, dan adanya kelemahan fisik.

Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan ditunjukkan dengan

ekspresi baik secara verbal maupun nonverbal karena anak sudah

mampu mengomunikasikannya. Anak usia sekolah sudah mampu

mengontrol perilakunya jika merasa nyeri, yaitu dengan menggigit

bibir dan/atau menggigit dan memegang sesuatu dengan erat.


d. Masa remaja (12 sampai 18 tahun)

Anak usia remaja mempersepsikan perawatan di rumah sakit

menyebabkan timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah

dengan teman sebayanya. Apabila harus dirawat di rumah sakit, anak

akan merasa kehilangan dan timbul perasaan cemas karena

perpisahan tersebut. Pembatasan aktivitas di rumah sakit membuat

anak kehilangan kontrol terhadap dirinya dan menjadi bergantung

pada keluarga atau petugas kesehatan di rumah sakit. Reaksi yang

sering muncul terhadap pembatasan aktivitias ini adalah dengan

menolak perawatan atau tindakan yang dilakukan padanya atau anak

tidak mau kooperatif dengan petugas kesehatan atau menarik diri

dari keluarga, sesama pasien, dan petugas kesehatan (isolasi).

Perasaan sakit karena perlukaan atau pembedahan menimbulkan

respons anak bertanya-tanya, menarik diri dari lingkungan, dan/atau

menolak kehadiran orang lain (Supartini, 2008).

4. Pencegahan Dampak Hospitalisasi

a Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga

Dampak perpisahan dari keluarga, anak mengalami gangguan

psikologis seperti kecemasan, ketakutan, kurangnya kasih sayang,

gangguan ini akan menghambat proses penyembuhan anak dan dapat

mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.

b Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan

pada anak
Melalui peningkatan kontrol orang tua pada diri anak

diharapkan anak mampu mandiri dalam kehidupannya. Anak akan

selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas sehari-hari, selalu

bersikap waspada dalam segala hal. Serta pendidikan terhadap

kemampuan dan keterampilan orang tua dalam mengawasi

perawatan anak.

c Mencegah atau mengurangi cedera (injury) dan nyeri (dampak

psikologis)

Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan

dalam keperawatan anak. Proses pengurangan rasa nyeri sering tidak

bisa dihilangkan secara cepat akan tetapi dapat dikurangi melalui

berbagai teknik misalnya distraksi, relaksasi, imaginary.

d Tidak melakukan kekerasan pada anak

Kekerasan pada anak akan menimbulkan gangguan psikologis

yang sangat berarti dalam kehidupan anak. Apabila ini terjadi pada

saat anak dalam proses tumbuh kembang maka kemungkinan

pencapaian kematangan akan terhambat, dengan demikian tindakan

kekerasan pada anak sangat tidak dianjurkan karena akan

memperberat kondisi anak.

e Modifikasi lingkungan fisik

Melalui modifikasi lingkungan fisik yang bernuansa anak dapat

meningkatkan keceriaan, perasaan aman, dan nyaman bagi

lingkungan anak sehingga anak selalu berkembang dan merasa

nyaman di lingkungannya (Supartini, 2008).


BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Pengkajian

1. Identitas

a. Identitas pasien

Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,

alamat, status pernikahan.

b. Penanggung jawab pasien

Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,

alamat, status pernikahan, hubungan dengan pasien.

2. Riwayat Kesehatan

a. Alasan utama masuk rumah sakit dan perjalanan penyakit saat ini

1) Keluhan utama saat masuk rumah sakit

Keluhan utama pasien saat masuk rumah sakit yaitu dari

kapan pasien sudah merasakan sakit yang dialami.

2) Keluhan utama saat pengkajian

Keluhan utama merupakan keluhan yang paling utama,

hanya ada satu keluhan yang paling menganggu pasien atau

mengancam nyawa pasien, seperti pasien mengeluh nyeri pada

tenggorokan.

a) Provoking incident: Apakah ada peristiwa yang menjadi

faktor presipitasi nyeri.


b) Quality of pain: Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau

digambarkan pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,

atau menusuk.

c) Region: Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit

menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

d) Severity (Scale) of Pain: Seberapa jauh rasa nyeri yang

dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala nyeri atau pasien

menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi

kemampuan fungsinya.

e) Time: Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah

bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

b. Riwayat kesehatan sekarang

Penyakit yang dirasakan oleh pasien pada saat pasien datang ke

rumah sakit.

c. Riwayat kesehatan dahulu

Riwayat penyakit dahulu yang pernah diderita oleh pasien.

Misalnya, adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit

jantung, anemia, dan lain-lain. Pada pasien faringitis akut ditanyakan

juga apakah pernahkah sebelumnya mengidap penyakit seperti ini.

d. Riwayat alergi

Apakah pasien memiliki riwayat alergi seperti, alergi obat-

obatan, makanan, dan minuman.


e. Riwayat penyakit keluarga

Apakah keluarga pasien ada yang menderita penyakit yang sama

seperti yang dialami pasien.

f. Genogram

Adanya genogram untuk mengetahui garis keturunan dari

pasien, agar mengetahui informasi bilamana ada penyakit keturunan

pada keluarga pasien.

3. Pola Fungsi Kesehatan

a. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan

Pola ini menjelaskan bagaimana pasien mengatasi penyakitnya,

cara pasien memandang penyakitnya, dan pemeliharaan

kesehatannya.

b. Nutrisi dan metabolik

Pola ini menjelaskan bagaimana makan dan minum pasien,

meliputi frekuensi, jenis makanan dan minuman pasien serta

gangguan yang terjadi pada pemenuhan nutrisi pasien seperti mual

dan muntah. Pada penderita faringitis akut biasanya nafsu makan

berkurang karena nyeri pada saat menelan makanan.

c. Aktivitas dan latihan

Pola ini menjelaskan tentang sejauh mana kemandirian pasien

dalam melakukan aktivitas sehari-hari.


d. Tidur dan istirahat

Pola ini menjelaskan tentang pola istirahat dan tidur pasien,

jumlah jam tidur pada siang dan malam, masalah selama tidur,

insomnia atau mimpi buruk. Biasanya pasien faringitis akut tidur

merasa tidak nyaman karena nyeri.

e. Eliminasi

Pola ini menjelaskan bagaimanan pola eliminasi pasien,

intensitas, konsentrasi, warna, dan bau dari BAK dan BAB pasien.

f. Pola persepsi diri (konsep diri)

Pola ini menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi

tentang kemampuan meliputi citra diri, identitas diri, peran diri, ideal

diri, dan harga diri.

g. Peran dan hubungan sosial

Pola ini menggambarkan dan mengetahui peran dan hubungan

sosial pasien terhadap anggota keluarga dan masyarakat di sekitar

tempat tinggal pasien.

h. Seksual dan reproduksi

Pola ini menjelaskan tentang bagaimana keadaan seksual dan

sistem reproduksi pasien.

i. Manajemen koping

Pola ini menggambarkan kemampuan pasien untuk menangani

stress dan bagaimana cara pasien menghadapi dan menyelesaikan

masalah yang dihadapi.


j. Kognitif perseptual

Pola ini menjelaskan tentang persepsi sensori dan kognitif

pasien. Pola persepsi sensori meliputi pengkajian fungsi penglihatan,

pendengaran, perasaan, pembau, dan kompensasinya terhadap tubuh.

Sedangkan kognitif meliputi daya ingat pasien, orientasi terhadap

waktu, tempat, dan nama orang. Biasanya pada penderita.

k. Nilai dan kepercayaan

Pola ini menjelaskan tentang bagaimana cara pasien melakukan

ibadah.

4. Pemeriksaan Fisik

a. Vital sign

Tergantung pada keadaan pasien.

b. Kesadaran

Composmentis.

c. Pemeriksaan fisik head to toe

1) Kepala

Tidak ada gangguan yaitu, bentuk mesochepal, tidak ada

penonjolan, tidak ada nyeri kepala.

2) Mata

Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena

tidak terjadi perdarahan).

3) Hidung

Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.


4) Telinga

Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada

lesi atau nyeri tekan.

5) Mulut

Ada pembesaran tonsil, mukosa mulut kering.

6) Leher

Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek

menelan ada.

7) Thorax

Tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

a) Jantung

I: Tidak tampak iktus jantung.

P: Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

P: Terdengar suara redup jantung.

A: Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur.

b) Paru-paru

I: Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung

pada riwayat penyakit pasien yang berhubungan dengan

paru.

P: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

P: Suara ketok sonor, tidak ada rerdup atau suara tambahan

lainnya.

A: Suara nafas normal, tidak ada wheezing, atau suara

tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.


8) Abdomen

I: Bentuk simetris.

A: Peristaltik usus biasanya dalam batas normal.

P: Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

P: Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.

9) Genetalia

Tidak ada gangguan.

(Sumber: Wong, 2009)

B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis.

2. Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakseimbangan mengabsorpsi nutrien.

3. Risiko defisen volume cairan.

4. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus

berlebih.

5. Defisien pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.

(Sumber: Herdman, T. Heather, 2018)


C. Intervensi
D. Evaluasi

1. Nyeri akut b/d agens cedera biologis.

a. NOC Label: Kontrol Nyeri.

1) Mengenali kapan terjadi nyeri (5) secara konsisten

menunjukkan.

2) Menggambarkan faktor penyebab (5) secara konsisten

menunjukkan.

3) Menggunakan tindakan pengurangan [nyeri] tanpa analgesik (5)

secara konsisten menunjukkan.

4) Menggunakan analgetik yang di rekomendasikan (5) secara

konsisten menunjukkan.

5) Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada profesional

kesehatan (5) secara konsisten menunjukkan.

6) Melaporkan nyeri yang terkontrol (5) secara konsisten

menunjukkan.

b. NOC Label: Tingkat Nyeri.

1) Nyeri yang dilaporkan (5) tidak ada.

2) Mengerang dan menangis (5) tidak ada.

3) Ekspresi nyeri wajah (5) tidak ada.

4) Tidak bisa beristirahat (5) tidak ada.

5) Frekuensi nafas (5) tidak ada.

6) Tekanan darah (5) tidak ada.


2. Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh b/d

ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien.

a. NOC Label: Status Nutrisi.

1) Asupan gizi (5) tidak menyimpang dari rentang normal.

2) Asupan makanan (5) tidak menyimpang dari rentang normal.

3) Asupan cairan (5) tidak menyimpang dari rentang normal.

4) Energi (5) tidak menyimpang dari rentang normal.

5) Rasio berat badan/tinggi badan (5) tidak menyimpang dari

rentang normal.

b. NOC Label: Status Nutrisi: Asupan Nutrisi.

1) Asupan kalori (5) sepenuhnya adekuat.

2) Asupan protein (5) sepenuhnya adekuat.

3) Asupan lemak (5) sepenuhnya adekuat.

4) Asupan karbohidrat (5) sepenuhnya adekuat.

5) Asupan serat (5) sepenuhnya adekuat.

6) Asupan vitamin (5) sepenuhnya adekuat.

c. NOC Label: Nafsu Makan.

1) Hasrat/keinginan untuk makan (5) tidak terganggu.

2) Menyenangi makanan (5) tidak terganggu.

3) Merasakan (5) tidak terganggu.

4) Energi untuk makan (5) tidak terganggu.

5) Intake nutrisi (5) tidak terganggu.

6) Rangsangan untuk makan (5) tidak terganggu.


DAFTAR PUSTAKA

Acerra, J. R. (2010). Pharyngitis. North Shore: Departement of Emergency

Medicine. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764304-

overview. [Accessed:12 November 2018].

Bulechek, Gloria. M., et al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC).

Sixth Edition. United States of America: Elsevier.

Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakary.

Dwisang, E. L. (2014). Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat dan Paramedis.

Tanggerang Selatan: BINARUPA AKSARA.

Herdman, T. Heather. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan

Klasifikasi 2018-2020. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Hidayat, A. A. A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Salemba

Medika.

IDAI. (2008). Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: Sagung Seto.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2008). Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta:

EGC.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, (2013). Buku Panduan Praktik Klinis

Bagi Dokter Pelayanan Primer. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia

Mansjoer, A. (2008). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Moorhead, Sue., et al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). Fifth

Edition. United States of America: Elsevier.


Rospa, H., & Mulyani, S. (2011). Tenggorokan Atas (Faring dan Tonsil). Dalam:

Asuhan Keperawatan Gangguan THT. Jakarta: TIM, 2011.

Supariasa. (2011). Penilaian Status Gizi. Jakarta: Kedokteran EGC.

Supartini. (2008). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.

Vincent, M. T. M. D., Nadhia, C. M. D., & Aneela, N. H. M. D. (2008).

Pharyngitis. A Peer-Reviewed Journal of the American Academy of Family

Physician. New York: State University of New Your-Down State Medical

Center, Brooklyn. Available from:

http://www.aafp.org/afp/2008/0315/p1465.html. [Accessed: 12 November

2018].

Wong, D. L. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai