TETANUS
A. Definisi Tetanus
Tetanus merupakan penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh
eksotoksin(tetanospasmin) bakteri Clostridium tetani. Bakteri gram positif ini
berbentuk batang anaerob, sporanya dapat bertahan di tanah dan menginfeksi
luka yang terkontaminasi. C. tetani dapat menghasilkan dua jenis eksotoksin,
yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Efek tetanolisin masih belum diketahui
pasti. Tetanospasmin merupakan neurotoksin penyebab manifestasi klinis
infeksi tetanus (Surya, 2016).
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh C. tetani ditandai dengan kekakuan otot dan spasme
yang periodik dan berat. Tetanus dapat didefinisikan sebagai keadaan
hipertonia akut atau kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada
rahang bawah dan leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain,
serta terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan sebelumnya (Rahmanto,
2017).
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman
Clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara
proksimal dan diikuti kekakuan seluruh bada. Kekakuan tonus otot ini
selalu nampak pada otot masester dan otot rangka (Vanessa, 2007 dalam S.
Nur, 2016 ).
Tetnus adalah suatu penyakit infeksius yang disebabkan oleh adanya
kontaminasi luka dari toksin yang dihasilkan oleh bakteri yang bernama
Clostridium tetani, yaitu bakteri yang hidup bertahun-tahun di tanah dalam
bentuk spora (Davis, 2009 dalam S. Nur, 2016).
Klasifikasi beratnya tetanus adalah sebagai berikut :
1. Derajat 1 (ringan) : trismus (kekuatan otot mengunyah) ringan sampai
sedang, spastisitas general, tanpa gangguan pernapasan, tanpa spasme,
sedikit atau tanpa disfagia
2. Derajat II (sedang) : trismus sedang, ridigitas yang Nampak jelas, spasme
singkat ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang RR
>30x/menit, disfagia ringan
3. Derajat III (berat) : trismus berat, spastisitas generaisata, spasme reflek
berkepanjangan, RR >40x/menit, serangan apnea, disfagia berat,
takikardia >120
4. Derajat IV (sangat berat) : derajat tiga dengan gangguan otomik berat
melibatkan system kardiovaskular. Hipotensi berat dan takikardia terjadi
berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat
menetap komplikasi-komplikasi tetanus (Nurarif & Kusuma, 2016).
B. Etiologi
Clostridium tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di
tanah dan kotoran binatang. Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi
spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu
terlihat. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. C. tetani
merupakan bakteri yang motil karena memiliki flagella, dimana menurut
antigen flagellanya, dibagi menjadi 11 strain dan memproduksi neurotoksin
yang sama. Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak
agen desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C. Tetani dapat
bertahan dari air mendidih selama beberapa menit (meski hancur dengan
autoclave pada suhu 121° C selama 15-20 menit). Jika bakteri ini menginfeksi
luka seseorang atau bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan memasuki
tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin. Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka
terbuka. Ketika menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan
berkembang dan melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat
rendah, toksin ini dapat mengakibatkan penyakit tetanus (Rahmanto, 2017).
D. Patofisiologis
Menurut Surya (2016), patofisiologis terjadinya tetanus disebabkan oleh
Clostridium tetani dalam bentuk spora, yang masuk ke tubuh melalui luka
yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara
masuknya spora ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk
oleh besi, luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang
kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi
hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, leukosit yang
mati, benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang
kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis
maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin,
tidak berhubungan dengan pathogenesis penyakit. Tetanospasmin, atau secara
umum disebut toksin tetanus, adalah neurotoksin yang mengakibatkan
manifestasi dari penyakit tersebut.
Tetanospasmin masuk ke susunan saraf pusat melalui otot dimana terdapat
suasana anaerobik yang memungkinkan Clostridium tetani untuk hidup dan
memproduksi toksin. Lalu setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan
ditransportasikan secara retrograde menuju saraf presinaptik, dimana toksin
tersebut bekerja. Toksin tersebut akan menghambat pelepasan
neurotransmitter inhibisi dan secara efektif menghambat inhibisi sinyal
interneuron. Tetapi khususnya toksin tersebut menghambat pengeluaran
Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang spesifik menginhibisi neuron
motorik. Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak teregulasi dari
sistem saraf motorik.
Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang
berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil,
takikardi, keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin
dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi kardiovaskuler.
Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir
lagi oleh antitoksin tetanus.
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 7-10 hari, namun dapat lebih
singkat atau dapat lebih lama. Makin pendek masa inkubasi makin jelek
prognosisnya. Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi C. tetani dengan
susunan saraf pusat dan interval antara luka dan permulaan penyakit, dimana
makin jauh tempat invasi maka inkubasi makin panjang.
E. Pathway
F. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang dapat ditegakkan menurut NANDA-I 2015/2017 adalah
sebagai berikut:
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
3. Nyeri akut
4. Ketidakefektifan pola nafas
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6. Hambatan mobilitas fisik
7. Hambatan komunikasi verbal
8. Gangguan pertukaran gas
9. Gangguan ventilasi spontan
10. Resiko aspirasi
G. Penatalaksanaan
Menurut Surya (2016), penatalaksanaan tetanus adalah sebagai berikut:
1. Umum
Pasien sebaiknya ditempatkan di ruang perawatan yang sunyi dan
dihindarkan dari stimulasi taktil ataupun auditorik.
2. Imunoterapi
Antitoksin tetanus intramuskuler (IM) dengan dosis human tetanus
immunoglobulin (TIG) 3.000-10.000 U dibagi tiga dosis yang sama,
diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Rekomendasi British National
Formulary ialah 5.000-10.000 unit intravena. Bila human TIG tidak
tersedia, dapat digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit,
diberikan 50.000 unit intravena dan 50.000 unit IM.9 Antitoksin diberikan
untuk menginaktivasi toksin tetanus bebas, sedangkan toksin yang sudah
berada di saraf terminal tidak dapat ditangani dengan antitoksin. Oleh
karena itu, gejala otot dapat tetap berkembang karena toksin tetanus
berjalan melalui akson dan trans-sinaps serta memecah VAMP. Selain itu,
dapat ditambahkan vaksin tetanus toksoid (TT) 0,5 ml. IM. Pasien yang
tidak memiliki riwayat vaksinasi sebaiknya mendapat dosis kedua 1-2
bulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan setelahnya.
3. Antibiotik
Beberapa antibiotik pilihan di antaranya metronidazol 500 mg setiap 6 jam
intravena atau per oral, penisilin G 100.000-200.000 IU/kgBB/hari
intravena dibagi 2-4 dosis. Pasien alergi golongan penisilin, dapat diberi
tetrasiklin, makrolid, klindamisin, sefalosporin, atau kloramfenikol.
4. Kontrol Spasme Otot
Golongan benzodiazepin menjadi pilihan utama. Diazepam intravena
dengan dosis mulai dari 5 mg atau lorazepam dengan dosis mulai dari 2
mg dapat dititrasi hingga tercapai kontrol spasme tanpa sedasi dan
hipoventilasi berlebihan. Magnesium sulfat dapat digunakan tunggal atau
kombinasi dengan benzodiazepin untuk mengontrol spasme dan disfungsi
otonom dengan dosis loading 5 mg intravena diikuti 2-3 gram/jam hingga
tercapai kontrol spasme.
5. Kontrol Disfungsi Otonom
Dapat menggunakan magnesium sulfat atau morfin.
6. Kontrol Saluran Napas
Obat yang digunakan untuk mengontrol spasme dan memberikan efek
sedasi dapat menyebabkan depresi saluran napas. Ventilasi mekanik
diberikan sesegera mungkin. Trakeostomi lebih dipilih dibandingkan
intubasi endotrakeal yang dapat memprovokasi spasme dan memperburuk
napas.
7. Cairan dan Nutrisi yang Adekuat
Diperlukan cairan serta nutrisi yang adekuat mengingat tetanus
meningkatkan status metabolik dan katabolik.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG : interval CT memanjang karena segmen ST. bentuk takikardia
ventrikuler (torsaderse pointters).
2. Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L atau lebih rendah
kadar fosfat dalam serum meningkat.
3. Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto rontgen pada jarringan
subkutan atau basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi (Nurarif &
Kusuma, 2016).
I. Komplikasi
Menurut Rahmanto (2017), komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai
adalah laringospasm, kekakuan otot-otot pematasan atau terjadinya akumulasi
sekresi berupa pneumonia dan atelektase serta kompressi fraktur vertebra dan
laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal
failure.
J. Asuhan Keperawatan
(Bickley, Lynn, S. 2017).
1. Identitas
a. Pasien: Mencakup nama, nomer RM, jenis kelamin, umur,
pendidikan, agama, pekerjaan, suku bangsa, alamat, anak ke, diagnosa
medis.
b. Penanggung jawab klien, mencakup nama ayah/ibu/wali, pekerjaan
ayah/ibu/wali, pendidikan ayah/ibu/wali dan alamat.
2. Keluhan Utama: Merupakan keluhan yang paling mengganggu yang
paling utama yang dirasakan oleh klien seperti “pasien mengatakan dada
saya nyeri seperti diremas-remas dan terasa terus menerus menjalar dari
leher ke lengan dan punggung”.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang: Bagian ini merupakan deskripsi masalah
yang lengkap, jelas dan kronologis yang memicu pasien untuk mencari
layanan kesehatan. Riwayat ini harus mencakup: Apakah yang
menyebabkan gejala? Apa saja yang dapat mengurangi atau memperbaiki
gejala? Bagaimana gejala dirasakan, nampak atau terdengar? Sejauh mana
klien merasakannya sekarang? Dimana gejala terasa? Apakah menyebar?
Seberapakah keparahan dirasakan?
4. Riwayat Kesehatan Dahulu: Mencakup riwayat penyakit, imuniasi.
riwayat pengobatan, riwayat operasi, ada tidaknya alergi dan riwayat
imunisasi.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga: Kaji apakah penyakit yang dialami ada
kaitannya dengan riwayat kesehatan yang dimiliki anggota keluarga
lainnya dan terjadi atau tidak pada keluarga, seperti penyakit
degenerative/ menurun (misalnya, diabetes, hipertensi), status sosial
ekonomi keluarga dan genogram.
6. Riwayat sosial: mencakup hubungan dengan anggota keluarga, hubungan
dengan teman sebaya, pembawaan secara umum, lingkungan rumah.
7. Pola kebiasaan sehari-hari: mencakup aktivitas dan latihan, kebutuhan
istirahat dan tidur, eliminasi, personal hygiene /perawatan diri dan
asupan nutrisi: jenis makanan, frekuensi, habis berapa porsi, makanan
kesukaan, BB, TB, dan IMT, nausea/vomitus, jenis minum dan
jumlahnya.
8. Riwayat Psikososial: Mencakup persepsi dan pemeliharaan kesehatan,
konsep diri, peran dan hubungan sosial, spiritual.
9. Pengkajian fisik:
(Sumber: Bickley, 2017)
Hasil Pemeriksaan
Kepala Inspeksi: Kesimetrisan kepala, ada tidaknya lesi dan massa
Palpasi: Ada tidaknya nyeri tekan, ada tidaknya massa.
Rambut Inspeksi: Distribusi rambut, adanya alopesia, warna
rambut,
Palpasi: Kelembaban
Wajah Inspeksi: Kesimentrisan wajah, mimik wajah.
Palpasi: Ada tidaknya nyeri tekan, lesi dan massa.
Mata Inspeksi: Kesimetrisan, pupil, warna seklera.
Palpasi: Konjungtiva anemis atau tidak.
Telinga Inspeksi: Kesimetrisan
Palpasi: Ada tidaknya serumen, ada tidaknya lesi dan
massa.
Hidung Inspeksi: Cuping hidung, kesimetrisan
Palpasi: Ada tidaknya nyeri tekan
Mulut Inspeksi: Mucosa bibir, warna, ada tidaknya stomatitis.
Gigi Inspeksi: Warna gigi
Palpasi: Ada tidaknya gigi berlubang, kelengkapan gigi.
Lidah Inspeksi: Warna lidah
Tenggorokan Inspeksi: Ada tidaknya lesi dan massa
Palpasi: Ada tidaknya nyeri tekan.
Leher Inspeksi: Ada tidaknya pembesaran kelenjar tiroid.
Palpasi: Ada tidaknya nyeri tekan dan pembesaran kelenjar
tiroid.
Respirasi Inspeksi: Kesimetrisan, penarikan dinding dada
Palpasi: Ada tidaknya lesi dan massa
Perkusi: Sonor atau abnormal (hipersonor, pekak)
Auskultasi: Vesikuler atau abnormal (weezing, stridor dll)
Jantung Inspeksi: Ictus cordis tampak pada intercostal keberapa.
Palpasi: Teraba atau tidaknya ictus cordis
Perkusi: Pekak
Auskultasi: S1 lup dup
Abdomen Inspeksi: Buncit atau tidak
Auskultasi: Bising usus 5-30 x/menit
Palpasi: Ada tidaknya lesi, massa dan nyeri tekan.
Perkusi: Thympani
Genetalia Inspeksi: Terpasang kateter urin atau tidak.
Palpasi: Ada tidaknya lesi dan massa
Anus & Inspeksi: Ada tidaknya lesi atau pembentukan masa
rectum Palpasi: Teraba massa atau tidak, ada tidaknya nyeri tekan.
Integumen Inspeksi:Ada tidaknya lesi dan massa, warna kulit.
Palpasi: Kelembaban kulut, CRT, akral
Ekstremitas Ektremitas atas:
Inspeksi: Ada tidaknya lesi dan massa
Palpasi: Ada tidaknya nyeri
Ekstremitas bawah:
Inspeksi: Ada tidaknya lesi dan massa
Palpasi: Ada tidaknya nyeri
Derajat kekuatan otot diukur.
M. Evaluasi Keperawatan
Menurut Doenges et al (2006) dalam Debora (2017), evaluasi meliputi data subyektif, obyektif, assassment dan planing. Pada tahap ini
perawat membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masalah
yang terjadi sudah teratasi seluruhnya, hanya sebagian, atau bahkan belum teratasi semuanya.
DAFTAR PUSTAKA
Bickley, Lynn, S. 2017. Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan.
Jakarta: EGC.
Debora, Oda. 2017. Proses Keperawatan dan pemeriksaan Fisik Edisi 2. Jakarta:
Salemba Medika.
Nurarif, Amin, Huda dan Kusuma Hardhi. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Yogyakarta:
MediAction.