Anda di halaman 1dari 15

Tugas Referat THT-KL

FARINGITIS AKUT

Oleh:
Latifa Zulfa Shofiana G99152094
Dwi Bhakti Pertiwi G99152091
Anandita Winadira G99152108

Pembimbing:
dr. Novi Primadewi, Sp.THT-KL, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Faringitis akut didefinisikan sebagai infeksi faring dan / atau tonsil.Ini
merupakan penyakit yang sangat umum di kalangan anak-anak dan remaja.
Meskipun virus menjadi penyebab pada sebagian besar kasus faringitis akut,
Streptococcus Grup A (Group A Streptococcus Haemolyticus/GABHS)
menyebabkan 37% kasus faringitis akut pada anak yang berusia lebih dari 5
tahun. Bakteri penyebab faringitis lainnya adalah Streptococcus Grup C (5%
dari total kasus), C. pneumoniae (1%), M. pneumoniae (1%) dan spesies
anaerob (1%). Di antara seluruh virus, Rhinovirus, Coronavirus dan
Adenovirus menyebabkan 30% dari total kasus, virus Epstein Barr sebanyak
1%, virus Influenza dan Parainfluenza sekitar 4%.
Faringitis streptokokus memiliki insidensi puncak pada tahun-tahun awal
sekolah dan jarang terjadi sebelum usia 3 tahun. Penyakit ini terjadi paling
sering pada musim dingin dan musim semi. Infeksi ini ditularkan melalui
sekresi pernapasan dan masa inkubasinya adalah 2-5 hari. Penularan infeksi
tertinggi selama fase akut dan pada orang yang tidak diobati secara bertahap
berkurang dalam beberapa minggu; dapat berhenti setelah 24 jam setelah
terapi antibiotik.
Manifestasi klinis termasuk sakit tenggorokan dan demam dengan onset
tiba-tiba, faring hiperemis, pembesaran tonsil yang ditutupi eksudat kuning
dengan semburat darah. Mungkin terdapat petekiae pada palatum molle dan
dinding posterior faring. Limfonodi cervicalis anterior membesar dan
membengkak. Sakit kepala dan gejala gastrointestinal (muntah dan nyeri
perut) sering terjadi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa etiologi faringitis akut?
2. Bagaimana patofisiologi faringitis akut?
3. Apa manifestasi klinis faringitis akut?
4. Bagaimana cara mendiagnosis faringitis akut?
5. Apa saja komplikasi dari faringitis akut?
6. Bagaimana penatalaksanaan faringitis akut?
7. Bagaimana prognosis faringitis akut?

C. Tujuan
Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis,
komplikasi, terapi, dan prognosis faringitis akut.

D. Manfaat
1. Dalam bidang pendidikan dapat menambah pengetahuan tentang
definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis,
komplikasi, terapi, dan prognosis faringitis akut.
2. Dalam bidang pelayanan dapat digunakan sebagai asupan dalam upaya
pencegahan terjadinya pada penderita faringitis akut.
3. Dalam bidang penelitian dapat digunakan sebagai titik tolak penelitian
selanjutnya.
BAB II
PENDAHULUAN

A. Definisi
Faringitis akut didefinisikan sebagai infeksi faring dan/atau tonsil.Ini
merupakan penyakit yang sangat umum di kalangan anak-anak dan remaja.
Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau
bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan
hiperemis, demam, pembesaran kelenjar getah bening leher dan malaise
(Vincent, 2004).

B. Prevalensi
Setiap tahunnya 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan
karena faringitis. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 35 kali
infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis. Frekuensi
munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kira-kira 1530%
kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis pada
orang dewasa. Biasanya terjadi pada musim dingin yaitu akibat dari infeksi
Streptococcus hemolyticus group A. Faringitis jarang terjadi pada anak-
anak kurang dari tiga tahun (Bisno, 2002).

C. Etiologi
Bakteri Streptococcus Grup A (Group A Streptococcus
Haemolyticus/GABHS) menyebabkan 37% kasus faringitis akut pada anak
yang berusia lebih dari 5 tahun (Shaikh et al., 2010). Bakteri penyebab
faringitis lainnya adalah Streptococcus Grup C (5% dari total kasus), C.
pneumoniae (1%), M. pneumoniae (1%) dan spesies anaerob (1%). Di antara
seluruh virus, Rhinovirus, Coronavirus dan Adenovirus menyebabkan 30%
dari total kasus, virus Epstein Barr sebanyak 1%, virus Influenza dan
Parainfluenza sekitar 4% (Bisno, 2002).

D. Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat
secara langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon
inflamasi lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan mengikis
epitel sehingga jaringan limfoid superfisial bereaksi dan akan terjadi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada
stadium awal terdapat hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang
meningkat. Pada awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan
kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.
Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah dinding faring akan melebar.
Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu akan didapatkan
di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan
bercak-bercak pada dinding faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral
akan menjadi meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan
Coronavirus dapat menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat
sekresi nasal (Tewfik et al., 2005).
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan
pelepasan extracelullar toxins dan protease yang dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M protein dari Streptococcus
hemolyticus group A memiliki struktur yang sama dengan sarkolema pada
miokard dan dihubungkan dengan demam reumatik dan kerusakan katub
jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena
fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi
(Tewfik et al., 2005).

E. Manifestasi Klinis
1. Streptococcus Grup A
Pasien dengan faringitis akut akibat Streptococcus grup A mempunyai
gejala klinis nyeri tenggorok (dengan onset tiba-tiba), nyeri berat saat
menelan, dan demam. Nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri perut juga
dapat terjadi. Pada pemeriksaan dilakukan penyingkiran diagnosis
tonsilofaringitis, adanya eritema pada tonsil dengan atau tanpa eksudat,
dan edema, pembesaran kelenjar getah bening regio cervical. Pada temuan
lain, dapat terjadi edema dan eritem pada uvula, petekia pada palatum, dan
scarlatiniform rash. Faringitis akibat GAS jarang terjadi pada balita, dan
sulit dibedakan dengan nasofaringitis akibat virus, dengan nasal discharge
purulen, dan ekskoriasi nares yang berulang menyertai faringitis.
Scarlet fever biasanya ditandai dengan adanya kemerahan khas yang
disebabkan oleh eksotoksin pirogenik (eritrogenik toksin) yang diproduksi
oleh GAS, dan terjadi pada individu yang mempunyai antibodi antitoksin
yang kurang. Kemerahan ini muncul sekitar 24-48 jam dari onset tanda
dan gejala dan dapat menjadi tanda pertama yang muncul. Kemerahan
mulai muncul di sekitar leher dan menyebar pada batang tubuh dan
ekstremitas.
Hasil pemeriksaan pada faring biasanya sama dengan faringitis yang
disebbakan oleh GAS. Selain itu, pada lidah biasanya terlapisi dan
bengkak. Dengan deskuamasi, papil lidah yang kemerahan menonjol
sehingga tampak sebagai strawberry-appearance.
2. Virus
Faringitis yang disebabkan oleh virus biasanya muncul gejala klinis
seperti konjungtivitis, batuk, suara serak/hoarseness, rhinitis, stomatitis
anterior, lesi ulseratif diskrit, kemerahan pada kulit, myalgia, dan diare.
Faringitis yang disebabkan oleh adenovirus biasanya disertai dengan
demam, eritema pada faring, pembesaran tonsil disertai dengan eksudat,
dan pembesaran limfonodi cervical. Dapat juga disertai dengan
konjungtivitis yang disebut dengan demam faringokonjungtivitis, faringitis
dapat berlangsung selama 7 hari, dan konjungtivitis selama 14 hari, dan
dapat berkurang secara spontan. Wabah demam faringokonjuntivitis dapat
terjadi karena penularan di kolam renang.
Faringitis yang disebabkan oleh enterovirus (coxsackievirus,
echocirus, dan enterovirus) disertai dengan eritema pada faring, namun
jarang disertai eksudat pada tonsil dan limfadenopati cervical. Demam
sangat dominan. Resolusi akan terjadi dalam beberapa hari. Herpangina
adalah sindrom yan disebabkan oleh coxsackievirus A atau B atau
echovirus berupa demam, nyeri, diskret, disertai lesi putih keabu-abuan
dengan bentuk papulovesikuler/ulcerative dengan dasar eritem di dinding
posterior orofaring. Hand-foot-mouth ditandai dengan adanya vesikel dan
ulkus yang nyeri pada orofaring dan disertai dengan vesikel pada telapak
tangan dan kaki, kadang pada batang tubuh dan ekstremitas. Lesi akibat
Enterovirus biasanya akan hilang setelah 7 hari.
Infeksi primer HSV pada oral biasanya terjadi pada anak dan identic
dengan gingivastomatitis akut disertai dengan lesi vesikuler ulseratif pada
anterior mulut, seperti bibir, dan posterior faring. Gingivostomatitis yang
disebabkan oleh HSV dapat terjadi selama 2 minggu dan sering disertai
dengan demam tinggi. Nyeri dapat persisten dan berpengaruh pada intake
makan dan minum yang berkurang hingga menyebabkan dehidrasi. Pada
remaja dan dewasa virus HSV dapat menyebabkan faringitis yang ringan
dan atau tidak disertai dengan lesi tipe vesikuler dan ulseratif.
Faringitis yang disebabkan oleh EBV selama infeksi mononucleosis
dapat menjadi berat, dengan manifestasi klinis yang identic dengan
faringitis yang disebabkan oleh GAS. Limfadenopati secara umum dan
hepatosplenomegaly dapat terjadi. Demam dan faringitis biasanya berakhir
dalam 1-3 minggu, sedangkan limfadenopati dan hepatosplenomegali akan
berakhir dalam 3-6 minggu. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
adanya atipikal limfositosis, antibodi heterofil, viremia (dengan PCR), dan
antibody spesifik pada EBV antigen. Jika amoksisilin diberikan, maka
akan terjadi lesi makulopapuler eritem yang hebat.
3. Bakteri lain
Faringitis yang disebabkan oleh A.hemolyticum dapat rancu dengan
faringitis akibat GAS, Karena gejala klinis scarlatiniform rash. Selain itu,
dapat rancu dengan difteri yang ditandai dengan membranous pharyngitis,
namun sangat jarang.
Faringitis pada difteri ditandai dengan pseudomembran berwarna
coklat keabuan yang melapisi satu atau dua tonsil yang dapat meluas
hingga nares, uvula, palatum molle, faring, laring, dan percabangan
trakheobronkial. Dimana jika terjadi pada percabangan tersebut dapat
menyebabkan obstruksi pernapasan yang mengancam jiwa. Edema
jaringan lunak, limfadenopati submental dan cervical dapat menyebabkan
bull-neck appearance.
Fusobacterium necrophorum dapat menjadi penyebab faringitis
nonstreptococcus, terjadi pada 10% remaja dan dewasa muda dengan
faringitis. Gejala klinis yang terjadi mirip dengan faringitis bakteri
(demam tinggi, odinofagia, limfadenopati, dan tonsillitis eksudatif) yang
secara bersamaan terjadi bakteremia.

F. Diagnosis
Untuk menentukan faringitis akut pada anak dan dewasa dengan tes
mikrobiologi berdasarkan pada gejala klinis dan karakteristik epidemiologi
pada penyakit. Selain itu, untuk mengurangi penggunaan antibiotik yang
tidak tepat maka diperlukan tes RADTs dan atau kultur tenggorok.
1. Kultur tenggorok
Kultur swab tenggorok pada agar darah merupakan prosedur standar
laboratorium mikrobiologi untuk memastikan faringitis akibat
Streptococcus Grup A. Kultur ini mempunyai sensitivitas 90-95%,
hasilnya dapat negative apabila pasien sudah mendapatkan antibiotik
sebelumnya. Pengambilan spesimen dengan swab juga dapat
mempengaruhi hasil kultur. Swab dilakukan dari permukaan kedua tonsil
dan dinding posterior faring. Selain kedua area tersebut tidak dapat
digunakan untuk sampel.
Inkubasi secara anaerob dan pemilihan media kultur dapat
mempengaruhi sensitivitas kultur tenggorok. Kultur dilakukan pada suhu
35-37 selama minimal 18-24 jam dan direkomendasikan selama 48 jam.

2. Rapid Antigen Detection Tests (RADTs)


RADT mempunyai spesifisitas >95% dibandingkan kultur agar darah,
walaupun sensitivitas RADT berkisar antara 70-90%. RADTs
menggunakan optical immunoassay (OIA) dan chemiluminescent DNA
probes lebih sensitive dibandingkan dengan RADTs lainnya.
3. Follow up Testing
Follow up kultur atau RADT dilakukan untuk pasien asimptomatik yang
mempunyai riwayat demam reumatik dan faringitis dengan komplikasi
demam reumatik atau glomerolunefritis akut poststreptococcus, dan pada
individu yang dekat dengan komunitas yang sedang terkena wabah
faringitis akibat streptococcus grup A.
4. Diagnostik lain
Antibodi Antispterptococcus tidak bermakna untuk diagnosis faringitis
akut akibat Streptococcus grup A, namun bermakna untuk memastikan
infeksi awal Streptococcus grup A pada pasien dengan suspek demam
reumatik akut atau komplikasi non supuratif lainnya.
Patogen penyebab virus seperti HSV, Adenovirus dan Enterovirus
dapat diidentifikasi dengan kultur virus atau dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR).
Gambar 1. Alur penegakan diagnosis faringitis akut

G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada Faringitis akut akibat Streptococcus grup
A dapat terjadi komplikasi supuratif dan komplikasi non supuratif.
Komplikasi supuratif akibat penyebaran bakteri meliputi abses paratonsilar,
abses para/retrofiring, limfadenitis, sinusitis, otitis media, dan mastoiditis.
Sedangkan komplikasi nonsupuratif meliputi demam reumatik akut,
glomerolunefritis akut, dan artritis reaktivasi. Namun, terapi antimicrobial
dapat menurunkan frekuensi dari komplikasi.

H. Tata laksana
Banyak pasien dengan faringitis akut diresepkan antibiotik sebelum hasil
kultur tersedia. Sebanyak 85% pasien tidak menderita faringitis
Streptococcus Group A dan tidak berespon terhadap pengobatan antibiotik,
sebagian besar pasien tidak perlu mendapatkan pengobatan antibiotik.
Penundaan pemberian antibiotik selama menunggu hasil kultur tenggorok
selama 48-72 jam lebih memberikan keuntungan: (i) memimalkan
pengobatan yang tidak perlu sebelum adanya hasil kultur tenggorok; (ii)
berhubungan dengan penurunan angka terinfeksi kembali, pada dua
penelitian yang telah dilakukan pada anak yang mendapatkan pengobatan
sejak awal mengalami dua kali lebih banyak terinfeksi Streptococcus Group
A selama 4 bulan dibandingkan dengan anak yang tidak mendapatkan
pengobatan sejak awal; (iii) tidak meningkatkan resiko demam reumatik,
pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan penundaan pengobatan
sampai 9 hari tidak meningkatkan insidensi demam reumatik.(Alberta, 2008)

Penisilin
Penisilin merukan agen antimikroba pilihan untuk pengobatan faringitis
Streptococcus Group A, kecuali untuk pasien yang alergi terhadap penisilin.
Penisilin mempunyai aktivitas spektrum luas dan kemanjuran yang lama.
Belum ada catatan adanya resistens Streptococcus Group A terhadap
penisilin.
Percobaan baru-baru ini menggunakan dosis penisilin V 40 mg/kg per
hari (maksimal 750 mg/hari) diberikan 2-3 kali sehari. Secara umum, 250
mg 2 atau 3 kali sehari direkomendasikan untuk anak-anak. Pensilin V lebih
dipilih dibandingkan penisilin G karena lesib resisten terhadap asam
lambung. Meskipun spektrum yang lebih luas dari penisilin, ampisilin, dan
amoksisilin sering digunakan untuk penatalaksanaan faringitis Streptococcus
Group A, namun aktivitasnya tidak perlu dibandingkan penisilin.

Makrolida
Eritromisin oral dipertimbangkan sebagai alternatif pertama dari
penisilin V untuk pengobatan faringitis Streptococcus Group A pada pasien
yang alergi penisilin. Streptococcus Group A yang resisten terhadap
makrolida jumlahnya sedikit namun terus meningkat. Pemberian eritromisin
lebih ditoleransi dan diabsorbsi lebih baik ketika diberikan bersama dengan
makanan dibandingkan saat perut kosong. Mual, kram, dan diare efek
samping pada pemberian eritromisin.

Klindamisin
Penelitian menunjukkan klindamisin efektif untuk penatalaksanaan
faringitis Streptococcus Group A. Klindamisin berguna saat alergi terhadap
penisilin dan pasien dengan intoleransi eritromisin.

Respon pada pasien anak dengan faringitis Streptococcus Group A


terhadap kecocokan pengobatan antimikroba biasanya terbukti selam 24-48
jam. Demam yang terus-menerus dan gejala yang berat pada periode ini
merupakan indikasi perlunya penilaian ulang dan kemungkinan merupakan
perkembangan dari komplikasi penyakit lain.
Gambar 2. Antibiotik untuk penatalaksanaan faringitis akut

Edukasi pasien (Murphy, 2013)


a. Penyebab sakit tenggorokan. Sebagian besar penyebab sakit tenggorokan
tidak disebabkan oleh Streptococcus Group A dan tidak bermanfaat
dengan pemberian antibiotik.
b. Penatalaksanaan gejala. Penggunaan asetaminofen dan air garam untuk
kumur dapat membantu mengurangi gejala. Menghindari minuman yang
asam dan makanan pedas. Penggunaan NSID juga membantu namun
hindari pada pasien jantung.
c. Kultur tenggorok. Biasanya hasil akan tersedia dalam 2-3 hari.
d. Pengobatan antibiotik lengkap. Kecuali untuk azitromisin digunakan
dalam waktu 5 hari, semua antibiotik perlu diminum selama 10 hari
untuk mencegah demam reumatik akut bahkan setelah demam turun.
e. Efek samping obat. Termasuk mual, nyeri perut, dan/atau diare
f. Waktu saat tidak menular. Masa inkubasi selama beberapa hari. Pasien
sudah tidak menular setelah 24 jam pengobatan.
g. Pencegahan demam reumatik. Terapi diberikan selambat-lambatnya 9
hari setelah gejala dan masih efektif dalam pencegahan demam reumatik.
h. Pengecekan kembali. Gejala yang membutuhkan tindak lanjut: demam
terus-menerus atau nyeri tenggorok lebih parah setelah 48 jam
pengobatan, peningkatan kesusahan menelan, atau adanya gejala baru.
I. Prognosis
Prognosis untuk faringitis akut sangat baik pada sebagian besar kasus.
Biasanya faringitis akut sembuh dalam waktu 10 hari, namun harus berhati-hati
dengan komplikasi yang berpotensi terjadi (John R. Acerra, 2013).BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau
bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan
hiperemis, demam, pembesaran kelenjar getah bening leher dan malaise.
2. Penegakan diagnosis faringitis akut dengan tes mikrobiologi berdasarkan
pada gejala klinis dan karakteristik epidemiologi pada penyakit. Selain
itu, untuk mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak tepat maka
diperlukan tes Rapid Antigen Detection Test (RADTs) dan atau kultur
tenggorok.
3. Komplikasi yang dapat terjadi pada Faringitis akut akibat Streptococcus
grup A meliputi abses paratonsilar, abses para/retrofiring, limfadenitis,
sinusitis, otitis media, mastoiditis, demam reumatik akut,
glomerolunefritis akut, dan artritis reaktivasi.
4. Prinsip penatalaksanaan faringitis akut adalah menunggu hasil kultur
tenggorok untuk memilih antibiotik yang sesuai. Penundaan pemberian
antibiotic selama menunggu hasil kultur tenggorok memberikan manfaat
yang lebih baik. Perlu juga diberikan edukasi kepada pasien dan keluarga
untuk mencegah kekambuhan.
5. Prognosis faringitis akut sangat baik pada sebagian besar kasus dengan
pengobatan yang sesuai.

B. Saran
1. Bagi masyarakat umum, dengan mengetahui bagaimana penyebab, faktor
risiko dan pencegahan dari penyakit otitis media supuratif kronis maka
dapat menjadi satu langkah preventif yang penting.
2. Bagi petugas medis, perjalanan penyakit sangatlah penting untuk diketahui
sehingga mampu memikirkan dan menghindarkan berbagai kemungkinan
dalam tujuan memberikan penatalaksanan terhadap penyakit tersebut.
3. Bagi kalangan akademis, semoga dapat dijadikan sebagai bahan penelitian
dengan memahami referensi artikel ilmiah ataupun berbagia jurnal
penilitian yang ada.
4. Bagi petugas medis seperti dokter atau perawat dalam pelaksanaan
penulisan rekam medis dari pasien dapat lebih lengkap dan rinci karena hal
tersebut berkaitan dengan kondisi daripada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Alberta (2008). Guideline for The Diagnosis and Management of Acute


Pharyngitis. Toward Optimized Practice

Bisno, A.L., Peter, G.S. and Kaplan, E.L., 2002. Diagnosis of strep throat in
adults: are clinical criteria really good enough?. Clinical infectious
diseases, 35(2), pp.126-129.

Centor RM, Geiger P, Waites KB. Fusobacterium necophorum bacterimic


tonsillitis: 2 cases and review of the literature. Anaerob 2010, 16: 626-8

Centor RM. 2009. Expand pharyngitis paradigm for adolescents and young adult.
Ann Intern Med, 151:812-5

Gerber MA, 2004. Non-group A or B streptococci. Dalam: Behrman RE,


Kliegman RM, Jenson HB (eds) Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia,
Saunders, pp 883-4

Murphy, Terrance P (2013). Pharyngitis. University of Michigan

Shaikh N, Swaminathan N, Hooper EG. 2012. Accuracy and precision of the signs
and symptoms of streptococcal pharyngitis in children: a systemic review. J
Pediatr; 160: 487-93

Shaikh, N., Leonard, E. and Martin, J.M., 2010. Prevalence of streptococcal


pharyngitis and streptococcal carriage in children: a meta-
analysis. Pediatrics, 126(3), pp.e557-e564.2.
Tewfik, T.L. and Garni, M.A., 2005. Tonsillopharyngitis: clinical
highlights. Journal of otolaryngology, 34.

Vincent, M.T., Celestin, N. and Hussain, A.N., 2004. Pharyngitis. American


family physician, 69(6), pp.1465-1470.

Anda mungkin juga menyukai