Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit pada tonsil kerap terjadi pada populasi umum. Keluhan yang
dirasakan yakni nyeri tenggorokan, infeksi saluran pernafasan atas yang disertai
keluhan pada telinga, sehingga pasien datang ke pelayanan kesehatan.
Radang faring pada anak selalu melibatkan orang sekitarnya sehingga
infeksi pada faring biasanya juga mengenai tonsil. Faringitis dan tonsilitis sering
ditemukan

bersamaan

yang

dikenal

dengan

sebutan

tonsilofaringitis.

Tonsilofaringitis merupakan peradangan pada orofaring dan tonsila palatina.


Peradangan ini dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain
bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus,
dan virus herpes simplex. Tonsilofaringitis dapat mengenai semua umur, dengan
insiden tertinggi pada anak-anak usia 5-15 tahun. Pada anak-anak, Group A
streptococcus menyebabkan sekitar 30% kasus tonsilofaringitis akut, sedangkan
pada orang dewasa sekitar 5-10%. Meskipun etiologi didominasi oleh bakteri,
tonsilofaringitis dapat pula disebabkan oleh virus Epstein-Barr dan disebut pula
dengan mononukleosis infeksiosa, dengan manifestasi serupa dengan ditunjang
pemeriksaan darah tepi yang menunjukkan limfositosis dan meningkatnya limfosit
atipikal. Infeksi ini terutama terjadi pada anak-anak, dengan kejadian tertinggi
pada anak usia 10 19 tahun (6-8 kasus/1000 orang per tahun).
Lokasi tonsil pada saluran pernafasan dan pencernaan menyebabkan tonsil
rentan terinfeksi dan menjadi fokal infeksi, serta bisa juga membesar dan
menimbulkan

komplikasi

gangguan

proses

menelan

maupun

bernafas.

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, tonsilitis dan


1

faringitis merupakan kompetensi di bidang THT dengan level 4A, dokter umum
harus mampu melakukan secara mandiri sampai penatalaksanaan. Tujuan
penulisan laporan kasus ini adalah agar lebih dapat memahami penyakit
tonsilofaringitis akut beserta penatalaksanaannya sesuai dengan level kompetesi
yang telah ditentukan.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama
Umur
Agama

: An. E.
: 4 tahun
: Islam

Alamat

: Kauman Raya no 46 RT 6 RW 8 Kelurahan Palebon Kecamatan


Pedurungan, Semarang

Pekerjaan : Belum sekolah


No. CM

: C573956

Masalah Aktif
Sesak nafas

Demam

Nyeri telan

Batuk

Pilek, secret mukoid

Bernapas lewat mulut

Tidur mengorok

Nafsu makan menurun

Pembesaran limfonodi leher kiri

Masalah Pasif

10 Mukosa faring hiperemis


11 Tonsil T3-T3, hiperemis, membran
(+), tidak mudah berdarah, mudah
dilepas
2.2 ANAMNESIS
3

Aloanamnesis pada tanggal 26 Februari pukul 16.00 WIB di bangsal isolasi C1L1
RSUP Dr.Kariadi.
Keluhan Utama : Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang :
5 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan sesak saat
bernapas. Sesak dirasakan terus menerus, tidak dipengaruhi aktivitas. Pasien
merasa lebih nyaman tidur dengan satu bantal.
Pasien juga mengeluhkan demam (+) tidak diukur dengan termometer,
nyeri telan (+), batuk (+), pilek (+) berwarna kuning kental, bernafas
menggunakan mulut (+), tidur mengorok (+), pasien bahkan bernapas
menggunakan mulutnya. Pasien masih bisa makan dan minum. Muncul benjolan
di bawah rahang sebelah kiri, nyeri (+). Oleh ibu pasien dibawa ke RS
Bhayangkara, sudah mondok 1 hari, dirujuk ke RSDK karena suspek difteri.
Di RSDK pasien dibawa ke IGD, anak mendapat O 2 masker 3-4
liter/menit, infus D5 NS 960/40 ml/jam, injeksi dexamethasone 5mg/8 jam dan
paracetamol peroral 3x 1 cth. Kemudian anak dirawat di ruang isolasi C1L1.
Saat ini, pasien sesak nafas berkurang, demam turun, nyeri telan (+)
berkurang, batuk pilek (+) berkurang. Bernafas sudah tidak lewat mulut, tidur
mengorok (+) berkurang. Benjolan leher masih ada.
Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat sakit seperti ini sebelumnya (-)

Riwayat alergi (-)

Imunisasi DPT (+)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat sakit seperti ini pada anggota keluarga (-)

Riwayat alergi pada anggota keluarga (-)

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien merupakan anak tunggal. Ayah pasien seorang PNS. Ibu pasien
seorang IRT. Biaya pengobatan dengan JKN Non PBI.
Kesan sosial ekonomi : cukup

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada 26 Februari 2016, pukul 16.00 WIB, di bangsal
isolasi C1L1 RSUP Dr. Kariadi
Status Praesens
Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Composmentis

Status gizi

: Normoweight

Tanda Vital

: HR
RR

: 100x/menit

N : reguler, isi & tegangan cukup

: 24x/menit

t : 37oC

SpO2 : 98%
Kepala

: Mesosefal, UUB menutup

Rambut

: hitam, tidak mudah dicabut

Mata

: konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung

: Sesuai status lokalis

Telinga

: Sesuai status lokalis

Mulut

: Sesuai status lokalis

Tenggorok

: Sesuai status lokalis

Leher

: simetris, deviasi trakea (-), pembesaran nnll (-/+) tunggal,


di leher kiri level II, konsistensi lunak, permukaan rata,
batas tidak tegas, ukuran 1 x 1 x 0,5 cm, warna sama
dengan sekitar, nyeri (+)

Kulit

: turgor kulit kembali cepat

Dada

: simetris, retraksi (-)

Cor : Konfigurasi dbn, BJ I-II normal, bising (-), gallop (-)


Pulmo : SD vesikuler
+/+Normal
+/+Normal
ST hantaran
-/-/ST Ronkhi
-/-/ST wheezing

Abdomen

-/-

-/-

: Datar, supel, BU (+) normal

Hepar : tak teraba


Lien : S0

Genitalia

: laki-laki, OUE tidak hiperemis

Ekstremitas

: Dalam batas normal

Status Lokalis:
Telinga:
Gambar :

Bagian

Telinga kanan

Telinga kiri

Hiperemis (-), edema (-), fistula (-),

Hiperemis (-), edema (-), fistula (-),

abses (-), nyeri tekan tragus (-)


Normotia, Hiperemis (-), edema (-),

abses (-), nyeri tekan tragus (-)


Normotia, Hiperemis (-), edema (-),

Retroauri-

nyeri tarik (-),


Hiperemis (-), edema (-), fistula (-),

nyeri tarik (-)


Hiperemis (-), edema (-), fistula (-),

kula
Mastoid

abses (-), nyeri tekan (-)


Hiperemis (-), nyeri tekan (-), nyeri

abses (-), nyeri tekan (-)


Hiperemis (-), nyeri tekan (-), nyeri

Telinga
Daerah
preaurikula
Aurikula

ketok (-), fistel (-)


Serumen (-), edema (-), hiperemis

ketok (-), fistel (-)


Serumen (-), edema (-), hiperemis

(-), furunkel (-), discharge (-)


Warna cemerlang,

(-), furunkel (-), discharge (-)


Warna cemerlang,

perforasi (-), reflek cahaya (+) jam

perforasi (-), reflek cahaya (+) jam

5, granulasi (-)

7, granulasi (-)

CAE /
MAE
Membran
timpani

Hidung:

Gambar :

Pemeriksaan
Hidung

Hidung Kanan

Hidung Kiri

Inspeksi : Bentuk (N), simetris, deformitas (-),warna kulit sama


Hidung Luar

dengan sekitar
Palpasi : os nasal : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-)
Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)

Sinus
Rinoskopi Anterior
Discharge
(+) mukoid
Hiperemis (-), edema (-)
Mukosa
Konka
Tumor
Septum nasi

(+) mukoid
Hiperemis (-), edema (-)

Edema (-), hipertrofi (-)

Edema (-), hipertrofi (-)

Massa (-)
Deviasi (-), perdarahan (-)

Massa (-)
Deviasi (-), perdarahan (-)

Tenggorok:
Gambar :

Orofaring
Palatum
Arkus
Faring
Mukosa

Keterangan
Bombans (-), hiperemis (-)
Simetris, uvula di tengah, reflek muntah (+)
Hiperemis (+), granul (-), post nasal drip (-)
Kanan
Kiri
T3, hiperemis (+), hipertrofi (+),
T3, hiperemis (+), hipertrofi (+),
permukaan tidak rata, kripte

permukaan tidak rata, kripte

melebar (-), detritus (-),

melebar (-), detritus (-),

membran (+), sulit diangkat (-),

membran (+), sulit diangkat (-),

mudah berdarah (-)

mudah berdarah (-)

Tonsil

Peritonsil

Abses (-)

Nasofaring
Laringofaring
Laring
Supraglotis
Glotis
SubGlotis

:
:
:
:
:
:

Kepala dan Leher


Kepala
:
Wajah
:
Leher anterior :

tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan

Mesosefal
Perot (-), simetris, deformitas (-)
Pembesaran nnll (-/+), di leher kiri level II, konsistensi
kenyal, permukaan rata, batas tidak tegas, perabaan hangat,
ukuran 1 x 1 x 0,5 cm, warna sama dengan sekitar, nyeri

Leher lateral

(+)
Pembesaran nnll (-/-)

Lain-lain

Gigi dan Mulut


Gigi geligi
:
Lidah
:
Palatum
:
Pipi
:

(-)
Karies (-), gigi lubang (-), gigi goyang (-)
Simetris, deviasi (-)
Bombans (-)
Mukosa buccal : hiperemis (-), stomatitis (-)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Darah Rutin (25 Februari 2016)
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Normal
Ket.
Hemoglobin
12,1
g/Dl
9,5 12,5
N
Hematokrit
33,6
%
32 44
N
Eritrosit
4,1
juta/uL
3,9 5,5
N
MCH
29,5
Pg
24,00 34,00
N
MCV
81,9
Fl
83 110
N
MCHC
31,8
g/dL
29,0 36,0
N
Leukosit
12,2
ribu/mmk
6 17,5
N
Trombosit
179
ribu/mmk
150 400
N
Hitung Jenis dan Gambaran Darah Tepi
Eosinofil
0
%
25
N
Basofil
0
%
04
N
Batang
0
%
25
N
Segmen
31
%
45 75
N
Limfosit
62
%
20 40
H
Monosit
2
%
5 15
N
Lain-lain
AMC 5%
Eritrosit
Anisositosis ringan (normosit, mikrosit)
Poikilositosis ringan (ovalosit, pear shape cell)
Trombosit
Jumlah normal
Bentuk besar (+), giant (+)
Leukosit
Limfositosis (+), limfositosis teraktivasi (+), vakuolisasi
neutrofil (+),
Ditemukan atypical nuclear cell 5%
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu
CKMB
Ureum
Kreatinin
Elektrolit
Natrium
Kalium

120
20
7
0,52

mg/dL
U/L
mg/dL
mg/dL

80 160
7 25
15 39
0,60 1,30

N
H
L
L

141
3,5

mmol/L
mmol/L

136 145
3,5 5,1

N
N

Klorida

104

mmol/L

96 107

X-foto thoraks (25 Februari 2016)


Kesan:

Cor tak membesar


Pulmo tidak tampak kelainan

Swab Tenggorok (26 Februari 2016)


Pewarnaan Gram
Coccobacil Gram (-)
Diplococcus Gram (+)
Kuman bentuk batang gram (-)
Leukosit
Pewarnaan Jamur
Pseudohifa
Yeast Cell
Neisser
C. Diphteriae

(+)/POSITIF
(+)/POSITIF
(+)/POSITIF
>25/LPK
(+)/POSITIF
(+)/POSITIF
(-)/NEGATIF

2.5 RINGKASAN
Seorang anak laki-laki usia 4 tahun, sejak 5 hari sebelum masuk rumah
sakit pasien merasakan sesak saat bernapas, sesak dirasakan terus menerus, tidak
dipengaruhi aktivitas, tidur lebih nyaman dengan satu bantal. Nyeri telan (+),
demam (+) terus menerus, pilek (+) berlendir warna kuning kental, tidur
mengorok

Muncul benjolan di bawah rahang sebelah kiri, nyeri (+). Pasien

mondok di RS Bhayangkara, dirujuk ke RSDK karena suspek difteri.


Di RSDK, pasien dibawa ke IGD. Mendapat O2 masker 3-4 liter/menit,
infus D5 NS 960/40 ml/jam, injeksi dexamethasone 5mg/8 jam dan
paracetamol peroral 3x 1 cth. Kemudian anak drawat di ruang isolasi C1L1

10

Pada pemeriksaan hidung didapatkan secret mukoid, pemeriksaan


tenggorok didapatkan mukosa faring hiperemis, tonsil T3-T3, hiperemis, terdapat
membran berwarna putih yang mudah dilepas, tidak mudah berdarah.
Pada pemeriksaan darah didapatkan limfositosis dan peningkatan limfosit
atipikal. Pada pemeriksaan swab tenggorok didapatkan kuman coccobacil gram
(-), coccobacil gram (+), kuman bentuk batang gram (+). pseudohifa (+), dan
yeast cell (+), serta leukosit > 25/LPK.
2.6 DIAGNOSIS BANDING
Tonsilofaringitis akut dd/

Viral dd/
Bakterial
Fungal

Mononukleosis infeksiosa

2.7 DIAGNOSIS
Tonsilofaringitis akut dd/ Mononukleosis infeksiosa
2.8 RENCANA PENGELOLAAN
2.8.1 Pemeriksaan Diagnostik
S
O
2.8.2

2.8.3

2.8.4

: : -

Terapi :
Infus D5 NS 10 tpm
Injeksi cefotaxime 200 mg/12 jam iv
Injeksi dexamethasone 25mg/8 jam iv
N-acetylsistein 100 mg/12 jam PO
Candistatin oral drop 1 ml/8 jam
Paracetamol syr 125 mg/8 jam po bila t 38C
Pemantauan
Keadaan Umum
Tanda vital
Tanda infeksi lainnya
Edukasi

11

Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang


diderita pasien merupakan tonsilofaringitis akut, yakni radang akut
pada tenggorokan pasien yang kemungkinan disebabkan oleh virus
dan

bakteri,

sehingga

diharapkan

dengan

penatalaksanaan

medikamentosa maupun nonmedikamentosa yang tepat, diharapkan


tidak terjadi proses kronisitas ataupun komplikasi yang membutuhkan

tata laksana lebih lanjut.


Menjelaskan kepada orang tua pasien supaya pasien menjaga
kebersihan mulut dan menjaga daya tahan tubuh dengan mengonsumsi

2.8.5

makanan bergizi dan olahraga teratur.


Menjelaskan kepada orang tua pasien agar pasien menghindari

makanan atau paparan yang mengiritasi


Prognosis :
Quo ad vitam ad bonam
Quo ad sanam dubia ad bonam
Quo ad fungsionam ad bonam

12

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 EPIDEMIOLOGI
Tonsilitis dengan atau tanpa faringitis adalah penyakit yang umum dan
sering terjadi dari seluruh penyakit THT. Hampir semua anak di Amerika Serikat
mengalami setidaknya satu episode tonsilitis. Tonsillitis dan faringitis tergolong
infeksi saluran napas bagian atas (ISPA). Prevalensi ISPA tahun 2007 di Indonesia
adalah 25,5% dengan 16 provinsi di antaranya mempunyai prevalensi di atas
angka nasional. Kasus ISPA pada umumnya terdeteksi berdasarkan gejala
penyakit. setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya.1,2
Pada orang dewasa, kasus faringitis sebagian besar disebabkan oleh virus
yakni 30-60%. Penyebab tersering pada orang dewasa disebabkan oleh rinovirus.
Hal ini berbanding terbalik pada kasus faringitis yang dialami oleh anak-anak.
Pada anak, penyebab tersering disebabkan oleh infeksi bakteri. streptokokus beta
hemolitikus grup A dengan jumlah kasus sekitar 30-40%.3

13

Pada tahun 2004 di Indonesia dilaporkan bahwa kasus faringitis akut


masuk dalam 10 besar kasus penyakit yang dirawat jalan dengan presentase
jumlah penderita 1,5 % atau sebanyak 214.781 orang.4
Insiden tonsilofaringitis akut meningkat pada musim musim tertentu, yaitu
musim hujan untuk negara tropis.5 Kelompok ISPA ini merupakan kelompok
penyakit yang menduduki urutan pertama pada survei kesehatan rumah tangga di
Indonesia, sedangkan di Puskesmas besarnya presentase tonsilofaringitis akut
terhadap ISPA adalah 26,1%.6

3.2 ANATOMI
3.2.1 Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian
anterior kolum vertebra.7
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus
setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring
dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring
pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding
faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.8
Faring terdiri atas7,8 :

14

Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian
bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung
serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid,
jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang
disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi
struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa
faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare,
yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial
dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum
dan muara tuba Eustachius.7,8

Orofaring
Oropharynx disebut juga mesopharynx, dengan batas atasnya adalah
palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah
rongga mulut, sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal.9
Oropharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding
posterior, dan dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah
palatum molle dan isthmus pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid
terdapat di dalam submukosa permukaan bawah palatum molle. Bagian dasar
dibentuk oleh sepertiga posterior lidah dan celah antara lidah dan permukaan
anterior epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi sepertiga posterior lidah
berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid

15

dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat dari


lidah menuju ke epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut
plica glosso epiglotica mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis.
Lekukan kanan dan kiri plica glosso epiglotica mediana disebut vallecula.10
Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus
oropharynx (isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus
linguae. Dinding posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan
bagian atas corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral
terdapat arcus palate glossus dengan tonsila palatina diantaranya.10
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
pharynx, tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan
posterior, uvula, tonsila lingual dan foramen sekum.9

Gambar 3.1. Struktur Oropharing


3

Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah

16

vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah


valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral
pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil (pill pockets) sebab pada
beberapa orang, kadang kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di
bawah valekula terdapat epiglotis. Epiglotis berfungsi untuk melindungi
glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut
menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.11

Gambar 3.2 Potongan midsagital yang menunjukkan pembagian faring


yang terdiri atas nasofaring, orofaring dan hipofaring12
3.2.2

Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.

Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring


yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan

17

tonsil tubal. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap infeksi.Tonsil


dan adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer. Adenoid akan
mengalami regresi pada usia puberitas.13,14

Gambar 3.3. Cincin Waldeyer


1. Tonsila Palatina

18

Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid


yang terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap
tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas
menonjol kedalam faring. Permukaannnya tampak berlubang-lubang kecil
yang berjalan ke dalam cryptae tonsillares yang berjumlah 6-20 kripte.
Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil
dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang
disebut capsula tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla
lingualis.Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang
kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.15,16,17
Batas-batas dari tonsila palatina adalah :

Lateral kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh


jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletan 2,5 cm dibelakang dan

lateral tonsilla.
Anterior arcus palatoglosus
Posterior muskulus palatofaringeus
Superior palatum mole
Inferior tonsil lingual
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga

melapisi invaginasi atau kripte tonsila. Banyak limfanodulus terletak di


bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di
dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli
merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di
seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Tonsila palatina lebih padat
dibandingkan jaringan limfoid lain.13,14

19

Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada


dinding lateral oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus
palatopharyngeus dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina.18
Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas yang
disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan
fossa supra tonsila. Fossa

ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya

merupakan tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila
diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukopharynx, dan
disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya.19
a

Vaskularisasi
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis
eksterna, yaitu :
(1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina ascenden
(2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
(3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
(4) arteri faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis
dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua
daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris.Kutub atas tonsil
diperdarahi

oleh

arteri

faringeal

asenden

dan

arteri

palatina

desenden.Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung


dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.20

20

Gambar 3.4. Vaskularisasi Tonsil

b Aliran getah bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah
muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh
getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.16

21

Gambar 3.5.Aliran Limfe Tonsil


c

Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke
IX (nervus glosofaringeal) dan oleh n.palatina minor (cabang ganglion
sphenopalatina).16

3.2.2.2 Tonsila Faringeal (Adenoid)


Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya.Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.Adenoid tidak mempunyai
kriptus.Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring.Jaringan adenoid di
nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke Fossa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius.Ukuran adenoid
bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai
ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.13,14
3.2.2.3 Tonsila Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata.13,14
3.3 HISTOLOGI DAN FISIOLOGI TONSIL

22

Secara mikroskopis tonsil memiliki tiga komponen yaitu jaringan ikat,


jaringan interfolikuler,jaringan germinativum. Jaringan ikat berupa trabekula yang
berfungsi sebagai penyokong tonsil.Trabekula merupakan perluasan kapsul tonsil
ke parenkim tonsil. Jaringan ini mengandung pembuluh darah, syaraf, saluran
limfatik efferent. Permukaan bebas tonsil ditutupi olehepitel statified squamous.
Jaringan germinativum terletak di bagian tengah jaringan tonsil,
merupakan sel induk pembentukan sel-sellimfoid. Jaringan interfolikel terdiri dari
jaringan limfoid dalam berbagai tingkat pertumbuhan. Pada tonsilitis kronis
terjadi infiltrasi limfosit ke epitel permukaan tonsil. Peningkatan jumlah sel
plasma di dalam subepitel maupun di dalam jaringan interfolikel. Hiperplasia dan
pembentukan fibrosis dari jaringan ikat parenkim dan jaringan limfoid
mengakibatkan terjadinya hipertrofi tonsil.14,21

3.4 FISIOLOGI DAN IMUNOLOGI TONSIL


Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa
tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin
Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain.
Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat
kripte.Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting
sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke
saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen
makanan).Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik.

23

Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear


pertama-tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen.20
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang
dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri
atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells)
yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi
APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T,
sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik.13,20
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang
terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan.Dalam keadaan normal tonsil
membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk
memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus.
Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk
membantu melawan infeksi.Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan
tonsil.Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya

dikenal

sebagai

fossa

supratonsilar.Tonsil

24

terletak

di

lateral

orofaring.Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat,
folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri
dari jaringan limfoid).Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing
dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi
terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun.13,20
3.5 TONSILITIS AKUT
Tonsilitis adalah peradangan umum dan pembengkakan dari jaringan
tonsilayang biasanya disertai dengan pengumpulan leukosit, sel-sel epitel mati,
dan bakteri pathogen dalam kripte. Patogenesis tonsilitis episode tunggal masih
belum jelas. Diperkirakan akibat obstruksi kripte tonsil, sehingga mengakibatkan
terjadi multiplikasi bakteri patogen yang dalam jumlah kecil didapatkan dalam
kripte tonsil yang normal. Terjadinya infeksi pada tonsil berhubungan erat dengan
lokasi maupun fungsi tonsil sebagai pertahanan tubuh terdepan. Antigen baik
inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk kedalam tonsil terjadi perlawanan
tubuh dan kemudian terbentuk fokus infeksi.21,22
Tonsilitis akut adalah radang akut pada tonsil akibat infeksi kuman
maupun virus. Tonsilitis akut merupakan suatu infeksi pada tonsil yang ditandai
nyeri tenggorok, nyeri menelan,panas, dan malaise. Pemeriksaan fisik dapat
ditemukan pembesaran tonsil, eritema dan eksudat pada permukaan tonsil, kadang
ditemukan adanya limfadenopati servikal. Penyakit ini biasanya akan sembuh
setelah 7-14 hari. Tonsillitis ini seringkali terjadi mendadak pada anak-anak
dengan peningkatan suhu 1-4 derajat celcius. Tonsilitis akut paling sering terjadi

25

pada anak-anak, terutama berusia 5 tahun dan 10 tahun. Penyebarannya melalui


droplet infection, yaitu melalui alat makan maupun makanan.21,22 Tonsilitis akut
dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab infeksi, yaitu bakterial dan viral.
Bakteri penyebab terbanyak adalah streptococcus haemolyticus group A.
Pada berbagai penelitian belakangan ini terlihat pergeseran bakteri penyebab
tonsilitis, terbanyak adalah Staphilococcus aureus, kemudian diikuti oleh
Streptococcus haemolyticus group A, Haemofilus influenzae dan Streptococcus
pneumonia. Kadang-kadang streptokokus non hemolitikus atau streptokokus
viridans, ditemukan pada biakan, biasanya pada kasus-kasus berat.23

Tonsilitis yang disebabkan oleh virus. Gejala lebih menyerupai common


cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang sering Epstein Barr,
influenza,para influenza, coxasakie, echovirus, rhinovirus.24
3.3.1

Etiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptenya

secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui
mulut masuk bersama makanan9. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh
serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen
pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.28
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk
bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis
kronis jenis kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup
26

A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan


nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius yang memerlukan
pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.6,29
Dari hasil penelitian, kultur apusan tenggorok didapatkan bakteri gram
positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus alfa
kemudian diikuti Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A,
Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter,
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli.20
Infeksi virus biasanya ringan dan

dapat

tidak

memerlukan

pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh.
Penyebab penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes
simpleks (pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan
coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil.
Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan
pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas
yang akut. 29
Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di
kalangan bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised.29
3.3.2

Patofisiologi
Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan

reaksi radang berupa keluarnya lekosit polimorfonuklear sehingga terbentuk


detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel

27

yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kripte tonsil dan tampak sebagai
bercak kuning.25
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis
folikularis, bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur
maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga
terbentuk membrane semu (pseudomembran) yang menutupi tonsil.24

Gambar 5.Tonsilitis Akut


3.3.3

Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorokan, nyeri

waktu menelan dan pada kasus berat penderita menolak makan dan minum
melalui mulut. Biasanya disertai demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa
nyeri pada sendi-sendi, tidak nafsu makan dan nyeri pada telinga. Rasa nyeri di
telinga ini karena nyeri alih melalui n. glosofaringeus. Seringkali disertai
adenopati servikalis disertai nyeri tekan.

Pada pemeriksaan tampak tonsil

membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna, atau

28

tertutup oleh membran semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri


tekan.10,11
3.3.4 Penegakan Diagnosis
3.3.4.1
Anamnesis
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang
terus menerus, nyeri telan, nafas bau busuk, malaise, demam dan nyeri pada
leher.30
3.3.4.2

Pemeriksaan Fisik

Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut.


Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil dapat bertemu di tengah
(kissing tonsil). Standart untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik
diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari
medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. 28
T0 :
Tonsil terletak pada fosa tonsil (tidak ada pembesaran/tidak

punyatonsil)
T1 :
<25% tonsil menutupi orofaring, (batas medial tonsil

melewatipilar anterior sampai jarak pilar anterior uvula)


T2 :
>25% sampai < 50% tonsil menutupi orofaring, (batas
medialtonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar

anterior-uvula)
T3 :
>50% sampai < 75% tonsil menutupi orofaring,(batas
medial tonsilmelewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar

anterioruvula).
T4 :
>75%, tonsil menutupi orofaring (batas medial tonsil
melewati jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih).

29

Gambar 7. Gradasi Pembesaran Tonsil

Sebagian kripte mengalami stenosis, tepi eksudat (purulen) dapat


diperlihatkan dari kripte-kripte tersebut. Pada beberapa kasus, kripte membesar,
dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak terlihat pada kripte.

30

Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya
membuat lekukan dimana tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen
yang tipis terlihat pada kripte.6,11
3.3.4.3

Pemeriksaan Penunjang

Dapat dilakukan pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui parameter


infeksi yakni leukositosis, yang dipertajam dengan pemeriksaan darah tepi. Kultur
dan uji resistensi (sensitivitas) kuman dapat dilakukan dari sediaan apus tonsil.
Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan berbagai
derajat keganasan, sepertiStreptokokus beta hemolitikus grup A, Streptokokus
viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus. .11,31
3.3.5

Diagnosis Banding
Diagnosa banding dari tonsilitis yakni penyakit-penyakit yang disertai

dengan pembentukan pseudomembran yang menutupi tonsil, yaitu:


a

Tonsilitis difteri

30

Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak pada


semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan muncul gejala, tergantung
pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas.
Gejala terbagi menjadi 3 golongan besar, umum, lokal dan gejala
akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan
keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak
ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk
pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan
mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot pernafasan

dan pada ginjal dapat menimbulkan

albuminuria.2,31

Gambar 8 .Tonsilitis Difteri


b Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)

31

Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi
dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan
hipersalivasi.Pada pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil,
uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring
hiperemis. Mulut berbau

(foetor ex ore) dan kelenjar submandibula

membesar.2

Gambar 9. Angina Plaut Vincent


c

Mononukleosis Infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu
yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat
pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguinal. Gambaran darah
khas, yaitu terdapat leukosit mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas
yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel
darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).11,31

3.3.6

Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita dengan tonsillitis akut serta demam sebaiknya

tirah baring, pemberian cairan adekuat serta diet ringan. Analgetik oral efektif

32

untuk mengurangi nyeri.


sensitivitas yang tepat.

Terapi antibiotik dikaitkan dengan biakan dan

Penisilin masih merupakan obat pilihan, kecuali jika

terdapat resistensi atau penderita sensitive terhadap penisilin. Pada kasus tersebut
eritromisin atau antibiotik spesifik yang efektif melawan organisme sebaiknya
digunakan. Pengobatan sebaiknya diberikan selama lima sampai sepuluh hari.21
Pemberian
bermanfaat

pada

antibiotika
penderita

sesuai

kultur. Pemberian

Tonsilitis

Kronis:

antibiotika

Cephaleksin

yang

ditambah

metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses),


amoksisilin dengan asam klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis).
3.3.7

Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan

pengobatan suportif. Pengobatan simtomatik dapat membuat penderita tonsilitis


lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika
tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap,
bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat.
Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami
infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga
dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari
infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.21

3.6 FARINGITIS AKUT

33

Faringitis adalah inflamasi atau infeksi dari membran mukosa faring atau
dapat juga tonsilopalatina. Faringitis akut biasanya merupakan bagian dari infeksi
akut orofaring yaitu tonsilofaringitis akut atau bagian dari influenza
(rinofaringitis)

(Departemen Kesehatan, 2007). Faringitis akut adalah infeksi

pada faring yang disebabkan oleh virus atau bakteri, yang ditandai oleh adanya
nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran kelenjar
getah bening leher dan malaise (Vincent, 2004).
3.3.1

Etiologi

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh


virus (4060%), bakteri (540%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Faringitis bisa disebabkan
oleh virus maupun bakteri.
Etiologi

virus

yakni

Rhinovirus,

Adenovirus,

Parainfluenza,

Coxsackievirus, Epstein Barr virus, Herpes virus. Gejala dan tanda biasanya
terdapat demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Pada
pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, Coxsachievirus
dan Cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat
menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.
Pada adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak.
Epstein barr virus menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada
faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama
retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan HIV-1

34

menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam. Pada
pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di
leher dan pasien tampak lemah
Sedangkan etiologi bakteri yaitu, Streptococcus hemolyticus group A,
Chlamydia, Corynebacterium diphtheriae, Hemophilus influenzae, Neisseria
gonorrhoeae. Infeksi Streptococcus hemolyticus group A merupakan penyebab
faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Gejala dan tanda
biasanya penderita mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang
disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk. Pada pemeriksaan
tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
permukaannya. Beberapa hari kemudian, timbul bercak petechiae pada palatum
dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri apabila ada
penekanan. Faringitis akibat infeksi bakteri Streptococcus hemolyticus group A
dapat diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :

demam,

anterior cervical lymphadenopathy, eksudat tonsil, dan tidak adanya batuk. Tiap
kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor 01 maka pasien tidak
mengalami faringitis akibat infeksi Streptococcus hemolyticus group A, bila
skor 13 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi Streptococcus
hemolyticus group A dan bila skor empat pasien memiliki kemungkinan 50%
terinfeksi Streptococcus hemolyticus group A (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2014). Infeksi gonorrhea sangat jarang terjadi, kecuali pada individu
yang melakukan oral seks.

35

Untuk etiologi jamur yaitu Candida, jarang terjadi kecuali pada penderita
imunokompromis yaitu mereka dengan HIV dan AIDS. Candida dapat tumbuh di
mukosa rongga mulut dan faring. Gejala dan tanda biasanya terdapat keluhan
nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di
orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan
dalam agar sabouroud dextrosa.
3.3.2

Faktor Risiko

Faktor risiko lain faringitis akut yaitu udara yang dingin, turunnya daya
tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang
kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok dan seseorang yang
tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau demam. Iritasi
makanan yang merangsang sering merupakan faktor pencetus atau faktor
memperberat (Departemen Kesehatan, 2007).
3.3.3

Patofisiologi

Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon inflamasi
lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel
sehingga jaringan limfoid superfisial bereaksi dan akan terjadi pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat
hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya eksudat
bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi kering dan
dapat melekat pada dinding faring. Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah

36

dinding faring akan melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau
abu-abu akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa
folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior atau yang terletak
lebih ke lateral akan menjadi meradang dan membengkak. Virus-virus seperti
Rhinovirus dan Coronavirus dapat menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa
faring akibat sekresi nasal (Bailey, 2006; Adam, 2009). Infeksi streptococcal
memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan pelepasan extracelullar toxins
dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena
fragmen M protein dari Streptococcus hemolyticus group A memiliki struktur
yang sama dengan sarkolema pada miokard dan dihubungkan dengan demam
reumatik dan kerusakan katup jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan
glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya
kompleks antigenantibodi (Bailey, 2006; Adam, 2009).
3.3.4

Penegakan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang bila diperlukan (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2014).
3.3.4.1

Anamnesis

Anamnesis harus sesuai kriteria akut dan sesuai dengan mikroorganisme


yang menginfeksi. Secara garis besar pasien faringitis mengeluhkan lemas,
demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher. Gejala khas berdasarkan jenis
mikroorganisme, yaitu tergantung etiologi viral, bakterial, atau fungal.

37

Faringitis viral, umumnya oleh Rhinovirus diawali dengan gejala rhinitis


dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea
dan mual.
Pada faringitis bakterial, biasanya pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat,
muntah, kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi dan jarang disertai
batuk.
Pada faringitis fungal, terutama terjadi nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
3.3.4.2

Pemeriksaan Fisik

Serupa dengan anamnesis, pemeriksaan fisik juga dapat menggambarkan


etiologi dari faringitis.
Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis,
eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan
eksudat). Pada coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan
lesi kulit berupa maculopapular rash.
Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan
tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar
limfe leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.
Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan
pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.

38

3.3.4.3

Pemeriksaan Penunjang

Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan (kultur apus


tenggorokan). Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 9095% dari diagnosis,
sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis yang diandalkan
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005).
Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk
menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri Group A
Beta-Hemolytic Streptococcus (GABHS). Group A Beta-Hemolytic Streptococcus
(GABHS) rapid antigen detection test merupakan suatu metode untuk
mendiagnosa faringitis karena infeksi GABHS. Tes ini akan menjadi indikasi jika
pasien memiliki risiko sedang atau jika seorang dokter memberikan terapi
antibiotik dengan risiko tinggi untuk pasien. Jika hasil yang diperoleh positif
maka pengobatan diberikan antibiotik dengan tepat namun apabila hasilnya
negatif maka pengobatan antibiotik dihentikan kemudian dilakukan follow-up.
Rapid antigen detection test tidak sensitif terhadap Streptococcus Group C dan G
atau jenis bakteri patogen lainnya (Kazzi et al., 2006)
Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus tenggorok dilakukan
pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada agar
darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan diagnosis
infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas mencapai 9099%. Kultur
tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih dari sepuluh hari (Vincent,
2004).

39

3.3.5

Penatalaksanaan

Penatalaksaan secara suportif dapat dilakukan dengan istirahat cukup, dan


banyak minum air, menjaga kebersihan mulut, serta mengurangi faktor risiko.
Sebagai simtomatik, dapat dilakukan pemberian antipiretik maupun analgetik.
Pemberian medikamentosa khususnya sebagai agen kausatif bergantung
pada penyebab faringitis. Faringitis akibat bakteri terutama bila diduga
penyebabnya Streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu penicillin G
benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis
dibagi 3 kali/hari selama sepuluh hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 610
hari atau eritromisin 4x500 mg/hari.
Selain antibiotik, juga diberikan kortikosteroid karena steroid dapat
menunjukkan perbaikan klinis dengan menekan reaksi inflamasi. Steroid yang
dapat diberikan berupa deksametason 3x 0,5 mg pada dewasa selama tiga hari dan
pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi tiga kali pemberian selama tiga hari.
Faringitis akibat virus pada prinsipnya self limited disease yang dapat
membaik dengan tata laksana suportif saja, namun dapat pula diberikan anti virus
metisoprinol (isoprenosine) dengan dosis 60100 mg/kgBB dibagi dalam 46 kali

40

pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak kurang dari lima tahun
diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 46 kali pemberian/hari.
Pada faringitis fungal dapat diberikan antijamur yakni nystatin
100.000400.000 U 2 kali/hari.
3.3.6

Komplikasi

Komplikasi umum pada faringitis adalah sinusitis, otitis media,


epiglottitis, mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan oleh infeksi
Streptococcus jika tidak segera diobati dapat menyebabkan peritonsillar abses,
demam reumatik akut, toxic shock syndrome, peritonsillar sellulitis, abses
retrofaringeal dan obstruksi saluran pernasafan akibat dari pembengkakan laring.
Demam reumatik akut dilaporkan terjadi pada satu dari 400 infeksi GABHS yang
tidak diobati dengan baik (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
3.3.7

Prognosis

Dapat disembuhkan dengan pemberian antibiotik yang tepat, namun


infeksi dapat berulang. Faringitis dengan penyebab virus bersifat self limiting
disease sehingga dapat sembuh dengan sendirinya dengan istirahat yang cukup.

41

BAB IV
PEMBAHASAN

Penegakan diagnosis tonsilofaringitis akut melalui anamnesis dan


pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.
Gejala klinis tonsilofaringitis yakni rasa sakit pada tenggorok yang terus
menerus, nyeri telan, nafas bau busuk, malaise, demam, dan batuk pilek. Pada
pasien ini, didapatkan demam, nyeri telan, batuk, pilek, dan nafsu makan menurun
karena nyeri telan. Selain itu, pada pasien ini juga mengeluh sesak nafas, bernafas
lewat mulut, tidur mengorok, dan pembesaran kelenjar leher kiri. Tergolong akut
karena gejala muncul dalam 5 hari.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, tonsilofaringitis akut memiliki ciri
pembesaran tonsil, tonsil hiperemis, terdapat detritus, mukosa faring hiperemis,
kelenjar limfe leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan. Pada
pasien ini, didapatkan pembesaran tonsil ukuran T3, tonsil hiperemis, terdapat
membran berwarna putih yang mudah dilepas dan tidak mudah berdarah, mukosa
faring hiperemis, pembesaran nnll leher anterior kiri di level II yang kenyal dan
nyeri pada penekanan.
Untuk menegakkan etiologi, dilakukan pemeriksaan darah rutin, gambaran
darah tepi, hitung jenis leukosit, dan swab tenggorok. Pada pemeriksaan darah
rutin tidak didapatkan kelainan. Pada hitung jenis, didapatkan limfositosis 62%.
Pada pemeriksaan gambaran darah tepi, didapatkan leukositosis, limfositosis,
limfositosis teraktivasi, dan ditemukan atypical mononuclear cell

42

5%. Pada

pemeriksaan swab tenggorok didapatkan kuman coccobacil gram (-), coccobacil


gram (+), kuman bentuk batang gram (+). pseudohifa (+), dan yeast cell (+), serta
leukosit > 25/LPK. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami tonsilofaringitis akut yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan jamur.
Ditemukannya limfositosis dan limfosit atipikal sesuai dengan kriteria diagnosis
mononukleosis infeksiosa yang disebabkan virus Epstein-Barr.
Terapi tonsilofaringitis akut ec. mononukleosis infeksiosa sebenarnya
hanyalah terapi suportif dan simtomatik, seperti antipiretik, anti-inflamasi,
antinyeri, dan mukolitik. Akan tetapi, berdasarkan swab tenggorok ditemukan
adanya bakteri dan jamur, sehingga diberikan antibiotik dan antijamur. Oleh
karena itu, pasien diberikan tatalaksana injeksi cefotaxime 200 mg/12 jam iv,
injeksi dexamethasone 25mg/8 jam iv, N-acetylsistein 100 mg/12 jam PO,
Candistatin oral drop 1 ml/8 jam, dan Paracetamol syr 125 mg/8 jam po bila t
38C.
Prognosis pada pasien ini pada dasarnya ad bonam, namun dapat terjadi
rekurensi menjadi kronik apabila tidak dilakukan terapi yang adekuat, serta pasien
tidak menghindari pencetus, seperti paparan rokok, asap, makanan iritan (contoh:
es, gorengan, penyedap, dan pengawet). Oleh karena itu, pasien dan keluarga
diberikan edukasi supaya patuh menjalani pengobatan dan menghindari pencetus.

43

DAFTAR PUSTAKA

Brodsky,

&

Poje,

(2001).

Tonsillitis,

Adenoidectomy. Dalam : Bailey, BJ.

Tonsillectomy,

and

Head & Neck Surgery

Otolaryngology, Vol 1, third ed. Lippincott Milliams & Wilkins.


2

Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI
Jakarta: 2007. p212-25.

Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011 .[cited,


2016 Jan 1). Available from URL: http://emedicine.medscape.com/

Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011 .[cited,


2016 Jan 2). Available from URL: http://www.mdguidelines.com/tonsillitisand-adenoiditis/

Karmaya, N.M.; Sana, I.G.N.P. & Sukardi, E. (1979), Tonsilla Palatina,


Anatomi, Pertumbuhan dan Perkembangannya, dalam : Masna, P.W. (ed)
Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar

Adams, G.L. (1997), Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring,dalam


Harjanto, E. dkk (ed) Boies Buku Ajar Penyakit THT, edisi ke6, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

44

Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological,


Histochimical and Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. Pdf.

Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo.


Lapran Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita
Tonsilitis Kronik Sebelum Dan Setelah Tonsilektomi. Pdf

Farokah, Suprihati, Suyitno S. Hubungan Tonsilitis kronik dengan prestasi


belajar pada siswa kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Cermin Dunia
Kedokteran 2007;155:87-91

10 Anonim (2003) The Oral Cavity, Pharynx & Esophagus dalam Lee, K.J.
(eds) Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, McGraw Hill
Medical Publishing Division, USA.
11 Oka, I.B. (1979), Tonsillitis, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan
Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar.
12 Eibling DE. The oral cavity, pharynx, and esophagus. In: Lee KJ editor,
Essential otolaryngology head and neck nurgery, 9th ed. New York : Mc
graw hill medical. 2008:530-51.(11)
13 Health Technology Assessment (HTA) Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Tonsilektomi pada anak dewasa. Jakarta. 2004
14 Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.
Edisi 6. Jakarta: ECG, 2006. p795-801.

45

15 Wiatrak BJ, Woolley AL. Pharyngitis and adenotonsilar desease. In :


Cummings CW editor.Otolaryngology Head & Neck Surgery, 4th
ed.Philadelphia Elsevier Mosby. 2007:p.4136-65.
16 Bluestone CD. Controversies in tonsillectomy, adenoidectomy, and
tympanostomy tubes. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD editors.
Ototlaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2006:p.1199-208.
17 Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 9,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.2011
18 Masna, P.W., Tonsilitis, Tonsilektomi dan Adenoidektomi, Lab/UPF THT
FK UNUD RSUP, Denpasar
19 Ugras S, Kutluhan A. Chronic tonsillitis can be diagnosed with
histopathologic findings. Eur J genmed 2008;5(2):95-103.
20 Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam
Malik Medan Tahun 2009. 2011.pdf
21 Brodsky L. Adenotonsillar disease in children. In: Cotton RT, Myer CM
editors. Practical pediatric otolaryngology. Philadelphia, New York
Lippincott- Raven, :p.15-38.
22 Tom LWC, Jacobs. Deseases of the oral cavity,oropharynx, and
nasopharynxn.

In:

Snow

46

JB,Ballenger

JJ

editors.

Ballengersotorhinolaryngology head and neck surgery, 16th ed. Hamilton


Ontario. Bc Decker 2003:p.1020-47.
23 Novialdi N. Mikrobiologi Tonsilitis Kronis. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher Fak.Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP
Dr.M.Djamil Padang
24 Kornblut AD. Non-neoplastic diseases of the tonsils and adenoids. In:
Paparella MM, Shumrick DA, Gluckman JL, Meyerhoff WL, editors
Otolaryngology 3th ed. Philadelphia WB Saunders Company 1991: p.212946.
25 Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kvrner, Espen Rysamb, et all. Heritability of
Reccurent Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2016 Jan 2). Available from:
URL: http://www.Archotolaryngelheadnecksurg.com
26 Empowering Otolaryngologist. Tonsillitis. In: American Academy of
Otolaryngology- Head & Neck Surgery. Pdf.
27 Masna, P.W. (2002) Tonsilitis Kronis, dalam Pedoman Diagnosa dan terapi
Ilmu Penyakit THT RSUP Denpasar, Lab/UPF THT FK UNUD RSUP,
Denpasar.
28 Mandavia, Rishi. Tonsillitis. [online] .[cited, 2015Des30). Available from:
URL: http://www.entfastbleep.com

47

29 Gross CW, Harrison SE. Tonsils and Adenoid. In: Pediatrics In Review.
[online].2000.[cited,

2016

Jan

1).

Available

from:

URL:

http://www.pediatricsinrewiew.com
30 Gotlieb J. The Future Risk of Childhood Sleep Disorder Breathing, SLEEP,
vol 28 No 7. 2005.
31 Mansjoer, A. dkk (2001) Kapita Selekta Kedokteran, edisi ke3, Jilid
pertama, penerbit Media Aesculapius, FKUI, Jakarta
32 Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In:
Current Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007
33 Berkowitz RG, Zalzal GH. Tonsillectomy in children under 3 years of age.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 116:685-6.[Abstract]
34 Frey RJ. Gale Encyclopedia of Medicine. Published December, 2002 by the
Gale Group
35 Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote
CJ, Todres ID, Ryan JF, Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia
for infants and children. Philadelphia: WB Saunders Company 2001. 3rd
ed.p.461-67.

48

Anda mungkin juga menyukai