Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

TONSILITIS

Disusun oleh:
Si Gede Teguh Surya Negara (011.06.0043)

Pembimbing :
dr. Ni Putu Anggraini Eka Wahyuni,Sp.THT-KL

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU THT-KL
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. R. SOEDJONO SELONG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2017

1
LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : An. LN

Usia : 9 tahun

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Sembalun

No. RM : 364780

Tanggal masuk RSUD DR.R.Soedjono Selong : 10-02-2017

ANAMNESIS

Keluhan Utama

Nyeri tenggorokan saat menelan.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke POLI THT RSUD DR.R.Soedjono Selong pada tanggal 10 Februari

2017 pukul 10.15 WITA dengan keluhan nyeri saat menelan dan terasa mengganjal sejak 1

bulan. Keluhan nyeri terkadang hilang timbul tetapi hanya menghilang sementara terutama saat

minum obat yang dibeli di warung, akan tetapi beberapa hari ini dirasakan tenggorokan terasa

kering sehingga semakin sakit dan mengganjal. Keluhan demam pernah 1 bulan yang lalu tetapi

naik turun, batuk(-), pilek(-), mengorok saat tidur (+). Nafsu makan dirasakan menurun oleh

pasien. Sebelum keluhan, pasien mengaku sering makan dan minum sembarang.

2
Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah merasakan keluhan serupa beberapa tahun ini tetapi tidak separah yang

dirasakan saat ini.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluhan serupa

Riwayat Pribadi Sosial


Pasien sehari-hari sebagai pelajar. riwayat rokok (-), riwayat sering konsumsi makanan
sembarang seperti pedas, minyak, santan dan dingin (+).
Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien tidak pernah di rawat inap, pasien hanya pernah membeli obat-obatan
sendiri di warung untuk mengurangi keluhannya.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : E4V5M6
Nadi : 78x/menit
Nafas : 17x/menit, Jenis pernafasan thorako-abdominal
Suhu : 36,6oC (aksila)
Tekanan Darah : 110/90 mmHg
Berat Badan : 21 kg

3
STATUS LOKALIS

Pemeriksaan telinga:

No Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri

. Telinga
1. Daun telinga Bentuk dan ukuran Bentuk dan ukuran dalam

dalam batas normal, batas normal, edema (-),

edema (-), hiperemi (-), hiperemi (-),

Nyeri tekan tragus (-), Nyeri tekan tragus (-),

Nyeri tarik aurikuler (-), Nyeri tarik aurikuter (-),

Nyeri tekan mastoid (-). Nyeri tekan mastoid (-).


2. Liang telinga luar Serumen (-), massa (-), Serumen (-), massa (-),

Edema (-), hiperemi (-), Edema (-), hiperemi (-),

furunkel (-) sekret (-) furunkel (-), sekret (-)


3. Membran timpani Intak, warna putih Intak, warna putih mutiara,

mutiara, perforasi (-), perforasi (-), bulging (-),

bulging (-), cone of light cone of light (+)

(+)

Pemeriksaan hidung:

4
Pemeriksaan Hidung kanan Hidung kiri

Hidung
Hidung luar Bentuk (N), inflamasi (-), Bentuk (N), inflamasi (-),

nyeri tekan (-), deformitas nyeri tekan (-),deformitas

(-), krepitasi (-). (-), krepitasi (-).


Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi N, ulkus (-), tumor (-) N, ulkus (-), tumor (-)
Cavum nasi Sekret (-) Sekret (-), mukosa

hiperemis
Meatus nasi media Sekret pada meatus nasi Sekret pada meatus nasi

media (-), massa (-) media (-), krusta (-),

jaringan nekrotik (-), massa

(-)
Konka nasi inferior Edema (-), hiperemi (-) Edema (-), hiperemi (-)
Septum nasi Deviasi (-), benda asing Deviasi(-), benda asing(-),

(-), perdarahan (-), ulkus perdarahan (-), ulkus (-)

(-)
Palpasi sinus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

maksila dan frontal


Transiluminasi Suram (-) Suram (-)

5
Pemeriksaan Tenggorokan:

6
Bibir Berwarna merah muda, hiperemi (-)
Mulut Berwarna merah muda, hiperemi (-)
Geligi Normal
Lidah Normal
Uvula Normal
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa Hiperemi (+), granul (-), reflek

muntah (+)
Tonsila Palatina Hiperemia (+), ukuran T4-T3, Kripte (+),

detritus (+)
Fossa Tonsilaris dan Arcus Faringeus Hiperemi (+)

DIAGNOSIS

Tonsilitis Kronik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Kultur

Laboratorium

TERAPI

Medikamentosa

Antibiotik

Antipiretik Analgetik

Operatif

Tonsilektomi

KIE pasien

Kurangi makan-makanan pedas, berminyak, santan serta minuman dingin, dll yang dapat

memperberat keluhan.

Banyak minum air putih

7
Istirahat yang cukup.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada tenggorokan

terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena

kegagalan atau ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita Tonsilitis Akut (Kurien M et

al, 2003). Ketidaktepatan terapi antibiotik pada penderita Tonsilitis Akut akan merubah

mikroflora pada tonsil, merubah struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi

faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya Tonsilitis Kronis (Dias EP, 2009).

8
Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit

tenggorok berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada

tahun 1994-1996, prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6% tertinggi setelah Nasofaringitis Akut (3,8%)

(Suwendo, 2001). Sedangkan penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997

sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien Tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh

jumlah kunjungan (Undaya R,1999).

Data morbiditas pada anak menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 pola

penyakit anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun yang paling sering terjadi, Tonsilitis

Kronis menempati urutan kelima (10,5 persen pada laki-laki, 13,7 persen pada perempuan)

(Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan, 1995). Hasil pemeriksaan pada

anak-anak dan dewasa menunjukkan total penyakit pada Telinga Hidung dan Tenggorok

berjumlah 190-230 per 1.000 penduduk dan didapati 38,4% diantaranya merupakan penderita

penyakit Tonsilitis Kronis (Tarasov, 1991).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi

Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris di kedua

sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih

padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di

permukaan medial terdapat kripta (Amarudin, 2007). Tonsila palatina merupakan jaringan

limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein

asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen

9
makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen

menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama akan mengenal dan

mengeliminasi antigen (Farokah, 2003).

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang mengandung sel

limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B danT

pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem

imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen

presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi

APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan

sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi

dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu

menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi

dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik (Kartika, 2008).

Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada kedua

sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi.

Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh

melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi

untuk membantu melawan infeksi (Edgren, 2002). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,

masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil

tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa

supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga

komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan

interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid) (Kartika, 2008). Lokasi tonsil sangat memungkinkan

10
terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi

terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun (Amarudin, 2007).

2.2. Definisi

Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel

(Reeves, Roux,Lockhart, 2001). Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan

bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di

dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal ( adenoid ), tonsil palatina ( tosil faucial), tonsil

lingual ( tosil pangkal lidah ), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlachs tonsil)

( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk, 2007). Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh

kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes, dapat

juga disebabkan oleh virus (Mansjoer,2000).

11
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila

palatina yang menetap (Chan, 2009). Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari

Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen

dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan

gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan

(Colman,2001). Pada Tonsilitis Kronis tonsil dapat terlihat normal, namun ada tanda-tanda

spesifik untuk menentukan diagnosa seperti plika anterior yang hiperemis, pembesaran kelenjar

limfe, dan bertambahnya jumlah kripta pada tonsil (Brodsky, 2006).

2.3. Klasifikasi Tonsillitis Menurut (Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk,2007), yaitu :

2.3.1. Tonsilitis Akut

a. Tonsilis viral

Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa

nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr.

Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi

infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-

luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.

b. Tonsilitis bakterial

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus,

hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus,

Streptokokus viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel

jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit

polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsillitis akut dengan

12
detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini

menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.

2.3.2. Tonsilitis Membranosa

a. Tonsilitis difteri

Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium

diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari

10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.

b. Tonsilitis septic

Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam

susu sapi.

c. Angina Plaut Vincent ( stomatitis ulsero membranosa )

Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang

didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi

vitamin C.

d. Penyakit kelainan darah

Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi

mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Gejala

pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah

kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.

2.3.3. Tonsilis Kronik

Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis

makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan

tonsilitis akut yang tidak adekuat.

13
2.4. Etiologi

Penyebab tonsilitis menurut (Firman S, 2006) dan (Soepardi,Effiaty Arsyad,dkk, 2007)

adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus viridans, dan Streptococcus

pyogenes. Dapat juga disebabkan oleh infeksi virus.

2.5. Patofisiologi

Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel atau tonsil

berperan sebagai filter, menyelimuti organism yang berbahaya tersebut. Hal ini akan memicu

tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi kadang-kadang

amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus.

Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial

mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear.

Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut

detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis

akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu

maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan

hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti

makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah

bening melemah didalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh

tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien

mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal yang tidak

menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.

Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membrane semu

(Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka

14
epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan

limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok

melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan

akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini

disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).

Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit pasien

menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika yang

tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa

kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil

(Undaya, 1999).

2.6. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala Tonsilitis menurut ( Smeltzer & Bare, 2000) ialah sakit tenggorokan,

demam, ngorok, dan kesulitan menelan. Sedangkan menurut Effiaty Arsyad Soepardi,dkk (2007)

tanda dan gejala yang timbul yaitu nyeri tenggorok, tidak nafsu makan, nyeri menelan, kadang-

kadang disertai otalgia, demam tinggi, serta pembesaran kelenjar submandibuler dan nyeri tekan.

Bau mulut (halitosis) dapat terjadi yang disebabkan adanya pus pada kripta tonsil. Pada

penelitian tahun 2007 di Sao Paulo Brazil, mendapatkan keluhan utama halitosis atau bau mulut

pada penderita Tonsilitis Kronis didapati terdapat pada 27% penderita (Dalrio, 2007). Sulit

menelan dan sengau pada malam hari (bila tonsil membesar dan menyumbat jalan nafas)

(Dhingra, 2008; Shnayder, 2008) dan butiran putih pada tonsil (Brodsky, 2006).

2.7. Diagnosis

2.7.1. Anamnesis

2.7.2. Pemeriksaan Fisik

15
a) Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil dapat

bertemu di tengah. Standart untuk pemeriksaan tonsil

berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan

berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke

lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. T0: Tonsil

terletak pada fosa tonsil, T1: <25%, T2: >25%<50%,

T3:>50%<75%, T4: >75% (Brodsky, 2006). Sedangkan menurut

Thane dan Cody menbagi pembesaran tonsil atas T1: batas

medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar

anterior uvula. T2: batas medial tonsil melewati jarak pilar

anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula. T3: batas

medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai

jarak pilar anterior-uvula. T4: batas medial tonsil melewati

jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih (Cody, 1993).

Penelitian yang dilakukan di Denizli Turkey dari 1.784 anak

sekolah usia 4-17 tahun didapatkan data ukuran tonsil terbanyak

yakni T1: 1.119 (62%), T2: 507 (28,4%), T3: 58 (3,3%), T4: 2

(0,1%) (Akcay, 2006).


b) Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial

tonsil (Dhingra, 2008).


c) Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus

atau material menyerupai keju (Dhingra, 2008).


d) Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan

mukosa faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan

infeksi kronis pada tonsil (Dhingra, 2008).

16
Dari hasil penelitian yang melihat hubungan antara tanda klinis dengan hasil

pemeriksaan histopatologis dilaporkan bahwa tanda klinis pada Tonsilitis Kronis yang

sering muncul adalah kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula

dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya,

minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe submandibula

(Primara, 1999). Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak

nyaman di tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun,

palpitasi mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya

hiperemi pada plika anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan

pembesaran kelenjar limfe jugulodigastrik maka diagnosa Tonsilitis Kronis dapat

ditegakkan (Dass, 1988). Untuk menegakkan diagnosa penyakit Tonsilitis Kronis

terutama didapatkan berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik

diagnostik yang didapatkan dari penderita (Kurien, 2000).

2.7.3. Pemeriksaan Penunjang

a) Mikrobiologi. Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal

untuk mengeradikasi kuman patogen dan mencegah

kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi

organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian

antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat

(Hammouda et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil

adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di

India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan

tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang

17
dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan

diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis

tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang

ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti

Staflokokus aureus (Kurien, 2000).


b) Histopatologi. Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan

tahun 2008 di Turkey terhadap 480 spesimen tonsil,

menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan

berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria

histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit,

adanya Ugras abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi

ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat

dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis (Ugras,

2008).

2.8. Penatalaksanaan

2.8.1. Medikamentosa. yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian

antibiotika yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah

metronidazole, klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses),

amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleosis)

(Adam, 1997; Lee, 2008).

2.8.2. Operatif. Dengan tindakan tonsilektomi (Adam, 1997; Lee, 2008). Pada penelitian

Khasanov et al mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis

Kronis didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan

18
diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan

tonsilektomi (Khasanov et al, 2006). Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan

menggunakan kuisioner terhadap 15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak

4.646 diantaranya memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782

(38,4%) penderita mendapat penanganan dari dokter umum dan

98 (2,1%) penderita dirujuk ke rumah sakit ( Hannaford, 2005).

a) Indikasi Tonsilektomi
Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas

tonsilektomi belum dievaluasi secara formal. Tonsilektomi

dilakukan secara luas untuk pengobatan Tonsilitis akut atau

kronik, tetapi tidak ada bukti ilmiah randomized controlled trials

untuk panduan klinisi dalam memformulasikan indikasi bedah

untuk anak dan dewasa. Tidak ditemukan studi Randomized

Controlled Trial (RCT) yang mengkaji efektivitas tonsilektomi

pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT (Mawson 1967;

McKee 1963; Roydhouse 1970; Paradise 1984; Paradise 1992),

tetapi yang diikutkan dalam review hanya 2 studi (Paradise 1984;

Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak memenuhi kriteria. Studi

pertama oleh Paradise (1984), dilakukan pada anak yang dengan

infeksi tenggorok berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat

kesimpulan yang tegas tentang tonsilektomi karena adanya

keterbatasan metodologi yaitu adanya perbedaan kelompok

operasi dengan kelompok kontrol. Dalam hal riwayat episode

infeksi sebelum mengikuti studi (kelompok operasi meliputi anak

19
dengan penyakit yang lebih berat) dan status sosial ekonomi

(kelompok nonoperasi memiliki status sosial ekonomi yang lebih

tinggi) serta kelompok tonsilektomi dan tonsilo-adenoidektomi

dilaporkan sebagai satu kelompok operasi. Disamping itu, studi

ini meliputi hanya anak dengan infeksi tenggorok berat, pada

pemantauan, banyak kelompok kontrol yang memiliki episode

infeksi sedikit dan biasanya ringan. Studi kedua oleh Paradise

(1992) meliputi anak dengan infeksi sedang tidak dapat

dievaluasi karena saat review dilakukan tidak ada data yang

lebih detil dari desain dan bagaimana penelitian ini dilakukan

(hasil penelitian baru dalam bentuk abstrak) (Burton, 2004).

Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran

napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi

(indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada

keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada

keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan

menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya

dilakukan tonsilektomi. Indikasi absolut: a) Pembengkakan tonsil

yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,

gangguan tidur dan komplikasi kardio-pulmoner. b) Abses

peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan

drainase. c)Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam. d)

Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi

20
anatomi. Indikasi Relatif: a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi

tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat. b) Halitosis

akibat Tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian

terapi medis. c) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier

streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik

-laktamase resisten (Kartika, 2008).


b) Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai

kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi

dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang

manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan

perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit berat,

anemia, dan infeksi akut yang berat (Kartika, 2008).


c) Tehnik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah

dilakukan pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma

dengan menggunakan jari tangan. Di Indonesia teknik

tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik

Guillotine dan diseksi. Diseksi: Dikerjakan dengan

menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil dijepit dengan

forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran

mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau gunting

sampai mencapai pole bawah dilanjutkan dengan menggunakan

senar untuk menggangkat tonsil. Guilotin: Tehnik ini sudah

banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila tonsil dapat

21
digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.

Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat

digunakan pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya

perdarahan namun dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.

Laser tonsilektomi diindikasikan pada penderita gangguan

koagulasi. Laser KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser

CO2 lebih disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang

dilakukan pada tehik diseksi (Dhingra, 2008).

2.9. Komplikasi

2.9.1. Abses peritonsil. Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai

jaringan sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan

otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada

penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang

bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan

melakukan aspirasi abses (Shnayder, Lee, Bernstein, 2008).

2.9.2. Abses parafaring. Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar

angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga

menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal (Fachruddin,

2001; Adam, 1989).

2.9.3. Abses intratonsilar. Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil.

Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai

nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah.

22
Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase

abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.

2.9.4. Otitis media akut. Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah

melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat mengakibatkan otitis

media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang telinga

(Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007).

2.9.5. Tonsilolith (kalkulus tonsil). Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila

kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium

kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar

secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih

sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body

sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau

ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.

2.9.6. Kista tonsilar. Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai

pembesaran kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala.

Dapat dengan mudah didrainasi.

2.10. Prognosis

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan

suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih nyaman.

Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai

arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan

dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita

mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga

23
dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber

dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia (Edgren, 2002).

2.11. Pencegahan

Bakteri dan virus penyebab Tonsilitis dapat dengan mudah menyebar

dari satu penderita ke orang lain. Tidaklah jarang terjadi seluruh keluarga

atau beberapa anak pada kelas yang sama datang dengan keluhan yang

sama, khususnya bila Streptokokus pyogenase adalah penyebabnya. Risiko

penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari penderta

Tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan

perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya

dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan

kembali. Sikat gigi yang talah lama sebaiknya diganti untuk mencegah

infeksi berulang. Orang-orang yang merupakan karier Tonsilitis semestinya

sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada

orang lain (Edgren, 2002).

24
BAB III
KESIMPULAN

Pada kasus, berdasarkan keluhan pasien yaitu nyeri saat menelan dan terasa mengganjal

sejak 1 bulan, terkadang hilang timbul saat minum obat yang dibeli di warung, tenggorokan

terasa kering (+), demam (+) 1 bulan yang lalu naik turun, batuk(-), pilek(-), nafsu makan

menurun (+), dan ada riwayat sering makan dan minum sembarang (+), keluhan sering dirasakan

beberapa tahun ini serta pada pemeriksaan penunjang ditemukan pembesaran pada tonsil,

kemerahan dengan kripte melebar dan adanya detritus sehingga kemungkinan pasien menderita

tonsillitis kronik.

25
Tonsilitis adalah radang yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus,

streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh virus dimana

prosesnya bisa akut atau kronis. Tonsilektomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan

mengambil atau mengangkat tonsil untuk mencegah infeksi selanjutnya (Shelov,2004).

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrahman AS, Kholeif LA, Yasser ME, Eldesouky A, 2004. Bacteriology of


Tonsil Surface and Core in Children with Chronic Tonsilitis and
Incedence of Bacterimia During Tonsillectomy. Egypt Medical Journal,
Vol.13.No.2.
Abouzied A, Massoud E, 2010. Sex Differences in Tonsillitis. Dalhausie
Medical Journal., 35(1), p.8-10.
Akcay A, 2006. Variation in Tonsil Size in 4-to17-Year Old Schoolchildren. The
Journal of Otolaryngology, Volume 35, Number 4, p: 270-4.
Adam GL, 1997. Disease of The Nasopharynx and Oropharynx, in: Boeis
Fundamentals of Otolaryngology. Sixth Edition. W.B. Saunders
Company. Philadelphia, p. 332-65.
Alcantara et al, 2007. Adenotonsillectomy Impact on Childrens Quality of
Life. International otorhinolaringology Journal, 12, p.172-11.
Amaruddin T, Christanto A, 2007. Kajian Manfaat Tonsilektomi. Cermin Dunia
Kedokteran, No.155, hal.61-8.

26
Aritomoyo D, 1980. insiden Tonsilitis Akut dan Kronik Pada Klinik THT RSUP
Dr. Kariadi Semarang. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS VI PERHATI,
Medan; hal. 249-55.
Awan Z, Hussain A, Bashir H, 2009. Statistical Analysis of Ear, Nose, and
Throat (ENT) Diseases in Paediatric Population at PIMS, Islamabad: 10
Years Experience. Journal Medical Scient. Vol.17, No.2. p. 92-4.
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan, 2001. Survey
Kesehatan Nasional 2001. Jakarta. hal 1-75.
Brodsky L, Poje C, 2006. Tonsilitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In:
Bailey JB, Johnson JT editors, Head and Neck Surgery Otolaryngology,
Lippincott Williams and Wilkins, Philadelpia, p.1183-98.
Burton MJ, Towler B, Glasziou P, 2004. Tonsillectomy Versus Non-surgical
Treatment for Chronic/Recurrent Acute Tonsilitis (Cochrane Review).
The Cochrane Library, Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd. Issue 3.
Chan KH, Ramakrishnan VR, 2009. Disease of the Oral Cavity, Oropharynx
and Nasopharynx. In: Ballenger WL, Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery ed. BC Decker Inc, Philadelphia, p.775-82.
Cody D, 1993. Penyakit Hidung, Telinga, dan Tenggorok. Petrus adrianto,
editor. Jakarta ; EGC, hal 37-9.
Colman BH, 2001. Adenoid and Tonsils. In: Disease of the Nose, Throat, and
Ear, and Head and Neck, Oxfort University Press, Oxfort, p.95-102.
Crombie IK, 1990. An Investigation into Factors that May Influence Tonsil
Morphology. Journal of the Royal Society of Medicine, vol.83, January,
p.20-1.
Darrow DH, Siemens C, 2002. Indications for tonsillectomy and
adenoidectomy. Laryngoscope;112:6-10
Dass MR et al, 1988. Role of Septilin in Chronic Tonsilitis. Current Medical
Practice, p.32,1.
Dias EP, Rocha ML, Calvalbo MO, Amorim LM, 2009. Detection of Epstein-Barr
Virus in Recurrent Tonsilitis. Brazil Journal Otolaryngology, 75(1); p.30-
4.
Dhingra PL, 2007. Acute and Chronic Tonsilitis, in Disease of Ear, Nose and
Throat 4rd ed. Elsevier. New Delhi. pp.239-43.
Donnelly LF, 2002. Correlation on Cine MR Imaging of Size of Adenoid and
Palatine Tonsils with Degree of Upper Airway Motion in Asymptomatic
Sedated Children. American Journal Radiology, 179, p. 503-7.
Edgren AL, Davitson T, 2004. Sore Throat. Journal of the American
Assosiation, no.13 (April 7) :1664-78.
Fachruddin D, 2001. Abses Leher Dalam, dalam: Soepardi EA, Iskandar HN
editor, Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, hal.185-9.
Farokah, Suprihati, Suyitno S, 2003. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan
Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang.
Cermin Dunia Kedokteran, 155, hal.16-22.

27
Goldstein NA, 2008. Quality of Life After Tonsillectomy in Children with
Recurrent Tonsillitis. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, 138, p.9-
16.
Hammouda M, Abdel-Khalek Z, Awad S, Abdel-Azis M, Fathy M, 2009. Chronic
Tonsilitis Bacteriology in Egyptian Children Including Antimicrobial
Susceptibility. Australian Journal of Basic and Applied Scinces, 3(3):
p.1948-53.
Hannaford PC, Simpson JA, Dav, is A, McKerrow W, Mills R, 2005. The
Prevalence of Ear Nose and Throat Problems in the Community: Result
from a National Cross-Sectional Postal Survey in Scotland. Fampra
Oxfort Journals, 22: 227-33.
Hermani B dkk, 2004. Kajian Manfaat Tonsilektomi pada Anal dan Dewasa.
Health Technologi Assesment-Indonesia, hal.1-25.
Junior RG, et al, 2008. Profile of Patients Submitted to Adenoidectomy,
Tonsillectomy and Adeinoidectomy with Tonsillectomy at UNISA.
International Arch of otorhinolaringology, vol.12, p.189-93.
Kargoshaie, AA, 2009. The Correlation Between Tonsil Size and Academic
Performanc is not a Direct One, but The Result of Various Factors. Acta
Otorhinolaryngologica Italica; 29,p. 255-8.
Kartika H, 2008. Tonsilektomi. Welcome & Joining otolaryngology in
Indonesian Language, February 23, p.4-36.
Kasanov SA, Asrorov AA, Vokhidov UN, 2006. Prevalence of Chronic Family
Tonsilitis and its Prevention. Vestn Otorinolaryngology, (4); p. 38-40.
Kisve et all, 2009. Ear, Nose and Throat in Paediatric Patients at Rural
Hospital in India. Australian Medical Journal,3, 12, 786-90.
Kurien M, Sheelan S, Jeyaseelan L, Bramhaathan, Thomas K, 2003. Fine
needle aspiration in chronic Tonsilitis: reliable and valid diagnostic test.
The journal of Laryngology & Otologi, vol. 117, pp. 973-75.
Kurien M, Stanis A, Job A, Brahmadathan, Thomas K, 2000. Throat Swab in
the Chronic Tonsilitis: How Reliable and valid is it. Singapore Med J, Vol
a41(7), p. 324-6.
Kvestad E, 2005. Heritability of Recurrent Tonsilitis. Otolaryngology Head and
Neck Surgery; p. 131:383-7.
Kvaerner KJ, Nafstad P, Jaakkola JJ, 2000. Upper Respiratory Morbidity in
Preschooll Children. Otolaryngology Head and Neck Surgery, 127, p.
1201-6.
Lam YY, et al 2006. The Correlation Among Obesity, Apnoe-Hypopnea Index,
and Tonsil Size in Children. Chest Journal, 130, p. 1751-6.
Lee KJ, 2008. Pediatric Otolaryngology, in Essential Otolaryngology Head &
Neck Surgery. New York, The McGraw-Hill Companies, ninth
edition,p.776-826.
Mogoanta CA, et al, 2008. Chronic Tonsilitis : Histological and
Immunohistochemical Aspects. Romanian Journal of Morphology and
Embryology, 49(3): p.381-6.
National Center for Health Statistic United State, 1997. Vital and Health
Statistics, Prevalence of Selected Chronic Conditions, p. 1-127.

28
Otvagin IV, 2007. The Analysis of the Occurrence of Chronic Disease of the
Upper Respiratory Tracts and the Organ Hearing among Population of
Three Region of the Central Federal Teritory. Vest Otorinolaryngology;
(6): 38-40. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Bernard BS, Rockette
HE, Kurs - Lasky M, 2002. Tonsillectomy and adenoidectomy for
recurrent throat infection in moderately affected children.
Pediatrics;110: p. 7-15
Pereira, LM et al 2008. Selected Bacterial Recovery in Trinidadian Children
with Chronic Tonsillar Disease. Brazzilian Journal f Otorhinolaringology,
74(6), p. 903-11.
Primara IW, Losin K, Rianto BUD, 1999. Hubungan Antara Tanda Klinis
Dengan Hasil Pemeriksaan Histopatologis Pada Tonsilitis Kronis Yang
Telah Dilakukan Tonsilektomi. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS
PERHATI, Semarang, BP Undip; hal. 253-64.
Riodal AC, Franchi-Teixeira AR, Nicola MD, 2007. Relationship Between the
Presence of Tonsillolith and Halitosis in Patints with Chronic Caseous
Tonsilitis. Medical Journal San Paulo, 204: E4.
Rusmarjono, Soepardi EA , 2001. Penyakit Serta Kelainan Faring dan Tonsil,
dalam Soepardi EA, Iskandar HN editor, Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal.178-89.
Sclafani AP, Ginsburg J, Shah MK, Dolitsky JN, 1998. Treatment of
Symptomatic Chronid Adenotonsilar Hypertropy with
Amoxicillin/Clavulanate Potassium: Short and Long-term Result. Official
Journal of the American Academy of Pediatrics, 101; p.675-81.
Shnayder Y, Lee KC, Bernstein JM, 2008. Management of Adenotonsilar
Disease, in: Lalwani AK editors, Current Diagnosi & Treatment in
Otolaryngology-Head & Neck Surgery. Philadelphia: McGrow-Hill
Companies, p.340-8.
Sing TT, 2007. Pattern of Otorhinolaryngology Head and Neck Diseases in
Outpatient Clinic of a Malaysian Hospital. Internet Journal of Head and
Neck Surgery. Vol 2, number 1.
Suyitno S, Sadeli S, 1995. Uju Banding Klinik Antara Ofloksacin dengan
Amoksisilin Terhadap Penderita Tonsilitis/Tonsilofaringitis Kronis
Eksaserbasi Akut. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS XIV PERHATI
Yokyakarta; 397-412.
Suwendo R, 2001. Epidemiologi Penyakit THT di & Provinsi. Kumpulan
Makalah dan Pedoman Kesehatan Telinga. Lokakarya THT Komunitas.
PIT PERHATI-KL Palembang; hal.8-12.
Tarasov DI, Morozov AB, 1991. Frequency and Structure of Chronic Disease of
Ear, Throat and Nose Among Population and Their Dinamycs.
Otorinolaryngology Head and Neck Surgery, Mar-Apr;(2):12-4.
Timbo SK, et al, 2006. Epidemiologic Aspects of Pharyngitis. Arch
International Medical. 22;158 a(12) : pp.1365-73.
Ugras Serdar, Kutluhan Ahmet, 2008. Chronic Tonsilitis Can Be Diagnosed
With Histopatologic Findings. Europe Journal General Medical;
5(2):pp.95-103.

29
Undaya R, Sarbini TB, 1999. Pola Kuman Aerob dan UJi Kepekaannya Pada
Apus Tonsil dan Jaringan Tonsil Pada Tonsilitis Kronis Yag Mengalami
Tonsilektomi. Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional XII, hal.193-
205.
Xie Y, Chen X, Nishi S, Narita I, gejyo F, 2004. Relationship Between Tonsil
And IgA Nefropathy as well as Indication of Tonsillectomy. Kydney
International, vol 65, pp.1135-44.
Younis RT, Lazar RH. History and Current Practice of Tonsillectomy.
Laryngoscope 2002;112, p. 3-5.

30

Anda mungkin juga menyukai