Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN MINI-CEX

EPISTAKSIS
Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit THT-KL
di RSUD Tugurejo Semarang

Disusun Oleh :
Aziza Ulfie Wijayani
H2A014012P

Pembimbing :
dr. Sukamta Yudi, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK


KEPALA LEHER - RSUD TUGUREJO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan
suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat
berhenti sendiri. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2- 10 tahun dan 50-80 tahun,
sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian
epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-
laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan
dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat
penyakit hipertensi atau arteriosklerosis. Tiga prinsip utama dalam menanggulangi
epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah
berulangnya epistaksis.
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : An. Erlangga
Usia : 8 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kaliwungu Selatan
No CM :-
Masuk Poli Klinik : 10 Desember 2018
Status : BPJS
II. Anamnesis
a. Keluhan utama
Sering mimisan
b. Anamnesis
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Tugurejo Semarang dengan keluhan
sering mimisan sejak satu tahun yang lalu. Mimisan dirasa tiba-tiba tanpa ada
keluhan sebelumnya. Mimisan terakhir satu minggu yang lalu saat bangun tidur.
Pasien mengaku tidak pernah demam sebelumnya, tidak pernah mengalami jatuh
atau pukulan di hidung, tidak pernah merasa nyeri pada bagian hidung. Pasien
mengaku mimisan terjadi bisa sampai dua kali seminggu dan hal ini dirasa
mengganggu. Pasien mengaku tidak ada keluhan nyeri, keluar cairan pada telinga
kanan maupun kiri. Pasien juga mengaku tidak ada keluhan nyeri menelan, sulit
menelan pada tenggorokan, batuk pilek (-), demam (-).

c. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat penyakit serupa : diakui, 1 tahun.
b. Riwayat penyakit kongenital : disangkal
c. Riwayat operasi : disangkal
d. Riwayat ISPA : disangka
e. Riwayat alergi : disangkal
f. Riwayat trauma : disangkal
g. Riwayat sakit hidung (rhinitis, sinusitis) : disangkal
h. Riwayat penyakit lain : DM (-), Hipertensi (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat sakit serupa : diakui, Ibu.
b. Riwayat alergi : disangkal.

e. Riwayat Pribadi dan Lingkungan


Pasien merupakan seorang pelajar kelas 3 SD. Saat ini pasien tinggal bersama
orang tuanya. Pasien mengaku mempunyai aktivitas berlebih di sekolahnya. Pasien
mengaku sering bersepedaan di bawah terik matahari. Pasien kurang suka makan
sayur dan minum air putih.

f. Riwayat Sosial Ekonomi


Biaya pengobatan pasien secara BPJS. Kesan ekonomi cukup.

g. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran : Kompos mentis
 Tanda – tanda vital
Tekanan darah : tidak diperiksa
Nadi : 83 kali/menit,
Respiratory rate : 18 kali/menit,
Suhu : tidak di periksa
 Kulit : sawo matang
 Kepala : mesosefal
 Wajah : simetris, facies adenoid (-)
 Mata : refleks pupil (+/+), isokor, konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-)
 Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
 Thorax : tidak diperiksa
 Abdomen : tidak diperiksa
 Ekstremitas : dalam batas normal, akral hangat
Status Lokalis
Telinga:

Bagian Telinga Telinga kanan Telinga kiri


Deformitas (-), hiperemis Deformitas (-), hiperemis
Aurikula (-), edema (-), nyeri tarik (-), edema (-),nyeri tarik
aurikula (-) aurikula (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Daerah
fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
preaurikula
tekan tragus (-) tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Daerah
fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
retroaurikula
nyeri ketok (-) ketok (-)
Serumen (+), edema (-), Serumen (-), edema (-),
Meatus
hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
akustikus
otorea (-), discharge (-) discharge (-)
Hiperemis (-) Retraksi (-), Hiperemis (-),Retraksi (-),
Membran bulging (-), granulasi (-) bulging (-), granulasi (-),
timpani perforasi (-) central, cone perforasi (-), cone of light
of light (+) jam 5 (+), posisi jam 7
Hidung:
Gambar :

Pemeriksaan Hidung Hidung Kanan Hidung Kiri


Hidung Luar Bentuk normal, Inflamasi Bentuk normal, Inflamasi
(-), nyeri tekan (-), (-), nyeri tekan (-),
deformitas (-). deformitas (-).
Rinoskopi Anterior
Vestibulum N N
Dasar kavum nasi Bentuk normal, mukosa Bentuk normal, mukosa
media hiperemi (-). hiperemi (-).
Meatus nasi media Mukosa hiperemi (-), Mukosa hiperemi (-),
sekret (-), konka nasi sekret (-), konka nasi
media normal, massa (-), media normal, massa (-),
sekret (-). sekret (-).
Meatus nasi inferior Mukosa hiperemi (-), Mukosa hiperemi (-),
edema (-) edema (-)
Konka nasi inferior Mukosa hiperemi (-), Mukosa hiperemi (-),
edema (+) ringan edema (+) ringan
Septum nasi Deviasi (-), benda asing Deviasi (-), benda asing
(-), perdarahan (-), (-), perdarahan (-),
hiperemis (+) hiperemis (+)
Tenggorokan:
Gambar :

Bagian Keterangan
Gigi geligi Karies gigi (-)
Mukosa bukal hiperemis (-), massa (-)
Mukosa gigi hiperemis (-), massa (-)
Palatum durum dan
Hiperemis (-), massa (-)
palatu mole
Hiperemis (-), edema (-), massa (-), granul (-),
Mukosa faring
ulkus (-)
Tonsil Hiperemis (+), ukuran T2-T2, detritus (-)

h. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang yang dapat diusulkan :
1. Endoskopi

2. Laboratorium (Darah Rutin)

3. CT-BT

i. Resume
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Tugurejo Semarang dengan
keluhan sering mimisan sejak satu tahun yang lalu. Mimisan dirasa tiba-tiba tanpa
ada keluhan sebelumnya. Mimisan terakhir satu minggu yang lalu saat bangun
tidur. Pasien mengaku tidak pernah demam sebelumnya, tidak pernah mengalami
jatuh atau pukulan di hidung, tidak pernah merasa nyeri pada bagian hidung.
Pasien mengaku mimisan terjadi bisa sampai dua kali seminggu dan hal ini dirasa
mengganggu. Pasien mengaku tidak ada keluhan nyeri, keluar cairan pada telinga
kanan maupun kiri. Pasien juga mengaku tidak ada keluhan nyeri menelan, sulit
menelan pada tenggorokan, batuk pilek (-), demam (-).
Dari hasil pemeriksaan telinga didapatkan telinga dalam batas normal,
membran timpani dalam batas normal. Pemeriksaan hidung didapatkan septum nasi
hiperemis (+), bleeding point (-), konka edem (+) ringan. Pemeriksaan mulut dan
tenggorokan didapatkan tonsil hiperemis T2-T2.

j. Diagnosis banding
1. Epistaksis
2. Polip hidung

k. Diagnosa Kerja
Epistaksis

l. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Asam Traneksamat 500mg 3x1/2tab
Vit C 50mg 2x1 tab
b. Non medikamentosa
 Apabila terjadi perdarahan aktif, dapat dilakukan tamponisasi pada hidung
yang mengalami perdarahan dan diberikan vasokonstriktor lokal.
 Memberitahu pada pasien bahwa epistaksis dapat terjadi ketika pasien
mengalami kelelahan, sering berada dibawah terik matahari sehingga
pasien lebih baik mengurangi aktifitas yang berlebih
 Memberitahu pasien bahwa apabila terjadi epistaksis yang tidak kunjung
berhenti, segera membawa pasien ke UGD atau klinik terdekat untuk
mencegah perdarahan hebat
 Memberitahu pasien untuk sering mengkonsumsi sayur dan buah buahan

m. Prognosis
1. Ad vitam : Dubia ad Bonam
2. Ad functionam : Dubia ad Bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Dasar Teori

1. Epistaksis

a. Definisi

Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan

dari hidung dapat berasal dari bagian anterior rongga hidung atau

dari bagian posterior rongga hidung. Dapat terjadi akibat sebab

lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu

penyakit melainkan gejala suatu kelainan. Perdarahan yang terjadi

di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit umum.

Kebanyakan ringan dan sering berhenti sendiri tanpa memerlukan

bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang,

merupakan masalah kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak

segera ditangani (Endang & Retno, 2008).

Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin

hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya (spontan) atau

dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien sendiri

dengan jalan menekan hidungnya (Iskandar & Supardi, 1993).

b. Epidemiologi
Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1

dari 7 penduduk. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai

pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering

pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau

arteriosklerosis (Watkinson, 1997).

Prevalensi epistaksis pada pria dan wanita umumnya adalah

sama, dan distribusi umur penderita epistaksis biasanya terjadi

pada usia < 20 tahun dan > 40 tahun (Nash & Simon, 2008).

Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213 orang pasien

yang datang ke Unit Gawat Darurat dengan epistaksis, ditemukan

33 orang pasien (15,5%) dengan peningkatan tekanan darah

(Herkner, et al., 2000).

Usia pada penderita hipertensi dengan epistaksis antara 37-

55 tahun sedangkan normotensi dengan epistaksis antara 29-48

tahun (Isezuo, 2008).

Sekitar 10% dari episode epistaksis adalah perdarahan

posterior. Perdarahan posterior paling sering berasal dari arteri. Hal

ini menunjukkan besarnya risiko membahayakan jalan pernapasan,

aspirasi dan kesulitan dalam mengendalikan perdarahan (Nguyen,

2011)

c. Klasifikasi
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa

bagian, yaitu

1) Epistaksis Anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai

terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri (Nuty

Endang, 1998). Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan

konkha inferior (Abelson, 1998). Daerah ini terbuka terhadap efek

pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus,

ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan

menimbulkan perdarahan (Ballenger, 1994).

2) Epistaksis Posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina

dan arteri etmoid posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang

berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan

hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit

kardiovaskular (Nuty & Endang, 1998).

Tidak ada yang tahu secara spesifik kondisi atau faktor

risiko yang berhubungan dengan perdarahan hidung posterior

(Viducich, et al., 1995).

e. Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah

di dalam selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan

berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little).

Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di


belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah

yang kaya anastomosis (Maron, 1993).

Pada banyak kasus, tidak mudah untuk mencari penyebab

terjadinya epistaksis. Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa

diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan karena

trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada

hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma,

kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda

asing, tumor, pengaruh udara & lingkungan. Kelainan sistemik

seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik,

perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan

kongenital (Nuty & Endang, 2008).

1. Faktor Lokal

Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya

epistaksis antara lain

Trauma (Nuty & Endang, 2008).

Obat semprot hidung (nasal spray). (Pope & Hobbs, 2005).

c. Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti

dekongestan topikal dan kokain (Pope & Hobbs, 2005).

Kelainan vaskular. Seperti kelainan yang dikenal dengan

Wagener’s granulomatosis (kelainan yang didapat) (Pope &

Hobbs, 2005).

3. Faktor Sistemik
Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan

epistaksis. Arteriosklerosis pada pasien hipertensi membuat

terjadinya penurunan kemampuan hemostasis dan kekakuan

pembuluh darah (Nwaorgu, 2004). Penyebab epistaksis yang

bersifat sistemik antara lain

a. Usia. Epistaksis dapat terjadi di semua kelompok umur,

tapi paling dominan berpengaruh pada orang tua (50-80

tahun) dan anak-anak (2-10 tahun) (Mulla, et al., 2012).

b. Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic

telangectasia) merupakan kelainan bawaan yang

diturunkan secara autosom dominan. Trauma ringan

pada mukosa hidung akan menyebabkan perdarahan

yang hebat (Nwaorgu, 2004).

c. Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia

(heparin, warfarin) dan antiplatelets (aspirin,

clopidogrel) (Pope & Hobbs, 2005).

d. Kurangnya faktor koagulasi (trombositopenia,

koagulopati kongenital/di dapat, defisiensi vitamin A, D,

E, C, atau K, penyakit liver, gagal ginjal, malnutrisi,

polisitemia vera, multipel mieloma, leukemia)

(Wormald, 2006).

e. Penyakit kardiovaskular (congestive heart failure,

stenosis katup miral) (Wormald, 2006).

f. Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis

hepatis (Jeffrey, 2012).


g. Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol (Pope &

Hobbs, 2005).

h. Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon

adrenokortikosteroid atau hormon mineralokortikoid,

pheochromocytoma, hyperthyroidism atau

hypothyroidism, kelebihan hormon pertumbuhan dan

hyperparathyroidism (Idham & Sanjaya, 2005).

3. Faktor Lingkungan
Angka kejadian epistaksis ditemukan meningkat selama

bulan musim kemarau, seringkali dihubungkan dengan perubahan

temperatur dan kelembaban (Fletcher, 2009). Insiden epistaksis

juga terkait ke irama sirkadian, dengan peningkatan di pagi hari

dan akhir sore hari (Middleton, 2004).

Kelainan sistemik yang paling sering berhubungan dengan

epistaksis adalah hipertensi. Pada pasien dengan hipertensi dan

epistaksis dipikirkan bahwa bertambahnya usia menginduksi

terjadinya fibrosis pada tunica media. Hal ini bisa menyebabkan

gangguan vasokonstriksi yang adekuat pada pembuluh darah

apabila terjadi ruptur (Massick, et al., 2005).

f. Patofisiologi
Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan akut dari rongga

hidung, yang keluar melalui lubang hidung ataupun kebelakang

(nasopharing). Secara patofisiologis, bisa dibedakan menjadi

epistaksis anterior dan posterior. 90% epistaksis berasal dari bagian

depan hidung (anterior), berasal dari sekat/dinding rongga hidung.

Bagian dalam hidung dilapisi oleh mukosa yang tipis dan


mengandung banyak pembuluh darah (Kiesselbach plexus) yang

fungsinya menghangatkan dan melembabkan udara yang dihirup.

Pembuluh-pembuluh ini amat peka terhadap pengaruh dari luar,

selain karena letaknya di permukaan juga karena hidung merupakan

bagian wajah yang paling menonjol. Sehingga perubahan cuaca

(panas, kering), tekanan udara (di daerah tinggi), teriritasi gas/zat

kimia yang merangsang, pemakaian obat untuk mencegah

pembekuan darah atau hanya sekedar terbentur (pukulan), gesekan,

garukan, iritasi hidung karena pilek/allergi atau kemasukan benda

asing dapat menimbulkan epistaksis. Jenis epistaksis yang anterior

biasanya lebih mudah diatasi dengan pertolongan pertama di rumah

(Isezuo, 2008).

Pada orang yang lebih tua, lokasi perdarahan lebih sering

ditemukan berasal dari bagian posterior hidung. Penyebab biasanya

bukan karena trauma tetapi lebih mungkin ruptur spontan

pembuluh darah yang sklerotik. Perdarahan akan lebih berat jika

pasien menderita hipertensi. Epistaksis posterior terjadi primer di

regio septum posterior, diikuti sesuai frekuensi di dinding

posterolateral nasal yang mengandung pleksus naso-nasofaringeal

Woodruff; sering berasal dari pembuluh arteri (Isezuo, 2008).

Berdasarkan etiologi dari epistaksis, salah satu penyebab

epistaksis akibat gangguan sistemik dicetuskan oleh adanya

hipertensi. Berdasarkan penelitian yang ada, faktor hipertensi ini

merupakan penyebab sistemik tersering yang menyebabkan

epistaksis. Tekanan darah normal bervariasi sesuai usia, sehingga

setiap diagnosis hipertensi harus bersifat spesifik terhadap usia.


Namun secara umum, seseorang dianggap mengalami hipertensi

apabila tekanan darahnya lebih tinggi daripada 140 mmHg sistolik

atau 90 mmHg diastolik (Corwin & Elizabeth, 2000).

Karena tekanan darah bergantung pada kecepatan denyut

jantung, volume sekuncup dan TPR , maka peningkatan salah satu

dari ketiga variable yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan

hipertensi (Corwin & Elizabeth, 2000).

Nakada, et al. membuktikan terjadinya apoptosis pembuluh

darah mikro pada pasien dengan hipertensi. Diperkirakan bahwa

hipertensi menyebabkan penebalan pada dinding pembuluh darah

dan menyebabkan peningkatan terjadinya apoptosis yang

merupakan usaha tubuh untuk meregresi terjadinya penebalan pada

dinding pembuluh darah. Teori ini diduga semakin menyakinkan

terjadinya mekanisme spontan epistaksis. Perdarahan biasanya

hebat dan jarang berhenti spontan (Isezuo, 2008).

Pada pasien dengan hipertensi juga dapat menyebabkan

arteriosklerosis pada pembuluh darah di daerah nasal yang diduga

menjadi penyebab epistaksis karena predisposisi hipertensi (Isezuo,

2008).

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang

berusia menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot

pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan

tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang

komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut

memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena


hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan

yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan

di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan

area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini

disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma (Watkinson, 1997).

g. Diagnosis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta

menemukan penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari

bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mengambil kotoran

dari hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit

infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya

akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan

pengukuran tekanan darah dan periksa faktor pembekuan darah.

Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan

tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau

perlu CT-scan (Becker, et al., 1994).

h. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi akibat dari epistaksisnya sendiri

atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis (Endang

& Retno, 2008).

Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah

ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok,

anemia, dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara

mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,

insufisiensi koroner, sampai infark miokard sehingga dapat


menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau

transfusi darah harus dilakukan secepatnya (Endang & Retno,

2008).

Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis,

otitis media, septicemia, atau toxic shock syndrome. Oleh karena

itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan

tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila

perdarahan berlanjut dipasang tampon baru (Endang & Retno,

2008).

i. Prognosis
Prognosis epistaksis baik tetapi bervariasi. Dengan terapi

yang adekuat dan kontrol penyakit yang teratur, sebagian besar

pasien tidak mengalami perdarahan ulang. Pada beberapa

penderita, epistaksis dapat sembuh spontan tanpa pengobatan.

Hanya sedikit penderita yang memerlukan pengobatan yang lebih

agresif (Nguyen, 2011).

j. Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu

menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah

berulangnya epistaksis (Nuty & Endang, 1998).

Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi

duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan dengan

meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam

keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat

penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian


diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1:

10.000 dan lidokain atau pantokain 2%. Kapas ini dimasukkan ke

dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan

mengurangi rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini

dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan

apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau

posterior (Nuty & Endang, 1998).

Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan

adalah perkiraan jumlah dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan

hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat dilakukan.

Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi.

Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan

pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa

tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya

dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan

darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi

PRC disamping penggantian cairan (Abelson, 1997).

1) Epistaksis Anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus

Kisselbach di septum bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan

sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat dicoba

dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit,

seringkali berhasil. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat

asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3)


25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik (Nuty &

Endang, 2008).

2) Epistaksis Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab

biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan

dengan rinoskopi anterior (Nuty & Endang, 1998). Epistaksis

posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior,

bolloon tamponade, ligasi arteri dan embolisasi (Abelson, 1997).


DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardie EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007.

2. Adam GL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996

3. Ballenger, JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 13, Jilid
II,Alih Bahasa Staf Ahli Bagian THT FK-UI/RSCM. Jakarta : Binarupa Aksara. 1997

4. Ludman, Harold. Petunjuk Penting Pada Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan.


Jakarta: Hipokrates. 1996.

5. Dejong, W., Sjamsuhidajat, R.Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : 2005

6. Rasad, sjahriar. RadiologiDiagnostikedisike 2.Jakarta:FKUI. 2005

7. Widodo P dkk. PolaSebaranKumandanUjiKepekaanAntibiotikaSekretTelinga Tengah


PenderitaMastoiditisAkutdi RS DrKariadi Semarang. 2005.

8. Mukmin, Sri; Herawati, Sri. TeknikPemeriksaan THT. LaboratoriumIlmuPenyakit


THT, FK UNAIR. Surabaya. 2000.

9. Kelompok Studi Otologi. Guideline Penyakit THT di Indonesia. Dalam:Perhimpunan


Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Jakarta: 2007.

10. Zanetti D, Nassif N. Indications for Surgery in Acute Mastoiditis and Their
Complications in Children. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology.
2006.

Anda mungkin juga menyukai