Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. N
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 19 tahun
Alamat : Babakan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar
Status maternal : Belum Menikah

II. ANAMNESIS
- Keluhan Utama
Rasa mengganjal ketika menelan

- Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli THT RSUD Waled dengan keluhan rasa mengganjal
ketika menelan yang sudah dirasakan sejak kurang lebih 2 minggu yang lalu.
Keluhan dirasa hilang timbul dan memberat pada 1 bulan ini. Keluhan
dirasakan terutama saat makan makanan kasar seperti nasi. Sehingga pasien
sulit untuk makan. Keluhan disertai dengan demam dan batuk pilek. Pasien
juga merasa sesak nafas saat berbaring ataupun tidur malam. Ibu pasien
mengatakan bahwa sering mendengar pasien mendengkur saat tidur.
2 bulan SMRS, pasien pergi berobat ke puskesmas setelah diperiksa pasien
diberitahukan bahwa amandelnya membesar dan disarankan untuk melakukan
oprasi pengangkatan amandel, namun pasien belum mau dioprasi karena
alasan sedang tinggal di pesantren dan memilih untuk diberi pengobatan
mengurangi gejala.
2

1 minggu SMRS, pasien masih mengeluh kan rasa mengganjal di


tenggorokannya disertai adanya demam. Tidak ada keluhan nyeri hebat yang
menyebabkan sulit membuka mulut ataupun suara yang serak. Tidak ada
keluhan pada telinga berdenging, terasa penuh, ataupun pendengarannya
kurang, tidak ada keluhan pada mata seperti pandangan ganda. Pasien
memutuskan untuk diangkat amandelnya karena merasa tidak nyaman pada
tenggorokannya.

- Riwayat penyakit dahulu


4 tahun SMRS pasien sempat melakukan pemeriksaan karena gangguan
nyeri menelan, setelah diperiksa pasien diberitahukan jika amandelnya
membesar dan disarankan untuk dioperasi tetapi pasien menolak dan memilih
pengobatan di puskesmas saja karena pasien masih di pesantren. Pasien tidak
memiliki alergi makanan, udara dingin, debu ataupun obat-obatan, riwayat
asma dan pengobatan paru disangkal. Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus
juga disangkal.

- Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan pasien
- Riwayat Hipertensi disanggkal
- Riwayat Diabetes Melitus disangkal

- Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi baik makanan, udara dingin, debu ataupun obat

- Riwayat Pengobatan
1 bulan yang lalu sebelum pasien datang ke poliklinik THT RSUD waled
pasien berobat ke puskesmas dan diberikan obat tetapi keluhan masih tetap
ada dan dirasa tidak ada perbaikan.
3

- Riwayat Pribadi & Sosial


Pasien sering jajan gorengan, makanan ringan yang mengandung MSG,
minuman instant dan sering mengkonsumsi mie instan.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang

b. Kesadaran
Composmentis

c. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 88x/menit
Frekuensi Napas : 20x/menit
Suhu : 36,8˚C

d. Status Lokalis
- Pemeriksaan telinga
No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri
Telinga
1. Retroaurikula Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-
teraba hangat (-) ), teraba hangat (-)
2. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema
(-)
3. Aurikula Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran
batas normal, hematoma dalam batas normal,
(-), nyeri tarik aurikula (-) hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-)
4

4. CAE Lapang, Serumen (-), Lapang, Serumen (-),


hiperemis (-), furunkel (- hiperemis (-), furunkel
), edema (-), otorhea (-) (-), edema (-), otorhea
(-)
6. Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-
hiperemi (-), edema (-), ), hiperemi (-), edema (-
Membran
perforasi(-),coneof light ), perforasi (-), cone of
timpani
(+), se kret (-) light(+), sekret (-)

- Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal

No Pemeriksaan Dextra Sinistra


hidung
1. Bentuk Normal, deformitas (-) Normal, deformitas (-)
2. Sekret Mukoserous Mukoserous
3. Mukosa konka Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)
media
4. Mukosa konka Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)
inferior
5. Meatus media Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

6. Meatus inferior Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

7. Septum Deviasi (-) Deviasi (-)


8. Massa (-) (-)
9. Pasase udara Hambatan (-) Hambatan (-)
10. Daerah sinus Nyeri tekan (-)
frontalis
5

11. Daerah sinus Nyeri tekan (-)


maksilaris

- Pemeriksaan Orofaring

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)


Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Warna kuning gading, caries (+) molar 2 atas dextra,
gangren(-)
Ginggiva Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-), dalambatas
normal
Uvula Bentuk normal, letak di tengah, hiperemi (-), edema (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-)
Tonsila palatine Kanan Kiri
Ukuran T3 T3
Warna Hiperemis(+) Hiperemis(+)
Permukaan Tidak Rata Tidak Rata
Kripte Melebar (+) Melebar (+)
Detritus (+) (+)
Peri Tonsil Abses (-) Abses (-)
6

Fossa Tonsillaris Hiperemis (-) Hiperemis (-)


dan Arkus
Faringeus

- Pemeriksaan Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-)

IV. DIAGNOSIS BANDING


- Tonsilitis Kronis
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Darah Rutin
- LED
- Serologi : Asto

VI. DIAGNOSA KERJA


Tonsilitis Kronis

VII. RENCANA TERAPI


a. Medikamentosa
- Amokcilcav 3x1 tab
- Vit B 3x1 tab
- Vit C 3x1 tab
- Asam Mefenamat 3x1 tab
b. Terapi Operatif
Tonsilektomi
VIII. Edukasi
- Untuk sementara hindari makanan yang berminyak, manis, pedas, dan lainnya
yang dapat mengiritasi tenggorokan. Begitu pula dengan minuman dingin.
- Menjaga higiene mulut.
7

- Sarankan keluarga untuk menjaga kesehatan pasien dan mempertimbangkan


untuk melakukan operasi pengangkatan amandel atau tonsilektomi jelaskan
indikasi, dan komplikasinya.

XI. Prognosis
Qua ad vitam : ad bonam
Qua ad functional : ad bonam
Qua ad sanantionam : dubia
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila
faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band
dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila palatine biasanya meluas
ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui udara (air borne
droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.1,2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk
strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr,
enterovirus, dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada
tonsilitis adalah bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30% dari
tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan juga merupakan penyebab radang
tenggorokan.3
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang
berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Terdapat referensi yang menghubungkan
antara nyeri tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis
kronik.5 Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari
daerah oral dan ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena
peradangan kronis pada tonsil. Data dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis
klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi berulang dan obstruksi saluran napas
bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin memiliki
dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam berulang,
odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan submandibula.6
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.1
9

II. ANATOMI
a. PHARYNX
Pharynx terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan larynx. Bentuknya
mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan
bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra
cervicalis enam. Dinding pharynx terdiri atas tiga lapis yaitu mucosa, fibrosa,
dan muscular.7

Gambar 1. Anatomi Pharinx

Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu : nasopharynx,


oropharynx, dan laringopharynx.7
1) Nasopharynx
Nasopharynx terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum molle.
Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior,
dandinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan
pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut
tonsila pharyngeal, yang terdapat didalam submucosa. Bagian dasar dibentuk
oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Dinding anterior dibentuk
oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir posterior septum nasi.
Dinding posterior membentuk permukaan miring yang berhubungan dengan
atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding lateral pada
10

tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring. Kumpulan jaringan


limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila
tubaria.7

Gambar 2. Pembagian Pharinx


2) Oropharynx
Oropharynx disebut juga mesopharynx, dengan batas atasnya adalah
palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah
rongga mulut, sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal.1
Oropharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior,
dan dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum
molle dan isthmus pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di
dalam submukosa permukaan bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk
oleh sepertiga posterior lidah dan celah antara lidah dan permukaan anterior
epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi sepertiga posterior lidah
berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid
dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat dari
lidah menuju ke epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut
plica glosso epiglotica mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis.
Lekukan kanan dan kiri plica glosso epiglotica mediana disebut vallecula.7
11

Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus


oropharynx (isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus
linguae. Dinding posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan
bagian atas corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral
terdapat arcus palate glossus dengan tonsila palatina diantaranya.7
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
pharynx, tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan
posterior, uvula, tonsila lingual dan foramen sekum.1
 Fossa Tonsilaris
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada
dinding lateral oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus
palatopharyngeus dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. 7
Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas
atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang
dinamakan fossa supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses.
Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan
kapsul yang sebenarnya.1

Gambar 3. Struktur pada Oropharynx

 Tonsil
12

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan


ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga
macam tonsil yaitu tonsila faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila
lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak
didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah
intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua. Kutub
bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.1
Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding
lateral rongga mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh
otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh
otot palatofaringeus.8
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan
mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah
epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya
ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia pharynx yang sering
juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx,
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.1

Gambar 4. Cincin Waldeyer


13

Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine


asendens, cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens
dan arteri lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi
menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah
anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan
tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista
duktus tiroglosus.1
Vena-vena menembus m.constrictor pharyngeus superior dan
bergabung dengan vena palatine eksterna, vena pharyngealis, atau vena
facialis. Aliran limfe pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodi
lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting dari kelompok ini adalah
nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus
mandibulae.7
3) Laryngopharynx
Laryngopharynx terletak di belakang aditus larynges dan
permukaan posterior larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis
sampai dengan pinggir bawah cartilage cricoidea. Laryngopharynx
mempunyai dinding anterior, posterior dan lateral. Dinding anterior
dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mukosa yang meliputi
permukaan posterior larynx. Dinding posterior disokong oleh corpus
vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral
disokong oleh cartilage thyroidea dan membrane thyrohyoidea. Sebuah
alur kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa piriformis, terletak
di kanan dan kiri aditus laryngis.7
14

Gambar 5. Neurovaskularisasi pharynx

PERSARAFAN PHARYNX
Persarafan pharynx berasa ldari plexus pharyngeus yang dibentuk oleh
cabang-cabang nervus glossopharyngeus, nervus vagus, dan nervus symphaticus.
Persarafan motorik berasal dari pars cranialis nervus acessorius, yang berjalan
melalui nervus vagus menuju ke plexus pharyngeus, dan mempersarafi semua otot
pharynx, kecuali m.stylophryngeuus yang dipersarafi oleh nervus
glossopharyngeus.7
Persarafan sensorik membran mukosa nasopharynx terutama berasal dari
nervus maxillaris. Membrana mukosa di sekitar aditus laryngeus dipersarafi oleh
nervus ramus laryngeus internus nervus vagus.7

VASKULARISASI PHARYNX
Suplai arteri pharynx berasal dari cabang-cabang arteri pharyngea
ascendens, arteri palatina ascendens, arteri facialis, arteri maxillaris, dan arteri
lingualis. Vena bermuara ke plexus venosus pharyngeus, yang kemudian
bermuara ke vena jugularis interna.7

SISTEM LIMFATIK PHARYNX


Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior,
media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening
retrofaring dan kelanjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media
15

mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelanjar servikal dalam


atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal
dalam bawah.1

Gambar 6. Sistem Limfatik Pharynx


III. IMUNOLOGI
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa
tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin
Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain.
Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat
kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting
sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke
saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen
makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik.
Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear
pertama-tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen.9
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang
dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri
atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells) yang
berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs
16

(sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel


plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik.9,10
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak
pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu
mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap
bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga
menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk membantu
melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing
tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya
dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara
mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari
jaringan limfoid). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan
patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar
tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun.9,10

IV. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan
penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997
cakupan temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan
sasaran temuan pada penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82% ;
sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya pengetahuan masyarakat. Di
Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga disebabkan ISPA. Tonsilitis
17

kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau
karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.9
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di
Amerika Serikat mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data
epidemiologi penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996,
prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis
akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan
baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang.
Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang sama,
maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.11
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada
anak-anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh
spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan
tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda.2,12 Data epidemiologi
menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering
terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu:
10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering
penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50
% . Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis
Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.9
Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian yang
dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku
Bidayuh 38%, Malay 25%, Iban 20%, dan Chinese 14%.9

V. ETIOLOGI
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara
aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian
nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut
masuk bersama makanan9. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan
18

ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada


tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.13
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri
aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis
jenis kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A
(SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan
nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius yang memerlukan
pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.8,14
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis
Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus,
Streptokokus beta hemolitikus grup A, Staphylococcus epidermidis dan kuman
gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E.
coli.9
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan
pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh.
Penyebab penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes
simpleks (pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan
coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil.
Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan
pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas
yang akut. 14
Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan
bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised.14

VI. PATOMEKANISME
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan
pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman
kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari
19

tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan
toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh
menurun.9 Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superkistal bereaksi dimana
terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Karena
proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan
terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submadibularis.1

VII. FAKTOR PREDISPOSISI


Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor
genetik maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko
penyakit Tonsilitis Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi
konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara relatif penelitiannya
mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor genetik
sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis. 15
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik

5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat

VIII. GEJALA KLINIK


Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan
saluran napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun
tidak mencolok.16
20

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak


rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang
mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.1
Pada tonsillitis kronik juga sering disertai halitosis dan pembesaran nodul
servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh
dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a) pembesaran tonsil
karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di
atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya
mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian
tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.8,17

Gambar 7. Tonsillitis kronik

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur


jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial
kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :10,18,19

T0 : Tonsil masuk di dalam fossa


T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
21

Gambar 8. Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring

Gambar 9. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C)
Grade-IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)

IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis Kronis:
 Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi
kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan
mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian
antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat (Hammouda et al, 2009).
Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan
penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan
tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab
permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri
22

Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang
ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus.20
 Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap
480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria
histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s
abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah
temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis
Kronis.20

X. DIAGNOSIS
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara
menyeluruh untuk menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan
yang dapat membingungkan diagnosis.
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis
berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang

mengganjal ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada
tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas, yang paling
sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala konstitusi dapat
ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan
adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.1,16,17
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya
terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam
kategori tonsillitis kronik.17
Pada Biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan beberapa
organisme yang virulensinya relative rendah dan pada kenyataannya jarang
menunjukkan streptokokus beta hemolitikus.8,17
23

XI. DIAGNOSIS BANDING


1. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.Tidak semua orang
yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer
antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah dapat
dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Tonsillitis difteri sering
ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi
pada usia -5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu: umum,
local, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi
lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala
local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu
(pseudomembran) yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat
akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi
(bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan
otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.1

Gambar 10. Tonsila Difteri

2. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulseromembranosa)


24

Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema.


Gejala pada penyakit ini berupa demam sampai 30ºC, nyeri kepala, badan
lemah, rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dan faring hiperemis, membran putih keabuan
diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut
berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibular membesar.1

Gambar. 11 Angina Plaut Vincent

3. Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, alergi, trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepskan toksin
ektraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup
jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat
terbentuknya kompleks antigen antibody.Gejala klinis secara umum pada
faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri
kepala.Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil
hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior
membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.1
25

Gambar 12. Faringitis

4. Faringitis Leutika
Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder
atau tersier. Pada penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah,
palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring. Bila infeksi terus
berlangsung maka akan timbul ulkus pada daerah faring yang tidak nyeri.
Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar mandibula yang tidak
nyeri tekan.1

5. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada
faringitis tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena
anoresia dan odinofagia.Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri
ditelinga atau otalgia serta pembesaran kelanjar limfa servikal.1
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri
tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada
pemeriksaan serologi, hapusan jaringanatau kultur, X-ray dan biopsy.

XII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan
operatif.
26

1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat
isap, pemberian antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi
atau oral. 1,8 Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang
bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah
metronidazole, klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis atau
abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan
mononukleosis).9
2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil
(tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
Dengan tindakan tonsilektomi.9 Pada penelitian Khasanov et al mengenai
prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan data
bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa Tonsilitis
Kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan
tonsilektomi.9
Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan kuisioner
terhadap 15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646 diantaranya
memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%) penderita
mendapat penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%) penderita dirujuk ke
rumah sakit.9

 Indikasi Tonsilektomi
Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas tonsilektomi
belum dievaluasi secara formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk
pengobatan Tonsilitis akut atau kronik, tetapi tidak ada bukti ilmiah
randomized controlled trials untuk panduan klinisi dalam
memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa. Tidak
ditemukan studi Randomized Controlled Trial (RCT) yang mengkaji
efektivitas tonsilektomi pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT
(Mawson 1967; McKee 1963; Roydhouse 1970; Paradise 1984; Paradise
27

1992), tetapi yang diikutkan dalam review hanya 2 studi (Paradise 1984;
Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak memenuhi kriteria. Studi pertama
oleh Paradise (1984), dilakukan pada anak yang dengan infeksi tenggorok
berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat kesimpulan yang tegas tentang
tonsilektomi karena adanya keterbatasan metodologi yaitu adanya
perbedaan kelompok operasi dengan kelompok kontrol. Dalam hal riwayat
episode infeksi sebelum mengikuti studi (kelompok operasi meliputi anak
dengan penyakit yang lebih berat) dan status sosial ekonomi (kelompok
nonoperasi memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi) serta
kelompok tonsilektomi dan tonsilo-adenoidektomi dilaporkan sebagai
satu kelompok operasi. Disamping itu, studi ini meliputi hanya anak
dengan infeksi tenggorok berat, pada pemantauan, banyak kelompok
kontrol yang memiliki episode infeksi sedikit dan biasanya ringan. Studi
kedua oleh Paradise (1992) meliputi anak dengan infeksi sedang tidak
dapat dievaluasi karena saat review dilakukan tidak ada data yang lebih
detil dari desain dan bagaimana penelitian ini dilakukan (hasil penelitian
baru dalam bentuk abstrak).9 Untuk keadaan emergency seperti adanya
obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan
lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan
non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi
perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak
.
menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi Indikasi absolut: a)
Hiperplasia tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu) yang
terkait dengan cor pulmonal. b) curiga keganasan (hipertropi tonsil yang
unilateral). c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam (yang
memerlukan tonsilektomi Quincy). d) perdarahan tonsil yang persisten
dan rekuren. Indikasi Relatif: a) Tonsillitis akut yang berulang (Terjadi 3
episode atau lebih infeksi tonsil per tahun). b) abses peritonsilar. c).
tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten, halitosis, atau
adenitis cervical. d). sulit menelan. e). tonsillolithiasis. f). gangguan pada
orofacial atau gigi (mengakibatkan saluran bagian atas sempit). g). Carrier
28

streptococcus tidak berespon terhadap terapi). h). otitis media recuren atau
kronik.8,9,10
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-
head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah: 1
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat
terapi yang adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofacial
b. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan
cor pulmonale.
c. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil
yang tidak berhasil hilang dengam pengobatan
d. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
e. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A
Streptokokus beta hemolitikus
f. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
g. Otitis media efusa/otitis media supuratif

 Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan
tetap memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut
yakni: gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit
berat, anemia, dan infeksi akut yang berat. 9,18

 Persiapan Pasien Tonsilektomi


Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus
disadari bahwa mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan
yang pertama kali bagi pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan
pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan perhatian khusus terhadap
29

adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama kecenderungan


terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat saudara pasien yang
mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna.
Pemeriksaan Lab seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin,
jumlah trombosit, pemeriksaan hitung darah komplit dan urinalisa
sebaiknya dilakukan. Selain itu pemeriksaan antistreptolisin titer O (ASO)
dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi serta sebagai salah satu
indikasi tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat pada minggu pertama
dan mencapai puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah
infeksi. Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO dalam serum
darah lebih dari 200 IU/ml. Selain itu pemeriksaan ragiologi dada dan
elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum pembedahan.5,6,8

 Teknik Operasi Tonsilektomi


Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada
abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari
tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat
ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.9, 21
 Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil
dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada
membran mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau gunting
sampai mencapai pole bawah dilanjutkan dengan menggunakan senar
untuk menggangkat tonsil.
 Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan
bila tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi
berulang.
 Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat
digunakan pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan
namun dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.
30

:
 Laser tonsilektomi Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi.
Laser KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih
disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik
diseksi.

 Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat
alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan
pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak
bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya infeksi akut
seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih
berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan
kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit.
Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil
yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.
Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah
yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi.
Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan
tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit.
Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.21
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang
terjadi pada cara guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat
alat umumnya berupa kerusakan jaringan di sekitarnya seperti kerusakan
jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau dislokasi
sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.21
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu
terjadinya yaitu immediate, intermediate dan late complication. 21

Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat


berupa perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi.
Perdarahan segera atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan
31

yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup
berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk
belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas
menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak
21
cermat atau terlepasnya ikatan. perdarahan dan iritasi mukosa dapat
dicegah dengan meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan lunak
dan minuman dingin. 22
Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate
complication) dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem
uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia Perdarahan sekunder adalah
perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya terjadi
pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi
serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang
terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas
sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya terbuka dan
terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya
berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama
dengan perdarahan primer.21
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula
mengalami edem. Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai
biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah yang mendarahi
uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia
dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin
dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih
dari fosa tonsil, tetapi kadang- kadang merupakan gejala otitis media akut
karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat
tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil
berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi,
komplikasi paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau
potongan jaringan tonsil. 21
32

Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di


palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan
rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit
umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat
mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil. 21
Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : 10,18
 Immediate and Delayed Hemorrhage
 Postoperative Airway Compromise :Jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh
terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsillar, post operasi
edema oropharingeal, atau hematom retropharyngeal.
 Dehidrasi
 Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan napas
yang obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang lama, mengakibatkan
penurunan mendadak tekanan intratoracal, peningkatan volume darah paru,
dan peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat terjadi segera atau beberapa
jam setelah pembebasan jalan napas.
 Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut
 Eustachian Tube Dysfunction
 spiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan
darah

1. KOMPLIKASI
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum.
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul
endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis.1
Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:9,23
a) Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya.
Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang
33

mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita
dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna,
odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan
aspirasi abses.

Gambar. Abses peritonsil


b) Abses parafaring.
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga
menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
c) Abses intratonsilar.
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya
diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai
nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah.
Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika
diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil).
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh
sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian
tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar
secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith
lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau
foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan
palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
e) Kista tonsilar.
34

Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran


kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat
dengan mudah didrainasi.
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi
meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya
mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil yang
merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan
kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit
Glomerulonefritis.

2. PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat
penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi
infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi
penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami
perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya,
infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-
kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti
demam rematik atau pneumonia.9
35

BAB III
KESIMPULAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari


cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila
faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band
dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila palatine biasanya meluas
ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui udara (air borne
droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.1,2
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada
anak-anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh
spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan
tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda. Penatalaksanaan untuk
tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan operatif.
36

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya


berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum.
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul
endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis. Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan
beristrahat dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat
membuat penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk
mengatasi infeksi

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-
25.
2. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan 18).
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/
3. Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011 .[cited, 2012
Jan 18). Available from URL: http://www.mdguidelines.com/tonsillitis-and-
adenoiditis/
4. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online].2011 .[cited, 2012
Jan 17). Available from: URL: http://www.medicinenet.com
5. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In:
The Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58
6. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and
Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. Pdf.
7. Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: ECG, 2006. p795-801.
37

8. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
ECG, 1997. p263-340
9. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2009. 2011.pdf
10. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy.
In: Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
11. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran
Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik
Sebelum Dan Setelah Tonsilektomi. Pdf.
12. Empowering Otolaryngologist. Tonsillitis. In: American Academy of
Otolaryngology- Head & Neck Surgery. Pdf.
13. Mandavia, Rishi. Tonsillitis. [online] .[cited, 2012 Jan 20). Available from: URL:
http://www.entfastbleep.com
14. Gross CW, Harrison SE. Tonsils and Adenoid. In: Pediatrics In Review.
[online].2000.[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL:
http://www.pediatricsinrewiew.com
15. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kværner, Espen Røysamb, et all. Heritability of Reccurent
Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL: http://www.
Archotolaryngelheadnecksurg.com
16. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
17. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak
jilid 2. Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.
18. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: Otolaryngology-Head and
Neck Surgery. p158-165
19. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
20. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.
[online].2008.[cited, 2012 Jan 23]. Available from: URL: http://www. Bioline
International .com
38

21. Hatmansjah. Tonsilektomi. In: Cermin Dunia Kedokteran vol 89.


[online].1993.[cited, 2012 Jan 25]. Available from: URL: http://www.
cerminduniakedokteran .com
22. Harrison SE, Osborne E, Lee S. Home Care After Tonsillectomy and Adenoidectomy.
In: Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates 601. pdf.
23. Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In: Current
Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007.

Anda mungkin juga menyukai