BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. N
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 19 tahun
Alamat : Babakan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar
Status maternal : Belum Menikah
II. ANAMNESIS
- Keluhan Utama
Rasa mengganjal ketika menelan
- Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi baik makanan, udara dingin, debu ataupun obat
- Riwayat Pengobatan
1 bulan yang lalu sebelum pasien datang ke poliklinik THT RSUD waled
pasien berobat ke puskesmas dan diberikan obat tetapi keluhan masih tetap
ada dan dirasa tidak ada perbaikan.
3
b. Kesadaran
Composmentis
c. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 88x/menit
Frekuensi Napas : 20x/menit
Suhu : 36,8˚C
d. Status Lokalis
- Pemeriksaan telinga
No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri
Telinga
1. Retroaurikula Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-
teraba hangat (-) ), teraba hangat (-)
2. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema
(-)
3. Aurikula Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran
batas normal, hematoma dalam batas normal,
(-), nyeri tarik aurikula (-) hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-)
4
- Pemeriksaan Orofaring
- Pemeriksaan Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-)
XI. Prognosis
Qua ad vitam : ad bonam
Qua ad functional : ad bonam
Qua ad sanantionam : dubia
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila
faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band
dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila palatine biasanya meluas
ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui udara (air borne
droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.1,2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk
strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr,
enterovirus, dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada
tonsilitis adalah bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30% dari
tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan juga merupakan penyebab radang
tenggorokan.3
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang
berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Terdapat referensi yang menghubungkan
antara nyeri tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis
kronik.5 Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari
daerah oral dan ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena
peradangan kronis pada tonsil. Data dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis
klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi berulang dan obstruksi saluran napas
bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin memiliki
dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam berulang,
odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan submandibula.6
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.1
9
II. ANATOMI
a. PHARYNX
Pharynx terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan larynx. Bentuknya
mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan
bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra
cervicalis enam. Dinding pharynx terdiri atas tiga lapis yaitu mucosa, fibrosa,
dan muscular.7
Tonsil
12
PERSARAFAN PHARYNX
Persarafan pharynx berasa ldari plexus pharyngeus yang dibentuk oleh
cabang-cabang nervus glossopharyngeus, nervus vagus, dan nervus symphaticus.
Persarafan motorik berasal dari pars cranialis nervus acessorius, yang berjalan
melalui nervus vagus menuju ke plexus pharyngeus, dan mempersarafi semua otot
pharynx, kecuali m.stylophryngeuus yang dipersarafi oleh nervus
glossopharyngeus.7
Persarafan sensorik membran mukosa nasopharynx terutama berasal dari
nervus maxillaris. Membrana mukosa di sekitar aditus laryngeus dipersarafi oleh
nervus ramus laryngeus internus nervus vagus.7
VASKULARISASI PHARYNX
Suplai arteri pharynx berasal dari cabang-cabang arteri pharyngea
ascendens, arteri palatina ascendens, arteri facialis, arteri maxillaris, dan arteri
lingualis. Vena bermuara ke plexus venosus pharyngeus, yang kemudian
bermuara ke vena jugularis interna.7
IV. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan
penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997
cakupan temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan
sasaran temuan pada penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82% ;
sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya pengetahuan masyarakat. Di
Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga disebabkan ISPA. Tonsilitis
17
kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau
karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.9
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di
Amerika Serikat mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data
epidemiologi penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996,
prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis
akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan
baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang.
Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang sama,
maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.11
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada
anak-anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh
spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan
tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda.2,12 Data epidemiologi
menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering
terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu:
10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering
penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50
% . Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis
Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.9
Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian yang
dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku
Bidayuh 38%, Malay 25%, Iban 20%, dan Chinese 14%.9
V. ETIOLOGI
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara
aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian
nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut
masuk bersama makanan9. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan
18
VI. PATOMEKANISME
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan
pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman
kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari
19
tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan
toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh
menurun.9 Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superkistal bereaksi dimana
terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Karena
proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan
terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submadibularis.1
Gambar 9. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C)
Grade-IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)
Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang
ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus.20
Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap
480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria
histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s
abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah
temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis
Kronis.20
X. DIAGNOSIS
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara
menyeluruh untuk menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan
yang dapat membingungkan diagnosis.
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis
berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang
mengganjal ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada
tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas, yang paling
sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala konstitusi dapat
ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan
adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.1,16,17
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya
terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam
kategori tonsillitis kronik.17
Pada Biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan beberapa
organisme yang virulensinya relative rendah dan pada kenyataannya jarang
menunjukkan streptokokus beta hemolitikus.8,17
23
3. Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, alergi, trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepskan toksin
ektraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup
jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat
terbentuknya kompleks antigen antibody.Gejala klinis secara umum pada
faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri
kepala.Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil
hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior
membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.1
25
4. Faringitis Leutika
Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder
atau tersier. Pada penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah,
palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring. Bila infeksi terus
berlangsung maka akan timbul ulkus pada daerah faring yang tidak nyeri.
Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar mandibula yang tidak
nyeri tekan.1
5. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada
faringitis tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena
anoresia dan odinofagia.Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri
ditelinga atau otalgia serta pembesaran kelanjar limfa servikal.1
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri
tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada
pemeriksaan serologi, hapusan jaringanatau kultur, X-ray dan biopsy.
XII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan
operatif.
26
1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat
isap, pemberian antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi
atau oral. 1,8 Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang
bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah
metronidazole, klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis atau
abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan
mononukleosis).9
2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil
(tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
Dengan tindakan tonsilektomi.9 Pada penelitian Khasanov et al mengenai
prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan data
bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa Tonsilitis
Kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan
tonsilektomi.9
Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan kuisioner
terhadap 15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646 diantaranya
memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%) penderita
mendapat penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%) penderita dirujuk ke
rumah sakit.9
Indikasi Tonsilektomi
Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas tonsilektomi
belum dievaluasi secara formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk
pengobatan Tonsilitis akut atau kronik, tetapi tidak ada bukti ilmiah
randomized controlled trials untuk panduan klinisi dalam
memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa. Tidak
ditemukan studi Randomized Controlled Trial (RCT) yang mengkaji
efektivitas tonsilektomi pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT
(Mawson 1967; McKee 1963; Roydhouse 1970; Paradise 1984; Paradise
27
1992), tetapi yang diikutkan dalam review hanya 2 studi (Paradise 1984;
Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak memenuhi kriteria. Studi pertama
oleh Paradise (1984), dilakukan pada anak yang dengan infeksi tenggorok
berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat kesimpulan yang tegas tentang
tonsilektomi karena adanya keterbatasan metodologi yaitu adanya
perbedaan kelompok operasi dengan kelompok kontrol. Dalam hal riwayat
episode infeksi sebelum mengikuti studi (kelompok operasi meliputi anak
dengan penyakit yang lebih berat) dan status sosial ekonomi (kelompok
nonoperasi memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi) serta
kelompok tonsilektomi dan tonsilo-adenoidektomi dilaporkan sebagai
satu kelompok operasi. Disamping itu, studi ini meliputi hanya anak
dengan infeksi tenggorok berat, pada pemantauan, banyak kelompok
kontrol yang memiliki episode infeksi sedikit dan biasanya ringan. Studi
kedua oleh Paradise (1992) meliputi anak dengan infeksi sedang tidak
dapat dievaluasi karena saat review dilakukan tidak ada data yang lebih
detil dari desain dan bagaimana penelitian ini dilakukan (hasil penelitian
baru dalam bentuk abstrak).9 Untuk keadaan emergency seperti adanya
obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan
lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan
non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi
perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak
.
menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi Indikasi absolut: a)
Hiperplasia tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu) yang
terkait dengan cor pulmonal. b) curiga keganasan (hipertropi tonsil yang
unilateral). c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam (yang
memerlukan tonsilektomi Quincy). d) perdarahan tonsil yang persisten
dan rekuren. Indikasi Relatif: a) Tonsillitis akut yang berulang (Terjadi 3
episode atau lebih infeksi tonsil per tahun). b) abses peritonsilar. c).
tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten, halitosis, atau
adenitis cervical. d). sulit menelan. e). tonsillolithiasis. f). gangguan pada
orofacial atau gigi (mengakibatkan saluran bagian atas sempit). g). Carrier
28
streptococcus tidak berespon terhadap terapi). h). otitis media recuren atau
kronik.8,9,10
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-
head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah: 1
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat
terapi yang adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofacial
b. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan
cor pulmonale.
c. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil
yang tidak berhasil hilang dengam pengobatan
d. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
e. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A
Streptokokus beta hemolitikus
f. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
g. Otitis media efusa/otitis media supuratif
Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan
tetap memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut
yakni: gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit
berat, anemia, dan infeksi akut yang berat. 9,18
:
Laser tonsilektomi Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi.
Laser KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih
disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik
diseksi.
Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat
alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan
pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak
bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya infeksi akut
seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih
berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan
kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit.
Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil
yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.
Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah
yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi.
Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan
tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit.
Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.21
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang
terjadi pada cara guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat
alat umumnya berupa kerusakan jaringan di sekitarnya seperti kerusakan
jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau dislokasi
sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.21
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu
terjadinya yaitu immediate, intermediate dan late complication. 21
yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup
berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk
belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas
menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak
21
cermat atau terlepasnya ikatan. perdarahan dan iritasi mukosa dapat
dicegah dengan meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan lunak
dan minuman dingin. 22
Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate
complication) dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem
uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia Perdarahan sekunder adalah
perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya terjadi
pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi
serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang
terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas
sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya terbuka dan
terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya
berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama
dengan perdarahan primer.21
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula
mengalami edem. Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai
biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah yang mendarahi
uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia
dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin
dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih
dari fosa tonsil, tetapi kadang- kadang merupakan gejala otitis media akut
karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat
tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil
berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi,
komplikasi paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau
potongan jaringan tonsil. 21
32
1. KOMPLIKASI
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum.
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul
endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis.1
Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:9,23
a) Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya.
Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang
33
mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita
dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna,
odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan
aspirasi abses.
2. PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat
penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi
infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi
penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami
perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya,
infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-
kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti
demam rematik atau pneumonia.9
35
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
8. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
ECG, 1997. p263-340
9. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2009. 2011.pdf
10. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy.
In: Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
11. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran
Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik
Sebelum Dan Setelah Tonsilektomi. Pdf.
12. Empowering Otolaryngologist. Tonsillitis. In: American Academy of
Otolaryngology- Head & Neck Surgery. Pdf.
13. Mandavia, Rishi. Tonsillitis. [online] .[cited, 2012 Jan 20). Available from: URL:
http://www.entfastbleep.com
14. Gross CW, Harrison SE. Tonsils and Adenoid. In: Pediatrics In Review.
[online].2000.[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL:
http://www.pediatricsinrewiew.com
15. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kværner, Espen Røysamb, et all. Heritability of Reccurent
Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL: http://www.
Archotolaryngelheadnecksurg.com
16. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
17. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak
jilid 2. Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.
18. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: Otolaryngology-Head and
Neck Surgery. p158-165
19. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
20. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.
[online].2008.[cited, 2012 Jan 23]. Available from: URL: http://www. Bioline
International .com
38