Anda di halaman 1dari 46

1

Kasus 2
Lumpuh Ketika Bangun Tidur
Seorang laki laki berusia 62 tahun datang keunit gawat darurat RS
diantar oleh istrinya dengan keluhan kelemahan pada anggota gerak sebelah
kiri.Pasien mengatakan bahwa saat bangun tidur tiba-tiba dia merasa tangan dan
kaki kiri nya terasa lemah. Pasien berusaha untuk bangun dari tempat tidur untuk
buang air kecil namun kelemahannya semakin memberat. Pasien bahkan tidak
dapat mengangkat gelas.Pasien tidak bisa berjalan tanpa bantuan.Keluhan nyeri
kepala, muntah dan pusing berputar tidak ada. Istrinya mengatakan bahwa wajah
suaminya tidak simetris.Mulutnya mencong kekanan dan bicaranya menjadi tidak
jelas (pelo). Pada pemeriksaan neurologis didapatkan parese N.VII sentral,
hemiparese sinistra (+), dan hemipestesia sinistra (+), kaku kuduk (-). Pasien
mempunyai riwayat hipertensi dan diabetes tidak terkontrol, pasien mempunyai
kebiasaan merokok.Pasien menangis terus menerus mengatakan ingin bisa jalan
kembali.
STEP I
1. Parese
-

Kelumpuhan otot-otot wajah (tidak simetris)

Paralisis ringan

Kelemahan otot yang ditandai hilangnya sebagian gerak

2. Hemiparese
-

Kekuatan ptpt yang berkurang pada separuh tubuh

3. Kaku kuduk
-

Kaku leher bagian belakang (seperti patung)

4. Pelo
-

Bicara tidak jelas dan dalam keadaan tidak normal

5. Hemipestesia
-

Kepekaan menurun terutama sentuhan disatu sisi tubuh, terjadi karena


korteks sensorik tidakmenerima impuls dari kontralateral.

6. Diabetes
-

Penyakit yang disebabkan karena meningkatnya kadar gula dalam


darah

STEP II
1. Apakah yang menyebabkan parese ?
2. Dimanakah letak kerusakannya, apabila pasien mengalami hemipestesia
3.
4.
5.
6.
7.

dan hemiparese sinistra ?


Diagnosis banding apasaja yang timbul dalam kasus ?
Apakah hubungan N.VII dengan gejala yang timbul ?
Bagaimana hubungan diabetes dan hipertensi dengan keluhan ?
Apakah ada hubungannya kebiasaan merokok dengan keluhan ?
Apakah diabetes, hipertensi dan merokok adalah faktor resiko ? jika iya,

sebutkan faktor resiko lain !


8. Darikasus ini, pemeriksaan penunjang apasaja yang tepat diberikan pada
pasien ?
STEP III
1. Penyebab parese
- Menurunnya aliran darah ke otak
- Lesi pada neoromuskular areamotorik
- Infeksi virus atau bakteri
2. Letak kerusakan
- Hemisfer dextra
- Area presentralis dan possentralis dextra
3. Diagnosis banding
- Stroke
- TIA (transient iskemik attack)
- Mestenia grafis
- Cerebrovaskuler disease
- Reversibel iskemik neurologi defisit
- SGB
- Meningitis
4. Hubungan dengan N.VII
- N.VII somatomotoris berkelainan tidak simetris
Otot wajah bagian bawah
- N.VII
: anterior atas kapsula interna
: posterior bawah korteks somatomotoris
5. Hubungan hipertensi, diabetes dengan keluhan
- Hipertensi
Aliran darah besar mengikis dinding pembuluh darah pembuluh
darah meregang terbentuk aneurisma aneurisma pecah
aterosklerosis.

Diabetes
Defisiensi insulin darah pekat aterosklerosis
6. Hubungan merokok dengan keluhan
Racun utama yang terkandung dalam rokok :
- Tar : substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada
-

paru-paru.
Nikotin : zat aditif yang mempengaruhi saraf dan peredaran darah.
Karbon monoksida : zat yang mengikat hemoglobin dalam darah,

membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.


7. Faktor resiko
- morokok
- alkohol
- narkotika
- DM
- penyakit jantung
- genetik
- uisa
- jenis kelamin
8. Pemeriksaan penunjang
CT scan
STEP IV
1. Penyebab parese
- Trauma
- Obstruksi aliran darah
2. Letak kerusakan
- Kerusakan area presentralis dan postsentralis penyilangan di
-

decusatio piramidalis.
Presentralis
motorok
Postsentralis
sensorik
Kerusakan diseluruh bagian girus postsentralis hemipestesia
Kerusakan diselurus girus presentralis hemiparese
Letak N.VII berdekatan dengan korteks motorik apabila ada

gangguan pada korteks motorik N.VII terganggu.


- N.VII wajah tidak simetris, N.XII sulit berbicara
3. Diagnosis banding
Stroke hemoragik pusing
Mual
Muntah
TIA

non hemoragik
menghilang dalam waktu 24 jam

4. Hubungan dengan N.VII


- N.VII mempunyai dua serabut

a. Radiks motorik otot ekspresi wajah, M auricularis, venter


posterior M digastricus, M stylohioideus )
b. Radiks sensorik 2/3 anterior lidah, dasar mulut, palatum.
5. Hubungan hipertensi diabetes dengan keluhan
- Hipertensi : aliran darah cepat mengikis dinding pembuluh darah
pembuluh darah beradaptasi terbentuk bendungan seperti balon
pecah penumpukan sel leukosit dan agregasi trombosit
aterosklerosis.
- Diabetes : resistensi insulin, hiperinsulinemia kerusakan vaskular
6. Hubuga merokok dengan keluhan
Faktor yang terkait aterogenesis :
- Stimulasi sistem saraf simpatis oleh nikotin
- Penggeseran oksigen yang terkait dalam hemoglobin oleh CO
- Reaksi imunologis langsung pada dinding pembuluh darah
- Meningkatnya adhesi trombosit
- Meningkatnya permeabilitas endotel terhadap lemak karena zat yang
terkandung dalam rokok.
7. Faktor resiko
- Hiperkolesterol
- Atrial fibrilasi
Obesitas

Lumpuh

Diagnosa kerja
stroke

Penegakan
diagnosis

penyebab
Faktor resiko

Merokok, GM,
hipertensi

Letak kerusakan
Manifestasi klinis

Hemiparese, hemipestesia,
parese.

STEP V
1. Apasajakan kriteria penegakan diagnosis stroke ?
2. Hukum monro-kellie ?
3. Patofosoilogi dari faktor resiko?
4. Bagaimana bisa terjadi hemipestesia?

5. Klasifikasi stroke ?
6. Penatalaksanaan stroke?
STEP VI
Belajar mandiri
STEP VII
1. Penegakan diagnosis stroke
a. Anamnesis gejala dan tanda
a) Penjelasan
pada

tentang
awal

awitan

dan

kejadian

gejala

awal.

Kejang

mengisyaratkan

stroke

embolus.
b) Perkembangan

gejala

atau

keluhan

pasien

atau

keduanya.
c) Riwayat TIA.
d) Faktor

risiko,

terutama

hipertensi,

fibrilasi

atrium,

diabetes, merokok, dan pemakaian alcohol.


e) Pemakaian obat, terutama kokain.
f) Pengobatan
yang

yang

baru

sedang

dihentikan.

dijalani,

Sebagai

termasuk

contoh

obat

penghentian

mendadak obat antihipertensi klonidin (Catapres) dapal


menyebabkan hiperlensi rebound yang berat. Selain itu,
penghentian mendadak fenitoin (Dilanin) atau fenobarbital
untuk gangguan kejang dapat memicu status epileptikus sampai
beberapa minggu setelah penghenlian obat (Price, 2006).

b. Pemeriksaan fisik
a) Sistem
pada

pembuluh
arteria

(bruit)

dan

perifer.

karolis
periksa

untuk
lekanan

Lakukan
mcncari
darah

di

auskultasi

adanya

bising

kedua

lengan

untuk diperbandingkan.
b) Jantung.

Perlu

dilakukan

pemeriksaan

juantung

yanglengkap, dimulai dengan auskultasi jantung dan EKG

12-sadapan. Murmur dan disritmi merupakan hal yang harus


dicari,

karena

pasien

dengan

miokardium akut, atau penyakit

fibrilasi

atrium,

infark

katup jantung dapat

mengalami embolus obstruktif.


c) Retina.

Periksa

ada

tidaknya

cupping diskus optikus,

perdarahan retina, kelainan diabetes.


d) Ekstremitas. Evaluasi ada tidaknya sianosis dan infark sebagai
tanda-tanda embolus perifer.
e) Pemeriksaan

neurologik.

Sifat

intactness

diperlu-

kan untuk mengetahui letak dan luas suatu stroke (Price, 2006).
c. Teknik pencitraan
Kemajuan dalam teknologi CT dan MRI telah sangat meningkatkan
derajat keakuratan diagnosis stroke iskemik akut. Apabila dilakukan
kombinasi pemeriksaan CT perfusi dan angiografi CT dalam 24 jam
setelah awitan stroke, maka terjadi peningkatan derajat akurasi dalam
penentuan lokalisasi secara dini, lokalisasi vascular dan diagnosis
etiologi (Price, 2006).
Diffusion-weighted imaging (DWI), yang didasarkan pada deteksi
gerakan acak proton dalam molekul air, adalah penyempurnaan
teknologi MRI. Gerakan ini terbatas di dalam sel tetapi tidak terbatas
di ruang ekstrasel. Pada stroke, saat jaringan saraf mengalami iskemia,
integritas membran sel terganggu sehingga kebebasan molekul air
bergerak menjadi terbatas. Berdasarkan perubahan terhadap gerakan
molekul ini jaringan saraf yang mengalami cedera dapat dideteksi
dengan DWI, yang memperlihatkan daerah-daerah yang mengalami
infark sebagai daerah putih terang. Teknik ini sangat sensitif, dapat
mengungkapkan kelainan perfusi pada lebih dari 95% pasien yang
terbukti mengidap stroke .Teknik

ini sangat bermanfaat dalam

identifikasi dini lesi-lesi akut sehingga jumlah, ukuran, lokasi, dan


teritori vaskular lesi otak dapat ditentukan. Terdapat banyak bukti
bahwa DWI juga bermanfaat dalam mendiagnosis cedera stroke
sekunder tipe lambat yangmungkin tidak memperlihatkan kelainan

pada peme riksaan pencitraan yang dilakukan dalam beberapa jam


pertama setelah serangan klinis iskemik otak akut (Price, 2006).
Perfusion-weighted imaging (PWI) adalah pemindaian sekuensial
selama 30 detik setelah penyuntikan gadolinium. Daerah-daerah otak
yang kurang men-dapat perfusi akan lambat memperlihatkan
pemunculan zat warna kontras yang disuntikkan tersebut, dan aliran
darah yang lambat tampak putih. Pemin-daian serial dapat
mengungkapkan tiga tipe pola yang berlainan: reperfusi dini, reperfusi
lambat, dan defisit perfusi persisten (Price, 2006).
Analisis laboratorium standar mencakup urina-lisis, HDL, laju
endap darah (LED), panel metabolik dasar (natrium, kalium, klorida,
bikarbonat, glukosa, nitrogen urea darah, dan kreatinin), profil lemak
serum, dan serologi untuk sifilis. Pada pasien yang dicurigai mengalami
stroke iskemik, panel laboratorium yang mengevaluasi keadaan
hiperkoagulasi termasuk perawatan standar. Pemeriksaan yang lazim
dilakukan adalah protrombin dengan rasio normalisasi internasional
(INR),

waktu

Pemeriksaan

tromboplastin
lain

yang

parsial,

mungkin

dan

hitung

dilakukan

trombosit.

adalah

antibodi

antikardiolipin, protein C dan S, antitrombin III, plasniinogen, f aktor V


Leiden, dan resistensi protein C aktif (Price, 2006).

d. Pemeriksaan penunjang lain


a. CT (computed tomography) scan
Pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras untuk mengetahui
adanya perdarahan otak (Bahrudin, 2007).
b. EKG (elektrokardiografiI)
Karena iskemia dan aritmia jantung, serta penyakit jantung
lainnya, sebagai penyebab stroke, maka pemeriksaan EKG harus

dilakukan (Bahrudin, 2007).


c. Kadar gula darah
Pemeriksaan kadar gula darah sangat diperlukan karena
pentingnya diabetes mellitus sebagai salah satu faktor risiko
utama stroke. Tingginya kadar gula darah pada stroke akut
berkaitan dengan tingginya angka kecacatan dan kematian. Selain
itu, dengan pemeriksaan ini dapat diketahui adanya hiperglikemia
yang memberikan gambaran klinik menyerupai stroke (Bahrudin,
2007).
d. elektrolit serum dan faal ginjal
Pemeriksaan ini diperlukan, terutama berkaitan dengan
kemungkinan pemberian obat osmoterapi pada penderita stroke
yang disertai peningkatan tekanan intra kranial dan keadaan
dehidrasi (Bahrudin, 2007).
e. Darah lengkap (hitung sel darah)
Untuk menentukan keadaan hematologik yang dapat
me,mpengaruhi stroke iskemik, misalnya anemia, polisitemia dan
keganasan (Bahrudin, 2007).
f. Faal hemostasis
Pemeriksaan jumlah trombosit, waktu protrombin (PT) dan
tromboplastin (aPTT) diperlukan terutama berkaitan dengan
pemakaian obat antikoagulan dan trombolitik (Bahrudin, 2007).
g. X- foto toraks
Berguna untuk menilai besar jantung, adanya klasifikasi
katup jantungt maupun edema paru (Bahrudin, 2007).
h. Pemeriksaan lain yang diperlukan pada keadaan tertentu (sesuai
indikasi) adalah : tes faal hati, saturasi oksigen, analisis gtas
darah, toksikologi, kadar alkohol dalm darah, pungsi lumbal (bila
ada gangguan perdarahan subaraknoid, tetapi gambaran CT scan
normal), EEG (elektro ensefalograpy) (Bahrudin, 2007).

Alogaritma Gajah Mada:

Gambar 1.1 Algoritma Gajah Mada


(Israr, 2008)
Skore Stroke Siriraj
a. Derajat kesadara
-

Sadar = 0

Mengantuk / sopor =1

Semi koma / koma = 2

b. Muntah
-

Tidak muntah = 0

Muntah = 1

c. Nyeri kepala
-

Tidak nyeri kepala = 0

Nyeri kepala = 1

10

d. Tanda ateroma
-

Tidak ada tanda ateroma = 0

Ada tanda ateroma (diabetes, angina, penyakit arteri perifer) = 1

Rumus:
[(2,5 derajat kesadaran) + (2 muntah) + (2 nyeri kepala) +
(0,1 tek. Darah diastolik) (3 tanda ateroma)- 12]

Hasil:
Skor < -1 kemungkinan stokr iskemik
Skor > 1

kemungkinan stroke perdarahan ( Bahrudin, 2007).

Tabel 1.1. Skor Stroke Hemoragik dan Non-Hemoragik


Tanda dan gejala
1. Tia sebelum serangan

Skor
1

2. Permulaan serangan
Sangat mendadak (1-2 menit)

6,5

Mendadak (beberapa menit- 1 jam)

6,5

Pelan-pelan (beberapa jam)

3. Waktu serangan
Waktu kerja (aktivitas)

6,5

Waktu istirahat /duduk/tidur

Waktu bangun tidur

4. Sakit kepala waktu serangan


Sangat hebat

10

Hebat

7,5

Ringan

Tidak ada

5. Muntah
Langsung habis serangan
Mendadak (beberapa menit- jam)

10

Pelan-pelan (1 hari atau lebih)

7,5

Tak ada

11

6. Kesadaran

Hilang waktu serangan (langsung)


Hilang mendadak (beberaoa menit - jam)
10
10
( Bahrudin, 2007).
2. Hukum monro-Kelle
Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah dan cairan
serebrospinal. Ruang intra kranial adalah suatu ruang kaku yang terisi penuh
sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapt ditekan: otak (1400 g),
cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan
volume pada salah satu dari ketiga utama ini mengakibatkan desakan ruang
yang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikan tekanan intrakranial
(Price, 2006).
Hipotesis monro-Kellie

tulang tengkorak tidak dapt meluas sehingga bila salah satu dari ketiga
ruangannya meluas, dua ruangan lainnya harus mengompensasi dengan
mengurangi volumenya (apabila ICP masi konstan).
Mekanisme kompensasi intrakranial ini terbatas, tetapi terhentinya
fungsi neural ini dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi
terdiri dari meningkatnya aliran CSF kedalam kanalis spinalis dan adaptasi
otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan ICP.
Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian
adalah penurunan aliran darh ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah dan
horisontal (herniasi) bila ICP makin meningkat. Dua mekanisme terakhir
dapat berakibat langsung popada fungsi saraf. Apabila peningkatan ICP berat
dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan
dapat menyebabkan kematian neural (Price, 2006).
3. Patofisiologi Faktor risiko
1.

Gender (Jenis Kelamin)


Insidensi stroke iskemik lebih besar terjadi pada pria dibandingkan
wanita, baik dengan adanya riwayat keluarga dan juga dari kelompok

12

ras tertentu. Persentase stroke iskemik pada pria 56,7% dan 42,4%
pada wanita (Israr, 2008).
2.

Usia
Usia merupakan faktor risiko stroke iskemik yang paling kuat.
Dengan meningkatnya usia, maka meningkat pula insidens iskemik
serebral tanpa memandang etnis dan jenis kelamin. Setelah usia 55
tahun, insidensi akan meningkat dua kali tiap dekade.
Stroke iskemik yang terjadi pada usiamuda (<45 tahun) biasanya
merupakan kombinasi dari penyebab lain yang belum pasti diketahui,
sedangkan

pada

usia

45-70

tahun

lebih

sering

dijumpai

makroangiopati. Kardioembolisme sering terjadi pada usia > 70 tahun


(Israr, 2008).
3. Genetik (Riwayat Keturunan Keluarga)
Beberapa literatur menyatakan genetik merupakan salah satu faktor
risiko stroke iskemik yang tidak dapat dimodifikasi. Peranan genetik
sebagai faktor risiko stroke iskemik sudah diteliti sebelumnya baik
dengan metode systematic review, cohort, dan case control. Kembar
monozigot lebih memungkinkan terjadinya stroke iskemik daripada
kembar dizigot. Adanya riwayat keluarga stroke juga merupakan faktor
risiko yang penting untuk stroke iskemik. Dari penelitian yang
menggunakan hewan coba, stroke iskemik lebih mudah terjadi dengan
adanya pengaruh faktor genetik . Peranan kompleks gen berhubungan
dengan faktor-faktor risiko intrinsik seperti hipertensi dan diabetes
dengan aspek ekstrinsik seperti diet, merokok, konsumsi alkohol, dan
aktivitas fisik. Pada populasi Chinese Han, ditemukan minor alel C
dari kromosom 1p32 Single Nucleotide Polymorphisms (SNP)
berhubungan dengan peningkatan risiko Low-Density Lipoprotein
Cholesterol (LDL-C) level yang tentu saja menjadi risiko terjadinya
stroke iskemik (Israr, 2008).
4. Merokok
Merokok dapat meningkatkan risiko bebas dari faktor risiko stroke
iskemik lainnya. Penurunan risiko akan terjadi 5 tahun setelah berhenti

13

merokok.Mmerokok terbukti menjadi faktor risiko penyakit vaskular


dan stroke yang diakibatkan pembentukan aterosklerosis dan berujung
pada pemanjangan waktu inflamasi endotel. Beberapa faktor yang
diduga terkait dengan aterogenesis karena merokok adalah :
a. Stimulasi sistem saraf simpatis oleh nikotin
b. Penggeseran O2 yang terikat dalam hemoglobin oleh CO2
c. Reaksi imunologis langsung pada dinding pembuluh darah
d. Meningkatnya adhesi trombosit
e. Meningkatnya permeabilitas endotel terhadap lemak karena zat
yang terkandung di dalam rokok
Percobaan

pada

hewan

coba

ditemukan

bahwa

hipoksia

merangsang proliferasi sel otot polos, hal yang sama diduga terjadi
pula pada orang yang merokok. Peneliti lain menghubungkan merokok
dengan kenaikan tekanan darah secara akut, kenaikan reaktivitas
trombosit dan penghambatan pembentukan prostasiklin serta kenaikan
kadar fibrinogen dalam plasma (Israr, 2008).
Merokok merupakan faktor yang signifikan untuk kejadian stroke
infark aterotrombotik pada laki-laki berusia di bawah 65 tahun.
Penelitian lain di Iowa mendapatkan bahwa perokok mempunyai risiko
terkena stroke 1,6 lipat dari bukan perokok. Sedangkan dari
penelitian Framingham perokok berat (>40 batang sehari) mempunyai
risiko 2 lipat dari perokok ringan (<10 batang sehari) (Israr, 2008).
5. Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah dengan
karakteristik tekanan darah sistolik > 120 mmHg dan tekanan darah
diastolik > 80 mmHg (Joint National Committee 7). Hipertensi
merupakan satu dari beberapa faktor risiko stroke iskemik (Israr,
2008).
Hipertensi juga diduga memicu terjadinya aterosklerosis, namun
aterogenesisnya tidak diketahui dengan pasti. Diduga tekanan darah
yang tinggi merusak endotel dan menaikkan permeabilitas dinding

14

pembuluh darah terhadap lipoprotein. Tidak hanya itu, diduga


beberapa jenis zat yang dikeluarkan oleh tubuh seperti renin,
angiotensin dan lain-lain dapat menginduksi perubahan seluler yang
menyebabkan aterogenesis. Dari penelitian lain disebutkan bahwa
hipertensi tidak berdiri sendiri menyebabkan terjadinya aterosklerosis,
namun meliputi beberapa penyakit lain yang dikenal dengan istilah
sindroma hipertensi. Yang termasuk dalam sindroma hipertensi adalah
profil lipid, resistensi insulin, obesitas sentral, gangguan fungsi ginjal,
LVH dan penurunan kelancaran aliran darah arterial (Israr, 2008).
6. Penyakit Jantung
Riwayat penyakit jantung dapat menjadi faktor risiko stroke
iskemik. Hasil penelitian Sjahrir, didapati faktor risiko penyakit
jantung koroner 24% dan aritmia kordis 26%. Penyumbatan pada
pembuluh darah sehingga menyebabkan stroke iskemik dapat terjadi
akibat atherotromboemboli (50%), kelainan pada pembuluh darah kecil
intrakranial (25%), kardioemboli (20%) atau karena penyebab lain
(5%) (Davenport dan Dennis, 2000). Beberapa kelainan jantung
merupakan sumber dari kardioemboli tersebut (Israr, 2008).
Kelainan jantung yang dapat menyebabkan kardioemboli menjadi 3,
yaitu:
1. Penyakit katup jantung:
-

Penyakit katup mitral

Penyakit katup aorta

Katup buatan

Prolaps katup mitral

2. Gangguan pada atrium:


-

Fibrilasi atrium

Aneurisma atrium

Myxoma atrium

3. Gangguan pada ventrikel:


-

Infark miokardium

Aneurisma ventrikel

15

Diskinesia dinding ventrikel

7. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit metabolik dengan
karakteristik peningkatan kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
atau kadar glukosa darah puasa 140 mg/dl (National Diabetes Data
Group and World Health Organization). DM telah terbukti sebagai
faktor risiko yang kuat untuk semua manifestasi klinis penyakit
vaskuler aterosklerosis. Mekanisme peningkatan aterogenesis pada
penderita DM meliputi gangguan pada profil lipid, gangguan
metabolisme asam arakhidonat, peningkatan agregasi trombosit,
peningkatan kadar fibrinogen, gangguan fibrinolisis, disfungsi endotel,
glikosilasi protein, dan adanya resistensi insulin hiperinsulinemia
(Israr, 2008).
Pasien dengan DM tipe 2 memiliki risiko besar menderita stroke.
Tingkat keparahan stroke pada diabetes tergantung dengan sekelompok
faktor yang disebut metabolik sindrom, dikarakteristikkan dengan
adanya resistensi insulin, hiperinsulinemia, hiperglikemi, arterial
hipertensi, obesitas dan dislipidemia. Semua faktor tersebut akan
meningkatkan kerusakan vaskular: tidak hanya akan meningkatkan
risiko stroke, tapi juga akan meningkatkan keparahan suatu penyakit
(Israr, 2008).

8. Obesitas
Obesitas adalah suatu keadaan dengan karakteristik Indeks Masa
Tubuh 25 kg/m2 untuk orang asia (Western Pacific Region of WHO).
Obesitas sudah terbukti berhubungan sebagai faktor risiko stroke
iskemik termasuk hipertensi dan diabetes. Walaupun belum ada
penelitian yang menunjukkan bahwa dengan pengurangan berat badan
dapat mengurangi risiko stroke, namun pengurangan berat badan dapat
mengurangi tekanan darah dan glukosa darah (Israr, 2008).
9.

Konsumsi Alkohol

16

- Komponen tertentu dari alkohol yang dapat mencegah pembekuan


darah dan kolesterol terakumulasi dalam arteri stroke.
- menaikan tekanan darah dan gangguan ritme jantung (Israr, 2008).
10. Hiperkolesterolemia
Kadar kolesterol serum yang lebih tinggi dari 265 mg/dl pada
orang berusia 34-40 tahun akan menaikan risiko stroke karena
meningkatnya kadar LDL dan ada gangguan pada reseptor LDL (Israr,
2008).
4. Klasifikasi stroke
A. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
a. Stroke iskemik
Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang
terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar
pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan
(trombus) yang ter-bentuk di dalam suatu

pembuluh otak atau

pembuluh atau organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan


dapat terlepas, atau mungkin terbentuk di dalam suatu organ
seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke
otak sebagai suatu embolus. Terdapat beragam penyebab stroke
trombotik dan embolik primer, termasuk aterosklerosis, arteritis,
keadaan .hiperkoagulasi, dan penyakit jantung struktural. Namun,
trombosis yang menjadi penyulit aterosklerosis merupakan
penyebab pada sebagian besar kasus stroke trombotik, dan embolus
dari

pembuluh besar

atau jantung merupakan penyebab

tersering stroke embolik (Price, 2006).


Sumbatan

aliran

di

arteria

karotis

interna

sering

merupakan penyebab stroke pada orang berusia lanjut, yang


sering mengalami pembentukan plak aterosklerotik di pembuluh
darah sehingga terjadi penyempitan atau stenosis. Pangkal arteria
karotis interna (tempat arteria karotis komunis bercabang menjadi
arteria karotis interna dan eksterna) merupakan tempat tersering

17

terbentuknya aterosklerosis. Aterosklerosis arteria serebri media


atau anterior lebih jarang menjadi tempat pembentukan aterosklerosis. Darah terdorong melalui sistem vaskular oleh gradien
tekanan, tetapi pada pembuluh yang menyempit, aliran darah yang
lebih cepat melalui lumen yang lebih kecil akan menurunkan
gradien tekanan di tempat konstriksi tersebut. Apabila stenosis
mencapai suatu tingkat kritis tertentu, maka meningkatnya
turbulensi di sekitar penyumbatan akan menyebabkan penurunan
tajam kecepatan aliran. Secara klinis, titik kritis stenosis pada
manusia adalah 80% sampai 85% dari luas potongan melintang
lumen (Hademenos, 1997).
Penyebab lain stroke iskemik adalah vasospasme, yang sering
merupakan respons vaskular reaktif terhadap perdarahan ke dalam
ruang antara lapisan araknoid dan pia mater meningen. Sebagian
besar stroke iskemik tidak menimbulkan nyeri, karena jaringan otak
tidak peka terhadap nyeri. Namun, pembuluh besar di leher dan
batang otak memiliki banyak reseptor nyeri, dan cedera pada
pembuluh-pembuluh

ini

saat

serangan

iskemik

dapat

menimbulkan nyeri kepala. Dengan demikian, pada pasien dengan


stroke iskemik disertai gambaran klinis berupa nyeri kepala perlu
dilakukan uji-uji diagnostik yang dapat mendeteksi cedera seperti
aneurisma disekans di pembuluh leher dan batang otak (Price,
2006).

a) Stroke lakunar
Infark lakunar terjadi karena penyakit pembuluh-halus
hipertensif dan menyebabkan sindrom stroke yang biasanya
muncul dalam beberapa jam atau kadang-kadang lebih lama.
Infark lakunar merupakan

infark yang terjadi setelah oklusi

aterotrombotik atau hialin-lipid salah satu dari cabang-cabang


penetrans sirkulus Willisi, arteria serebri media, atau arteria

18

vertebralis dan basilaris . Masing-masing cabang ini sangat


halus (garis tengah 30 sampai 100 um) dan menembus jauh ke
dalam substansia grisea dan alba serebrum dan batang otak.
Cabang-cabang ini rentan terhadap trombosis dari penyakit
aterotrombotik atau akibat terjadinya penebalan lipohialinotik.
Trombosis yang terjadi di dalam pembuluh-pembuluh ini
menyebabkan daerah-daerah infark yang kecil, lunak, dan
disebut lakuna (Yunani, danau kecil). Gejala-gejala mungkin
sangat berat, walaupun terisolasi dan berbatas tegas, bergantung
pada kedalaman pembuluh yang terkena menembus jaringan
sebelum mengalami thrombosis (Price, 2006).
Terdapat empat sindrom lakunar yang sering dijumpai: (1)
hemiparesis motorik murni akibat infark di kapsula interna
posterior, (2) hemiparesis motorik murni akibat infark pars
anterior kapsula interna, (3) stroke sensorik murni akibat infark
talamus, dan (4) hemiparesis ataksik atau disartria serta
gerakan tangan atau lengan yang canggung akibat infark pons
basal. Sampai saat ini sudah teridentifikasi lebih dari 30 sindrom
lakunar,

dan

patologi

intravaskular

biasanya

adalah

lipohialinosis atau mikroateroma dengan bekuan di dalam


lumen vaskular. Perubahan perubahan pada pembuluh ini hampir
selalu dise-babkan oleh disrungsi endolel karena penyakit
hipertensi persisten. Baik stroke lakunar maupun perdnrahan
inlraserebrum dalam tampak-nya berkaitan dengan palologi
pembuluh-pembuluh penetrans halus di otak. Kedua penyebab
stroke mungkin sulil dibedakan. Secara iimum, pasien dengan
infark lakunar umumnya berusia lebih Lua memiliki kadar
kolesterol lebih tinggi, dan mengidap diabetes dibandingkan
dengan mereka yang mengalami perdarahan intraserebrum
dalam (Price, 2006).
b) Stroke trombotik pembuluh besar
Trombosis pembuluh besar dengan aliran lambat adalah

19

subtipe kedua stroke iskemik. Sebagian besar dari stroke ini


terjadi saat tidur, saat pasien relatif mengalami dehidrasi dan
dinamika sirkulasi menurun. Gejala dan tanda yang terjadi akibat
stroke iskemik ini bergantung pada lokasi sumbatan dan tingkat
aliran kolateral di jaringan otak yang terkena. Stroke ini sering
berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang menyebabkan
penyempitan atau stenosis di arteria karotis interna atau, yang
lebih jarang, di pangkal arteria serebri media atau di taut arteria
vertebralis dan basilaris. Tidak seperti trombosis arteria
koronaria, yang oklusi pembuluhnya cenderung terjadi
mendadak dan total, trombosis pembuluh otak cenderung
memiliki awitan bertahap, bahkan ber-kembang dalam beberapa
hari. Pola ini menyebabkan timbulnya istilah "stroke-inevolution". Banyak dari stroke yang sedang berkembang ini
sebenarnya terjadi akibat embolisasi distal, terutama apabila
sumber trombus adalah arteria karotis (Price, 2006).
Stroke trombotik dapat, dari sudut pandang klinis, tampak
"gagap", dengan gejala hilang-timbul berganti-ganti secara
cepat. Para pasien ini mungkin sudah mengalami beberapa kali
serangan TIA tipe-lakunar sebelum akhirnya mengalami stroke.
Yang khas adalah apa yang disebut sebagai "crescendo TIA",
yaitu pasien mengalami TIA yang semakin meningkat jumlah
dan frekuensinya. Kemungkinan serangan-serangan TIA ini
berkembang menjadi stroke trombotik sangatlah besar (Price,
2006).
Mekanisme

lain

pelannya

aliran

pada

arteri

yang

mengalami trombosis parsial adalah defisit perfusi yang dapat


terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan
darah sistemik. Agar dapat melewati lesi stenotik intraarteri,
aliran darah mungkin bergantung pada tekanan intravaskular
yang tinggi. Penurunan mendadak tekanan tersebut dapat
menyebabkan penurunan generalisata CBF, iskemia otak, dan

20

stroke. Dengan demikian, hipertensi non srmtomatik, terutama


pada pasien berusia lanjut, harus diterapi secara hati-hati dan
cermat karena penurunan mendadak tekanan darah dapat
memicu stroke atau iskemia arteria koronaria atau keduanya.
Karakteristik ini merupakan alasan mengapa terapi berobat jalan
tekanan darah tinggi dengan obat-obat yang bekerja cepat
misalnya

nifedipin

(Procardia)

di

bawah

lidah

dikontraindikasikan . Apabila simtomatik, jenis hipertensi berat


ini harus diterapi dalam lingkungan rawat inap terkontrol
dengan menggunakan obat-obat intravena yang dapat
dititrasi sesuai dengan kondisi klinis pasien. Untuk
yang

sama,

pasien-pasien

arteri karotis mereka harus

yang

alasan

memiliki lesi stenotik di

diberi tahu mengenai hipotensi

ortostatik yang dapat terjadi pada pemberian obat antihipertensi


yang kuat. Obat-obat ini dapat menimbulkan iskemia serebrum
apabila menyebabkan penurunan mendadak tekanan darah.
Penurunan tekanan mungkin sudah dapat menyebabkan
gangguan perfusi melalui arteri-arteri yang bergantung pada
tekanan perfusi minimal untuk mempertahankan CBF (Price,
2006).
c) Stroke embolik
Stroke embolik diklasifikasikan berdasarkan arteri yang
terlibat (misalnya, stroke arteria vertebralis) atau asal embolus.
Asal stroke embolik dapat suatu arteri distal atau jantung (stroke
kardioembolik). Trombus mural jantung merupakan sumber
tersering: infark miokardium, fibrilasi atrium, penyakit katup
jantung, katup jantung buatan, dan kardiomiopati iskemik. Dari
hal-hal ini, fibrilasi atrium sejauh ini merupakan penyebab tersering. Penyebab penting selanjutnya adalah trombo-emboli yang
berasal dari arteri, terutama plak ateromatosa di arteria karotis
(Price, 2006).
Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan

21

defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak


awitan penyakit. Biasanya serangan terjadi saat pasien
beraktivitas. Trombus embolik ini sering tersangkut di bagian
pembuluh yang mengalami stenosis. Stroke kardioembolik, yaitu
jenis stroke embolik tersering, didiagnosis apabila diketahui
adanya kausa jantung seperti fibrilasi atrium atau apabila
pasien baru mengalami infark miokardium yang mendahului
terjadinya sumbatan mendadak pembuluh besar otak. Embolus
berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding rongga
jantung atau katup mitralis. Karena biasanya adalah bekuan yang
sangat kecil, fragmen-fragmen embolus dari jantung mencapai
otak melalui arteria karotis atau vertebralis. Dengan demikian,
gejala klinis yang ditimbulkannya bergantung pada bagian mana
dari sirkulasi yang tersumbat dan seberapa dalam bekuan
berjalan di percabangan arteri sebelum tersangkut (Price, 2006).
Selain itu, embolisme dapat terurai dan terus mengalir
sepanjang pembuluh darah sehingga gejala-gejala mereda.
Namun, fragmen kemudian tersangkut di sebelah hilir dan
menimbulkan

gejala-gejala

fokal.

Pasien

dengan

stroke

kardioembolik memiliki risiko yang lebih besar menderita


stroke hemoragik di kemudian hari, saat terjadi perdarahan
petekie atau bahkan perdarahan besar di jaringan yang
mengalami infark beberapa jam atau mungkin hari setelah
proses emboli pertama. Penyebab perdarahan tersebut adalah
bahwa struktur dinding arteri sebelah distal dari oklusi
embolus melemah atau rapuh karena kekurangan perfusi. Dengan
demikian, pemulihan tekanan perfusi dapat menyebabkan
perdarahan arteriol atau kapiler di pembuluh tersebut (Price,
2006).
b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15%
sampai 20% dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi

22

vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi


perdarahan ke dalam ruang sub-araknoid atau langsung ke
dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat
menyebabkan
aneurisma

perdarahan

subaraknoid

(PSA)

adalah

sakular (Berry) dan malformasi arteriovena

(MAV). Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah


pemakaian kokain atau amfetamin, karena zat-zat ini dapat
menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan intraserebrum
atau subaraknoid (Price, 2006).
Perdarahan dapat dengan cepat menimbulkan gejala
neurologik karena tekanan pada struktur-struktur saraf di
dalam tengkorak. Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari
perdarahan

baik

yang

spontan

maupun

traumatik.

Mekanisme terjadinya iskemia tersebut ada dua: (1) tekanan


pada pembuluh darah akibat ekstravasasi darah ke dalam
tengkorak yang volumenya tetap dan (2) vasospasme reaktif
pembuluh-pembuluh darah yang terpajan ke darah bebas di
dalam ruang antara lapisan araknoid dan pia mater
meningen.

Biasanya

stroke

hemoragik

secara

cepat

menyebabkan kerusakan fungsi otak dan kehilangan kesadaran.


Namun,

apabila

perdarahan

berlangsung

lambat,

pasien

kemungkinan besar mengalami nyeri kepala hebat, yang


merupakan skenario khas perdarahan subaraknoid (PSA).
Tindakan pencegahan utama untuk perdarahan otak adalah
mencegah cedera kepala dan mengendalikan tekanan darah (Price,
2006).
a) Perdarahan intraserebrum

Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak (parenkim)


paling sering .terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh
hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang
menembus jauh ke dalam jaringan otak. Apabila perdarahan
terjadi pada individu yang tidak mengidap hipertensi,

23

diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk mengetahui kausa


lain seperti gangguan perdarahan, malformasi arteriovena, dan
tumor yang menyebabkan erosi. Stroke yang disebabkan oleh
perdarahan intraserebrum paling sering terjadi saat

pasien

terjaga dan aktif, sehingga kejadiannya sering disaksikan oleh


orang lain. Karena lokasinya berdekatan dengan arteri-arteri
dalam, basal ganglia dan kapsula interna sering menerima beban
terbesar tekanan dan iskemia yang disebabkan oleh stroke tipe
ini. Dengan mengingat bahwa ganglia basal memodulasi fungsi
motorik volunter dan bahwa semua serat saraf aferen dan eferen
di separuh korteks mengalami pemadatan untuk masuk dan
keluar dari kapsula interna, maka dapat dilihat bahwa stroke di
salah satu bagian ini diperkirakan menimbulkan defisit yang
sangat merugikan. Biasanya perdarahan di bagian dalam
jaringan otak menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat
dan memburuk secara progresif dalam beberapa menit sampai
kurang dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang berlawanan dari
letak perdarahan merupakan tanda khas pertama pada
keterlibatan kapsula interna (Price, 2006).
Infark serebrum setelah embolus di suatu arteri otak
mungkin terjadi sebagai akibat perdarahan bukan sumbatan
oleh embolus itu sendiri. Alasannya adalah bahwa, apabila
embolus lenyap atau dibersih-kan dari arteri, dinding pembuluh
setelah tempat oklusi mengalami perlemahan selama beberapa
hari pertama setelah oklusi. Dengan demikian, selama waktu
ini dapat terjadi kebocoran atau perdarahan dari dinding
pembuluh yang melemah ini. Karena itu, hipertensi perlu
dikendalikan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada
minggu-minggu pertama setelah stroke embolik (Price, 2006).
Angka kematian untuk perdarahan intraserebrum hipertensif
sangat tinggi mendekati 50%. Perdarahan yang terjadi di ruang
supratentorium (di atas tentorium serebeli) memiliki prognosis

24

baik apabila volume darah sedikit. Namun, perdarahan ke dalam


ruang infratentorium di daerah pons atau serebelum memiliki
prognosis yang jauh lebih buruk karena cepatnya timbul
tekanan pada struktur-struktur vital di batang otak. Terapi utama
untuk stroke hemoragik adalah menurunkan tekanan darah
apabila hipertensi adalah kausanya dan melawan antikoagulasi
apabila kausanya adalah gangguan perdarahan endogen atau
akibat obat. Tidak banyak yang dapat dilakukan terhadap
perdarahan yang sudah terjadi. Seperti sudah dibahas di
stroke iskemik, penurunan tekanan darah yang terlalu cepat atau
terlalu drastis dapat menyebabkan berkurang-nya perfusi dan
meluasnya

iskemia.

Pemantauan

dan

terapi

terhadap

peningkatan TIK serta evakuasi bekuan apabila tingkat


kesadaran memburuk meru-pakan satu-satunya intervensi yang
kemungkinan memiliki dampak positif pada prognosis. Pada
pasien yang berusia kurang dari 40 tahun, perlu dipikirkan
pemakaian kokain sebagai kausa stroke yang dise-babkan oleh
perdarahan intraserebrum. Hubungan pasti antara kokain dan
perdarahan masih kontroversial, walaupun diketahui bahwa
kokain mening-katkan aktivitas sistem saraf simpatis sehingga
dapat menyebabkan peningkatan mendadak tekanan darah.
Perdarahan dapat terjadi di pembuluh intraserebrum atau
subaraknoid pada kasus yang terakhir, biasanya terdapat suatu
aneurisma vascular (Price, 2006).
Perdarahan yang terjadi langsung ke dalam ventrikel otak
jarang dijumpai. Yang lebih sering adalah perdarahan di dalam
parenkim otak. yang menembus ke dalam sistem ventrikel,
sehingga bukti asal perdarahan menjadi kabur. Seperti pada
iskemia, defisit neurologik utama mencerminkan kerusakan
b.agian otak tertentu. Dengan demikian, gangguan lapang
pandang terjadi pada perdarahan oksipitalis, dan kelemahan
atau paralisis pada kerusakan korteks motorik di lobus frontalis

25

(Price, 2006).
b) Perdarahan Subaraknoid

PSA memiliki dua kausa utama: ruptur suatu aneurisma


vaskular dan trauma kepala. Gambar 1.2

memperlihatkan

tempat-tempat aneurisma sakular (berry) yang lazim, yang


sebagian besar terletak di sirkulus Willisi. Karena perdarahan
dapat

masif dan ekstravasasi

darah ke dalam ruang

subaraknoid lapisan meningen dapat berlangsung cepat, maka


angka kematian sangat tinggi sekitar 50% pada bulan pertama
setelah perdarahan. Penyebab tingginya angka kematian ini
adalah bahwa empat penyulit utama dapat menyebabkan
iskemia otak serta morbiditas dan mortalitas "tipe lambat" yang
dapat terjadi lama setelah perdarahan terkendali. Penyulitpenyulit tersebut adalah (1) vasospasme reaktif disertai infark,
(2) ruptur ulang, (3) hiponatremia, dan (4) hidrosefalus. Bagi
pasien yang bertahan hidup setelah perdarahan awal, ruptur
ulang atau perdarahan ulang adalah penyulit paling berbahaya
pada masa pascaperdarahan dini. Vasospasme adalah penyulit
yang terjadi 3 sampai 12 hari setelah perdarahan awal. Seberapa
luas spasme arteri menyebabkan iskemia dan infark bergantung
pada keparahan dan distribusi pembuluh-pembuluh yang terlibat
(Price, 2006).
Alat yang sering digunakan untuk mengklasifikasikan
keparahan PSA adalah Hunt and Hess Classification Grading
Scale . Skala lima tingkat (Tabel 1. 2) ini digunakan secara luas
dalam klinis dan untuk riset. Modifikasi dari Skala Hunt and
Hess mencakup tujuh tingkatan keparahan, yang diberi nomor 0
sampai 5. Aneurisma yang tidak mengalami ruptur diberi
derajat/tingkat 0, dan derajat 2 yang asli dibagi lagi menjadi
derajat la dan 2. Skala tujuh tingkat yang lebih baru ini
dicakupkan dalam situs web the Brain Attack Coalition yang
mencantumkan lima skala stroke yang berbeda, yang semuanya

26

digunakan untuk mengevaluasi pasien stroke. Kecuali skala


Hunt dan Hess, yang digunakan untuk menilai derajat disfungsi
dini, skala yang lain digunakan selama pemulihan stroke untuk
menilai derajat kecacatan, tingkat fungsional, dan kemajuan
perbaikan.

Gambar 1.2 Tempat-tempat lazim aneurisma sakular (berry).


(Price, 2006)
Malformasi arteriovenn (MAV) adalah jaringan kapiler
yang mengalami malformasi kongenital dan merupakan penyebab
PSA yang lebih jarang di-jumpai. Dalam keadaan normal,
jaringan kapiler terdiri dari pembuluh-pembuluh darah yang
garis tengahnya hanya 8/1000 mm. Karena ukurannya yang
halus, arteriol-arteriol halus ini memiliki resistensi vaskular tinggi
yang memperlambat aliran darah sehingga oksigen dan zat
makanan dapat berdifusi ke dalam jaringan otak. Pada MAV,
pembuluh melebar sehingga darah mengalir di antara arteri bertekanantinggi dan sistem vena bertekanan rendah. Akhirnya,
dinding venula melemah dan darah dapat keluar dengan cepat ke

27

jaringan otak. Pada sebagian besar pasien, perdarahan terutama


terjadi di intraparenkim dengan perembesan ke dalam ruang
subaraknoid. Perdarahan mungkin massif, yang menyebabkan
kematian, atau kecil dengan garis tengah 1 cm (Price, 2006).
Tabel 1.2 skala keparahan PSA Hunt dan Hess
Derajat
I

Status neurologik
Asimtomatik ; atau nyeri kepala

II

minimal ada kaku kuduk ringan.


Nyeri kepala sedang sampai parah ;
kaku

kuduk;

tidak

ada

defisit

neurologik kecuali kelumpuhan saraf


III

kranialis.
Mengantuk

IV

minimal.
Stupor; hemiparesis sedang sampai

defisit

neurologik

berat; mungkin rigiditas deserebrasi


dini dan gangguan vegetativ.
Koma dalam; rigiditas deserebrasi;

penampakan parah.
(Price, 2006).

Tabel 1.3 Perbedaan stroke


Gejala klinis

1. Gejala

Perdarahan

Perdarahan

Strpke

intraserebral

Subaraknoid

Nonhemoragik

(PSA)
Ringan

(SNH)
Berat / ringan

(PIS)
defisit Berat

lokal
2. Awitan (onset)

Menit/ jam

1-2 menit

Pelan

3. Nyeri kepala

Hebat

Sangat hebat

hari)
Ringan / tidak

(jam/

28

4. Muntah

pada Sering

Sering

awalnya
5. Hipertensi

ada
Tidak,

kecuali

lesi di batang
Hampir selalu Biasanya

otak
Sering

tidak
Biasa ada
Tidak ada
Bisa hilang Dapat hilang

6. Kaku kuduk
7. Kesadaran

Jarang
Bisa hilang

8. Hemiparesis

sebentar
Sering sejak Awal
tidak Sering

9. Deviasi mata
10. Liquor

awal
Bisa ada
Sering

ada
Jarang
berdarah

sejak

awal
Mungkin ada
Jernih

berdarah
(Dewanto, 2009).
B. Berdasarkan stadium atau pertimbangan waktu:
i. Serangan iskemik sepintas atau TIA
Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan
peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
j. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih
lama dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu.
k. Progressing stroke atau stroke in evolution
Gejala neurologik yang makin lama makin berat.
l. Completed stroke
Gejala klinis yang telah menetap.
C. Berdasarkan lokasi lesi vaskuler
a. Sistem karotis
a) Motorik : hemiparese kontralateral, disartria.
b) Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia.
c) Gangguan visual : hemianopsia homonim kontralateral,
amaurosis fugaks.
d) Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia.
b. Sistem vertebrobasiler

29

a) Motorik : hemiparese alternans, disartria


b) Sensorik : hemihipestesi alternans, parestesia
c) Gangguan lain : gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia
5. Mekanisme hemipestesia
Gangguan Sensoris Negatif
Gangguan sensorik superfisial atau gangguan eksteroseptif yang
negatif merupakan salah satu manifestasi sindrom neurologi. Secara
singkat gangguan sensorik negatif itu disebut defisit sensorik. Tergantung
pada kedudukan lesi, apakah di saraf perifer, di radiks posterior atau di
lintasan sentralnya, daerah permukaan tubuh yang anastetik atau baal dan
sebagainya memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan penataan
anatomi susunan somestesia (Mardjono, 2006).
Mengenal pola defisit sensorik itu berarti mengetahui lokasi lesi
yang mendasarinya. Untuk mempermudah pembahasan defisit sensorik,
maka istilah anestesia dan hipestesia digunakan secara bebas sebagai
sinonim dari defisit sensorik (Mardjono, 2006).
a. Hemihipestesia
Hemihipestesia merupakan hipestesia yang dirasakan sesisi tubuh
saja. Ditinjau dari sudut patofisiologiknya, maka keadaan itu terjadi
karena korteks sensorik primer tidak menerima impuls sensorik dari
belahan

tubuh

kontralateral.

Di dalam

klinik

hemihipestesia

merupakan gejala utama atau gejala pengiring penyakit perdarahan


serebral. Infark yang menduduki seluruh krus posterior kapsula interna
sesisi,

mengakibatkan

hemiplegia

kontralateral

yang

disertai

hemihipestesis kontralateral juga. Infark tersebut terjadi karena


penyumbatan arteri lentikulostriata. Bila cabang kecil dari kelompok
arteria lentikulostriata saja yang tersumbat, mungkin bagian di ujung
belajang krus posterior kapsula interna saja yang terkena infark.
Dalam hal itu hemihipestesia kontralateral merupakan gejala utama,
tanpa hemiplegia. Hal itu dapat di mengerti karena kawasan itu
dilintasi hanya oleh serabut-serabut aferen yang berproyeksi pada

30

korteks sensorik primer dan tidak ada serabut kortikospinal yang


terkena oleh infark tersebut (Mardjono, 2006).
Pada penyumbatan arteri serebri anterior tidak dijumpai
hemihipestesia kontralateral, melainkan hipestesia yang terbatas pada
kulit tungkai kontralateral yang lumpuh. Dalam hal itu daerah sensorik
kortikal untuk lengan tidak termasuk kawasan vaskularisasi arteria
serebri anterior, melainkan arteri serebri media (Mardjono, 2006).
b. Hipestesia alternans
Hipestesia alternans merupakan hipestesia pada belahan wajah
ipsilateral terhadap lesi yang bergandengan dengan hipestesia pada
belahan badan kontralateral terhadap lesi. Lesi yang mendasari pola
defisit sensorik itu menduduki kawasan jaras spinotalamik dan traktus
spinalis nervi trigemini di medulla oblongata (Mardjono, 2006).
c. Hipestesia tetraplegik
Hipestesia tetraplegik ialah hipestesia pada seluruh tubuh kecuali
kepala dan wajah. Defisit sensorik itu timbul akibat lesi transversal
yang memotong medulla spinalis di tingkat servikalis. Jika lesi
menduduki segmen medulla spinalis di bawah tingkat T1, maka defisit
sensorik yang terjadi dinamakan hipestesia paraplegi (Mardjono,
2006).
d. Hipestesia selangkangan (saddle hipestesia)
Hipestesia selangkangan ialah hipestesi pada daerah kulit
selangkangan. Lesi yang mengakibatkannya merusak kauda ekuina
(Mardjono, 2006).
e. Hemihipestesia sindrom brown sequard
Hemihipestesia sindrom brown sequard ialah hemihipestesia pada
belahan tubuh kontralateral terhadap hemilesi di medulla spinalis
(Mardjono, 2006).
f.

Hipestesia radikular atau hipestesia dermatomal


Hipestesia radikular ialah hipestesia yang terjadi akibat lesi di
radiks posterior. Dalam hal itu daerah yang hipestetik ialah dermatome
yang disarafi oleh serabut-serabut radiks posterior yang terkena lesi

31

(Mardjono, 2006).
g. Hipestesia perifer
Hipestesia perifer ialah hipestesia pada kawasan saraf perifer yang
biasanya mencakup bagian-bagian beberapa dermatom (Mardjono,
2006).
Kelumpuhan UMN :
a. Hemiplegi Alternans
Kerusakan unilateral pada jaras kortikobulbar/ kortikospinal di tingkat
batang otak menimbulkan sindrom hemiplegia alternans . sindrom
tersebut terdiri atas kelumpuhan UMN yang melanda otot-otot belahan
tubuh kontralateral yang berada dibawah tingkat lesi. Sedangkat
setingkat lesinya terdapat kelumpuhan LMN, yang melanda otot-otot
yang disyarafi oleh syaraf kranial yang terlibat dalam lesi. Tergantung
pada lokasi lesi paralitiknya, dapatlah dijumpai sindrom hemiplegia
alternanas di mesensefalon, pons dan medula oblongata ( Mardjono,
2006).

6. Penatalaksanaan stroke farmakologik dan non farmakologik


A. Farmakologi
Stadium akut :
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik
maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara
dan psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien.
Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut
dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan
pasien yang dapat dilakukan keluarga (Setyopranoto, 2011).
Stroke Iskemik

32

Terapi umum: Letakkan kepala pasien pada posisi 30, kepala dan
dada pada satu bidang,ubah posisi tidur setiap 2 jam, mobilisasi
dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil (Setyopranoto, 2011).
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit
sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan
intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian
dicari penyebabnya, jika kandung kemih penuh, dikosongkan
(sebaiknya dengan kateter intermiten). Pemberian nutrisi dengan cairan
isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan elektrolit sesuai
kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik.
Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik, jika
didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan
melalui slang nasogastrik. Kadar gula darah >150 mg% harus
dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin
drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar
gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera
dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya (Setyopranoto, 2011).
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian
obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera
diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik 220 mmHg, diastolik 120
mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) 130 mmHg (pada 2
kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan
infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal.
Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium (Setyopranoto, 2011).
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik
70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500
mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi
dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih

33

< 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 g/kg/menit sampai tekanan


darah sistolik 110 mmHg (Setyopranoto, 2009).
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelanpelan selama 3
menit,

maksimal

100

mg

per

hari,

dilanjutkan

pemberian

antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul


setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang
(Setyopranoto, 2011).
Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat diberi manitol
bolus intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai
fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan
0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus
dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif,
dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl3%) atau furosemid
(Setyopranoto, 2011).
Terapi khusus: Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian
antiplatelet seperti aspirin dan anti koagulan, atau yang dianjurkan
dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen Activator).
Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam
(jika didapatkan afasia) (Setyopranoto, 2011).
Piracetam bekerja dengan cara meningkatkan efektifitas dari fungsi
telensefalon

otak

melalui

peningkatan

fungsi

neurotransmiter

kolinergik (Acetylcholine). Telensefalon inilah yang mengatur fungsi


kognitif pada manusia (memori, kesadaran, belajar dan lain) sehingga
piracetam mampu memperbaiki daya ingat dan belajar, dengan
memfasiliasi pelepasan asetilkolin yang dapat menimbulkan efek
peningkatan peredaran darah dan peningkatan metabolisme energi.
Fungsi lain dari piracetam adalah menstimulasi glikolisis oksidatif
sehingga menaikkan cAMP dan ATP, meningkatkan konsumsi oksigen
pada otak, serta mempengaruhi pengaturan cerebrovaskular dan juga
mempunyai efek antitrombotik untuk menurunkan hiperaggregitas
trombosit sehingga dapat menurunkan kejadian mikroemboli. Oleh

34

karena itu piracetam biasanya digunakan untuk pengobatan stroke,


terutama stroke iskemik. Piracetam mempengaruhi aktifitas otak
melalui berbagai mekanisme yang berbeda antara lain:
1

Merangsang transmisi neuron di otak

Merangsang metabolisme otak

Memperbaiki mikrovaskular tanpa efek vasodilatasi (Seth, 2009).


Citicoline (CPD-choline) merupakan salah satu neuroprotektor
yang mempunyai potensi sebagai prekursor kolin yang dimetabolisme
setelah dikonsumsi menjadi bentuk fosfatidilklin,yang merupakan
komponen

utama

dari

membran

sel

saraf.

Citicoline

ini

mampumengurangi dampak pada sel-sel saraf setelah terjadi jejas


akibat iskemik dengan cara stabilisasi membran sel, menurunkan
pembentukan radikal bebas, menurunkan lemak teroksidasi yang
bersifattoksik serta memfasilitasi perbaikan fungsi sel-sel saraf akibat
iskemik dengan

memperbaiki

sinaps

saraf,serta meningkatkan

plastisitas (kemampuan atau kapasitas dari sistem saraf untuk


beradaptasi terhadap kebutuhan fungsional) sel-sel saraf (Seth, 2009).
1

Trombolisis dengan recombinant tissue plasminogen activator.


Terapi trombolitik ini tidak diberikan pada pasien yang tidak
dirawat di unit perawatan intensif atau di pelayanan stroke yang
lengkap. penanganan ini hanya boleh diberikan pada stroke
ischemic dengan onset kurang dari 3 jam dan hasil scan tomografik
normal.
Aspirin adalah obat antitromobotik yang mengantagonisir
agregrasi trombosit in vitro dan memperpanjang waktu perdarahan
in vivo. Obat yang memodulasi kadar cAMP intratrombosit tidak
memperpanjang waktu trombosit. Aspirin menghambat sintesis
tromboksan A2 dengan mengasetilasi secara ireversibel enzim
siklooksigenase. Karena trombosit tidak mempunyai inti sel maka
tidak dapat mensintesis protein baru, sehingga tidak dapat
mencetak enzim baru selama 10 hari masa hidupnya. Salisilat lain
dan obat anti-inflamasi nonsteroid lainnya menghambat pula

35

siklooksigenase, tetapi masa kerja aksi hambatannya lebih singkat


karena tidak mampu mengasetilasi siklooksigenase, berarti
kerjanya bersifat reversibel. Pemakaian aspirin ialah 325 mg/hari
untuk profilaksis primer (Katzung, 2010).
Trombosis vena :
1

Pencegahan
Pencegahan primer trombosis vena akan mengurangi
insiden dan timbulnya kematian emboli paru. Heparin dipakai
untuk mencegah trombosis vena. Heparin digunakan dengan
dosis rendah secara subkutan

Pengobatan
Heparin selama 7-10 hari, dengan 3-5 hari tumpang silang
dengan warfarin. Setelah keluar rumah sakit, terapi warfarin
selama 6 minggu sampai 6 bulan.
Trombosis arterial :
Pada penderita stroke diberikan aspirin dan tiklopidin

Antikoagulan warfarin atau heparin dapat dipakai untuk perfusi


dan prevensi stroke berulang dengan pemantauan APTT 1-2 kali
control.
Warfarin

adalah

obat

sering

juga

disebut

sebagai

antikoagulan oral. Umumnya diberikan dalam bentuk garam


natrium dan mempunyai ketersediaan hayati 100%. Di atas 99%
warfarin rasemik terikat dengan albumin plasma, yang
menyebabkan volume distribusinya menjadi kecil, waktu paruh
plasmanya lama (36 jam), dan tidak dieksresikan melalui urin
dalam bentuk utuh.
Warfarin

menghambat

-karboksilasi

beberapa

residu

glutamat dalam protrombin dan faktor VII, XI, dan X.


Penghambatn tersebut menghasilkan molekul yang tidak
sempurna yang secara biologi tidak aktif dalam koagulasi.
Protein karboksilasi ini berpasangan secara fisiologis dengan

36

deaktivasi oksidatif vitamin K. Antikoagulan mencegah


metabolisme reduktif vitamin K epoksid yang tidak aktif
kembali ke bentuk hidrokuinon aktifnya.
Pengobatan dengan warfarin sebaiknya dimulai dengan dosis
kecil sekitar 2-5 mg per hari yang jauh lebih baik daripada dosis
awal yang

besar. Penyesuaian

awal waktu

memerlukan

waktu

minggu,

sekitar

yang

protrombin
biasanya

menghasilkan dosis rumat sekitar 5-7 mg/hari. (Katzung, 2010)


3

Asetosal dosis kecil 50-100 mg dapat diberikan dalam 48 jam


pertama bila sudah terbukti tidak ada pendarahan.

Stroke Hemoragik
Terapi umum : Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika
volume hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan
hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan darah
harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila
tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130
mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung,
tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg
(pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit)
maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3
kali 6,25-25 mg per oral (Setyopranoto, 2011).
Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi kepala
dinaikkan 300, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian
manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2
20-35 mmHg) (Setyopranoto, 2011).
Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak
lambung diatasi dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau
inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah dengan
fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas (Setyopranoto,
2009).

37

Terapi khusus: Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat


vasodilator. Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak
perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk dengan
perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat
perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan
perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan
intrakranial akut dan ancaman herniasi. Pada perdarahan subaraknoid,
dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah
(ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya
adalah

aneurisma

atau

malformasi

arteri-vena

(arteriovenous

malformation, AVM) (Setyopranoto, 2011).


Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku,
menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik).
Mengingat

perjalanan

penyakit

yang

panjang,

dibutuhkan

penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan


tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan
program preventif primer dan sekunder (Setyopranoto, 2011).
Terapi fase subakut:
Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
-

Penatalaksanaan komplikasi,

Restorasi/rehabilitasi

(sesuai

kebutuhan

pasien),

yaitu

fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi,


-

Prevensi sekunder

Edukasi keluarga dan Discharge Planning

B. Non farmakologi
Penatalaksanaan nonfarmakologi pada kasus stroke adalah
rehabilitasi medis atau fisioterapi pasca stroke yang bertujuan untuk
mempercepat terjadinya pemulihan dan membantu mengurangi
kecacatan yang terjadi. Fisioterapi ini tergantung pada tingkat

38

kecacatan yang ditimbulkan akibat stroke (Wirawan, 2009).


Kecacatan yang ditimbulkan tergantung pada bagian mana
yang mengalami kerusakan akibat stroke, dan seberapa luas kerusakan
tersebut.Secara umum kecacatan yang timbul dapat dikelompokkan
menjadi 5, antara lain :
1

Kelumpuhan atau gangguan mengatur gerakan (motorik)

Gangguan perasa (sensorik), termasuk nyeri

Gangguan bahasa (aphasia)

Gangguan berpikir atau daya ingat (memori)

Gangguan emosi.
Untuk dapat mengatasi masalah-masalah diatas tersebut maka
kita dalam proses rehabilitasi paska stroke akan melakukan terapi
secara holistik dan variasi, seperti terapi fisik, terapi okupasi, terapi
wicara, konseling dan bimbingan rohani (Wirawan, 2009).
Pasien stroke sebaiknya mulai dikonsulkan ke dokter spesialis
rehabilitasi (SpKFR) sejak hari pertama mulai perawatan di RS.
Perawatan bersama dengan Tim Rehabilitasi sejak awal bertujuan
sebagai berikut:
a. Pada fase awal (akut) terutama adalah pencegahan komplikasi yang
ditimbulkan akibat tirah baring (bedrest) lama, seperti :
a) Mencegah ulkus dekubitus (luka daerah pada punggung atau
pantat yang selalu mendapat tekanan saat tidur).
b) Mencegah penumpukan sputum (dahak) untuk mencegah
infeksi saluran pernapasan.
c) Mencegah kekakuan sendi.
d) Mencegah atrofi otot (pengecilan massa otot).
e) Mencegah hipotensi ortostatik dan osteoporosis
b. Pada fase lanjut (rehabilitasi)
a) Meminimalkan gejala sisa (sequelae) dan kecacatan akibat
stroke.
b) Memaksimalkan kemandirian dalam perawatan diri dan
aktivitas sehari-hari.

39

c) Kembali ke pekerjaan (back to work) sehingga diharapkan


dapat berperan aktif dalam kehidupan seperti sedia kala.
Pada fase lanjutan tujuannya adalah untuk mencapai
kemandirian fungsional dalam mobilisasi dan aktifitas kegiatan
sehari-hari (AKS).Fase ini dimulai pada waktu penderita secara
medik telah stabil.Biasanya penderita dengan stroke trombotik
atau embolik, biasanya mobilisasi dimulai pada 2-3 hari setelah
stroke.Penderita dengan perdarahan subarakhnoid mobilisasi
dimulai 10-15 hari setelah stroke (Wirawan, 2009).
Program pada fase ini meliputi :
1

Fisioterapi
1) Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot.
2) Diberikan terapi panas superficial (infrared) untuk
melemaskan otot.
3) Latihan gerak sendi bisa pasif, aktif dibantuatau aktif
tergantung dari kekuatan otot.
4) Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.
5) Latihan fasilitasi atau redukasi otot
6) Latihan mobilisasi.

Okupasi Terapi (aktifitas kehidupan sehari-hari atau AKS)


Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai
kemandirian dalam AKS, meskipun pemulihan fungsi
neurologis pada ekstremitas yang terkena belum tentu
baik.Dengan alat Bantu yang disesuaikan, AKS dengan
menggunakan

satu

dikerjakan.Kemandirian

tangan
dapat

secara

mandiri

dipermudah

dapat
dengan

pemakaian alat-alat yang disesuaikan (Wirawan, 2009).


3

Terapi Bicara
Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan
komunikasi. Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan
cara:

40

1) Latihan pernapasan (pre speech training) berupa latihan


napas, menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan
tenggorokan.
2) Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah,
bibir dan mengucapkan kata-kata.
3) Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke
artikulasi mengucapkan kata-kata.
Catatan: Pelaksana terapi adalah tim medik dan keluarga.
4

Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau
alat ganti dalam membantu transfer dan ambulasi penderita.
Alat-alat yang sering digunakan antara lain : arm sling, hand
sling, walker, wheel chair, knee back slap, short leg brace,
cock-up, ankle foot orthotic (AFO), knee ankle foot orthotic
(KAFO) (Wirawan, 2009).

Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang
akut akan melampaui serial fase psikologis, yaitu: fase syok,
fase penolakan, fase penyesuaian dan fase penerimaan.
Sebagian penderita mengalami fase-fase tersebut secara
cepat, sedangkan sebagian lagi mengalami secara lambat,
berhenti pada salah satu fase, bahkan kembali ke fase yang
telah lewat.Penderita harus berada pada fase psikologis yang
sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi (Wirawan, 2009).

Sosial Medik dan Vokasional


Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan
wawancara

keluarga,

keterangan

tentang

pekerjaan,

kegemaran, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup serta


keadaan rumah penderita (Wirawan, 2009).

41

Berikut ini adalah kegiatan terapi yang bisa dilakukan dan


manfaatnya :
1

Terapi Fisik Dada : pencegahan & pemulihan gangguan paru

Pengaturan

Posisi

mencegah

kekakuan

sendi

dan

penumpukan lendir di paru-paru


3

Pemberian stimulasi

Kerja sama dengan perawat

Latihan Lingkup Gerak Sendi

Mencegah kekakuan sendi

Mencegah trombosis

Stimulasi sensoris dengan tujuan stimulasi sensoris dapat


memfasilitasi pemulihan motorik
9

Stimulasi Elektrik

10

Bila ada gerak aktif dari pasien

11

Mencegah subluksasi

12

Membantu meningkatkan fungsi

13

Dapat mengurangi bengkak

Proses Rehabilitasi Medik dan Indikasi Macam Rehabilitasi


Medik :
a. Proses Rehabilitasi Medik
a) Reperfusi

jaringan

iskemik

disertai

terhentinya

peradangan dipicu oleh glutamine.


b) Neuron-neurondidaerah penumbra iskemik mulai pulih.
c) Dalam beberapa hari kemudian, otak mulai melakukan
proses melelahkan memulihkan fungsi yang hilang .
d) Plastisitas otakkemampuan otak untuk mereorganisasi
dirinya sendiri.
e) Proses belajar kembali bahasa dan keterampilan, belajar

42

di bagian otak yang tidak cedera, bagian otak yang tidak


cedera akan berkembang merupakan efek dari plastisitas
otak (Price, 2006).
b. Indikasi Macam Rehabilitasi Medik
Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam
beberapa fase. Pembagian ini dalam rehabilitasi medis
dipakai sebagai acuan untuk menentukan tujuan (goal) dan
jenis intervensi rehabilitasi yang akan diberikan, yaitu: (1)
Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan stroke,
(2) Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca
stroke, (3) Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke.
Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:
1

Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota


gerak sisi yang terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak
sendiri,

anjurkan

pasien

untuk

bergerak/beraktivitas

menggunakan sisi yang sehat, namun sedapat mungkin juga


mengikutsertakan sisi yang sakit. Pasien dan keluarga
seringkali beranggapan salah, mengharapkan sirkuit baru di
otak akan terbentuk dengan sendirinya dan pasien secara
otomatis bisa bergerak kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan
terbentuk bila ada kebutuhan akan gerak tersebut. Bila
ekstremitas yang sakit tidak pernah digerakkan sama sekali,
presentasinya di otak akan mengecil dan terlupakan (Wirawan,
2009).
2

Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak


fungsional daripada gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak
fungsional

misalnya

gerakan

meraih,

memegang

dan

membawa gelas ke mulut. Gerak fungsional mengikutsertakan


dan mengaktifkan bagianbagian dari otak, baik area lesi
maupun area otak normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru
yang dibutuhkan. Melatih gerak seperti menekuk dan

43

meluruskan

(fleksiekstensi)

siku

lengan

yang

lemah

menstimulasi area lesi saja. Apabila akhirnya lengan tersebut


bergerak, tidak begitu saja bisa digunakan untuk gerak
fungsional, namun tetap memerlukan terapi latihan agar
terbentuk sirkuit yang baru (Wirawan, 2009).
3

Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan


gerak fungsional yang normal, jangan biarkan menggunakan
gerak abnormal. Gerak normal artinya sama dengan gerak pada
sisi sehat. Bila sisi yang terkena masih terlalu lemah, berikan
bantuan

tenaga

secukupnya

dimana

pasien

masih

menggunakan ototnya secara aktif. Bantuan yang berlebihan


membuat pasien tidak menggunakan otot yang akan dilatih
(otot

bergerak

pasif).

Bantuan

tenaga

yang

kurang

menyebabkan pasien mengerahkan tenaga secara berlebihan


dan mengikutsertakan otot-otot lain. Ini akan memperkuat
gerakan ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada
dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan tenaga yang
diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan pemulihan
pasien (Wirawan, 2009).
4

Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh


sudah tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas
duduk dibedakan dalam stabilitas duduk statik dan dinamik.
Stabilitas duduk statik tercapai apabila pasien telah mampu
mempertahankan

duduk

tegak

tidak

bersandar

tanpa

berpegangan dalam kurun waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke


salah satu sisi. Stabilitas duduk dinamik tercapai apabila pasien
dapat mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh
doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan dan
atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi
sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping untuk
suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh selanjutnya
yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik. Hasil latihan ini

44

memungkinkan pasien mampu melakukan aktivitas dalam


posisi berdiri. Kemampuan fungsional optimal dicapai apabila
pasien juga mampu melakukan aktivitas sambil berjalan
(Wirawan, 2009).
5

Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan


terapi latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan memberikan
hasil maksimal apabila pasien siap secara fisik dan mental.
Secara fisik harus diperhatikan kelenturan otot-otot, lingkup
gerak semua persendian tidak ada yang terbatas, dan tidak ada
nyeri pada pergerakan. Secara mental pasien mempunyai
motivasi dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan
dicapai dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga
menjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan denyut
nadi sebelum dan sesudah latihan perlu dimonitor. Lama
latihan tergantung pada stamina pasien. Terapi latihan yang
sebaiknya adalah latihan yang tidak sangat melelahkan, durasi
tidak terlalu lama (umumnya sekitar 45-60 menit) namun
dengan pengulangan sesering mungkin (Wirawan, 2009).

Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila


ditunjang oleh kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua
modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi
fungsi kognitif tidak dapat dipisahpisahkan. Mengembalikan
kemampuan fisik seseorang harus melalui kemampuan
kognitif, karena rehabilitasi pada prinsipnya adalah suatu
proses belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali melakukan
suatu aktivitas fungsional dengan segala keterbatasan yang ada
(Wirawan, 2009).
Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan untuk:
1 Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring
2 Menyiapkan/mempertahankan

kondisi

yang

pemulihan fungsional yang paling optimal

memungkinkan

45

3 Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas seharihari


4 Mengembalikan kebugaran fisik dan mental (Wirawan, 2009).

Daftar Pustaka
Bahrudin

M.

2007.

Diagnosa Stoke.

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Muhammadiyah Malang. Malang.


Dewanto, George. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit
Syaraf. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Israr YA. 2008. Stroke. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Pekanbaru.
Katzung BG. 2010. Farmakologi Dasar & Klinis. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
Mardjono. 2012. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta.
Price SA. 2006. Buku Ajar Patofisiologi Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
Seth, Vimlesh. 2009. Textbook of Pharmakology. Elsevier. Amsterdam.

46

Setyopranoto, Ismail. 2011. Stroke Gejala dan Penatalaksanaan. Continuing


Medical Education. Yogyakarta.
Wirawan RP. 2009. Rehabilitasi Stroke Pada Pelayanan Kesehatan Primer.
Majalah kedokteran Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai