Kasus 2
Lumpuh Ketika Bangun Tidur
Seorang laki laki berusia 62 tahun datang keunit gawat darurat RS
diantar oleh istrinya dengan keluhan kelemahan pada anggota gerak sebelah
kiri.Pasien mengatakan bahwa saat bangun tidur tiba-tiba dia merasa tangan dan
kaki kiri nya terasa lemah. Pasien berusaha untuk bangun dari tempat tidur untuk
buang air kecil namun kelemahannya semakin memberat. Pasien bahkan tidak
dapat mengangkat gelas.Pasien tidak bisa berjalan tanpa bantuan.Keluhan nyeri
kepala, muntah dan pusing berputar tidak ada. Istrinya mengatakan bahwa wajah
suaminya tidak simetris.Mulutnya mencong kekanan dan bicaranya menjadi tidak
jelas (pelo). Pada pemeriksaan neurologis didapatkan parese N.VII sentral,
hemiparese sinistra (+), dan hemipestesia sinistra (+), kaku kuduk (-). Pasien
mempunyai riwayat hipertensi dan diabetes tidak terkontrol, pasien mempunyai
kebiasaan merokok.Pasien menangis terus menerus mengatakan ingin bisa jalan
kembali.
STEP I
1. Parese
-
Paralisis ringan
2. Hemiparese
-
3. Kaku kuduk
-
4. Pelo
-
5. Hemipestesia
-
6. Diabetes
-
STEP II
1. Apakah yang menyebabkan parese ?
2. Dimanakah letak kerusakannya, apabila pasien mengalami hemipestesia
3.
4.
5.
6.
7.
Diabetes
Defisiensi insulin darah pekat aterosklerosis
6. Hubungan merokok dengan keluhan
Racun utama yang terkandung dalam rokok :
- Tar : substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada
-
paru-paru.
Nikotin : zat aditif yang mempengaruhi saraf dan peredaran darah.
Karbon monoksida : zat yang mengikat hemoglobin dalam darah,
decusatio piramidalis.
Presentralis
motorok
Postsentralis
sensorik
Kerusakan diseluruh bagian girus postsentralis hemipestesia
Kerusakan diselurus girus presentralis hemiparese
Letak N.VII berdekatan dengan korteks motorik apabila ada
non hemoragik
menghilang dalam waktu 24 jam
Lumpuh
Diagnosa kerja
stroke
Penegakan
diagnosis
penyebab
Faktor resiko
Merokok, GM,
hipertensi
Letak kerusakan
Manifestasi klinis
Hemiparese, hemipestesia,
parese.
STEP V
1. Apasajakan kriteria penegakan diagnosis stroke ?
2. Hukum monro-kellie ?
3. Patofosoilogi dari faktor resiko?
4. Bagaimana bisa terjadi hemipestesia?
5. Klasifikasi stroke ?
6. Penatalaksanaan stroke?
STEP VI
Belajar mandiri
STEP VII
1. Penegakan diagnosis stroke
a. Anamnesis gejala dan tanda
a) Penjelasan
pada
tentang
awal
awitan
dan
kejadian
gejala
awal.
Kejang
mengisyaratkan
stroke
embolus.
b) Perkembangan
gejala
atau
keluhan
pasien
atau
keduanya.
c) Riwayat TIA.
d) Faktor
risiko,
terutama
hipertensi,
fibrilasi
atrium,
yang
baru
sedang
dihentikan.
dijalani,
Sebagai
termasuk
contoh
obat
penghentian
b. Pemeriksaan fisik
a) Sistem
pada
pembuluh
arteria
(bruit)
dan
perifer.
karolis
periksa
untuk
lekanan
Lakukan
mcncari
darah
di
auskultasi
adanya
bising
kedua
lengan
untuk diperbandingkan.
b) Jantung.
Perlu
dilakukan
pemeriksaan
juantung
karena
pasien
dengan
fibrilasi
atrium,
infark
Periksa
ada
tidaknya
neurologik.
Sifat
intactness
diperlu-
kan untuk mengetahui letak dan luas suatu stroke (Price, 2006).
c. Teknik pencitraan
Kemajuan dalam teknologi CT dan MRI telah sangat meningkatkan
derajat keakuratan diagnosis stroke iskemik akut. Apabila dilakukan
kombinasi pemeriksaan CT perfusi dan angiografi CT dalam 24 jam
setelah awitan stroke, maka terjadi peningkatan derajat akurasi dalam
penentuan lokalisasi secara dini, lokalisasi vascular dan diagnosis
etiologi (Price, 2006).
Diffusion-weighted imaging (DWI), yang didasarkan pada deteksi
gerakan acak proton dalam molekul air, adalah penyempurnaan
teknologi MRI. Gerakan ini terbatas di dalam sel tetapi tidak terbatas
di ruang ekstrasel. Pada stroke, saat jaringan saraf mengalami iskemia,
integritas membran sel terganggu sehingga kebebasan molekul air
bergerak menjadi terbatas. Berdasarkan perubahan terhadap gerakan
molekul ini jaringan saraf yang mengalami cedera dapat dideteksi
dengan DWI, yang memperlihatkan daerah-daerah yang mengalami
infark sebagai daerah putih terang. Teknik ini sangat sensitif, dapat
mengungkapkan kelainan perfusi pada lebih dari 95% pasien yang
terbukti mengidap stroke .Teknik
waktu
Pemeriksaan
tromboplastin
lain
yang
parsial,
mungkin
dan
hitung
dilakukan
trombosit.
adalah
antibodi
Sadar = 0
Mengantuk / sopor =1
b. Muntah
-
Tidak muntah = 0
Muntah = 1
c. Nyeri kepala
-
Nyeri kepala = 1
10
d. Tanda ateroma
-
Rumus:
[(2,5 derajat kesadaran) + (2 muntah) + (2 nyeri kepala) +
(0,1 tek. Darah diastolik) (3 tanda ateroma)- 12]
Hasil:
Skor < -1 kemungkinan stokr iskemik
Skor > 1
Skor
1
2. Permulaan serangan
Sangat mendadak (1-2 menit)
6,5
6,5
3. Waktu serangan
Waktu kerja (aktivitas)
6,5
10
Hebat
7,5
Ringan
Tidak ada
5. Muntah
Langsung habis serangan
Mendadak (beberapa menit- jam)
10
7,5
Tak ada
11
6. Kesadaran
tulang tengkorak tidak dapt meluas sehingga bila salah satu dari ketiga
ruangannya meluas, dua ruangan lainnya harus mengompensasi dengan
mengurangi volumenya (apabila ICP masi konstan).
Mekanisme kompensasi intrakranial ini terbatas, tetapi terhentinya
fungsi neural ini dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi
terdiri dari meningkatnya aliran CSF kedalam kanalis spinalis dan adaptasi
otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan ICP.
Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian
adalah penurunan aliran darh ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah dan
horisontal (herniasi) bila ICP makin meningkat. Dua mekanisme terakhir
dapat berakibat langsung popada fungsi saraf. Apabila peningkatan ICP berat
dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan
dapat menyebabkan kematian neural (Price, 2006).
3. Patofisiologi Faktor risiko
1.
12
ras tertentu. Persentase stroke iskemik pada pria 56,7% dan 42,4%
pada wanita (Israr, 2008).
2.
Usia
Usia merupakan faktor risiko stroke iskemik yang paling kuat.
Dengan meningkatnya usia, maka meningkat pula insidens iskemik
serebral tanpa memandang etnis dan jenis kelamin. Setelah usia 55
tahun, insidensi akan meningkat dua kali tiap dekade.
Stroke iskemik yang terjadi pada usiamuda (<45 tahun) biasanya
merupakan kombinasi dari penyebab lain yang belum pasti diketahui,
sedangkan
pada
usia
45-70
tahun
lebih
sering
dijumpai
13
pada
hewan
coba
ditemukan
bahwa
hipoksia
merangsang proliferasi sel otot polos, hal yang sama diduga terjadi
pula pada orang yang merokok. Peneliti lain menghubungkan merokok
dengan kenaikan tekanan darah secara akut, kenaikan reaktivitas
trombosit dan penghambatan pembentukan prostasiklin serta kenaikan
kadar fibrinogen dalam plasma (Israr, 2008).
Merokok merupakan faktor yang signifikan untuk kejadian stroke
infark aterotrombotik pada laki-laki berusia di bawah 65 tahun.
Penelitian lain di Iowa mendapatkan bahwa perokok mempunyai risiko
terkena stroke 1,6 lipat dari bukan perokok. Sedangkan dari
penelitian Framingham perokok berat (>40 batang sehari) mempunyai
risiko 2 lipat dari perokok ringan (<10 batang sehari) (Israr, 2008).
5. Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah dengan
karakteristik tekanan darah sistolik > 120 mmHg dan tekanan darah
diastolik > 80 mmHg (Joint National Committee 7). Hipertensi
merupakan satu dari beberapa faktor risiko stroke iskemik (Israr,
2008).
Hipertensi juga diduga memicu terjadinya aterosklerosis, namun
aterogenesisnya tidak diketahui dengan pasti. Diduga tekanan darah
yang tinggi merusak endotel dan menaikkan permeabilitas dinding
14
Katup buatan
Fibrilasi atrium
Aneurisma atrium
Myxoma atrium
Infark miokardium
Aneurisma ventrikel
15
7. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit metabolik dengan
karakteristik peningkatan kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
atau kadar glukosa darah puasa 140 mg/dl (National Diabetes Data
Group and World Health Organization). DM telah terbukti sebagai
faktor risiko yang kuat untuk semua manifestasi klinis penyakit
vaskuler aterosklerosis. Mekanisme peningkatan aterogenesis pada
penderita DM meliputi gangguan pada profil lipid, gangguan
metabolisme asam arakhidonat, peningkatan agregasi trombosit,
peningkatan kadar fibrinogen, gangguan fibrinolisis, disfungsi endotel,
glikosilasi protein, dan adanya resistensi insulin hiperinsulinemia
(Israr, 2008).
Pasien dengan DM tipe 2 memiliki risiko besar menderita stroke.
Tingkat keparahan stroke pada diabetes tergantung dengan sekelompok
faktor yang disebut metabolik sindrom, dikarakteristikkan dengan
adanya resistensi insulin, hiperinsulinemia, hiperglikemi, arterial
hipertensi, obesitas dan dislipidemia. Semua faktor tersebut akan
meningkatkan kerusakan vaskular: tidak hanya akan meningkatkan
risiko stroke, tapi juga akan meningkatkan keparahan suatu penyakit
(Israr, 2008).
8. Obesitas
Obesitas adalah suatu keadaan dengan karakteristik Indeks Masa
Tubuh 25 kg/m2 untuk orang asia (Western Pacific Region of WHO).
Obesitas sudah terbukti berhubungan sebagai faktor risiko stroke
iskemik termasuk hipertensi dan diabetes. Walaupun belum ada
penelitian yang menunjukkan bahwa dengan pengurangan berat badan
dapat mengurangi risiko stroke, namun pengurangan berat badan dapat
mengurangi tekanan darah dan glukosa darah (Israr, 2008).
9.
Konsumsi Alkohol
16
pembuluh besar
aliran
di
arteria
karotis
interna
sering
17
ini
saat
serangan
iskemik
dapat
a) Stroke lakunar
Infark lakunar terjadi karena penyakit pembuluh-halus
hipertensif dan menyebabkan sindrom stroke yang biasanya
muncul dalam beberapa jam atau kadang-kadang lebih lama.
Infark lakunar merupakan
18
dan
patologi
intravaskular
biasanya
adalah
19
lain
pelannya
aliran
pada
arteri
yang
20
nifedipin
(Procardia)
di
bawah
lidah
sama,
pasien-pasien
yang
alasan
21
gejala-gejala
fokal.
Pasien
dengan
stroke
22
perdarahan
subaraknoid
(PSA)
adalah
baik
yang
spontan
maupun
traumatik.
Biasanya
stroke
hemoragik
secara
cepat
apabila
perdarahan
berlangsung
lambat,
pasien
23
pasien
24
iskemia.
Pemantauan
dan
terapi
terhadap
25
(Price, 2006).
b) Perdarahan Subaraknoid
memperlihatkan
26
27
Status neurologik
Asimtomatik ; atau nyeri kepala
II
kuduk;
tidak
ada
defisit
kranialis.
Mengantuk
IV
minimal.
Stupor; hemiparesis sedang sampai
defisit
neurologik
penampakan parah.
(Price, 2006).
1. Gejala
Perdarahan
Perdarahan
Strpke
intraserebral
Subaraknoid
Nonhemoragik
(PSA)
Ringan
(SNH)
Berat / ringan
(PIS)
defisit Berat
lokal
2. Awitan (onset)
Menit/ jam
1-2 menit
Pelan
3. Nyeri kepala
Hebat
Sangat hebat
hari)
Ringan / tidak
(jam/
28
4. Muntah
pada Sering
Sering
awalnya
5. Hipertensi
ada
Tidak,
kecuali
lesi di batang
Hampir selalu Biasanya
otak
Sering
tidak
Biasa ada
Tidak ada
Bisa hilang Dapat hilang
6. Kaku kuduk
7. Kesadaran
Jarang
Bisa hilang
8. Hemiparesis
sebentar
Sering sejak Awal
tidak Sering
9. Deviasi mata
10. Liquor
awal
Bisa ada
Sering
ada
Jarang
berdarah
sejak
awal
Mungkin ada
Jernih
berdarah
(Dewanto, 2009).
B. Berdasarkan stadium atau pertimbangan waktu:
i. Serangan iskemik sepintas atau TIA
Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan
peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
j. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih
lama dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu.
k. Progressing stroke atau stroke in evolution
Gejala neurologik yang makin lama makin berat.
l. Completed stroke
Gejala klinis yang telah menetap.
C. Berdasarkan lokasi lesi vaskuler
a. Sistem karotis
a) Motorik : hemiparese kontralateral, disartria.
b) Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia.
c) Gangguan visual : hemianopsia homonim kontralateral,
amaurosis fugaks.
d) Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia.
b. Sistem vertebrobasiler
29
tubuh
kontralateral.
Di dalam
klinik
hemihipestesia
mengakibatkan
hemiplegia
kontralateral
yang
disertai
30
31
(Mardjono, 2006).
g. Hipestesia perifer
Hipestesia perifer ialah hipestesia pada kawasan saraf perifer yang
biasanya mencakup bagian-bagian beberapa dermatom (Mardjono,
2006).
Kelumpuhan UMN :
a. Hemiplegi Alternans
Kerusakan unilateral pada jaras kortikobulbar/ kortikospinal di tingkat
batang otak menimbulkan sindrom hemiplegia alternans . sindrom
tersebut terdiri atas kelumpuhan UMN yang melanda otot-otot belahan
tubuh kontralateral yang berada dibawah tingkat lesi. Sedangkat
setingkat lesinya terdapat kelumpuhan LMN, yang melanda otot-otot
yang disyarafi oleh syaraf kranial yang terlibat dalam lesi. Tergantung
pada lokasi lesi paralitiknya, dapatlah dijumpai sindrom hemiplegia
alternanas di mesensefalon, pons dan medula oblongata ( Mardjono,
2006).
32
Terapi umum: Letakkan kepala pasien pada posisi 30, kepala dan
dada pada satu bidang,ubah posisi tidur setiap 2 jam, mobilisasi
dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil (Setyopranoto, 2011).
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit
sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan
intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian
dicari penyebabnya, jika kandung kemih penuh, dikosongkan
(sebaiknya dengan kateter intermiten). Pemberian nutrisi dengan cairan
isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan elektrolit sesuai
kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik.
Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik, jika
didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan
melalui slang nasogastrik. Kadar gula darah >150 mg% harus
dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin
drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar
gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera
dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya (Setyopranoto, 2011).
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian
obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera
diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik 220 mmHg, diastolik 120
mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) 130 mmHg (pada 2
kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan
infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal.
Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium (Setyopranoto, 2011).
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik
70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500
mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi
dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih
33
maksimal
100
mg
per
hari,
dilanjutkan
pemberian
otak
melalui
peningkatan
fungsi
neurotransmiter
34
utama
dari
membran
sel
saraf.
Citicoline
ini
memperbaiki
sinaps
saraf,serta meningkatkan
35
Pencegahan
Pencegahan primer trombosis vena akan mengurangi
insiden dan timbulnya kematian emboli paru. Heparin dipakai
untuk mencegah trombosis vena. Heparin digunakan dengan
dosis rendah secara subkutan
Pengobatan
Heparin selama 7-10 hari, dengan 3-5 hari tumpang silang
dengan warfarin. Setelah keluar rumah sakit, terapi warfarin
selama 6 minggu sampai 6 bulan.
Trombosis arterial :
Pada penderita stroke diberikan aspirin dan tiklopidin
adalah
obat
sering
juga
disebut
sebagai
menghambat
-karboksilasi
beberapa
residu
36
besar. Penyesuaian
awal waktu
memerlukan
waktu
minggu,
sekitar
yang
protrombin
biasanya
Stroke Hemoragik
Terapi umum : Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika
volume hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan
hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan darah
harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila
tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130
mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung,
tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg
(pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit)
maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3
kali 6,25-25 mg per oral (Setyopranoto, 2011).
Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi kepala
dinaikkan 300, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian
manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2
20-35 mmHg) (Setyopranoto, 2011).
Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak
lambung diatasi dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau
inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah dengan
fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas (Setyopranoto,
2009).
37
aneurisma
atau
malformasi
arteri-vena
(arteriovenous
perjalanan
penyakit
yang
panjang,
dibutuhkan
Penatalaksanaan komplikasi,
Restorasi/rehabilitasi
(sesuai
kebutuhan
pasien),
yaitu
Prevensi sekunder
B. Non farmakologi
Penatalaksanaan nonfarmakologi pada kasus stroke adalah
rehabilitasi medis atau fisioterapi pasca stroke yang bertujuan untuk
mempercepat terjadinya pemulihan dan membantu mengurangi
kecacatan yang terjadi. Fisioterapi ini tergantung pada tingkat
38
Gangguan emosi.
Untuk dapat mengatasi masalah-masalah diatas tersebut maka
kita dalam proses rehabilitasi paska stroke akan melakukan terapi
secara holistik dan variasi, seperti terapi fisik, terapi okupasi, terapi
wicara, konseling dan bimbingan rohani (Wirawan, 2009).
Pasien stroke sebaiknya mulai dikonsulkan ke dokter spesialis
rehabilitasi (SpKFR) sejak hari pertama mulai perawatan di RS.
Perawatan bersama dengan Tim Rehabilitasi sejak awal bertujuan
sebagai berikut:
a. Pada fase awal (akut) terutama adalah pencegahan komplikasi yang
ditimbulkan akibat tirah baring (bedrest) lama, seperti :
a) Mencegah ulkus dekubitus (luka daerah pada punggung atau
pantat yang selalu mendapat tekanan saat tidur).
b) Mencegah penumpukan sputum (dahak) untuk mencegah
infeksi saluran pernapasan.
c) Mencegah kekakuan sendi.
d) Mencegah atrofi otot (pengecilan massa otot).
e) Mencegah hipotensi ortostatik dan osteoporosis
b. Pada fase lanjut (rehabilitasi)
a) Meminimalkan gejala sisa (sequelae) dan kecacatan akibat
stroke.
b) Memaksimalkan kemandirian dalam perawatan diri dan
aktivitas sehari-hari.
39
Fisioterapi
1) Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot.
2) Diberikan terapi panas superficial (infrared) untuk
melemaskan otot.
3) Latihan gerak sendi bisa pasif, aktif dibantuatau aktif
tergantung dari kekuatan otot.
4) Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.
5) Latihan fasilitasi atau redukasi otot
6) Latihan mobilisasi.
satu
dikerjakan.Kemandirian
tangan
dapat
secara
mandiri
dipermudah
dapat
dengan
Terapi Bicara
Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan
komunikasi. Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan
cara:
40
Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau
alat ganti dalam membantu transfer dan ambulasi penderita.
Alat-alat yang sering digunakan antara lain : arm sling, hand
sling, walker, wheel chair, knee back slap, short leg brace,
cock-up, ankle foot orthotic (AFO), knee ankle foot orthotic
(KAFO) (Wirawan, 2009).
Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang
akut akan melampaui serial fase psikologis, yaitu: fase syok,
fase penolakan, fase penyesuaian dan fase penerimaan.
Sebagian penderita mengalami fase-fase tersebut secara
cepat, sedangkan sebagian lagi mengalami secara lambat,
berhenti pada salah satu fase, bahkan kembali ke fase yang
telah lewat.Penderita harus berada pada fase psikologis yang
sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi (Wirawan, 2009).
keluarga,
keterangan
tentang
pekerjaan,
41
Pengaturan
Posisi
mencegah
kekakuan
sendi
dan
Pemberian stimulasi
Mencegah trombosis
Stimulasi Elektrik
10
11
Mencegah subluksasi
12
13
jaringan
iskemik
disertai
terhentinya
42
anjurkan
pasien
untuk
bergerak/beraktivitas
misalnya
gerakan
meraih,
memegang
dan
43
meluruskan
(fleksiekstensi)
siku
lengan
yang
lemah
tenaga
secukupnya
dimana
pasien
masih
bergerak
pasif).
Bantuan
tenaga
yang
kurang
duduk
tegak
tidak
bersandar
tanpa
44
kondisi
yang
memungkinkan
45
Daftar Pustaka
Bahrudin
M.
2007.
Diagnosa Stoke.
Fakultas
Kedokteran
Universitas
46