Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering ditemui
dalam praktik sehari-hari. Prevalensi FA mencapai 1-2% dan akan terus
meningkat dalam 50 tahun mendatang.1,2 Framingham Heart Study yang
merupakan suatu studi kohor pada tahun 1948 dengan melibatkan 5209 subjek
penelitian sehat (tidak menderita penyakit kardiovaskular) menunjukkan bahwa
dalam periode 20 tahun, angka kejadian FA adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7%
pada perempuan. Data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita yang menunjukkan bahwa persentase kejadian FA pada pasien rawat selalu
meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0%
(2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013).3
Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas,
termasuk stroke, gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien dengan FA
memiliki risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih
tinggi dibanding pasien tanpa FA.3
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah
suatu keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan
mekanisme kompensatoriknya. Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari
segala jenis penyakit jantung kongenital maupun didapat. Penyebab dari gagal
jantung adalah disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh darah besar,
aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika, disfungsi
miokard yang paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner, biasanya
akibat infark miokard yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang
dari 75 tahun.4
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada
usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di
Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per
tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal
jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500 pasien
berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung. 3 Meskipun terapi
gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10

1
tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-
10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan.4
Prognosa dari gagal jantung tidak begitu baik bila penyebabnya tidak
dapat diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal
dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat
lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama.9,4
Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart
Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien FA, namun
sebaliknya FA dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung

dari penyebab dari gagal jantung itu sendiri. Fibrilasi atrium dapat menyebabkan
gagal jantung melalui mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban
volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis.
Distensi pada atrium kiri dapat menyebabkan FA seperti yang terjadi pada pasien
penyakit katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek
septal atrium. Sekitar 20% populasi pasien FA mengalami penyakit jantung
koroner meskipun keterkaitan antara FA itu sendiri dengan perfusi koroner masih
belum jelas.2

BAB II

2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
1. Identitas Pasien
Nama penderita : Tn. I. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 5 April 1964
Usia : 52 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai pemerintah non-PNS
Alamat : Jl. Ramin II nomor 11
MRS : 9 Januari 2017 pukul 23.45 WIB

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak napas setengah jam SMRS, mendadak sesak yang
memberat saat tidur sampai terbangun karena sesaknya. Sesak dirasakan
mulai datang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Sesak dirasakan sering
datang saat subuh atau pagi hari. Keluhan disertai sakit dada, sakit dada
seperti diremas-remas, hilang timbul tidak menentu sejak satu bulan ini.
Pasien mengaku masih bisa tidur dengan satu bantal. Kadang-kadang
dada berdebar-debar tidak jelas, seperti bergemuruh, hilang timbul.
Pasien merasa kesusahan berjalan jauh karena anggota gerak sebelah
kirinya sulit digerakkan. Hanya bisa berjalan kurang dari sepuluh
langkah. Pusing (-), Demam (-), batuk malam hari disangkal, mual
kadang-kadang, muntah (-).

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Disengat lebah bulan Juni 2016, pasien masuk RS.
Masuk RS bulan Desember 2016 karena sakit jantung, rencana
operasi abdomen (laparotomi) tidak jadi karena malam sebelum
operasi pasien jatuh dari ranjang lalu tidak bisa jalan
Dx dari resume medis : Massa abdomen, SNH, AF
Riwayat obat yang diminum : Disolf, valsartan, beta one.

3
Pasien perokok aktif sejak usia 15 tahun, 1-2 bungkus per hari.
Berhenti merokok 10 tahun ini.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluarga Hipertensi (-), stroke (-), , asthma, sakit jantung (-)
diabetes mellitus (-).

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum : Tampak sakit berat, sesak
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5
2. Pengukuran
Tanda vital :
Tekanan darah : 99/72 mmHg
Heart rate : 132x/menit.
Nadi : 84 kali/menit, ireguler, isi dan tegangan cukup
Suhu : 36,80C
Respirasi : 24 kali/menit
Pemeriksaan
Kepala : Conjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
diameter 3 mm iaokor, reflex cahaya (+/+), deviasi septum
nasi tidak ada, napas cuping hidung tidak ada, bibir kering,
sianosis tidak ada.
Leher : Tekanan vena jugularis tidak meningkat, tidak distensi,
refluks hepatojugular (-), tidak ada pembesaran kelenjar
leher, tidak ada kaku kuduk, tidak ada massa.
Thoraks
Paru : Simetris, ada retraksi minimal suprasternal, pernapasan
thorakoabdominal, fremitus fokal simetris normal, sonor,
vesikuler +/+, Rhonki basah basal -/-, Wheezing -/-.
Jantung : Ictus cordis terlihat dan teraba di ICS 6 satu jari dari linea
axilaris anterior sinistra, batas kanan linea parasternalis
dekstra, batas kiri ICS 6 line axilaris anterior sinistra, batas
atas ICS 3 parasternalis sinistra. S1S2 ireguler, murmur (-),
gallop (-).
Abdomen : datar, teraba massa intra abdomen ukuran 10x11 cm,
permukaan homogen solid, sudut tumpul di regio

4
umbilikal, epigastrium dan sedikit ke hipokondrium kanan
dan kiri, pulsasi(-). Peristaltic usus (+) normal.
Hepatomegali (-), splenomegali sulit dievaluasi.
Ekstremitas : akral hangat,sedikit pucat, udem pretibia (+/+) minimal,
CRT < 2 detik. Kekuatan otot ekstremitas atas (5/4),
Ekstremitas bawah (5/4)

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Hasil pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 10 Januari 2017
Hb : 11,3 g/dL
Ht : 34,9 %
Eritrosit : 4,33x106 /uL
Leukosit : 12.710 /uL
Trombosit: 249.000 /uL
Kimia darah
GDS : 128 mg/dL
Creatinin : 1,05 mg/dl

Elektrolit
Na : 135 mmol/L
K : 4,1 mmo/l
Chlorida : -
Ca` :1,03 mmol/L
Foto Toraks

5
Interpretasi :
- Trakea masih di midline, tidak ada pergeseran
- Corakan brokovaskular normal
- Tidak ada infiltrat
- CTR : 12,5+7 dibagi 29, kali 100 %. Hasil 67,2%, kardiomegali.
- Pinggang jantung menghilang
- Sudut costofrenicus tajam
- Diafragma dalam batas normal

Elektrokardiogram

6
Interpretasi EKG
- Irama : Atrial fibrilasi
- HR : 140 x/m
- Aksis : RAD
- QRS : 0,08 s
- LVH (+)
- Ischemia di lead V6.

7
V. DIAGNOSA
Diagnosa : Congestive heart failure + fibrilasi atrium+ ischemic heart
desease + suspek massa intra abdomen
VI. TATA LAKSANA
- Tirah baring
- O2 2-4 lpm
- Diet rendah garam
- IVFD NaCl 0,9 % 500 cc/24 jam
- Digoxin 1 amp diencerkan dalan 10 cc, habis dalam 10 menit
- Inj. Furosemide 2x40 mg
- PO. Clopidogrel 1x75 mg
- PO. Digoxin 1x0,5mg
- PO. Aspilet 1x80 mg
- PO. Spironaloctone 1x25 mg.

8
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad functionam : Ad bonam
Quo ad sanationam : Ad bonam

VIII. SARAN PEMERIKSAAN


- Echocardiografi

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Congestive Heart Failure (CHF)
III.1.1 Definisi
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah
dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen
dan nutrien.4
III.1.2 Etiologi
1. Fibrilasi Atrium
Congestive heart failure dan fibrilasi atrium (FA) adalah dua kondisi yang
saling mempengaruhi. FA menjadi faktor predisposisi terjadinya CHF dan begitu
juga sebaliknya. Dalam studi Framingham, 1470 pasien dengan onset baru dari
FA dan CHF. Setelah 5,6 tahun rata-rata berkembang dari FA, dan 4,2 tahun
setelah mengalami CHF. Pasien yang mengalami FA 26% terdiagnosa

9
sebelumnya atau bersamaan dengan CHF, dan sisanya berkembang menjadi CHF
setelah diteliti lebih lanjut.5
2. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab
kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan
penyakit degeneratif atau inflamasi.4
3. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke
otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat).
Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal
jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.9
4. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung.4
5. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun. 4
6. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya
terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup
semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade,
perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak
afterload.4
7. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam), hipoksia
dan anemia diperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan

10
oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke
jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat
menurunkan kontraktilitas jantung. 4
III.1.3 Patofisiologi
Gagal jantung ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf
dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi
jantung. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan
tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap
jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk
meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah
perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari
mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh
ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik.4
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump
function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa
keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai
pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula
terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda
gagal jantung karena beban jantung yang ringan. Pada awal gagal jantung akibat
CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan
sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang
kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan
darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan
curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan
volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi
neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan
meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan
kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera
teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi jantung
akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak
terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan

11
fraksi ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung
yang berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan
energi terbatas (misal pada penyakit koroner) selanjutnya bisa menyebabkan
gangguan kontraktilitas. Selain itu kekakuan ventrikel akan menyebabkan
terjadinya disfungsi ventrikel. Pada gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran
darah, embolisasi sistemik dari trombus mural, dan disritmia ventrikel refrakter4.
Disamping itu keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah satu
etiologi CHF akan menurunkan aliran darah ke miokard yang akan menyebabkan
iskemik miokard dengan komplikasi gangguan irama dan sistem konduksi
kelistrikan jantung.4,10 Beberapa data menyebutkan bradiaritmia dan penurunan
aktivitas listrik menunjukan peningkatan presentase kematian jantung mendadak,
karena frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menurun. WHO
menyebutkan kematian jantung mendadak bisa terjadi akibat penurunan fungsi
mekanis jantung, seperti penurunan aktivitas listrik, ataupun keadaan seperti
emboli sistemik (emboli pulmo, jantung) dan keadaan yang telah disebutkan
diatas.4 Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah
jantung normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan
CO= HR X SV dimana curah jantung adalah fungsi frekuensi jantung X volume
sekuncup.4
Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis akan
mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai,
maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk
mempertahankan curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama
kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan
curah jantung normal masih dapat dipertahankan.4
III.1.4 Diagnosis
Kriteria Framingham5 :
Kriteria Mayor
1. Paroksismal nocturnal dyspneu

12
2. Distensi vena sentral
3. Rhonki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Irama gallop
7. Peninggian tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
1. Batuk malam hari
2. Edema pre tibia
3. Dyspneu deffort
4. Takikardi
5. Efusi pleura
6. Kapasital paru menurun 1/3 dari normal
7. Hepatomegali
Diagnosa CHF apabila memenuhi 2 kriteria mayor ditambah 1 kriteria
minor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor.5
III.1.5 Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan struktural dan fungsional.

III.1.6 Tata Laksana4

13
Non Farmakologi
1. Tirah baring
2. Kurangi aktivitas fisik atau sesuai dengan kemampuan fisik
3. Edukasi pasien mengenai sakit yang dideritanya
4. Kurangi asupan cairan, diet rendah natrium, dan faktor yang
mempengaruhi gagal jantungnya
Farmakologi
Prinsip pemberian terapi farmakologis yaitu
1. Mengurangi pre-load dengan pemberian diuretic
2. Memperbaiki kontraktilitas
3. Mengurangi strok volume atau after load

14
Gambar 1. Algoritma tata laksana farmakologi pada gagal jantung

15
Tabel 2. Terapi farmakologi yng bisa diberikan pada pasien gagal jantung
sistolik simtomatik dengan NYHA II-IV

III.1.7 Prognosis
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat
berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas
setahun bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-
50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif. Prognosisnya lebih buruk jika
disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%), gejala
menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10
ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma
yang meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak.
Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya
merupakan akibat infark miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis.
Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung progresif atau penyakit lainnya.
Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadium lanjut dapat menderita
dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang sangat cermat.9,4

III.2 Fibrilasi Atrium

16
III.2.1 Definisi
Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya
konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang
bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang normal, FA
biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat.10
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut11:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-
kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG,
paling sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,
umumnya kecepatannya melebihi 450x/ menit.

III.2.2 Klasifikasi1,11
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu
presentasi dan durasinya, yaitu:
1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang
pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi
atau berat ringannya gejala yang muncul.
2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam,
namun dapat berlanjut hingga 7 hari.
3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau
FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4. FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang bertahan
hingga 1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter
(dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi.
Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke kategori
FA persisten

17
Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan
oleh awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan
menurut ciri-ciri dari pasien2:
1. FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular
lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi
jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.
2. FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral,
katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
3. FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu
FA, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis,
hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya.
Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut FA
valvular.
Respon ventrikel terhadap FA, sangat tergantung pada sifat elektrofisiologi
dari NAV dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus vagal serta simpatis, ada
atau tiadanya jaras konduksi tambahan, dan reaksi obat.
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka FA dapat
dibedakan menjadi [gambar 4 (A, B, C)]1,3 :
1. FA dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/ menit
2. FA dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60-100x/menit
3. FA dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/ menit

III.2.3 Diagnosis3
Anamnesis
Spektrum presentasi klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik
hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50%
episode FA tidak menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation). Beberapa gejala
ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain:
1. Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan genderang,
gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.
2. Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
3. Presinkop atau sinkop
4. Kelemahan umum, pusing

18
Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik,
kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme sistemik.
Penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama kali terdiagnosis harus
berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.
Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien
yang dicurigai mengalami FA harus meliputi pertanyaanpertanyaan yang relevan,
seperti3:
1. Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan frekuensi
gejala.
2. Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur, alkohol). Peran
kafein sebagai faktor pemicu masih kontradiktif.
3. Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).
4. Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya.
5. Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya.
6. Riwayat prosedur ablasi FA secara pembedahan (operasi Maze) atau perkutan
(dengan kateter).
7. Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk
berkontribusi terhadap inisiasi FA (misalnya hipertensi, penyakit jantung
koroner, diabetes melitus, hipertiroid, penyakit jantung valvular, dan PPOK)3.
Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi oksigen
sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang
adekuat pada FA. Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan
cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit. Pasien
dengan hipotermia atau dengan toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami
bradikadia.
Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus,
pembesaran tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit pada
arteri karotis mengindikasikan penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya
komorbiditas penyakit jantung koroner.
Paru

19
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya
ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya
penyakit paru kronik yang mungkin mendasari terjadinya FA (misalnya PPOK,
asma)
Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien
FA. Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi
penyakit jantung katup atau kardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum
atau adanya bunyi jantung tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel
dan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat
menandakan adanya hipertensi pulmonal.
Pulsus defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi yang teraba dengan
auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada pasien FA.
Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang
dapat mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri
kuadran kiri atas, mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer.
Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh
atau edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan
embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit
arterial perifer atau curah jantung yang menurun.

Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian
serebrovaskular terkadang dapat ditemukan pada pasien FA. Peningkatan refleks
dapat ditemukan pada hipertiroidisme.
Pemeriksaan penunjang, yang dapat diperiksa antara lain5
1. Darah lengkap (anemia, infeksi)
2. Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)
3. Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai
pencetus FA)

20
4. Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki asosiasi
dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut meningkat pada
pasien dengan FA paroksismal maupun persisten, dan menurun kembali
dengan cepat setelah restorasi irama sinus.
5. D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
6. Fungsi tiroid (tirotoksikosis)
7. Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)
8. Uji toksikologi atau level etanol
9. EKG,Ekokardiografi, CT Scan, MRI, Monitor holter, Studi elektrofisiolgi.

III.2.4 Tata Laksana


Tata laksana FA mencakup beberapa hal yaitu terapi optimal penyakit
kardiovaskuler yang menyertai, pemilihan strategi kendali irama atau kendali laju,
pencegahan tromboemboli, dan terapi upstream.5
Studi terbesar tentang pemilihan strategi terapi FA adalah studi The Atrial
Fibrillation Follow-up Investigation of Rhythm Management (AFFIRM) yang
melibatkan 4060 pasien. Studi ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan
mortalitas secara umum antara pemilihan strategi kendali laju atau kendali irama
pada pasien FA. Beberapa studi lain juga telah dilakukan dan didapatkan bahwa
kendali laju tidak inferior dibandingkan dengan kendali irama untuk pencegahan
mortalitas dan morbiditas kardiovaskular.5

Tabel 3 Indikasi terapi kendali laju dan irama pada persisten FA.

21
Kendali laju yang optimal dapat menyebabkan keluhan berkurang dan
memperbaiki hemodinamik dengan memperpanjang waktu pengisian ventrikel
dan mencegah kardiomiopati akibat takikardia.6

Gambar 2. Kendali Laju yang optimal

22
Tujuan utama strategi kendali irama adalah mengurangi simtom. Strategi
ini dipilih pada pasien yang masih mengalami simtom meskipun terapi kendali
laju telah dilakukan secara optimal. Pilihan pertama untuk terapi dengan kendali
irama adalah memakai obat antiaritmia.84 Pengubahan irama FA ke irama sinus
(kardioversi) dengan menggunakan obat paling efektif dilakukan dalam 7 hari
setelah terjadinya FA. Kardioversi farmakologis kurang efektif pada FA persisten.
Terapi pengembalian irama ke sinus mempunyai kelebihan mengurangi risiko
tromboemboli, memperbaiki hemodinamik dengan mengembalikan atrial kick,
mencegah terjadinya respon ventrikel cepat yang dapat menginduksi
kardiomiopati akibat takikardia, serta mencegah remodelling atrium yang dapat
meningkatkan ukuran atrium dan menyebabkan kardiomiopati atrium. Kendali
irama harus dipertimbangkan pada pasien gagal jantung akibat FA untuk
memperbaiki keluhan, pasien muda yang simptomatik, atau FA sekunder akibat
kelainan yang telah dikoreksi (iskemia, hipertiroid).6,7

Gambar 3. Pilihan obat antiaritmia untuk kardioversi farmakologis

23
Kardioversi elektrik
Kardioversi elektrik adalah salah satu strategi kendali irama. Keberhasilan
tindakan ini pada FA persisten mencapai angka 80-96%, dan sebanyak 23% pasien
tetap sinus dalam waktu setahun dan 16% dalam waktu dua tahun. Amiodaron
adalah antiaritmia yang paling kuat mencegah terjadinya rekurensi FA setelah
keberhasilan kardioversi. Kebanyakan rekurensi FA terjadi dalam 3 bulan
pascakardioversi.8
Beberapa prediktor terjadinya kegagalan kardioversi atau rekurensi FA
adalah berat badan, durasi FA yang lebih lama (>1-2 tahun), gagal jantung dengan
penurunan fraksi ejeksi, peningkatan dimensi atrium kiri, penyakit jantung
rematik, dan tidak adanya pengobatan dengan antiaritmia.8
Ekokardiografi transtorakal harus dilakukan untuk identifikasi adanya
trombus di ruang-ruang jantung. Bila trombus tidak terlihat dengan pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal, maka ekokardiografi transesofagus harus dikerjakan
apabila FA diperkirakan berlangsung >48 jam sebelum dilakukan tindakan
kardioversi.12
Apabila tidak memungkinkan dilakukan ekokardiografi transesofagus,
dapat diberikan terapi antikoagulan (AVK atau dabigatran) selama 3 minggu
sebelumnya. Antikoagulan dilanjutkan sampai dengan 4 minggu pascakardioversi
(target INR 2-3 apabila menggunakan AVK).12
Kardioversi elektrik dengan arus bifasik lebih dipilih dibandingkan arus
monofasik karena membutuhkan energi yang lebih rendah dan keberhasilan lebih
tinggi. Posisi anteroposterior mempunyai keberhasilan lebih tinggi dibanding
posisi anterolateral. Komplikasi yang dapat terjadi adalah tromboemboli (1-2%),
aritmia pascakardioversi, dan risiko anestesi umum.12
Pemberian obat antiaritmia sebelum kardioversi, misalnya obat
amiodaron, meningkatkan keberhasilan konversi irama FA ke irama sinus.12

24
Gambar 4. Kardioversi pada pasien FA
FA pada pasien gagal jantung
Pada dasarnya tata laksana FA pada pasien dengan gagal jantung tidak
berbeda dengan tata laksana FA pada subset lainnya. Tetapi obat antagonis kanal
kalsium yang memiliki sifat inotropik negatif sebaiknya dihindari. Untuk kendali
laju jantung pada FA sebaiknya menggunakan obat penyekat beta dan bila perlu
dapat ditambahkan digitalis. Amiodaron adalah satu-satunya obat kendali irama
yang dapat digunakan untuk pengobatan jangka panjang pada pasien dengan gagal
jantung kelas fungsional III dan IV.11,12

25
BAB IV
PEMBAHASAN
Tn I, laki-laki 52 tahun, datang dengan keluhan utama sesak napas. Pasien
mengeluh sesak napas memberat setengah jam SMRS, mendadak sesak saat tidur
sampai terbangun karena sesaknya. Sesak dirasakan mulai datang timbul sejak 6
bulan yang lalu. Sesak dirasakan sering datang saat subuh atau pagi hari. Sesak
dipengaruhi aktivitas disangkal, sesak dipengaruhi posisi disangkal. Keluhan
disertai sakit dada, sakit dada seperti diremas-remas, hilang timbul tidak menentu
sejak satu bulan ini. Tidak diperberat saat aktivitas. Pasien mengaku masih bisa
tidur dengan satu bantal. Kadang-kadang dada berdebar-debar tidak jelas, seperti
bergemuruh, hilang timbul. Pasien merasa kesusahan berjalan jauh karena anggota
gerak sebelah kirinya sulit digerakkan. Hanya bisa berjalan kurang dari sepuluh
langkah. Pusing (-), Demam (-), batuk malam hari disangkal, mual kadang-
kadang, muntah (-). Pasien riwayat dirawat 2 bulan yang lalu di RS dengan
diagnosa SNH, FA dan massa intra abdomen.
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan,
keluhan sesak napas yang datang saat malam hari ketika sedang tidur, sesak napas
sudah dirasakan selama enam bulan, hilang timbul paling sering pada subuh atau
pagi hari. Keluhan disertai nyeri dada seperti diremas-remas dan dada yang
berdebar-debar sejak satu bulan ini. Pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital;
tekanan darah 99/72 mmHg, pernapasan 24x/menit, suhu 36,8 C, terdapat pulsus
defisit dengan heart rate 132x/m sementara nadi hanya 84x/m iregulerPada
pemeriksaan fisik tidak terdapat distensi vena sentral ataupun peningkatan tekanan
vena jugular. refluks hepatojugular tidak ada, rhonki basah basal juga tidak ada.
Perkusi batas jantung kiri terdapat pelebaran yairu pada ICS 6 linea axila anterior,
pada auskultasi jantung terdengar s1-s2 ireguler dan terdapat masa pada hasil
palpasi abdomen, tidak terdapat hepatomegali, lalu kemudian pitting udem
minimal pada kedua pre-tibia.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan elektrokardiogram dengan
interpretasi irama fibrilasi atrium, heart rate 140x/ menit, right axis deviation
(RAD), left ventricle hipertrofi (LVH), terdapat iskemia di lead V6. Foto rontgent

26
toraks didapatkan pinggang jantung menghilang, dengan CTR > 50 % kesan
kardiomegali. Pemeriksaan labaratorium terdapat peningkatan leukosit yakni
12.710 /uL.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang,pasien didiagnosa Congestive heart failure (CHF), fibrilasi atrium
(FA), ischemic heart desease (IHD) dan suspek massa intra abdomen.
Berdasarkan kriteria Framingham, untuk mendiagnosa pasien dengan CHF
maka harus memenuhi 2 kriteria mayor ditambah 1 kriteria minor, atau 1 kriteria
mayor ditambah 2 kriteria minor. Pada pasien ini didapatkan 2 kriteria mayor
berupa paroksismal nocturnal dyspneu dan kardiomegali dari hasil pemeriksaan
fisik atau pun hitung CTR foro toraks yang >50%, dan terdapat udem pre tibia
yang masuk dalam kriteria minor untuk diagnosa CHF.
Sementara itu diagnosis fibrilasi atrium ditegakkan berdasarkan anamnesa
berupa keluhan pasien yang berdebar-debar seperti bergemuruh, lalu kemudian
pulsus defisit pada pemeriksaan fisik, dan EKG yang menunjukkan gambaran
tidak adanya gelombang P, kecuali pada lead V1 gelobang P ireguler, irama
ventrikel yang ireguler (jarak R-R ireguler), dari EKG didapatkan pula pada
pasien ini fibrilasi atrium dengan rapid ventricular response. Berdasarkan gejala
yang terdapat pada pasien dan ditemukan adanya gambaran iskemia pada lead V6
elektrokardiogram, maka pasien juga didiagnosa IHD. Sementara pada
pemeriksaan abdomen ditemukan massa, dicurigai massa intra abdomen.
Dilihat dari onset dan riwayat pengobatan yang telah dijalani Tn. I sudah
lebih dari 1 bulan, maka fibrilasi atrial yang pasien alami masuk klasifikasi FA
persisten.
Terapi yang diberikan yaitu tirah baring, oksigenasi 2-4 lpm infuse, diet
rendah garam, infus NaCl 0,9 % 500 cc/24 jam, injeksi digoxin 1 amp diencerkan
dalan 10 cc, habis dalam 10 menit, injeksi furosemide 2x40 mg, clopidogrel 1x75
mg, digoxin 1x0,5mg, aspilet 1x80 mg, spironaloctone 1x25 mg.
Tirah baring dan pembatasan cairan penting pada pasien CHF agar jantung
tidak bekerja terlalu kuat, apalagi dengan kondisi fibrilasi atrium. Terapi untuk
gejala kongesti pada pasien diberikan diuresis berupa furosemide dan diuresis

27
hemat kalium spironaloctone, bertujuan untuk mengurangi pre-load. Tidak
diberikan obat golongan ACE inhibitor karena mempertimbangkan tekanan darah
yang relatif rendang 90/70 mmHg. Digoksin merupakan inotropik positif,
diberikan agar meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung.
Sementara strategi terapi FA mencakup beberapa hal yaitu terapi optimal
penyakit kardiovaskuler yang menyertai, pemilihan strategi kendali irama atau
kendali laju, pencegahan tromboemboli, dan terapi upstream.
Strategi kendali irama atau laju berdasarkan beberapa penelitian
sebenarnya tidak berbeda bermakna penanganan pada FA. Pada pasien di bawah
usia 65 tahun dengan FA pertama kali maka pilihan yang tepat adalah kendali
irama. Tetapi pada pasien ini pemberian amiodaron masih dipertimbangkan karena
kondisi gagal jantungnya masih akut.
Untuk mencegah terjadinya tromboemboli karena kondisi FA, apalagi
pasien memiliki riwayat stroke non hemoragik (SNH), pada pasien ini diberikan
clopidogrel dan aspilet. Clopidogrel merupakan antiagregasi trombosit atau
antiplatelet yang bekerja secara selektif menghambat ikatan Adenosine Di-
Phosphate (ADP) pada reseptor ADP di platelet, yang sekaligus dapat
menghambat aktivasi kompleks glikoprotein GPIIb/IIIa yang dimediasi oleh ADP,
yang dapat menimbulkan penghambatan terhadap agregasi platelet.
Saran untuk pemeriksaan selanjutnya bisa dilakukan ekokardiografi baik
transtorakal atau pun transesofageal untuk mengetahui penyebab dasar CHF
ataupun FA pada pasien ini. Sementara untuk FA yang persistent kemungkinan
dipikirkan kardioversi elektrik.
Prognosa pada pasien ini dubia ad bonam, masih meragukan karena
kondisi FA yang sudah mengalami gagal jantung. Kedepannya tergantung
ketelitian dan kecermatan pemanatauan pengobatan serta koreksi atas kelainan
dasar pada sistem kardiovaskular ataupun yang di luar itu.
Sementara untuk tumor intra abdomen yang masih ada, bisa dikonsulkan ke
bagian digestive untuk penanganan definitif dan lebih lanjutnya.

28
BAB V
PENUTUP

Telah dilaporkan Tn.I, laki-laki 52 tahun, dirawat di ruang ICVCU,


berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didiagnosa
Congestive heart failure, fibrilasi atrium, ischemic heart desease dan suspek
massa intra abdomen. Pada pasien didiagnosa CHF didapatkan 2 kriteria mayor
dan 1 kriteria minor Framingham, dan mengalami fibrilasi atrium masuk dalam
klasifikasi persistent karena sudah lebih dari 1 bulan.
Pasien mendapat penanganan pengobatan dasar untuk CHF berupa obat
untuk mengurangi pre-load, meningkatkan kontraktilitas, dan pengobatan FA
berupa kendali ritme masih dipertimbangkan karena kondisi akutnya, pasien
diberikan antri trombolitik untuk mencegah terjadinya trombo emboli.
Prognosa pada pasien ini dubia ad bonam, masih meragukan karena
kondisi FA yang sudah mengalami gagal jantung. Disarankan untuk dilakukan
ekokardigrafi untuk mengetahui kelainan dasar penyebab penyakitnya, dan konsul
ke bagian ahli digestive untuk penanganan definitive dan lebih lanjut pada
kecurigaan massa intra abdomen.

29
DAFTAR PUSTAKA
1. Go AS, Hylek EM, Phillips KA, et al. Prevalence of diagnosed atrial
fibrillation in adults:national implications for rhythm management and stroke
prevention: the AnTicoagulation and Risk Factors in Atrial Fibrillation
(ATRIA) Study. JAMA : the journal of the American Medical Association
2001;285:2370-5.
2. European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-Thoracic S,
Camm AJ, et al. Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task
Force for the Management of Atrial Fibrillation of the European Society of
Cardiology (ESC). European heart journal 2010;31:2369-429.
3. PERKI. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. Ed pertama. Centra
Communication. 2014
4. Michael S Figueroa, Jay I Peters. Congestive Heart Failure: Diagnosis,
Pathophysiology, Therapy, and Implications for Respiratory Care. Respiratory
care . Vol 51 no 4. 2006
5. Wolf PA, Benjamin EJ, Belanger AJ, Kannel WB, Levy D, DAgostino RB.
Secular trends in the prevalence of atrial fibrillation: The Framingham Study.
American heart journal 1996;131:790-5.
6. Setianto B, Malik MS, Supari SF. Studi aritmia pada survei dasar MONICA-
Jakarta di Jakarta Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Depkes RI 1998.
7. RI PDdIKK. Gambaran kesehatan usia lanjut di Indonesia. Buletin Jendela
Data dan Informasi Kesehatan 2013:
8. Wyse DG, Waldo AL, DiMarco JP, et al. A comparison of rate control and
rhythm control in patients with atrial fibrillation. The New England journal of
medicine 2002;347:1825-33.
9. Vanitha Rani,G Kannan, Vasantha J, P Thennarasu, C Uma Maheswara. Risk
Assessment for Congestive Heart Failure in a South Indian Population: A
Clinical Pharmacists Perspective. Original Study Indian Journal of Clinical
Practice Vol. 22, No. 9, February 2012.431
10. Bellet S. Clinical Disorders of the Heart Beat. 3rd ed. Philadelphia: Lea &
Febiger; 1971.
11. European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-Thoracic S,
Camm AJ, et al. Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task
Force for the Management of Atrial Fibrillation of the European Society of
Cardiology (ESC). Europace : European pacing, arrhythmias, and cardiac
electrophysiology : journal of the working groups on cardiac pacing,
arrhythmias, and cardiac cellular electrophysiology of the European Society
12. Issa ZF. Atrial Fibrillation. In: Miller JM, Zipes DP, eds. Clinical
arrhythmology and electrophysiology: a companion to Braunwalds heart
disease. 2nd ed: Saunders; 2012.

30

Anda mungkin juga menyukai