Anda di halaman 1dari 30

BAB I

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Nn. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 16 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Purwokerto
Tanggal berobat : 28 Desember 2017

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama :
Kontrol tonsilitis

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan tujuan kontrol tonsilitis dan ingin tonsilektomi.
Awalnya pasien sudah pernah berobat dengan keluhaun sulit menelan dan di
diagnosa tonsilitis dan di anjurkan dokter untuk tonsilektomi.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :


- 5 bulan lalu pasien pernah mengeluhkan sulit menelan dan berobat ke
dokter.

4. Riwayat Penyakit Keluarga :


- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
- Riwayat DM (-)

5. Riwayat Alergi :
- Alergi makanan disangkal oleh pasien
- Alergi obat disangkal oleh pasien

1
- Alergi udara disangkal oleh pasien

6. Riwayat Pengobatan :
Pasien pernah berobat sebelumnya diberikan antibiotik dan kortikostertoid
dan disarankan tonsilektomi.

7. Riwayat Psikososial :
Merokok (-), pasien sering membeli jajanan dipinggir jalan dan minum es,
teman pasien juga pernah menderita penyakit yang sama.

C. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum : Baik
- Kesadaran : Compos mentis
- Berat Badan : 44 kg
- Tinggi Badan : 155 cm
- Tanda Vital :
- TD : 110/60
- Pernafasan : 20 x/menit
- Nadi : 80 x/menit
- Suhu : 36,7 oC

Status Generalis

1. Kepala : Normocephal
2. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
3. Telinga : Lihat Status lokalis
4. Hidung : Lihat status lokalis
5. Tenggorok : Lihat status lokalis
6. Leher : Lihat status lokalis
7. Thorax
a. Inspeksi : pergerakan dada simetris
b. Palpasi : Vocal fremitus simetris pada kedua lapang dada
c. Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru

2
d. Auskultasi : Suara napas utama vesikuler, suara napas tambahan (-)
8. Jantung
a. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus kordis teraba pada linea midclavicula ICS V sinistra
c. Perkusi : Batas jantung normal
d. Auskultasi : Bunyi jantung I&II regular, murmur (-), gallop (-)
9. Abdomen
a. Inpeksi : Datar
b. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepatomegaly (-), splenomegaly (-)
c. Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
d. Auskultasi : Bising usus (+) normal
10. Ekstremitas
a. Superior : Hangat (+/+), edema (-/-), RCT < 2 detik, sianosis (-/-)
b. Inferior : Hangat (+/+), edema (-/-), RCT < 2 detik, sianosis (-/-)

D. Status lokalis THT

1. Telinga
Tabel 1. Pemeriksaan Telinga

AD AS

Aurikula
Tumor (-), Hematom (-), Tumor (-), Hematom (-),
Tragus pain (-), Tragus pain (-),
Antitragus (-) Antitragus (-)

Hiperemis (-) Edema (-) MAE Hiperemis (-) Edema (-)


serumen (+), otorea (-) serumen (+), otorea (-)

3
Membran
Intak, reflex cahaya (+), Intak, reflex cahaya (+),

hiperemis (-) discharge hiperemis (-) discharge (-


timpani
(-) )

Interpretasi : Normal

2. Hidung
a. Rinoskopi Anterior
Tabel 2. Pemeriksaan Hidung
Rinoskopi
Dekstra Sinistra
Anterior
hiperemis (-), edema (-) Conca Media Hiperemis (-), edema (-)
hiperemis (-), edema
Conca inferior hiperemis (-), edema (-)
(-)
Eutropi Konka inferior Eutropi
Tidak deviasi Septum Tidak deviasi
(-) Polip (-)
(-) Sekret (-)
Rinoskopi
posterior
Tidak dilakukan Adenoid Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Post nasal drip Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Tumor Tidak dilakukan

b. Sinus Paranasal
- Inspeksi : hiperemis (-), bengkak (-)
- Palpasi : nyeri tekan pada sinus maksilla (-), sinus ethmoidales (-),
sinus frontalis (-)

c. Transiluminasi

4
- Sinus maksilaris : tampak bayangan terang di bawah orbita berbentuk
bulan sabit
- Sinus frontalis : dinding depan sinus frontalis tampak terang
- Kesan : normal

3. Tenggorok
a. Uvula
Normal
b. Orofaring
Tabel 4.Pemeriksaan Orofaring

Dekstra Pemeriksaan Orofaring Sinistra


Mulut
Lembab, sianosis (-) Mukosa mulut Lembab, sianosis (-)
Tremor (-) Lidah Tremor (-)
Deformitas (-) Palatum molle Deformitas (-)
Caries (-) Gigi geligi Caries (-)
Tidak deviasi Uvula Tidak deviasi
Tonsil
Hiperemis (+) Mukosa Hiperemis (+)

T3 T3

(+) Kripta (+)


(+) Detritus (+)
(-) Perlengketan (-)
Faring
Hiperemis (-) Mukosa Hiperemis (-)
(-) Granula (-)
(-) Post nasal drip (-)
c. Laringofaring

5
Laringofaring (Laringoskopi Indirect)
Hipoaring
Edema, Hiperemis Tidak dilakukan
Epiglotis
Edema, Hiperemis Tidak dilakukan
Corda vokalis
Edema Tidak dilakukan
Hiperemis Tidak dilakukan
Nodul Tidak dilakukan
Parase Tidak dilakukan

E. Diagnosis Banding
1. Tonsilitis kronis hipertrofikan + Faringitis kronis
2. Tumor tonsil
3. Tonsilitis akut
4. Tonsilitis membranosa

F. Diagnosa Kerja
Tonsilitis kronis + Faringitis kronik

G. Terapi
Medikamentosa
Antibiotik : Sefiksim 100 Mg 2 dd 1 caps
Ferro Sulat 200 Mg
Asam Folat 0,25 Mg
Vitamin C 250 Mg 2 dd 1 Tab
Rencana op. tonsilektomi 4Januari 2017

Edukasi
Jangan minum ES
Jangan jajan sembarangan

6
H. Rencana pemeriksaan penunjang
 Laboratorium darah (Hb, Ht, leukosit dan trombosit)
 Bakteriologi

I. Prognosis
 Ad vitam : Ad bonam
 Ad functionam : Ad bonam
 Ad sanactionam : Ad bonam

7
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Embriologi dan Anatomi Tonsil1


1. Embriologi
Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong
brakial ke II ke dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral.
Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal kantong tersebut, yang
kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan membagi
lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada
bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan. Pada
bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan terjadi nodul pada
bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan
jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim, dengan
demikian terbentuklah massa jaringan tonsil
2. Anatomi
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.
Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid).
Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah
mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar
anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya
dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Dibatasi oleh:

1) Lateral– m. konstriktor faring superior


8
2) Anterior – m. palatoglosus
3) Posterior – m. palatofaringeus
4) Superior – palatum mole
5) Inferior – tonsil lingual
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat,
folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel
(terdiri dari jaringan liMfoid).
b. Fossa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu
batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding
luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior
mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari
palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah
otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius
dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral
esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar
posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di
bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke
jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring
c. Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan
ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal
adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah
jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil
d. Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil
terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal
yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi
penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.
Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau
terpotongnya pangkal lidah

9
e. Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna,
yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A.
tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan
cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya
A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Kutub bawah tonsil
bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A.
faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.
Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah
dan pleksus faringeal
f. Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di
bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai
pembuluh getah bening eferen sedangkan pembuluh getah bening
aferen tidak ada
g. Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus
h. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit,
0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks
yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan
APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis

10
imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel
plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi
dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
i. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus
atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah
dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini
tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah,
dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di
nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior,
walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba
eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak.
Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia
3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.

B. Fisiologi

Tonsil Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama2:


1. Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah saraf.
2. Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda.
3. Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai
stadium
Tonsil (amandel) dan adenoid merupakan jaringan limfoid yang terdapat pada
daerah faring atau tenggorokan. Keduanya sudah ada sejak anak dilahirkan dan
mulai berfungsi sebagai bagian dari sistem imunitas tubuh setelah imunitas
“warisan” dari ibu mulai menghilang dari tubuh anak2.

11
Pada saat itu (usia lebih kurang 1 tahun) tonsil dan adenoid merupakan organ
imunitas utama pada anak, karena jaringan limfoid lain yang ada di seluruh tubuh
belum bekerja secara optimal. Sistem imunitas ada 2 macam yaitu imunitas
seluler dan humoral. Imunitas seluler bekerja dengan membuat sel (limfoid T)
yang dapat “memakan“ kuman dan virus serta membunuhnya. Sedangakan
imunitas humoral bekerja karena adanya sel (limfoid B) yang dapat
menghasilkan zat immunoglobulin yang dapat membunuh kuman dan virus.
Kuman yang “dimakan” oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid terkadang tidak
mati dan tetap bersarang disana serta menyebabklan infeksi amandel yang kronis
dan berulang (Tonsilitis kronis)2

C. Tonsilitis

1. Definisi Tonsilitis3
Peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin waldeyer.
Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil fausial),
tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (lateral band
dinding faring / Gerlach’s tonsil)
Penyebaran infeksi melalui udara (airbone droplets), tangan dan ciuman.
Dapat terjadi pada semua umur, terutama anak-anak.

Besar Tonsil

 T0 : tonsil telah diangkat


 T1 : tonsil di dalam fossa tonsilaris
 T2 : besar tonsil ½ jarak arkus anterior dan uvula
 T3 : besar tonsil ¾ jarak arkus anterior dan uvula
 T4 : besar tonsil mencapai uvula atau lebih

Brodsky grading scale


 Grade 0 : Tonsil dibelakang dinding laring anterior
 Grade 1 : Tonsil terlihat menutupi 25% luas orofaring
 Grade 2 : Tonsil terlihat menutupi 25-50% luas orofaring

12
 Grade 3 : Tonsil terlihat menutupi 51-75% luas orofaring
 Grade 4 : Tonsil terlihat menutupi >75% luas orofaring

Modified 3 Grade scale


 Grade 1 : Tonsil mencapai 33% dari lebar orofaring
 Grade 2 :Tonsil mencapai 34-66% dari lebar orofaring
 Grade 3 : Tonsil mencapai >66% dari lebar orofaring

 Derajat 1 (N) : tonsil berada di belakang pilar tonsilar


 Derajat 2 : tonsil berada di antara pilar dan uvula
 Derajat 3 : tonsil mendekati uvula
 Derajat 4 : satu/kedua tonsil melebar hingga ke garis tengah orofaring
hingga menyentuh uvula

2. Epidemiologi Tonsilitis3
Tonsilitis akut dapat terjadi pada seluruh usia, sering dialami oleh
anak dengan insiden tertinggi pada usia 5-6 tahun. Sejauh ini belum ada
penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun lingkungan
yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis Kronis.
Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik
dan lingkungan secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak
terdapat bukti adanya keterlibatan faktor genetik sebagai faktor predisposisi
penyakit Tonsilitis Kronis (Kvestad, 2005).
a. Umur
Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis
merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan
dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi
karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada
usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas (Edgren, 2004). Menurut penelitian yang dilakukan di
Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah
kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % (Hannafort, 2004).

13
Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita
Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia
5-14 tahun (Kisve, 2009)5.

b. Jenis Kelamin
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia
diperoleh 657 data penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada
pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%) (Sing, 2007). Sebaliknya
penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203
penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria
dan 105 (52%) berjenis kelamin wanita (Awan, 2009)5.
c. Suku
Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan
penelitian yang dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit
Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh 38%, Malay 25%, Iban 20%,
dan Chinese 14%5
3. Patofisiologi Tonsilitis Akut3
Terjadinya tonsilitis dimulai saat bakteri masuk ke tonsil melalui
kripte – kriptenya, secara aerogen (melalui hidung, droplet yang mengandung
bakteri terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus ke tonsil), maupun
secara foodvorn yaitu melalui mulut bersama makanan.
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil
berperan sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme
berbahaya, sel-sel darah putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada
tonsil. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibody terhadap
infeksi yang akan datang, akan tetapi kadang-kadang tonsil sudah kelelahan
menahan infeksi atau virus. Infeksi bakteri dari virus inilah yang
menyebabkan tonsillitis
4. Patofisiologi Tonsilitis Kronik3
Karena prosess radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhaqn
jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripti melebar. Secara krinis kritik ini tampak diisi oleh
14
deadtritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tomsil dan
akhirnya menimbulkan perekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris.
Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
subamandibula1
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak
pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus
merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu
tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsilitis falikularis, bila bercak
detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsilitis lakunaris.

5. Perbedaan Tonsilitis akut dan kronik4


Tabel 1
Perbedaan Tonsilitis Akut dan Tonsilitis Kronik

Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronik


Onset cepat, terjadi dalam beberapa Onset lama, beberapa bulan hingga
hari, hingga beberapa minggu beberapa tahun (menahun)
Penyebab kuman streptokokus beta Penyebab tonsillitis kronik sama halnya
hemolitikus grup A, pneumokokus, dengan tonsillitis akut, namun kadang-
streptokokus viridian, dan kadang bakteri berubah menjadi bakteri
streptokokus piogenes. golongan gram negatif
Tonsil hiperemis & edema Tonsil membesar / mengecil tidak edema
Kripte tidak melebar Kripte melebar
Detritus + / - Detritus +

6. Tonsilitis Akut3,4
15
a. Tonsilitis Viral
Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai commond cold yang
disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah
virus Epstein Barr. Terapinya istirahat, minum cukup, analgetika, dan
antivirus diberikan jika gejala berat.
b. Tonsilitis Bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A
Streptokokus B hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat,
pnemokokus, streptokokus viridian, dan streptokokus piogenes.
Infiltrat bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri
yang mati, dan epitel yang terlepas. Secara klinis, detritus ini mengisi
kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut
tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu dan
membentuk alur-alur maka terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus
ini dapat melebar sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembran) yang menutupi tonsil.
Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri
tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam tinggi, rasa lesu, nyeri
di sendi-sendi, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di telinga (otalgia).
Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui
nervus glosofaringius (N. IX). Pada pemeriksaan, tampak tonsil yang
membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel,
lakuna, atau tertutup oleh membran semu (pseudomembran).
Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.
Terapi Antibiotik spektrum lebar penisilin, antipiretik,
analgesik dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
Komplikasi pada anak-anak, tonsilitis akut sering menimbulkan
komplikasi menjadi otitis media akut. Komplikasi yang lainnya

16
adalah abses peritonsil, abses parafaring, sepsis, bronkitis, nefritis
akut, miokarditis, dan artritis
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas
melalui mulut, tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena
terjadinya sleep apnue yang dikenal dengan Obstructive Sleep Apnea
Syndrom (OSAS).
c. Tonsilitis Membranosa3,4
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsilitis
membranosa adalah, antara lain:
1) Tonsilitis difteri
a) Penyebab
Frekuensi penyakit ini sudah menurun karena
keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab
tonsilitis difteri adalah Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk gram positif dan dapat mengenai
saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring, dan laring.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan
menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti
toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar
0,03 per cc darah dapat dianggap cukup memberikan
dasar imunitas. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada
anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi
pada usia 2-5 tahun walaupun pada usia dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini.
b) Gejala dan tanda
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:
Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu
kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta
keluhan nyeri menelan.
Gejala lokal, yang tampak adalah berupa tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin

17
lama makin meluas dan bersatu membentuk membran
semu (pseudomembran). Membran ini dapat meluas ke
palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran
semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa
leher akan membengkak sehingga menyerupai leher sapi
(bull neck).
Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman
difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh
yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensation cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernapasan, dan pada ginjal menimbulkan albuminoria.
c) Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik
dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil
dari pseudomembran tonsil yang dimana akan ditemukan
kuman difteri ini.
d) Terapi
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa
menunggu hasil kultur dengan dosis tergantung dari umur
dan beratnya penyakit, antibiotik spektrum luas,
kortikosteroid, antipiretik digunakan jika perlu untuk
menurunkan demam nya. Karena penyakit ini menular,
pasien harus diisolasi. Perawatan non farmalokologi
adalah istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.

e) Komplikasi

18
Penyakit ini dapat berlangsung cepat, pseudomembran
akan menjalar ke laring dan menyebabkan gejala
sumbatan. Makin muda usia pasien terkena penyakit ini
maka akan makin cepat timbul komplikasi.

2) Tonsilitis septik
Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptococcus haemoliticus
yang terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Di
Indonesia, susu sapi dimasak dengan cara pasteurisasi terlebih
dahulu sebelum diminum sehingga penyakit ini jarang
ditemukan.
3) Stomatitis ulseromembranosa (Angina Plaut Vincent)
a) Penyebab
Penyebab penyakit ini adalah kurangnya higienis
mulut, defisiensi vitamin C, serta kuman sprilium dan basil
fusiform.
b) Gejala
Demam sampai 39°C, nyeri kepala, badan lemah, dan
kadang-kadang terdapat gangguan pencernaan, rasa nyeri di
mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.
c) Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membran
putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta
prosesus alveolaris, foetor ex ore (mulut berbau) dan
kelenjar submandibula membesar.
d) Terapi
Memperbaiki higienis mulut, antibiotik spektrum luas,
vitamin C dan vitamin B kompleks.

7. Tonsilitis Kronik3,4
a. Penyebab

19
Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-
kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negative
b. Faktor predisposisi
Timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan yang menahun dari
rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
c. Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik, kripti ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris.
d. Gejala dan tanda
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar, dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa
ada yang mengganjal di tenggorok, tenggorok dirasakan kering dan
napas berbau.
e. Terapi
Terapi lokal ditujukan kepada higiene mulut dengan berkumur atau
obat hisap
f. Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa rinitis kronis, sinusitis, atau otitis media secara
perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau
limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, nefritis, dan yang
lainnya. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma

8. Indikasi Tonsilektomi6,7

20
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi
pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik
dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran
napas dan hipertrofi tonsil.9
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas,
indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut).
Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan
perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah
kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya
dilakukan tonsilektomi.
a. Indikasi Absolut
 Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran
napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi
kardiopulmoner
 Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis
dan drainase
 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
 Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
b. Indikasi Relatif
 Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
 Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
 Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten

Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy),


tonsilektomi dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.8 Saat
mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan

21
apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai
kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi
absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa
yang dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik.
Akan tetapi semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat
sederhana seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil (“cryptic tonsillitis”) dan
pada keadaan yang lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan
nyeri atau rasa tidak enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi
mungkin dapat berdasarkan terdapat dan beratnya satu atau lebih dari gejala
tersebut dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk
tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup
walaupun tidak mengancam nyawa.8

9. Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan
tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut
adalah:8
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
Tabel. 1 Indikasi Tonsilektomi dari berbagai sumber
No Sumber Indikasi

1 American Academy of Indikasi Absolut


Otolaryngology-Head and Neck Pembengkakan tonsil yang menyebabkan
Surgery (AAO-HNS)14 obstruksi saluran napas, disfagia berat,
gangguan tidur dan komplikasi
kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan
pengobatan medis dan drainase

22
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk
menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per
tahun dengan terapi antibiotik adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak
membaik dengan pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier
streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik β-laktamase resisten
Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai
merupakan suatu keganasan

2 Scottish Intercollegiate Guidelines Indikasi tonsilektomi pada anak dan


Network55 dewasa berdasarkan bukti ilmiah,
observasi klinis dan hasil audit klinis
dimana pasien harus memenuhi semua
kriteria di bawah:
Sore throat yang disebabkan oleh tonsilitis
5 atau lebih episode sore throat per tahun
Gejala sekurang-sekurangnya dialami
selama 1 tahun.
Keparahan episode sore throat sampai
mengganggu pasien dalam menjalani fungsi
kehidupan normal

3 Evidence Based Medicine Tonsilitis bakterialis berulang (>4x/tahun).


Guidelines56 Dengan catatan hasil kultur bakteri harus
dicantumkan dalam surat rujukan
Tonsilitis akut dengan komplikasi: abses
peritonsiler, septikemia. Pasien dengan

23
abses peritonsiler berusia <40 tahun
langsung diterapi dengan tonsilektomi.
Curiga adanya keganasan (pembesaran
asimetri atau ulserasi)
Sumbatan jalan napas yang disebabkan
tonsil (T3-T3), sleep apnea, kelainan oklusi
gigi
Tonsilitis kronik, merupakan indikasi relatif
tonsilektomi. Tindakan dianjurkan apabila
pasien mengalami halitosis, nyeri
tenggorok, gagging, dan keluhan tidak
hilang dengan pengobatan biasa.

4 INSALUD (National Institute Indikasi absolut


of Health) Spanyol3 Kanker tonsil
Penyumbatan saluran nafas berat pada
rinofaring dengan desaturasi atau retensi
CO2
Indikasi relatif
Infeksi rekuren dengan eksudat, dapat
dibedakan dengan jelas dari common cold,
dengan 7 atau lebih episode pada tahun ini,
atau 5 episode pertahun pada 2 tahun
sebelumnya, atau 3 episode pertahun pada 3
tahun sebelumnya.
Abses peritonsilar
Tidak diindikasikan
Otitis media akut atau kronik
Sinusitis akut atau kronik
Ketulian Infeksi saluran nafas atas atau
bawah
Penyakit sistemik

24
5 National Health & Medical Faringitis rekuren
Research Council, 1991 Faringitis kronik
(Australia)3 Obstruksi jalan nafas
Dugaan neoplasma

6 Henry Ford Medical Group, 1995 Berdasarkan hasil literatur review:


(USA)3 Tonsilitis
Hipertrofi tonsil
Experience

7 Infectious Disease Society of Berdasarkan hasil literatur review:


America3 Faringitis streptokokus rekuren

8 American Academy of Pediatrics3 Berdasarkan hasil literatur review:


Faringitis rekuren

10. Tekhnik Operasi Tonsilektomi9,10,11


Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan
pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan
jari tangan. Selama bertahun-tahun, berbagai teknik dan instrumen untuk
tonsilektomi telah dikembangkan. Sampai saat ini teknik tonsilektomi yang
optimal dengan morbiditas yang rendah masih menjadi kontroversi, masing-
masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini
adalah teknik Guillotine dan diseksi
a. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad
ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk
mengangkat tonsil. Namun tidak ada literatur yang menyebutkan kapan
tepatnya metode ini mulai dikerjakan. Tonsilotom modern atau guillotine
dan berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari sebuah alat

25
yang dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang
untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.5
Hingga kini, di UK tonsilektomi cara guillotine masih banyak
digunakan. Hingga dikatakan bahwa teknik Guillotine merupakan teknik
tonsilektomi tertua yang masih aman untuk digunakan hingga sekarang.
Negara-negara maju sudah jarang yang melakukan cara ini, namun di
beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia, terutama di
daerah masih lazim dilkukan cara ini dibandingkan cara diseksi.5
b. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi.
Hanya sedikit ahli THT yang secara rutin melakukan tonsilektomi dengan
teknik Sluder. Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah
mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang
mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak
mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak
digunakan pada pasien anak.
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan
dengan desain yang lebih baik untuk tonsilektomi, prinsip dasar teknik
tonsilektomi tidak berubah. Pasien menjalani anestesi umum (general
endotracheal anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil,
membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul
tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan
manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau
ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin.
Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan
disamping teknik diseksi standar, yaitu:
1) Electrosurgery (bedah listrik)20
Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum,
karena mudah memicu terjadinya ledakan. Namun, dengan makin
berkembangnya zat anestetik yang nonflammable dan perbaikan
peralatan operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik makin
meluas

26
Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar
blade, monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan
mikroskop. Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W
untuk memotong, menyatukan atau untuk koagulasi
2) Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke
jaringan. Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk
membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas.
Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan
total volume jaringan berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat
terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada medium penghantar
seperti larutan salin.
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie,
Elmed Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the
Somnus somnoplasty system (bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare
coblation system dan Argon plasma coagulators
3) Skapel Harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk
memotong dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan
jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah
dibandingkan elektrokauter dan laser. Dengan elektrokauter atau
laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup
tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya
1500C-4000C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur
disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 500C -1000C).
Sistim skalpel harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece
dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.

4) Coblation
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan
listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan

27
natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium
yang dapat merusak jaringan sekitar. Coblation probe memanaskan
jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan probe diatermi standar
(suhu 600C (45-850C) dibanding lebih dari 1000C).
5) Intracapsular Partial Tonsilektomi
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Meskipun
mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk
tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat
menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan
jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya
6) Laser (CO2-KTP)28
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium
Titanyl Phospote) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan
tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan
recesses pada tonsil yang meyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
11. Penyulit

Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus


dalam melakukan tonsilektomi maupun tonsiloadenoidektomi pada anak dan
dewasa:
1. Kelainan anatomi:
- Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan)
- Kelainan maksilofasial dan dentofasial
2. Kelainan pada komponen darah:
- Hemoglobin < 10 g/100 dl
- Hematokrit < 30 g%
- Kelainan perdarahan dan pembekuan (Hemofilia)
3. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain
4. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI)
5. Multiple Allergy
6. Penyakit lain, seperti:
- Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain
28
- Hipertensi dan penyakit kardiovaskular
- Obesitas, kejang demam, epilepsi

DAFTAR PUSTAKA

1. Zuniar. Kumpulan karya ilmiah: Gambaran mikrobiologi pada tonsilitis kronis


dari hasil usapan tenggorok dan bagian dalam tonsil. FKUI-PPDS bidang studi
ilmu THT 2001.
2. http://digilib.unimus.ac.id
29
3. George l, Adams. Lawrence R, Boies. Peter A, Higler. BOIES Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997: 264-269, 330-331, 337-340,
370-376.

4. Soepardi, Efiaty A. Iskandar Nurbaiti. dkk. Telinga Hidung Tenggorok Kepala


dan Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008: 221-225.

5. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Bernard BS, Rockette HE, Kurs-Lasky
M. Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent throat infection in
moderately affected children. Pediatrics 2002;110:7-15
6. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy.
Laryngoscope 2002;112:3-5
7. Berkowitz RG, Zalzal GH. Tonsillectomy in children under 3 years of age. Arch
Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 116:685-6.[Abstract]
8. Bhattacharya N. When does an adult need tonsillectomy? Cleveland Clinic
Journal of Medicine 2003:70;698-701
9. Bäck L. Paloheimo M, Ylikoski J. Traditional tonsillectomy compared with
bipolar radiofrequency thermal ablation tonsillectomy in adults. Arch
otolaryngol Head Neck Surg 2001;127:1106-12
10. Webster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook
MJ. Anesthesia for adenotonsillectomy: a comparison between tracheal
intubation and the armoured laryngeal mask airway. Can J Anaeth 1993;40:757-
8 [Abstract]

30

Anda mungkin juga menyukai