Pembimbing:
Disusun oleh:
(SLE)
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Disusun Oleh :
Sutan Malik Ibrahim
G4A018067
Mengetahui
Pembimbing,
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja
penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh perempuan dimana perbandingan
antara perempuan dan laki-laki adalah 10 : 1. SLE menyerang perempuan pada usia
produktif, puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah penderita
SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita
SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia).
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi
remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit.
Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum
digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-
Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker
(imunosupresan) selain itu terdapat obat- obat yang lain seperti terapi hormon,
imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi
sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Penderita
Nama : Ny.I
Umur : 36 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kajongan, 02/04 Bojongsari Purbalingga
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal masuk RSMS : 1 Agustus 2019
Tanggal periksa : 6 Agustus 2018
No.CM : 02107199
B. Anamnesis
Keluhan utama : Bengkak seluruh badan
Keluhan tambahan : Sesak nafas, perut kembung, lemas, BAB hitam, bibir
kering
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari RS Siaga Medika datang dengan keluhan seluruh
badan membengkak sejak 1 hari SMRS. Pasien merasa mata, wajah, dada, tangan dan
kaki secara bersamaan terus menerus semakin membengkak setiap harinya. Keluhan
bengkak seluruh badan membuat pasien menjadi sesak nafas dan sulit untuk duduk dan
beraktivitas. Keluhan sesak berkurang ketika beristirahat serta memberat ketika pasien
banyak beraktivitas. Pasien juga mengeluhkan perut terasa kembung sehingga terasa
tidak nyaman untuk makan banyak sejak 1 hari SMRS. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan badan terasa lemas, pegal-pegal dan BAB kehitaman. Pasien juga
mengeluhkan bibir terasa kering sejak 1 hari SMRS. Pasien mengaku memiliki riwayat
kulit mengelupas jika terlalu lama terpapar sinar matahari.
A. Pemeriksaan Fisik
A. KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS = E4V5M6)
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 150/100 mmHg
Nadi : 80 x/menit, isi dan tegangan cukup
Laju pernapasan : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36.5 oC
C. Status generalis
Kepala : mesosefal, distribusi rambut merata, edema wajah (+)
Mata : edem palpebra (-/-), prosis (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-
), pupil bulat isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+/+)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), discharge (-/-), deformitas (-/-)
Telinga : serumen (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), sariawan (-)
Leher : deviasi trakea (-), tiroid dalam batas normal, limfonodi tidak teraba besar
D. Status Lokalis
Paru
Inspeksi : hemithoraks dextra = sinistra, ketinggalan gerak (-/-), retraksi intercostae
(-/-), jejas (-/-)
Palpasi : vokal fremitus apex dextra menurun ≠ sinistra
vokal fremitus basal dextra menurun ≠ sinistra
Perkusi : sonor pada lapang paru kiri, redup lapang paru kanan
batas paru hepar SIC V LMCD
Auskultasi : SD vesikuler (+/+) menurun, RBK (-/-), RBH (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS, kuat angkat (+)
Perkusi : batas jantung
Kanan atas : SIC II LPSD
Kiri atas : SIC II LPSS
Kanan bawah : SIC IV LPSD
Kiri bawah : SIC V, LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (+), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung.
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
Hepar : tidak teraba pembesaran
Lien : tidak teraba pembesaran
Ren : nyeri ketok (+)
Ekstremitas
Tabel 2.1 Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas Ekstremitas
Pemeriksaan superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - + +
Sianosis - - - -
Kuku kuning (ikterik) - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis
Bicep/tricep +2 +2 +2 +2
Patela +2 +2 +2 +2
Reflek patologis
Reflek babinsky - - - -
Sensoris D=S D=S D=S D=S
E. Pemeriksaan Penunjang
1) Hasil Lab Darah Lengkap RSMS 31-07-2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematokrit 32 L 40 - 52
MCH 28.8 26 - 34
MCHC 34.3 32 – 36
RDW 18.6 H 11.5 - 14.5
Segmen 88.6 H 50 – 70
Limfosit 4.8 L 25 – 40
Cl 102 96 - 108
SGOT 44 H 15 – 37
SGPT 33 14 – 59
F. Diagnosis Kerja
1. Systemic Lupus Eritematousus
2. Renal Failure
3. Hiponatremia
4. Hipoalbuminemia
5. Asites
6. Efusi Pleura Dekstra
7. Cardiomegali
G. Terapi
1. Non farmakologis
O2 4 LPM
2. Farmakologis
IVFD Kidmin : D5% 20 Tpm
Inj. Cefixime 2x100mg IV
Furosemid 3x1 Tab
Spironolacton 1x100 Mg
Omeprazole 2x1 Caps
Sandimun 1x50 Mg
Valsartan 1x160 Mg Tab
Metil Prednisolon 3x16 Mg
Sucralfat Syr 3x1 Cth
Vip Albumin 3x2 Tab
H. Prognosis :
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
S O A P
HP 5 (06/08)
- Sesak nafas Vital sign - Systemic Lupus - IVFD Kidmin : D5% 20
- Perut TD : 110/80 mmHg Eritematousus Tpm
membesar Nadi : 84 x/menit - Renal Failure - Inj. Cefixime 2x100mg IV
- Kedua kaki RR : 20x/menit - Hiponatremia - Furosemid 3x1 Tab
0
bengkak Temp : 36,2 C - Hipoalbuminemia - Spironolacton 1x100 Mg
- Sulit tidur St. General - Asites - Omeprazole 2x1 Caps
Mata : anemis +/+ - Efusi Pleura - Sandimun 1x50 Mg
Thorax : cor S1 S2 tunggal Dekstra - Valsartan 1x160 Mg Tab
regular murmur (-), pulmo - Cardiomegali - Metil Prednisolon 3x16
vesikuler +/+ wheezing -/- Mg
rhonki -/- - Sucralfat Syr 3x1 Cth
Abdomen : Asites (+), - Vip Albumin 3x2 Tab
bising usus + normal
Ekstremitas : edema (+)
HP 6 (24/7)
- Sesak nafas Vital sign - Systemic Lupus - Aff infus
membaik TD : 110/80 mmHg Eritematousus - Po. Cefixime 2x1 Tab
- Perut Nadi : 84 x/menit - Renal Failure - Furosemid 3x1 Tab
membesar RR : 20x/menit - Hiponatremia - Spironolacton 1x100 Mg
membaik Temp : 36,20C - Hipoalbuminemia - Omeprazole 2x1 Caps
- Kedua kaki St. General - Efusi Pleura - Sandimun 1x50 Mg
bengkak Mata : anemis +/+ Dekstra - Valsartan 1x160 Mg Tab
- Sulit tidur Thorax : cor S1 S2 tunggal - Cardiomegali - Metil Prednisolon 3x16
regular murmur (-), pulmo Mg
vesikuler +/+ wheezing -/- - Sucralfat Syr 3x1 Cth
rhonki +/+ - Vip Albumin 3x2 Tab
Abdomen : cembung (-), BLPL
bising usus + normal
Ekstremitas : edema (-)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun multisystem di mana
organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh autoantibodi
pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE dapat berubah, baik
dalam hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan organ. Imunopatogenesis SLE
kompleks dan sejalan dengan gejala klinis yang beragam. Tidak ada mekanisme aksi
tunggal yang dapat menjelaskan seluruh kasus, dan kejadian awal yang memicunya masih
belum diketahui (Fauci, 2013).
Sesuai dengan teori, pada kasus ini juga terdapat penglibatan multisystem yaitu
system mukokutan (ruam kulit), hematology (anemia), dan ginjal (nefritis).
B. Epidemiologi
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Di
AS,angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi, namun
didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras, seperti kaum
kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan Hispanik, berisiko lebihtinggi
terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih parah. Prevalensi SLE di
seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS; penyakit ini kelihatannya lebih
sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di antara keturunan kulit hitam di
Karibia namun jarang ditemukan pada keturunan kulit hitam di Afrika. SLE jarang
terjadi pada usia prepubertas namun sering dimulai pada usia dekade kedua hingga
keempat; beberapa studi menunjukkan puncak kedua kasus baru pada sekitar usia
50 tahun. Distribusi jenis kelamin cukup jelas; SLE berkembang pada wanita usia
produktif sekitar sepuluh kali lipat daripada pria dengan usia yang sama. Pada usia
lebih muda, wanita tiga sampai empat kali lebih sering daripada pria. Pada usia lebih
tua, perbandingan wanita dan pria adalah 8:1 (Maidhof, 2012).
Sesuai dengan teori yang mengatakan SLE lebih sering pada jenis kelamin
perempuan, kasus ini juga adalah perempuan.
1) Faktor Genetik
SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel HLA-
DRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan gen,
pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan, menghasilkan respons imun abnormal.
Responsimun mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit T dan B dan
regulasi antigen dan respons antibodi yang tidak efektif. Hiperreaktivitas sel T dan
B ditandai dengan peningkatan ekspresi molekul permukaan seperti HLA-D
danCD40L, menunjukkan bahwa sel mudah teraktivasi oleh antigen yang
menginduksi sinyal aktivasi pertama dan oleh molekul yang mengarahkan sel ke
aktivasi penuh melalui sinyal kedua. Hasil akhir anomali ini adalah produksi
autoantibodi patogen dan pembentukan kompleks imun yang mengikat jaringan
target, menghasilkan (1)sekuestrasi dan destruksi Ig-coated circulating cells; (2) fiksasi
dan cleaving protein komplemen, dan (3) pelepasan kemotaksin, peptida vasoaktif,
dan enzim destruktif ke jaringan. Banyak autoantibodi pada orang dengan SLE yang
ditujukan pada kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosom, beberapa
jenis RNA nukleus, dan RNA spliceosomal. Selama apoptosis antigen bermigrasi ke
permukaandan fosfolipid membran berubah orientasi sehingga bagian antigen
menjadi dekat dengan permukaan. Molekul intrasel yang meningkat selama aktivasi
atau kerusakan sel bermigrasi ke permukaan sel. Antigen yang dekat dengan atau
terdapat di permukaan sel ini dapat mengaktivasi sistem imun untuk menghasilkan
autoantibodi. Pada individu dengan SLE, fagositosis dan penghancuran sel apoptotik
dan kompleks imun tidak mumpuni (Mohan, 2015).
Jadi, pada SLE, antigen tetap tersedia; dipresentasikan dilokasi yang dikenali oleh
sistem imun; dan antigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan dalam jangka
waktu yang lebih lama, memungkinkan kerusakan jaringan terakumulasi pada titik kritis
(Rahman, 2008). Sejak hampir 50 tahun yang lalu telah dikenali suatu antibodi yang
melawan konstituen sel normal. Antibodi ini dapat ditemukan dalam serum pasien
dengan lupus. Serum pasien dengan lupus dapat dikenali dari keberadaan antibodi
di serum terhadap antigen nukleus (Antinuclearantibody, atau ANA).
Selain ANA, masih terdapat autoantibodi lain yang dapat dapat ditemukan pada
pasien dengan SLE, misalnya anti-dsDNA, anti-Sm, anti-Ro, dan lain-lain
(Rahman, 2008).
Pada kasus ini ditemukan tes Antinuclearantibody, atau ANA yang positif.
2) Faktor Lingkungan
Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet merupakan faktor yang
paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat mencakup induksi epitop antigen didermis atau
epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit yang dirusak oleh cahaya, atau
disregulasi sel imun kulit. Berbagai faktor lingkungan lain juga terlibat dalam lupus.
Pengobatan seperti prokainamid, hidralazin, dan minosiklin dapat menyebabkan
lupus eritematosus yang diinduksi obat, penyakit yang mirip dengan SLE. Mungkin
yang paling menarik adalah beberapa obat antirematik dapat menginduksi penyakit
yang tampilan klinis dan serologisnya mirip SLE.
Bahan kimia, khususnya senyawa amino aromatik, dikenal sebagai penyebab lupus-
like syndromes. Sindrom ini lebih mirip dengan lupus yang diinduksi obatdaripada
SLE dan menghilang setelah pajanan berakhir. Laporan mengenai pengaruh
geografis pada lupus masih belum mengkonfirmasi faktor lingkungan ini (Rahman,
2008).
3) Pengaruh Hormonal
Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai penyebab SLE.
Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia produktif,
peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang sedikit lebih tinggi
pada wanita pascamenopause yang menggunakan suplementasi estrogen.
Walaupun hormon seks steroid dipercaya sebagai penyebab SLE, namun studi yang
dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral
tidak meningkatkan risiko terjadinya peningkatan aktivitas penyakit pada wanita
penderita SLE yang penyakitnya stabil (Rahman, 2008).
D. Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel
secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai
agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada
manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh
pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam
menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan
cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan generasi kompleks imun, (2)
berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi
efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung menginduksi kematian
sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup. Fase puncak
merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan sistem
imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama
pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk
SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit (Rahman,
2008).
E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu waktu
maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai tambahan,
perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke
sedang hingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisistem
dari manifestasi klinisnya, lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan sampai sedang dengan gejala
kronis, diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara bertahap atau tiba-tiba. Pada
sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas penyakit dan
remisi klinis sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang, pasien mengalami episode
aktif SLE singkat diikuti dengan remisi lambat. Gambaran klinis SLE menjadi rumit
karena dua hal. Pertama, walaupun SLE dapat menyebabkan berbagai gejala dan tanda,
tidak semua gejala dan tanda pada pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit
tersebut. Banyak penyakit, khususnya penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE.
Kedua, efek samping pengobatan, khususnya penggunaan glukokortikoid jangka
panjang, harus dibedakan dengan gejala dan tanda SLE (Cervera, 2009).
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif, namun penyebab
infeksius tetap harus dipikirkan, terutama pada pasien dengan terapi imunosupresi.
Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit, di mana peningkatan berat badan,
16
khususnya pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas
pada tahap selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling
umum dan seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit. Penyebab pasti
gejala-gejala ini masih belum jelas. Aktivitas penyakit, efek samping pengobatan,
gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam timbulnya gejala
konstitusional (Ginzler, 2012)
2. Manifestasi Mukokutan
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam yang telah
ada sebelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan (exagerrated sunburn),
atau gejala seperti gatal atau parestesis setelah terpajan sinar matahari atausumber
cahaya buatan. Fotosensitivitas sering ditemukan dan dapat terjadi pada semua
kelompok ras dan etnis, walaupun belum ada studi mengenai prevalensinya dipopulasi
umum. Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi
dan persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai
malar rash atau butterfly rash. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini
dapat meningkat dan sangat meradang, bertahan selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan. Gejala ini hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa dengan adherent
scale dan telangiektasis umumnya terdapat di wajah, leher, dan kulit kepala. Lupus kutis
akut dalam bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pajanan sinar
ultraviolet. Lesi lupus subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit yang terpajan
sinar matahari dalam waktu lama (lengan depan, daerah V di leher) tanpa pajanan sinar
matahari dalam waktu dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo reticularis, eritema
periungual, eritema palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria akut atau
kronik, panniculitis, purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis. Alopesia dapat timbul
akibat lesi pada kulit kepala, namun biasanya muncul pada puncak SLE (Cervera,
2009).
Pada kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai dengan teori, pada pasien ini
ditemukan fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi ruam dengan pajanan pada sinar matahari.
17
3. Manifestasi Muskuloskeletal
Artritis SLE biasanya meradang dan muncul bersamaan dengan sinovitis dan nyeri,
bersifat nonerosif dan non deforming. Manifestasi yang jarang adalah deformitas
Jaccoud yang menyerupai artritis reumatoid namun berkurang dan tidak terbukti
secara radiologis menyebabkan destruksi kartilago dan tulang. Kelemahan otot
biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaria, namun myositis
dengan peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasanya merupakan gejala
yang tumpang tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruptur tendon
dapat merupakan komplikasi terapi glukokortikoid. Osteonekrosis
(nekrosisavaskular) dapat disebabkan oleh penyakit maupun efek pengobatan
gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput femoris, kaput humoral, lempeng tibia,
dan talus. Artralgia dan mialgia merupakan gejala lain yang sering ditemukan, dapat
disebabkan oleh penyakit, efek samping pengobatan, glucocorticoid with
drawal syndrome, endokrinopati, dan faktor psikogenik (Rahman, 2008)
4. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis merupakan gejala khas, dengan nyeri substernal posisional dan
terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi, atau
dalam kasus kronik penebalan dan fibrosis perikardium. Tamponade atau
hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh
karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus dicurigai pada pasien
dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan EKG minimal, aritmia, atau
perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan kardiomiopati dilatasi,
dengan tanda gagal jantung kiri (Carvera, 2009).
Endokarditis trombotik nonifeksi (Libman-Sacks) jarang dan seringkali tidak
menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi katup mitral atau katup
aorta atau embolisasi. Arteriosklerosis prematur dengan angina pektoris dan infark
miokardium merupakan sumber mortalitas dan morbiditas jangka panjang yang
paling serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik,
menopause prematur, serta faktor diet dan gaya hidup dapat menyebabkan
arteriosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang diinduksi dingin pada jari, sering
ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel di tangan dan kaki sering
18
tumpang tindih dengan skleroderma. Gambaran patologis yang sama pada sirkulasi
paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang namun
seringkali fatal. Sebagian besar cedera vaskular trombotik pada pasien SLE
dimediasi oleh antibodi antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30% pasien
SLE. aPL dapat menyebabkan trombosis arteri dan vena spontan pada semua ukuran
pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi protein C dan
protein S, faktor V Leiden, dan antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya
trombosis, namun defisiensi faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan
terjadinyatrombosis vena dibanding trombosis arteri.
5. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE. Nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi
dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain
mungkin hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru,
pneumonitis atau alveolitis, dan dibuktikan dengan batuk, hemoptisis, serta
infiltrate paru jarang terjadi namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan
alveolus difus dapat timbul dengan atau tanpa pneumonitis akut dan memiliki angka
mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitis lupus kronik dengan perubahan fibrotik
pada paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan perjalanan yang progresif
dan prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat diakibatkan oleh
perubahan pleuritik jangka panjang, miopati, atau fibrosis otot pernapasan,
termasuk diafragma, dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru rekuren
disebabkan oleh antibody antifosfolipid harus disingkirkan pada pasien dengan
gejala paru yang tidak dapat dijelaskan (Ginzler, 2012).
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan
patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak
menimbulkan gejala sampai glomerulonefritis membranoproliferatif difus agresif
yang menuju gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimal,
termasuk proteinuria ringan dan hematuria mikroskopik; sindrom nefrotik, dengan
proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema perifer, hipertrigliseridemia, dan
hiperkoagulasi; atau sindrom nefritik, dengan hipertensi, sedimen eritrosit atau
19
kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin, dan penurunan laju filtrasi glomerulus
progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan uremia (Mohan, 2015).
8. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, khas untuk
pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan komplikasi
abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan terapi,yaitu
NSAID dan/atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat menimbulkan
gejala. Pada kasus jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah
akut. Terkadang, pankreatitis dapat merupakan gejala penyakit atau merupakan efek
pengobatan. Peningkatan enzim hati terkadang dihubungkan dengan hepatitis
noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan hepatitis autoimun
melalui gambaran histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat disebabkan oleh
penggunaan NSAID, azatrioprin, atau metotreksat, dan penggunaan jangka panjang
glukokortikoid yang dapat menyebabkan perlemakan hati dengan peningkatan
20
transaminase ringan (Ginzler, 2012).
9. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limfadenopati difus sering merupakan temuan yang sering namun
nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat disebabkan
oleh hemolisis, dengan hasil tes Coombs positif, kadar haptoglobin rendah, dan
kadar laktat dehidrogenase tinggi, atau dengan mielosupresi. Mekanisme tidak
langsung mencakup penurunan sintesis eritropoietin dan mielosupresi uremikum
pada pasien nefritis lupus. Hal ini dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik
dan ketidakcukupan asupan makanan. Leukopenia dan limfopenia sangat sering
terjadi namun jarang mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng dkk menghubungkan
limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi pada pasien SLE.
Leukositosis dapat disebabkan oleh glukokortikoid. Trombositopenia ringan
(100000 sampai 150 000/ μl) dapat disebabkan oleh antibodi antifosfolipid.
Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50 000/ μl), disebabkan oleh
antibodiantiplatelet, dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkin
didiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik (Carvera, 2009).
21
F. Temuan Laboratorium
Uji laboratorium bertujuan untuk (1) menegakkan atau menyingkirkan
diagnosis; (2)mengikuti perkembangan penyakit; dan (3) mengidentifikasi
efek samping terapi.
Pemeriksaan darah rutin akan menunjukkan bukti inflamasi sistemik, seperti
anemia normositik normokrom (anemia pada penyakit kronik) dan
trombositosis. Pada SLE lebih sering ditemukan leukopenia dan limfopenia.
Pemeriksaan fungsi ginjal biasanya normal pada awal penyakit, walaupun
nefritis lupus telah terjadi, namun urinalisis dapat menunjukkan proteinuria
dan hematuria mikroskopik. Sedimen eritrosit merupakan tanda
glomerulonefritis berat. Pemeriksaan fungsi hati biasanya normal. Petanda
inflamasi yang sering dipakai adalah laju endap darah(LED) dan protein
reaktif C (C-reactive protein, atau CRP). LED dapat meningkat pada
penyakit berat. Peningkatan CRP biasanya lebih ringan pada SLE
dibandingpada penyakit infeksi (Cervera, 2009).
Untuk kepentingan diagnostik, autoantibodi terpenting adalah ANA karena
tes ini positif pada > 95% pasien, biasanya pada awitan gejala. Kadar
antibodi IgG terhadap DNA untai ganda yang tinggi merupakan pemeriksaan
yang spesifik untuk SLE. Antibodi terhadap Sm juga spesifik untuk SLE dan
mengarahkan diagnosis; antibodi anti-Sm biasanya tidak berhubungan
dengan aktivitas penyakit atau manifestasi klinis. aPL tidak spesifik untuk
SLE, namun keberadaannya memenuhi salah satu kriteria dan dapat
mengidentifikasi pasien dengan risiko penggumpalan vena atau arteri,
trombositopenia, dan kematian janin (Cervera, 2009).
Uji autoantibodi tambahan dengan nilai prediktif (tidak digunakan
untuk diagnosis) dapat mendeteksi anti-Ro. Wanita usia produktif dengan
SLE harus menjalani pemeriksaan aPL dan anti-Ro(Cervera, 2009).
Kadar komplemen rendah, khususnya C3, C4, dan CH50 (komplemen
hemolitik total), penting untuk diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit.
Kadar C4 yang rendah dapat menggambarkan aktivitas penyakit, namun
juga dapat menggambarkan defisiensi produksi parsial, sedangkan C3
rendah menggambarkan aktivasi komplemen. Cairan serebrospinal dapat
menunjukkan pleiositosis dan peningkatan kadar protein, dan antobodi
antiribosom P dan antineutron dapat ditemukan walaupun kadar dalam
serum negatif (Ginzler, 2012)
Biopsi tidak bermakna untuk evaluasi kulit dan ginjal. Biopsi kulit
menunjukkan gambaran deposisi kompleks imun dan produk komplemen
pada perhubungan dermis-epidermis dengan pola granular. Biopsi ginjal
menunjukkan derajat keparahan penyakit dan dapat digunakan untuk
panduan pengobatan. Pemeriksaan mikroskop imunofluoresens dan elektron
penting untuk interpretasi gambaran histopatologis ginjal yang benar (Beer,
2004).
G. Diagnosis
Lupus eritematosus sistemik biasanya dimulai dengan gejala dan tanda
nonspesifik atau spesifik, namun dapat juga bermanifestasi pertama dengan
memar, splenomegali, neuritis perifer, mioendokarditis dan endokarditis,
pneumonitis interstisial, meningitis aseptik, atau tes Coombs positif.
Keberadaan anemia (71%), leukopenia (56%), trombositopenia (11%),
proteinuria, hematuria, piuria, azotemia, hipergammaglobulinemia,
kompleks imun, krioglobulin, antibodi antifosfolipid, dan Biologic False-
Positive Serologic Test for Syphilis juga membuat seseorang dicurigai SLE.
Anak-anak cenderung lebih banyak mengidap penyakit ginjal; pasien yang
berusia lebih tua saat awitan lebih jarang mengalami ruam, artritis, dan
penyakit ginjal namun lebih sering mengalami keratokonjungtivitis Sicca
(sindrom Sjörgen); serta lelaki lebih sering mengalami serositis dan lebih
jarang mengalami artritis (Cervera, 2009).
23
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (Sumber: Harrison’s
Principlesof Internal Medicine, 17 th edition)
Malar rash
Fixed erythema, flat or raised, over the malar eminences
Discoid rash
Erythematous circular raised patches with adherentkeratotic scaling and follicular
plugging; atrophic scarringmayoccur
Photosensitivity
Exposure to ultraviolet light causes rash
Oral ulcers
Includes oral and nasopharyngeal ulcers, observed byphysician
Arthritis
Nonerosive arthritis of two or more peripheral joints, withtenderness, swelling, or
effusion
Serositis
Pleuritis or pericarditis documented by ECG or rub orevidence of effusion
Renal disorder
Proteinuria >0.5 g/d or ≥3+, or cellular casts
Neurologic disorder
Seizures or psychosis without other causes
Hematologic disorder
Hemolytic anemia or leukopenia (<4000/µL) or lymphopenia (<1500/µL) or
thrombocytopenia(<100,000/µL) in the absence of offending drugs
Immunologic disorder
Anti-dsDNA, anti-Sm, and/or anti-phospholipid
Antinuclear antibodies
An abnormal titer of ANA by immunofluorescence or anequivalent assay at
24
Gambar 1. Alur Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (Sumber: Harrison’s
Principlesof Internal Medicine, 17 th edition)
25
H. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah
mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan
dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala
yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti
inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang
meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi
yang dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan sistem
imunitas (Beer, 2004)
Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif.
Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang
signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini
memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan
kualitas tidur. Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga
tekanan otot dan luas gerakan dari persendian.
1. Terapi Farmakologi.
Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila
diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu
mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya.
Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Pada
beberapa keadaan tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2
karena dapat meningkatkan resiko kardiovaskular. Karena respon
individual tiap pasien bervariasi, penting untuk mencoba NSAID yang
berbeda untuk menemukan yang paling efektif dengan efek samping
paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak enak perut,
nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya
diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping.
Kadang- kadang, obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan,
seperti misoprostol (Maidhof, 2012).
Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan
mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih
26
berguna terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa
diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya,
atau diberikan intra vena. Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek
samping yang serius bila diberikan dalam dosis tinggi selama periode
yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari penyakitnya untuk
menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari
kortikosteroid adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah
membengkak, katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang
besar (Maidhof, 2012).
Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan efektif
untuk pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek
samping termasuk diare, tidak enak perut, dan perubahan pigmen mata.
Perubahan pigmen mata jarang, tetapi diperlukan, monitor oleh ahli mata
selama pemberian obat ini. Ditemukan bahwa obat ini mengurangi
frekwensi bekuan darah yang abnormal pada pasien dengan SLE. Jadi,
obat ini tidak hanya mengurangi kemungkinan serangan dari SLE, tetapi
juga berguna untuk mencegah pembekuan darah abnormal yang luas
(Maidhof, 2012).
Pada pasien SLE dengan penyakit otak dan ginjal yang serius,
plasmapharesis (mengeluarkan plasma dan menggantikannya dengan
plasma beku yang spesifik) kadang-kadang dibutuhkan untuk
menghilangkan antibodi dan bahan-bahan imunitas lainnya dari darah
untuk menekan imunitas. Pada beberapa pasien SLE, hal ini bisa
menyebabkan tingkat platelet yang sangat rendah yang meningkatkan
resiko perdarahan spontan dan luas. Karena spleen dipercaya sebagai
tempat penghancuran platelet yang utama, operasi pengangkatan spleen
kadang kala dilakukan untuk meningkatkan jumlah platelet (Maidhof,
2012).
Kerusakan ginjal stadium akhir akibat SLE membutuhkan dialisis atau
transplantasi ginjal. Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan
rituximab dalam mengobati lupus. Rituximab intra vena, yaitu
memasukkan antibodi yang menekan sejumlah sel darah putih, sel B, dan
27
menurunkan jumlahnya dalam sirkulasi. Sel B ditemukan memainkan
peranan penting dalam aktifitas lupus, dan bila ditekan, penyakitnya
memasuki masa remisi. (Maidhof, 2012).
I. Prognosis
Angka 5-year survival dan 10-year survival SLE telah membaik selama beberapa
dekade terakhir. Penyakit ginjal telah dapat diterapi dengan lebih efektif,
namun SLE yang melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan saluran
cerna masih merupakan masalah besar hingga saat ini. Prognosis untuk
masing-masing individu bergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala
klinis, sistem organ yang terlibat, dan kondisi komorbid. Konsekuensi jangka
panjang SLE, termasuk pada late lupus syndrome, merupakan salah satu
perhatian. Angka bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95%
setelah 2 tahun, 82 sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10
tahun, dan 63 sampai 75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50%
mortalitas dalam 10 tahun) dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin
serum tinggi [>124 µmol/l (>1,4 mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi
protein urin 24 jam >2,6 g), anemia [hemoglobin <124 g/l (12,4 g/dl)],
hipoalbuminemia, hipokomplemenemia, dan aPL pada saat diagnosis. Pasien
yang menjalani terapi transplantasi ginjal memiliki angka kejadian
28
penolakan graft yang relatif tinggi (sekitar dua kali pasien dengan penyebab
lain gagal ginjal tahap akhir), namun secara umum angka bertahan hidup
pasien masih dapat diperbandingkan (85% setelah 2 tahun). Nefritis lupus
terjadi pada 10% ginjal yang ditransplantasi. Hendaya pada pasien dengan
SLE sering ditemukan terutama disebabkan oleh penyakit ginjal kronik,
kelelahan, artritis, dan nyeri. Sebanyak 25% pasien dapat mengalami remisi,
terkadang untuk beberapa tahun, namun jarang sekali bersifat permanen.
Penyebab mortalitas utama pada dekade pertama penyakit adalah aktivitas
penyakit sistemik, gagal ginjal, dan infeksi; selain itu, kejadian
tromboemboli semakin sering menjadi penyebab mortalitas (Tsokos, 2016).
Prognosis pada kasus ini bisa digolongkan dalam kategori dubia at bonam
karena belum melibatkan sistem saraf pusat.
29
BAB IV
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
Fauci, Anthony S, et all. 2013. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed.
USA: McGraw-Hill;.
Beer, MH. et all. 2004. The Merck Manual of Medical Information. 2nd ed. London
: Simon & Schuster Ltd
Tsokos, G. C., et all. 2016. New insights into the immunopathogenesis of systemic
lupus erythematosus. Nature Reviews Rheumatology. 12(12), 716.
Mohan, C., & Putterman, C. 2015. Genetics and pathogenesis of systemic lupus
erythematosus and lupus nephritis. Nature Reviews Nephrology, 11(6), 329.
31