PENDAHULUAN
1
BAB II
STATUS PASIEN
2.2. Anamnesis
Keluhan Utama :
Rasa mengganjal di tenggorokan + 2 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Seorang pasien perempuan, usia 17 tahun datang ke Poli THT diantar orang
tuanya dikeluhkan ada rasa mengganjal pada tenggorokannya. Rasa mengganjal ini
dirasakan hilang timbul sudah ada sejak 5 tahun yang lalu dan keluhan ini terjadi 4-5
kali dalam setahun. Pasien juga mengeluhkan kalau ia merasakan sakit saat menelan dan
mengeluh demam, pusing berputar, serta batuk. Keluhan di hidung, sesak, dan nyeri
pada telinga disangkal. Pasien mengaku nafsu makan jadi berkurang sejak sakit. Pasien
tidak pernah mengalami mual, muntah, kejang maupun penurunan kesadaran. Pasien
mengaku kalau keluhan ini ia rasakan sejak 5 tahun tetapi baru karena kekambuhan
semakin sering 2 bulan yang lalu dan pergi ke klinik THT di Bandung tempat pasien
bekerja dan di diagnosis Amandel dan harus di operasi. Orang tua pasien mengaku
dalam 1 minggu terakhir tidur anaknya terdengar mendengkur.
2
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Alergi :
Alergi udara dingin, makanan dan obat disangkal
Riwayat Pengobatan :
Pasien mengaku sudah pernah berobat ke Klinik THT dan Puskesmas dan di rujuk
dengan suspek Tonsilitis.
2.3. PemeriksaanFisik
- Keadaan umum : Tampak sakit ringan
- Kesadaran : Compos mentis
- Berat Badan : 51 kg
- Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 100/70mmHg
- Pernafasan : 22 x/menit
- Nadi : 84 x/menit
- Suhu : 38,1C
Kepala : Normochepal
Mata : Sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-, refleks pupil (+/+)
Telinga : Lihat status lokalis
Hidung : Lihat status lokalis
Mulut : Lihat status lokalis
Tenggorok : Lihat status lokalis
Leher : Lihat status lokalis
3
Thorax
a. Inspeksi : Pergerakan dada simetris
b. Palpasi : Vocal fremitus kanan dengan kiri sama
c. Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
d. Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, rhonchi -/-,wheezing -/-
Jantung
a. Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : Ictus cordis di ICS V midclavicula sinistra
c. Perkusi : Redup (+)
d. Auskultasi : BJ I & II murni , reguler , murmur (-) , gallop (-)
Abdomen
a. Inpeksi : Supel
b. Palpasi : Nyeri tekan (-)
c. Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen
d. Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
a. Superior : Hangat (+/+), edema (-/-), RCT < 2 dtk ,sianosis (-/-)
b. Inferior : Hangat (+/+), edema (-/-), RCT < 2 dtk ,sianosis (-/-)
4
2.5 Status Lokalis THT
TELINGA
Tabel 1 Pemeriksaan Telinga
AD AS
Aurikula
Normotia, atresia liang Normotia, atresia liang
telinga (-), perikondritis (-) telinga (-), perikondritis (-),
Membran
hiperemis (-), intak (+),
intak (+), refleks cahaya (+)
reflex cahaya ( + )
timpani
5
Tidak ada Lateralisasi Uji Rinne Tidak ada Lateralisasi
HIDUNG
a. Rinoskopi Anterior
Tabel 2 Pemeriksaan Hidung
a. Sinus Paranasal
- Inspeksi : Pembengkakan pada pipi (-/-)
- Palpasi : Nyeri tekan pada pipi (-/-), nyeri tekan medial atap orbita (-/-),
nyeri tekan kantus medius (-/-)
b. Tes Penciuman
- Kanan : 12 cm dengan kopi,12 cm dengan teh
- Kiri : 12 cm dengan teh,12 cm dengan kopi
- Kesan : Normosmia
c. Transiluminasi
- Sinus maksilaris : Tidak dilakukan
- Sinus frontalis : Tidak dilakukan
6
TENGGOROK
a. Nasofaring
Tabel 3 Pemeriksaan Nasofaring
b. Orofaring
Tabel 4 Pemeriksaan Orofaring
T4 T3
7
(-) Post nasal drip (-)
c. Laringofaring
Tabel 6 Pemeriksaan Laringofaring
MAKSILOFASIAL
Tabel 7 Pemeriksaan Maksilofasial
I. Olfaktorius
Normosmia Penciuman Normosmia
II. Optikus
(+) Daya penglihatan (+)
(+) Refleks pupil (+)
III. Okulomotorius
8
Normal (+) Membuka kelopak Normal (+)
mata
Normal (+) Gerakan bola mata Normal (+)
ke superior
Normal (+) Gerakan bola mata Normal (+)
ke inferior
Normal (+) Gerakan bola mata Normal (+)
ke medial
Normal (+) Gerakan bola mata Normal (+)
ke laterosuperior
IV. Troklearis
(+) Gerakan bola mata ke (+)
lateroinferior
V. Trigeminal
Tes sensoris
Tidak dilakukan Cabang oftalmikus Tidak dilakukan
(V1)
Tidak dilakukan Cabang maksila (V2) Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Cabang mandibula Tidak dilakukan
(V3)
VI. Abdusen
(+) Gerakan bola mata ke (+)
lateral
VII. Fasial
(+) Mengangkat alis (+)
(+) Kerutan dahi (+)
(+) Menunjukkan gigi (+)
(+) Daya kecap lidah 2/3 (+)
anterior
VIII. Akustikus
9
(+) Tes garpu tala (+)
IX. Glossofaringeal
(+) Refleks muntah (+)
(+) Daya kecap lidah 1/3 (+)
posterior
X. Vagus
(+) Refleks muntah dan (+)
menelan
(-) Deviasi uvula (-)
(+) Pergerakan palatum (+)
XI. Assesorius
(+) Memalingkan kepala (+)
(+) Kekuatan bahu (+)
XII. Hipoglossus
(-) Tremor lidah (-)
(-) Deviasi lidah (-)
LEHER
10
Pembesaran (-) Kelenjar suprasternal Pembesaran (-)
11
2.6 Resume
Seorang pasien perempuan, usia 17 tahun datang ke Poli THT diantar orang
tuanya dikeluhkan ada rasa mengganjal pada tenggorokannya. Rasa mengganjal ini
dirasakan hilang timbul sudah ada sejak 5 tahun yang lalu dan keluhan ini terjadi 4-5
kali dalam setahun. Pasien juga mengeluhkan kalau ia merasakan sakit saat menelan
dan mengeluh demam, pusing berputar, serta batuk. Keluhan di hidung, sesak, tidur
saat mendengkur dan nyeri pada telinga disangkal. Pasien tidak pernah mengalami
mual, muntah, kejang maupun penurunan kesadaran. Pasien mengaku kalau keluhan
ini ia rasakan sejak 5 tahun tetapi baru karena kekambuhan semakin sering 2 bulan
yang lalu dan pergi ke klinik THT di Bandung tempat Pasien bekerja dan di
diagnosis Amandel dan harus di operasi. Orang tua pasien mengaku dalam 1 minggu
terakhir tidur anaknya terdengar mendengkur.
Dari pemeriksaan mulut dan orofaring ditemukan kelainan pada tonsilnya yaitu pada
tonsil kanan terdapat hipertrofi tonsil (T4), hiperemis, muara kripti melebar disertai
detritus. Pada tonsil kiri didapatkan hipertrofi tonsil (T3), hiperemis, muara kripti
melebar disertai detritus. Pada pemeriksaan Faring: Hiperemis.
12
2.10 Terapi
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Tonsil palatina merupakan suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan
panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam
jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsil. 2
14
Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial bentuknya bervariasi dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Di
dalam kriptus ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering disebut kapsul tonsil,
yang tidak melekat erat pada otot faring.1,3
Vaskularisasi
15
Gambar 2. Pendarahan tonsil5
Fungsi Tonsil4,5 :
1. Membentuk zat zat anti yang terbentuk di dalam sel plasma saat reaksi seluler.
2. Menangkap dan menghancurkan benda-benda asing maupun mikroorganisme yang
masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut.
Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.1,2
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak
jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat
membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila
tonsil ditekan keluar detritus.3
16
3.3 Etiologi
Bakteri penyebab tonsilitis kronis sama halnya dengan tonsilitis akut yaitu kuman
Streptokokus beta hemolitikus grup A, Pneumokokus, Streptokokus viridian dan
Streptokokus piogenes, Stafilokokus, Hemophilus influenza, namun terkadang ditemukan
bakteri golongan gram negatif. 2
3.5 Patolofisiologi
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripti tonsil .Karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan
mengerut sehingga kripti akan melebar, ruang antara kelompok melebar yang akan diisi
oleh detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang
menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses ini meluas hingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.
Pada anak-anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.2
17
Gambar 3. Hipertrofi tonsil 5
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang
berulang-ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan
(odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan
bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.1,2,4
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang
mungkin tampak, yakni :4,5
18
Garis median Garis paramedian
T1 T4
T3
T0 : Post tonsilektomi
T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian (pilar
posterior)
19
3.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus
menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, kadang-kadang ada
demam dan nyeri pada leher.2,3
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta
mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta
tersebut. Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau
dempul amat banyak terlihat pada kripta, tonsil membesar denganpermukaan tidak
rata, kriptus melebar, hipertrofi, hiperemis pada dinding faring2,3
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus
tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan berbagai
derajat keganasan, seperti Streptokokus beta hemolitikus grup A, Streptokokus
viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.2,3
3.8 Komplikasi
20
b. Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari
penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan
penjalaran dari infeksi gigi.2
c. Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau pembuluh
darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe
faringeal, os mastoid dan os petrosus.2
d. Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia
3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.3
e. Krista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini
menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan,
biasanya kecil dan multipel.2
21
3.9 Penatalaksanaan2,3
a. Indikasi Tonsilektomi6
Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi
tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut6
Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia
berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.
Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan
drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.
2. Indikasi relatif6
Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak
diberikan pengobatan medik yang adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap
pengobatan medik
22
Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap -
laktamase.
b. Teknik Operasi3
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah
sampai sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki
kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per
sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti
nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi.
Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik
tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi . Beberapa teknik tonsilektomi diantaranya :
i. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil
beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak
seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.3
ii. Teknik Diseksi3
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode
pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi.
Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial,
sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife
dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
iii. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi
untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi
elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang
digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz.
23
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi
saraf atau jantung.3
iv. Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan. Densitas
baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian
jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan
yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.3
v. Skapel harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.3
c. Komplikasi Tonsilektomi2,3
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal
maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan
komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
1. Komplikasi Bedah
a. Perdarahan2,3
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan
dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian
akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien
24
kembali karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi
darah.
b. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali
oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.2
c. Komplikasi lain
Demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi,
otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi
dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.2,3
25
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Pada kasus ini diperoleh informasi yang dapat mendukung diagnosis baik dari
anamnesa maupun pemeriksaan fisik yang dilakukan. seorang pasien perempuan, usia 17
tahun dengan diagnosis Tonsillitis Kronis. Dari hasil anamnesa didapatkan: Pasien datang ke
Poli THT diantar orang tuanya dikeluhkan ada rasa mengganjal pada tenggorokannya. Rasa
mengganjal ini dirasakan hilang timbul sudah ada sejak 5 tahun yang lalu dan keluhan ini
terjadi 4-5 kali dalam setahun. Pasien juga mengeluhkan kalau ia merasakan sakit saat
menelan dan mengeluh demam, pusing berputar, serta batuk. Pasien mengaku nafsu makan
jadi berkurang sejak sakit. Dalam 5 tahun keluhan dirasakan hilang timbul, namun pada 2
bulan terakhir kekambuhan semakin sering. Keluhan di hidung, sesak dan nyeri pada telinga
disangkal. Pasien pernah mengalami penyakit yang sama 5 tahun yang lalu tetapi sembuh
dengan pengobatan. Pasien tidak pernah mengalami mual, muntah, kejang maupun penurunan
kesadaran. Orang tua pasien tidak ada yang mengeluhkan gejala yang sama. Pasien mengaku
kalau keluhan ini ia rasakan sejak 5 tahun tetapi baru karena kekambuhan semakin sering 2
bulan yang lalu dan pergi ke klinik THT di Bandung tempat pasien bekerja dan di diagnosis
Amandel dan harus di operasi. Orang tua pasien mengaku dalam 1 minggu terakhir tidur
anaknya terdengar mendengkur.
Dari pemeriksaan mulut dan orofaring ditemukan kelainan pada tonsilnya yaitu pada
tonsil kanan terdapat hipertrofi tonsil (T4), hiperemis, muara kripti melebar disertai detritus.
Pada tonsil kiri didapatkan hipertrofi tonsil (T3), hiperemis, muara kripti melebar disertai
detritus. Pada pemeriksaan Faring: Hiperemis. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik,
pasien didiagnosis kerja dengan Tonsilitis Kronis.
Berdasarkan data pasien diatas dapat mengarahkan diagnosis yaitu tonsilitis kronis.
Diagnosis kronis dapat dilihat dari hasil anamnesis dimana orang tua pasien mengaku pernah
26
menderita keluhan serupa keluhan serupa 5 tahun yang lalu dan keluhan ini semakin dirasakan
3-5 kali sehingga untuk diagnosis banding tonsilitis akut dapat disingkirkan. Dikatakan Kronis
karena berdasarkan teori mengatakan bahwa dikatakan tonsilitis kronis itu dikarenakan adanya
peradangan berulang yang terjadi pada tonsil akan menyebabkan epitel mukosa dan jaringan
limfoid terkikis yang selanjutnya pada proses penyembuhan akan membentuk jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga muara kripti akan melebar. Hal ini sesuai dengan
hasil pemeriksaan yang terdapat pada pasien ini..
Dari data pasien diatas dapat ditemukan bahwa faktor predisposisi terjadinya Tonsilitis
kronis pada pasien ini adalah 2 bulan yang lalu pasien pernah berobat ke klinik THT tetapi
setelah itu keluhan semakin di rasakan pasien. Hal ini berdasarkan teori mengatakan bahwa
salah satu faktor predisposisinya ialah pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien ini adalah pemeriksaan mikrobiologi kultur
dan uji resistensi kuman dari sedian apus tonsil serta pemeriksaan ASTO. Pemeriksaan
mikrobiologi bertujuan untuk menentukan bakteri penyebabnya dan antibiotik yang sensitif.
Pemeriksaan ASTO untuk mengukur titer anti Streptolisin O. Bila kadar Anti Streptolisin O
lebih dari 300 maka telah terjadi infeksi Streptococcus B-hemoliticus grup A.
Untuk terapi medikamentosa pada pasien ini dapat diberikan Antibiotik Clanexi 3x625
mg tab, Ibuprofen 3x400 mg tab, dan metilprednison 3x4 mg. Pemberian antibiotik bertujuan
untuk mengobati tonsillitis. Ibuprofen bertujuan untuk meredakan demam dan pusing yang
dialami pasien dan metilprdnisolone untuk peradangan yang dialami pasien serta
metilpredisolone untuk peradangan yang dialami pasien.
27
28
DAFTAR PUSTAKA
29