Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN KASUS

Disfonia e.c paralisis pita suara

DISUSUN OLEH :
Muhammad reza M 1102016136

PEMBIMBING :
dr. Dian Nurul Al Amini, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU THT

RUMAH SAKIT YARSI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

YARSI PERIODE 2022

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 44 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan swasta
Status : Menikah
Alamat : Jakarta
Tanggal pemeriksaan : Selasa, 2 Agustus
2022

II. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Poli THT RSU YARSI pukul 11.30 WIB.

Keluhan Utama:
Pasien mengeluh suara serak sejak 2 tahun SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke Poli Klinik THT RS Yarsi dengan keluhan suara serak yang
dirasakn sejak 2 tahun SMRS yang mana di mulai ketika pasien sedang kepanasan
dan langsung meminum air dingin semenjak itu pasien merasakan hal tersebut
keadaan ini di ikuti dengan rasa kebas pada tagan sebelah kanan dan semakin parah
dalam beberapa bulan ini dan sekarang sudah mulai di rasakan di sebelah kiri.
Pasien merasakan susah dalam menelan dan sering tersedak ketika minum maupun
makan dan merasakan bagian tenggorokan belakang di rasa bang=yang kendir
yang terkumpul. Hal ini mulai di rasa menganggu oleh pasienyang mana
menganggu tidur dari pasien. Selain ini pasien tidak merasakan nyeri pada
tenggorokan maupun demam di sangkal oleh pasien. Pasien saat ini dalam
pengobatan TB paru pasien rutin dan teratur mengkonsumsi obat. Pasien dapat

2
mengucapkan kata dengan sempurna tanpa ada kesulitan dalam melafalkan kata.

3
Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat penyakit serupa : Disangkal
 Riwayat asma : Disangkal
 Riwayat alergi : Disangkal
 Riwayat operasi : Disangkal
 Riwayat mimisan : Disangkal
 Riwayat diabetes : Disangkal
 Riwayat hipertensi : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


 Riwayat kanker : Disangkal
 Riwayat diabetes : Tidak diketahui
 Riwayat hipertensi : Disangkal
 Riwayat alergi : Tidak diketahui

Riwayat Kebiasaan:
 Riwayat merokok : Disangkal
 Riwayat minum alkohol : Disangkal
 Riwayat narkoba : Disangkal

Riwayat Pengobatan:
Sebelumnya pasien sempat ke dokter umum dan di diagnosis dengan radang dan di
berikan antibiotik. Pasien juga dalam pengobatan TB paru berjalan 5 bulan.
III. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS
GENERALIS

 Keadaan umum : Tampak sakit ringan


 Kesadaran : Composmentis
 Tanda vital :
o Tekanan Darah : 119/90 mmHg
o Nadi : 70 x/menit
o Pernafasan : 22 x/menit
o Suhu : 36,6°C
o SpO2 : 99 % on room air

4
STATUS LOKALIS
 Pemeriksaan Telinga

Bagian Auricula Dextra Sinistra

Auricula Bentuk normal, Bentuk normal


nyeri tarik (-) nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-) nyeri tragus (-)
Pre auricular Bengkak (-) Bengkak (-)
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
fistula (-) fistula (-)

Retro auricular Bengkak (-) Bengkak (-)


Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Mastoid Bengkak (-) Bengkak (-)


Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

MAE Serumen (-) Serumen (-)


Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sekret (-) Sekret (-)

Membran timpani Intak Intak


Putih mengkilat Putih mengkilat
Refleks cahaya (+) Refleks cahaya (+)
 Pemeriksaan Hidung

Hidung Luar: Kanan Kiri


Bentuk Normal Normal
Sinus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Inflamasi/tumor (-) (-)
Rhinoskopi Anterior Kanan Kiri

Kavum Nasi sempit sempit

5
Sekret (-) (-)

Mukosa hiperemis (-) hiperemis (-)


edema (-) edema (-)
basah (-) basah (-)
pucat (-) pucat (-)
Konka Media eutrofi (+) eutrofi (+)

Konka Inferior
eutrofi (+) livid eutrofi (+)
livid
KOM terbuka terbuka

Septum deviasi minimal deviasi

Massa (-) pada nasofaring

 Pemeriksaan Mulut dan Tenggorokan

Mulut Mukosa mulut hiperemis (-)


Gigi Gigi geligi lengkap, caries (-)
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-), deviasi (-)
Uvula hiperemis (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-).

Tonsila palatine Kanan Kiri


T1, kripta melebar (-), T1, kripta melebar (-), detritus
detritus (-), hiperemis (-) (-), hiperemis (-)
Orofaring Mukosa hiperemis (-), granulasi (-), post nasal drop (-)

Laring Tidak dilakukan pemeriksaan

6
 Pemeriksaan Saraf

NI Anosmia (-)
N II, III Penurunan tajam pengelihatan (-), ptosis (-)
N IV, VI Diplopia (-),
NV Neuralgia trigeminal (-)
N IX Disfagia ringan (-), deviasi uvula (-), hilang sensasi (-)
NX Afoni (-), disfoni (+), perubahan pita suara (+), disfagia (-),
nyeri pada faring dan laring (-)
 Pemeriksaan Leher

Bentuk Trakea berada ditengah

Palpasi Massa (-), nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-)

SISTEM MOTORIK Kanan Kiri


Trofi : Normotrofi Normotrofi
Tonus : Normotonus Normotonus
Kekuatan Otot :
ESD : 55555/55555 ESS : 55555/55555
EID : 55555/55555 EIS : 55555/55555
Gerakan Spontan Abnormal
 Tremor :-
 Khorea :-
 Ballismus :-
 Mioklonus :-
 Ateotsis :-
 Distonia :-
 Spasme :-
 Tic :-
 Dan lain-lain :-

7
REFLEKS
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
 Biceps : ++ ++
 Triceps : ++ ++
 Radioperiost : ++ ++
 APR : ++ ++
 KPR : ++ ++
 Strumple : ++ ++

Refleks Patologis Kanan Kiri


 Babinski : - +
 Oppenheim : - -
 Chaddock : - -
 Gordon : - -
 Schaeffer : - -
 Hoffman – Tromner : - +
 Klonus Lutut : - -
 Klonus Kaki : - -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


LARINGOSKOPI HASIL
VALEKULA Massa-, hipersalivasi-
EPIGLOTIS Massa-, hiperemis-
PLIKA VOKALIS Massa-, sisi kanan tidak ikut bergerak saat fonasi, massa-
PLIKA Massa -, Sisi kanan tidak ikut bergerak saat fonasi
VENTRIKULARIS
RIMA GLOTIS Terbuka.
ARITENOID Massa –, hiperemis-
SINUS PIRIFORMIS Standing secretion+ sisi kanan, massa -
Gambar

8
V. RESUME
Ny . S, 44 th Pasien datang ke Poli Klinik THT RS Yarsi dengan keluhan suara serak
yang dirasakn sejak 2 tahun SMRS di ikuti dengan rasa kebas pada tagan sebelah kanan dan
semakin parah dalam beberapa bulan ini dan sekarang sudah mulai di rasakan di sebelah
kiri. Pasien merasakan susah dalam menelan dan sering tersedak ketika minum maupun
makan dan merasakan bagian tenggorokan belakang di rasa banyak kendir yang terkumpul.
Hal ini mulai di rasa menganggu oleh pasienyang mana menganggu tidur dari pasien. Pasien
saat ini dalam pengobatan TB paru pasien rutin dan teratur mengkonsumsi obat. Pasien
menyangkal memiliki riwayat penyakit yang sama seperti yang di rasakan sekarang. Dan
tidak memiliki riwayat merokok. Pemeriksaan fisik keadaan umum baik, composmentis,
tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan telinga dalam batas normal, pada
pemeriksaan rhinoskopi anterior kavum nasi sempit, deviasi septum, konka inferior eutrofi
dan livid, konka media eutrofi. Pemeriksaan mulut dan orofaring dalam batas normal, tidak
ada kelaian. Pemeriksaan penunjang pada saat pemeriksaan laringoskopi di dapatkan pada
plica vokalis dan ventrikularis kana tidak ikut bergerak pada saat fonasi .

9
VI. DIAGNOSIS BANDING
1. Disfagia ec polip pita suara
2. Disfonia ec motorik larinhg

VII. DIAGNOSIS KERJA


Disfonia ec paralisis pita sura

VIII. RENCANA PEMERIKSAAN


 Kelenjar tiroid
 Ro bassis cranii
 arteriografi

IX. RENCANA TATALAKSANA


 Non-Medikamentosa: terapi bicara
X. EDUKASI
1. Edukasi mengenai kemungkinan diagnosis penyakit, rencana pemeriksaan,
tindakan, dan pengobatan.

XII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

10
11
BAB I
PENDAHULUAN

Disfonia adalah istilah umum untuk setiap gangguan suara yang


disebabkan kelainan organik atau fungsional organ-organ fonasi.3 Organ fonasi
yang paling sering terganggu sehingga menyebabkan disfonia adalah laring.
Berdasarkan definisi ini, disfonia bukan entitas penyakit melainkan gejala
penyakit.
Produksi suara adalah proses perilaku rumit yang melibatkan berbagai
sistem organ yaitu sistem respirasi, fonasi, dan artikulasi, serta dipengaruhi oleh
teknik vokal dan kondisi emosional seseorang. Produksi suara merefleksikan
ketiga sistem tersebut yang bekerja secara terhubung satu sama lain.
Keluhan yang umum dikeluhkan oleh pasien dalam praktik klinis
sehubungan dengan disfonia antara lain suara parau (roughness), suara lemah
(hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan susah keluar (spastik), suara
terdiri dari beberapa nada (diploofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia), atau
ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas tertentu.
Tidak ada data epidemiologis yang pasti mengenai gangguan suara.
Terdapat kesulitan untuk menbuat definisi disfonia fungsional yang dapat diterima
secara umum. Di Amerika Serikat, dibuat perkiraan bahwa jumlah penderita
disfonia berkisar antara 1,2-23,4% dari seluruh populasi.
Penyebab disfonia bervariasi, antara lain proses radang, neoplasma,
paralisis otot laring, sikatriks, atau kelainan sendi. Selain penyebab organik,
disfonia juga bisa disebabkan penyebab fungsional yang sering berkaitan dengan
kondisi psikologis pasien. Disfonia dapat menjadi pertanda awal dari proses
penyakit yang serius pada laring, khususnya bila prosesnya progresif kronik pada
pasien usia tua terlebih jika ditambah riwayat merokok. Karsinoma sel skuamosa
adalah penyebab utama keganasan pada laring.
Anamnesa mendetail untuk mengetahui kualitas vokal pasien yang
terganggu, onset, dan progresifitas penyakit diperlukan untuk diagnosis. Riwayat
pekerjaan sangat penting mengingat kemungkinan besar pasien memiliki profesi
yang berkaitan dengan penggunaan suara seperti penyanyi atau guru. Riwayat
penyakit sebelumnya dan pemakaian obat-obatan juga amatlah penting untuk

12
diselidiki. Pemakaian laringoskop direk, indirek, dan stroboskopi diperlukan
untuk menilai gangguan baik secara struktural dan fungsional.
Terapi berfokus pada konservasi suara dan edukasi teknik penggunaan
suara yang benar pada pasien. Medikamentosa digunakan secara konservatif, dan
diutamakan pada pasien yang memang profesinya menuntut penggunaan suara.
Intervensi bedah bergantung pada jenis penyebab disfonia, dan perlu didahului
terapi suara untuk mencegah komplikasi trauma sekunder paska operasi. Tindakan
pencegahan disfonia yang umum adalah anjuran untuk banyak minum dengan
tujuan memberi hidrasi laring dan mengatasi penyakit GERD atau laringotrakeal
refluks.

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI LARING

Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong. Laring menghubungkan
laringopharynx superior dan inferior dengan trakea yang terletak pada garis
tengah anterior leher pada vertebra cervicalis 4-6. Laring berbentuk piramida
triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroid di sebelah atas dan kartilago
krikoid di sebelah bawahnya.

Tulang hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini
merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamen serta akan mengalami
osifikasi sempurna pada usia 2 tahun. Laring dibentuk oleh beberapa kartilago,
ligamentum dan otot. Tulang hyoid terdiri dari body, dua tanduk yang besar serta
dua tanduk kecil. Tulang ini tidak berartikulasi dengan tulang lainnya, berbentuk
U dan bergantung pada ujung proses styloid dari tulang temporal oleh ligamen
stylohyoid. Tulang hyoid terhubung ke kartilagi tiroid dan didukung oleh otot-otot
suprahyoid dan infrahyoid dan otot konstriktor faring tengah. Tulang hyoid
mendukung akar lidah.

Laring tersusun atas 9 kartilago. Lokasi laring dapat ditentukan dengan


inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago tiroid (merupakan kartilago
terbesar yang berbentuk seperti kapal). Pada pria dewasa bagian depannya lebih
menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adam’s
apple atau jakun. Kartilago yang terdapat pada laring yaitu: Kartilago Tiroidea (1
buah), Kartilago Krikoidea (1 buah), Kartilago Aritenoidea (2 buah), Kartilago
Kornikulata Santorini (2 buah), Kartilago Kuneiforme Wrisberg (2 buah),
Kartilago Epiglotis (1 buah).

Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang


berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior
kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan
dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum

34
laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan
kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus,
infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid.

Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut :

1. Supraglotis (vestibulum superior)  yaitu ruangan diantara permukaan


atas pita suara palsu dan inlet laring.

2. Glotis (pars media)  yaitu ruangan yang terletak antara pita suara
palsu dengan pita suara sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel
laring Morgagni.

3. Infraglotis (pars inferior)  yaitu ruangan diantara pita suara sejati


dengan tepi bawah kartilago krikoidea.

2.1.1 Kartilago

A. Kartilago Tiroidea
Kartilago tiroid adalah yang terbesar dari sembilan kartilago yang
membentuk kerangka laring, suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding
anterior dan lateral laring. Terdiri dari 2 (dua) sayap (ala tiroidea) berbentuk
seperti perisai yang terbuka di belakangnya tetapi bersatu di bagian depan dan
membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut Adam’s apple. Sudut ini
pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120 derajat.

Pada bagian atas terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau incisura
thyroidea, di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan dengan
tulang hyoid oleh ligamentum thyroidea lateralis. Pada bagian bawah membentuk
kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan posterolateral dari kartilago
krikoidea dan membentuk artikulasio krikoidea. Pada bagian dalam perisai
kartilago thyroidea terdapat bagian dalam laring, yaitu : plika vokalis, ventrikel,
otot-otot dan ligament, kartilago aritenoidea, kuneiforme serta kornikulata.

Terdapat dua lamina yang membentuk lateral utama yang menutupi kedua
sisi trakea.  Tepi posterior dari lamina setiap berartikulasi dengan tulang rawan
krikoid inferior pada sendi yang disebut sendi krikotiroid. Gerakan tulang rawan
pada sendi ini menghasilkan perubahan dalam ketegangan di lipatan vokal , yang

34
pada gilirannya menghasilkan variasi suara . Kartilago tiroidea membentuk
sebagian besar dinding anterior laring, dan berfungsi untuk melindungi plika
vokalis ("pita suara"), yang terletak tepat di belakangnya.

Gambar 1. Kartilago tiroidea

34
B. Kartilago Krikoidea

Terletak pada bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan kartilago


hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alsanya terdapat
di belakang. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan
kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui
artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea
melalui ligamentum krikotiroidea.

Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan trakeostomi emergensi atau


krikotomi atau koniotomi pada konus elastikus. Kartilago krikoidea pada dewasa
terletak setinggi vertebra servikalis VI – VII dan pada anak-anak setinggi vertebra
servikalis III – IV. Kartilago ini mengalami osifikasi setelah kartilago tiroidea.
Fungsi tulang rawan krikoid adalah untuk memberikan lampiran untuk
berbagai otot , tulang rawan, dan ligamen yang terlibat dalam membuka dan
menutup saluran napas dan dalam produksi suara.

C. Kartilago Aritenoidea

Merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang kartilago berbentuk


piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago krikoidea, sehingga
memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan rotasi. Dasar dari
piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis yang merupakan
tempat melekatnya m. krikoaritenoidea yang terletak di posterolateral. Pada
bagian anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya ujung posterior pita
suara. Pada tepi posterosuperior dari konus elastikus melekat ke prosesus vokalis.

Plika vokalis merupakan dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di
atas ligamentum vokal, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam
kartilago thyroidea bagian depan dan kartilago arytenoidea bagian belakang. Plika
vokalis palsu memiliki dua lipatan membrana mukosa tepat di atas plica vokalis
sejati. Bagian ini tidak terlibat di dalam produksi suara. Ligamentum vokalis
terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan berinsersi pada garis tengah kartilago
tiroidea membentuk tiga per lima bagaian membranosa atau vibratorius pada pita
suara. Tepi dan permukaan atas dari pita suara ini disebut glotis.

34
Gambar 2. Anatomi pita suara

Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu
sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis
dari aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat menyebabkan terbuka dan
tertutupnya glotis.

Permukaan antero-lateral agak cembung dan kasar. Di atasnya, dekat puncak


tulang rawan, adalah elevasi bulat (colliculus) dari mana punggungan (crista
arcuata) kurva pada mundur pertama dan kemudian ke bawah dan maju ke proses
vokal.  Permukaan medial sempit, halus, dan diratakan, ditutupi oleh selaput
lendir, dan membentuk batas lateral bagian intercartilaginous dari glottidis Rima.
Fungsinya yaitu membuat plika vokalis menjadi tegang atau santai.

D. Kartilago Epiglotis

Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding


anterior aditus laringeus. Tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh
ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas plika vokalis.
Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong
makanan ke sebelah menyebelah laring.

34
E. Kartilago Kornikulata

Merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago Santorini dan


merupakan kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika ariepiglotika.

Gambar 4. Anatomi laring yang tersusun dari kartilago, tulang,dan ligamen.

Gambar 3. Kartilago yang menyusun laring.

34
1

2
2.1

2
2.1

2.1.2 Ligamentum

A. Membran Tirohyoid
Membran ekstrinsik yang menghubungkan kartilago tiroidea pada tulang
hyoid, sehingga memperkuat laring. Dipisahkan dari permukaan posterior tubuh
hyoid oleh bursa. Tebal bagian median disebut ligamentum tirohyoid medial dan
bagian lateral disebut ligamen tirohyoid lateral. Ligamen lateral yang
menghubungkan ujung tanduk superior dari kartilago tiroid ke ujung tanduk
yang lebih besar dari tulang hyoid.

B. Ligamentum krikotiroid dan krikotrakeal


Ligamen ini menghubungkan lengkungan kartilago krikoid dengan kartilago
tiroid dan cincin trakea. Ligamentum krikotiroid yang berserat pada bagian
medial menghasilkan soft spot inferior pada kartilago tiroid. Pada titik ini, jalan
napas yang paling dekat dengan kulit dan paling dapat diakses.

C. Ligamentum vokal, plika vokalis dan Konus Elastikus


Ligamentum vokal elastis memanjang dari persimpangan dari lamina
kartilago tiroid anterior untuk proses vokal dari posterior tulang rawan aritenoid.
Ligamen vokal membentuk kerangka plika vokalis dan bagian tepi bebas dari
elasticus konus (ligamen krikotiroid), yang merupakan membran elastis yang
memanjang superior dari kartilago krikoid pada ligamentum vokal.
Catatan: krikotiroid ligamen atau membran = ligamentum krikovokal = 1 / 2
konus elastikus

34
D. Membran quadrangular dan ligamentum vestibular
Merupakan lembaran tipis jaringan ikat submukosa. Memanjang dari
kartilago aritenoid ke kartilago epiglottis. Ligamentum krikotiroid dan membran
quadrangularis, meskipun terpisah oleh interval antara ligamentum vokal dan
vestibular disebut sebagai membran fibroelastik laring.

34
E. Ligamentum epiglotis
Epiglotis melekat pada tulang hyoid oleh ligamentum hyoepiglottic. Bagian
posterior lidah oleh lipatan glossoepiglottic median. Untuk sisi faring oleh
lipatan glossoepiglottic lateral. Untuk kartilago tiroid oleh ligamentum
thyroepiglottic. Selaput lendir yang menutupi epiglottis dipantulkan ke bagian
posterior lidah sebagai salah satu lipatan medial dan dua glossoepiglottic
lateral. Antara lipatan terdapat bagian yang rendah disebut valleculae epiglottic.

Gambar 5. Ligamentum dan membran yang menyokong laring.

34
2.1.3

1.1

1.2

3
Gambar 6. Ligamentum dan membran yang menyokong laring.
3.1

3.2

Otot

Otot-otot pada laring terbagi menjadi dua kelompok yang memiliki fungsi
berbeda. Yang pertama yaitu otot ekstrinsik. Otot ini memiliki fungsi untuk
menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelompok otot ini
menggerakkan laring secara keseluruhan.

Otot ini terdiri dari :

1. Otot-otot suprahioid /
otot-otot elevator laring, yaitu :

 M. Stilohioideus

 M. Milohioideus

 M. Geniohioideus

 M. Digastrikus

 M. Genioglosus

 M. Hioglosus
Gambar 7. Otot-otot ekstrinsik

34
2. Otot-otot infrahioid / otot-otot depresor laring, yaitu :

 M. Omohioideus

 M. Sternokleidomastoideus

 M. Tirohioideus

Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2 dan C3


dan penting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara (fonasi).
Muskulus konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan
melekat pada linea oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting pada proses
deglutisi.

Yang kedua yaitu otot intrinsik. Otot ini menghubungkan kartilago satu
dengan yang lainnya. Berfungsi untuk menggerakkan struktur yang ada di dalam
laring terutama untuk membentuk suara dan bernafas. Otot-otot pada kelompok
ini berpasangan kecuali m. interaritenoideus yang serabutnya berjalan
transversal dan oblik. Fungsi otot ini dalam proses pembentukkan suara, proses
menelan dan bernafas. Bila m. interaritenoideus berkontraksi, maka otot ini akan
bersatu di garis tengah sehingga menyebabkan adduksi pita suara.

Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah :

1. Otot-otot adduktor  berfungsi untuk menutup pita suara

 M. Interaritenoideus transversal dan oblik

 M. Krikotiroideus

 M. Krikotiroideus lateral

2. Otot-otot abduktor  berfungsi untuk membuka pita suara

 M. Krikoaritenoideus posterior

3. Otot-otot tensor :

 Tensor Internus : M. Tiroaritenoideus dan M. Vokalis

34
 Tensor Eksternus : M. Krikotiroideus

Berfungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, m. tensor internus
kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara melengkung ke lateral
mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.

34
Gambar 8. Otot-otot intrinsik pada laring.
4
4.1

4.2

4.3

34
2.1.4 Persendian

 Artikulasio Krikotiroidea

Merupakan sendi antara kornu inferior kartilago tiroidea dengan bagian


posterior kartilago krikoidea. Sendi ini diperkuat oleh 3 (tiga) ligamentum,
yaitu : ligamentum krikotiroidea anterior, posterior, dan inferior. Sendi ini
berfungsi untuk pergerakan rotasi pada bidang tiroidea, oleh karena itu
kerusakan atau fiksasi sendi ini akan mengurangi efek m. krikotiroidea yaitu
untuk menegangkan pita suara
 Artikulasio Krikoaritenoidea

Merupakan persendian antara fasies artikulasio krikoaritenoidea dengan tepi


posterior cincin krikoidea. Letaknya di sebelah kraniomedial artikulasio
krikotiroidea dan mempunyai fasies artikulasio yang mirip dengan kulit silinder,
yang sumbunya mengarah dari mediokraniodorsal ke laterokaudoventral serta
menyebabkan gerakan menggeser yang sama arahnya dengan sumbu tersebut.
Pergerakan sendi tersebut penting dalam perubahan suara dari nada rendah
menjadi nada tinggi.

2.1.5 Persarafan

Laring dipersarafi oleh cabang saraf vagus yaitu saraf Laringeal Superior
dan saraf Laringeal Inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik
dan sensorik. Nervus laringeal superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga
memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Nervus laringeal
inferior merupakan lanjutan dari saraf rekuren setelah bercabang. Nervus
rekuren merupakan cabang dari n.vagus. (Nn. Laringeal Rekuren) kiri dan

kanan.

1. Nn. Laringeal Superior.


Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke
depan dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan
bercabang dua, yaitu : Cabang Interna  bersifat sensoris, mempersarafi
vallecula, epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita

34
suara sejati. Cabang Eksterna  bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid
dan m. Konstriktor inferior.

2. Nn. Laringeal Inferior (N. Laringeus Rekuren).


Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat
di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeal yang kiri mempunyai
perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu.

Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan


berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus,
selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan
memberikan persarafan : sensoris  mempersarafi daerah subglotis dan bagian
atas trakea, Motoris  mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea

Gambar 9. Persarafan Laring


2.1.6 Vaskularisasi

Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior


sebagai A. Laringeal Superior dan Inferior.

1. Arteri Laringeal Superior

34
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeal Superior menembus
membrana thyrohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus

pyriformis. 4

2. Arteri Laringeal Inferior

Berjalan bersama N. Laringeal Inferior masuk ke dalam laring melalui area


Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus
Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeal Superior dan
memperdarahi otot-otot dan mukosa laring

Darah vena dialirkan melalui V. Laringeal Superior dan Inferior ke V.


Tiroidea Superior dan Inferior yang kemudian akan bersatu pada V. Jugularis
Interna.

Gambar 10. Vaskularisasi laring

2.1.7 Sistem Limfatik

Laring mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu :

1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul


membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe

34
cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan middle
jugular node.

2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe
trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.

3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan


sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase
karsinoma laring dan menentukan terapinya.

2.1.8 Struktur Laring


1. Aditus Laringeus

Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis, lateral
oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi atas
m. aritenoideus.

2. Rima Vestibuli  Merupakan celah antara pita suara palsu.

3. Rima glottis  Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di

belakang antara prosesus vokalis dan basis kartilago aritenoidea.

4. Vallecula  Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan

basis lidah, dibentuk oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral.

5. Plika Ariepiglotika  Dibentuk oleh tepi atas ligamentum


kuadringulare yang berjalan dari kartilago epiglotika ke kartilago aritenoidea dan
kartilago kornikulata.

6. Sinus Pyriformis (Hipofaring)  Terletak antara plika ariepiglotika

dan permukaan dalam kartilago tiroidea


7. Incisura Interaritenoidea  Suatu lekukan atau takik diantara
tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.

34
8. Vestibulum Laring  Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis,
membrana kuadringularis, kartilago aritenoid, permukaan atas proc. vokalis

kartilago aritenoidea dan m.interaritenoidea.

9. Plika Ventrikularis (pita suara palsu)  pita suara palsu yang


bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk menutup glottis
dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari selaput lendir dengan
jaringan ikat tipis di tengahnya. Pada saat kelahiran sampai 6 bulan pertama
kehidupan pita suara palsu dilapisi oleh sel kolumnar bersilia, yang seiring
pertumbuhan akan muncul sedikit bagian yang akan dilapisi sel skuamosa
bertingkat.

10. Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)  ruangan antara pita


suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel terdapat suatu
divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan permukaan dalam
kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan beberapa kelenjar
seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara sejati, disebut appendiks

atau sakulus ventrikel laring.

11. Plika Vokalis (pita suara sejati)  Terdapat di bagian bawah laring.
Tiga per lima bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis dan celahnya disebut
intermembranous portion, dan dua per lima belakang dibentuk oleh prosesus
vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion.

Plika vokalis terlindungi oleh suatu lapisan tipis epitel squamous bertingkat,
berlainan dari lapisan epitel dari permukaan lain dari larynx dan trakea.
Dibawahnya terdapat lamina propria, yang dikenal sebagai Reinke’s space, adalah
suatu lapisan lembut yang terdiri dari protein termasuk elastin, kolagen dan
elemen ekstraseluler lainnya.9

2.2 FISIOLOGI LARING

Laring memiliki 3 fungsi utama yaitu fonasi, respiratori dan proteksi


disamping beberapa fungsi lainnya.

2.2.1 Fungsi fonasi

34
Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya
interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya
tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan
resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung.
Terdapat dua teori mengenai pembentukan suara yaitu :
Teori Myoelastik – Aerodinamik.
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung
menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan
memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan
plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari
proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat,
dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka.
Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara
otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang
pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus glotal. Setelah terjadi
pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis
akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis
melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran
udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding
celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi)
sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan
terulang kembali.

34
Gambar 12. Siklus glottal

Teori Neuromuskular.
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari
getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N.
Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang
dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis.
Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah
benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis
bilateral).

2.2.2 Fungsi respiratori


Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar
rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga
kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh
tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan

menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan

merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring


mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2

arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial


CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.

2.2.3 Fungsi proteksi


Laring berfungsi untuk mencegah adanya benda asing masuk ke dalam trakea
dengan adanya refleks dari otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis
tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya
rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika
ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeal

34
Superior sehingga sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke
depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini
mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis
lalu ke introitus esofagus.

2.2.4 Fungsi lainnya

Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat


berlangsungnya proses menelan, yaitu : pada waktu menelan faring bagian bawah
(M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus)
mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta
menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke
bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah
makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan
menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis. Epiglotis menjadi
lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga
makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan masuk ke
sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.

Fungsi sirkulasi  Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan


penurunan dan peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous
return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan
bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek
kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang
terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus
Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila
laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.

2.
2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Faktor penyebab suara serak sangat banyak (Tabel 1). Hilangnya suara secara
total dengan onset tiba-tiba disebut aphonia, yang lebih mungkin disebabkan oleh
kelainan neurologis atau psikogenik daripada lesi organik. Lesi dari pita suara

34
(vocal folds) lebih sering menghasilkan gejala vokal dengan onset bertahap, sering
dimulai sebentar-sebentar dan kemudian menjadi konstan dan kadang-kadang
memburuk seiring berjalannya waktu. Pasien mungkin mengalami kesulitan
memproyeksikan suara mereka karena adanya lesi pada pita suara atau
kelumpuhan yang mengganggu penutupan glotis. Pada pasien dengan
pemeriksaan laring yang normal, kesulitan meningkatkan intensitas suara
mungkin juga mencerminkan dorongan aliran pernapasan yang tidak memadai
karena penyakit utama pada paru-paru, gangguan neurologis, atau teknik yang
tidak sesuai. Produksi suara yang jelas membutuhkan koordinasi antara respirasi,
fonasi, dan artikulasi. Teknik yang tidak tepat (misalnya, berbicara sambil
menahan nafas atau dengan regangan otot yang berlebihan di daerah leher) dapat
mengakibatkan disfonia. Selain itu, gangguan pencernaan adalah penyebab umum
dari keluhan gangguan suara. Tanda laryngotracheal reflux yaitu suara serak yang
lebih buruk pada waktu bangun di pagi hari dan berhubungan dengan peningkatan
dahak, heartburn, dan seringnya membersihkan tenggorokan.1

Tabel 1. Singkatan untuk etiologi disfonia: VINDICATE


Vaskular (thoracic aneurysm)
Inflamasi
Neoplasma ( kanker laring dan kanker hilum kiri pada paru)
Degeneratif (amyotrophic lateral sclerosis)
Intoksikasi (merokok, alkohol)
Congenital (laryngeal web)
Alergi (angioedema)
Trauma dan operasi kelenjar tiroid
Endokrin (reidel’struma)

Gejala vokal (yaitu, kelelahan, penurunan artikulasi, atau hypernasality)


dapat merupakan indikasi dari gangguan neurologis. Secara umum, hypernasality
sering disebabkan oleh etiologi neurologis. Hypernasality iatrogenik dapat terjadi
setelah prosedur bedah yang menciptakan pembukaan antara rongga mulut dan
hidung atau mengganggu persarafan neurologis. Pola perkembangan gejala
mungkin menunjukkan peristiwa neurologis statis seperti sebagai kecelakaan
serebrovaskular, penurunan progresif seperti pada penyakit neuromuskular, atau

34
kesulitan intermiten, yang mungkin bisa konsisten dengan gangguan seperti
multiple sclerosis atau myasthenia gravis.
Ketidakseimbangan hormon mempengaruhi produksi vokal dengan
menyebabkan akumulasi cairan di lapisan superfisial dari lamina propria, yang
mengubah kemampuan getaran. Pasien dengan hipotiroidisme dapat hadir dengan
suara bernada rendah yang abnormal. Pasien wanita mungkin mengalami
gangguan vokal sementara ketika menjelang menstruasi, yang mungkin
berhubungan dengan beban cairan (fluid loading). Peningkatan massa
menyebabkan pita suara bergetar lebih lambat sehingga menghasilkan nada
rendah. Peningkatan penggunaan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) selama
menstruasi juga dapat mempengaruhi pasien untuk mengalami perdarahan akut
pita suara. Periode pertumbuhan pubertas mempengaruhi baik laki-laki dan
perempuan, sehingga tingkat lapangan produksi suara lebih rendah. Perubahan
hormonal yang dialami selama menopause juga dapat menghasilkan penurunan
dalam frekuensi dasar.1
Kondisi medis kronis juga dapat mempengaruhi suara. Pasien yang
mengalami penurunan kesehatan fisik akibat penyakit jantung atau penyakit
utama lainnya mungkin tidak memiliki dukungan paru yang cukup untuk
mempertahankan dan memproyeksikan suara mereka. Tergantung pada etiologi
yang mendasari, gejala mungkin dapat diperbaiki dengan latihan. Selain itu,
arthritis dapat mempengaruhi sendi krikoaritenoid, yang mengakibatkan rasa sakit
saat berbicara, suara serak, dan variasi nada (pitch) terbatas.
Saluran vokal membutuhkan pelumasan yang baik. Setiap agen yang
mengeringkan lapisan mukosa mungkin mengganggu produksi vokal yang
normal. Kekeringan ini akan menyebabkan sekret menjadi lebih kental, membuat
sekret menempel dan memberikan sensasi pada pasien untuk perlu membersihkan
tenggorokan. Beberapa obat dan zat dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir
saluran vokal.
Gangguan psikologis sering tercermin dalam suara dan mungkin menjadi
penyebab utama dari gangguan suara. Sebagai contoh, suara pasien depresi
biasanya berkurang dalam kenyaringan. Stres juga memainkan peranan penting.
Kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup sehari-hari dapat memicu atau
mengabadikan gangguan suara yang ada. Secara umum, stres tampaknya
memperburuk semua masalah tetapi seharusnya tidak akan overgeneralized

34
sebagai penyebab yang mendasari.

2.4 DIAGNOSIS

Evaluasi penilaian suara serak meliputi penilaian faktor anatomi, fisiologis,


dan perilaku yang mempengaruhi produksi vokal secara keseluruhan. Penilaian
dimulai dengan deskripsi dari suara, simtomatologi, dan riwayat medis dan sosial.
Visualisasi laring diperlukan untuk menentukan status dari pita suara. Secara
umum, pemeriksaan laring harus dilakukan setiap kali suara serak berlangsung
lama lebih dari 2 minggu6. Pada kasus-kasus khusus, prosedur diagnostik yang
lebih canggih dapat diindikasikan.
Kualitas vokal dapat dideskripsikan menggunakan berbagai istilah subjektif
termasuk serak, parau , keras, atau desah.. Namun, tidak ada dari seluruh istilah
ini merupakan diagnostik. Sebaliknya, tingkat keparahan disfonia dapat dinilai
dengan mengamati abnormalitas pada pitch, kenyaringan, atau fluktuasi dalam
kualitas vokal.1
2.4.1 ANAMNESIS

Evaluasi pasien dengan disfonia dimulai dengan anamnesa yang cermat.


Anamnesa yang rinci sangat membantu untuk menggambarkan secara spesifik
karakteristik suara dan faktor sosial dan medis yang berkontribusi. Hampir setiap
sistem tubuh dapat menyebabkan keluhan suara; karena itu, anamnesa harus
menyelidiki seluruh bidang. Persepsi pasien mengenai suara serak sebagai
perubahan dalam kualitas suara mungkin sama sekali berbeda dari pemahaman
dokter mengenai gejala tersebut. Minta pasien untuk menggambarkan perubahan
kualitas suara sespesifik mungkin, karena kualitas vokal mungkin menunjukkan
etiologi spesifik (Tabel 2)6. Pastikan onset, durasi, dan waktu perubahan suara,
serta apakah ada fluktuasi vokal dan kelelahan suara. Gejala akut lebih mungkin
terkait dengan penyalahgunaan vokal, infeksi atau inflamasi, atau cedera akut.

Tanyakan pasien tentang pola pengunaan suara dan permintaan vokal dalam
pekerjaan dan lingkungan. Pasien dapat menggunakan suara mereka cukup
berbeda di tempat kerja dibandingkan dengan ketika bersosialisasi atau berada di
rumah. Berbicara lebih dari kebisingan latar belakang yang berlangsung dalam
waktu lama, bekerja atau merawat anak-anak muda, bersorak di acara olahraga,

34
atau bernyanyi tanpa menggunakan teknik yang optimal dapat menyebabkan
gangguan suara hiperfungsional1.
Menanyakan informasi mengenai segala obat atau zat yang dapat
berkontribusi untuk pengeringan selaput lendir saluran vokal adalah penting. Zat-
zat ini termasuk antihistamin, diuretik, obat psikotropika, tembakau, produk yang
mengandung kafein (kopi, teh, soda, dan cokelat), alkohol, dan dosis tinggi
vitamin C. Selain itu, obat anti-inflamasi nonsteroidal (NSAID) seperti ibuprofen
atau aspirin dapat berkontribusi untuk terjadinya perdarahan pita suara karena
sifat antikoagulan dari agen ini1.
Semua pasien dengan suara serak yang menetap selama lebih dari dua
minggu yang tidak disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, memerlukan
evaluasi. Anamnesa dapat menghasilkan informasi penting untuk mempersempit
diagnosis banding. Setiap pasien dengan suara serak dan riwayat penggunaan
tembakau, diagnosis pertama yang perlu dipertimbangkan adalah kanker kepala
dan leher, karena suara serak sering menjadi satu-satunya gejala yang muncul7.
Tanyakan mengenai gejala lain yang menyertai seperti nyeri, sulit menelan,
batuk atau sesak napas, gejala gastroesophageal reflux, seperti rasa asam di mulut
di pagi hari; penyakit sinonasal yang berkaitan (rhinitis alergi atau sinusitis
kronis). Pasien juga harus ditanya tentang riwayat operasi di kepala dan leher
sebelumnya atau operasi lain yang membutuhkan intubasi7.
TABEL 2. Petunjuk klinis yang menunjukkan penyebab spesifik dari suara
serak

Kualitas vokal Kemungkinan penyebab

Desah Arthritis, disfonia


spasmodik atau fungsional,
masa pada pita suara, paralisis
pita suara

Ragu-ragu. Disfonia spasmodik


tercekik

Parau, serak, Parkinson disease


teredam, atau sengau

Serak memburuk Laryngopharyngeal


pada pagi hari reflux(LPR)

Serak memburuk Myasthenia gravis,


pada akhir hari (sore) penyalahgunaan vokal

34
Seperti klakson Sarkoidosis
(Honking)

Bernada rendah Hipotiroid,


laryngopharyngeal reflux,
leukoplakia, muscle tension
dysphonia, edema Reinke,
edema pita suara, paralisis pita
suara

Keras (raspy) Laryngopharyngeal reflux,


muscle tension dysphonia, lesi
pita suara

Scanning speech Multiple sclerosis


dan disartria

Lemah (volume Paralisis pita suara,


suara menurun) Parkinson disease

Suara Conversion aphonia


menghilang, tetapi
suara bisikan baik

Tegang, artikulasi Muscle tension dysphonia


dipaksakan

Tegang Laryngopharyngeal reflux,


muscle tension dysphonia,
disfonia spasmodik

Tebal, suara Akromegali


dalam dan berbicara
lamban

Kelelahan vokal Muscle tension


dysphonia, myasthenia gravis,
Parkinson disease,
penyalahgunaan vokal

2.4.2 Pemeriksaan Klinik

Pemeriksaan klinik pada pasien dengan disfonia meliputi pemeriksaan umum


(status generalisata) dan pemeriksaan THT (Telinga, Hidung, dan Tenggorok).
Pemeriksaan fisik dilakukan secara teliti dengan perhatian khusus pada bagian
kepala dan leher, dilanjutkan dengan penilaian ketajaman pendengaran, mukosa
saluran napas atas, mobilitas lidah dan fungsi saraf kranial. Jika kecurigaan klinis
tinggi, pasien juga harus diperiksa untuk tanda-tanda penyakit sistemik seperti
hipotiroidisme, atau disfungsi neurologis, seperti tremor, penyakit Parkinson atau

34
multiple sclerosis7,8.

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang

A. Visualisasi laring

Visualisasi laring memungkinkan penilaian pita suara dan melihat apakah


terdapat lesi, atau eritema, atau edema mukosa, serta gerakan abnormal yang
mungkin menunjukkan masalah sistemik yang mendasari.
Laringoskopi tidak langsung (indirek). Visualisasi laring dapat dilakukan
melalui pemeriksaan laringoskopi tidak langsung dengan menggunakan kaca
laring.

Gambar 13. Laringoskopi indirek menggunakan kaca laring.

Laringoskopi langsung (direk). Apabila diperlukan visualisasi yang lebih


detail, pencahayaan, dan pembesaran, dapat dilakukan laringoskopi langsung
dengan menggunakan teleskop laring baik yang kaku (rigid telescope) atau serat
optik (fiberoptic telescope atau nasofaringoskopi fleksibel) atau mikroskop
(mikrolaringoskopi). Pada laringoskopi langsung dapat juga dilakukan biopsi
tumor dan menentukan perluasannya (staging) atau bila diperlukan tindakan
(manipulasi) bagian tertentu pada laring seperti aritenoid, plika vokalis, plika
ventrikularis, daerah komisura anterior atau subglotik. Pengunaan teleskop ini
dapat dihubungkan dengan alat video (video-laringoskopi) sehingga akan
memberikan visualisasi laring yang lebih jelas baik dalam keadaan diam (statis)
maupun pada saat bergerak (dinamis).1,8

34
A B
Gambar 14. Gambar A menunjukkan laringoskopi direk menggunakan laringoskop dan
Video-stroboskopi (Strobovideolaryngoscopy). Pita suara biasanya bergetar
teleskop
Gambar laring kaku
12. Gambar (rigid). Gambar
A menunjukkan B menunjukkan
laringoskopi laringoskopilaringoskop
direk menggunakan direk menggunakan
dan
teleskopselama
laring kaku (rigid).nasofaringoskopi
Gambar B fleksibel
menunjukkan atau fiber optic.
berbicara, bernyanyi atau bersenandung pada tingkat 80 sampai 400 kali
laringoskopi direk menggunakan
nasofaringoskopi fleksibel atau fiber optic.
per detik. Getaran ini terlalu cepat untuk dapat dilihat dengan mata telanjang,
karena itu, tidak dapat sepenuhnya dievaluasi dengan laringoskopi tidak langsung
(kaca laring).Visualisasi laring dan pita suara secara dinamis akan lebih jelas
dengan menggunakan video-stroboskopi dimana gerakan pita suara dapat
diperlambat (slowmotion) sehingga dapat dilihat getaran (vibrasi) pita suara dan
gelombang mukosanya (mucosal wave). Video-stroboskopi dilakukan dengan
menggunakan teleskop yang kaku dengan sudut 700 atau nasofaringoskopi
fleksibel. Video-stroboskopi ini penting terutama dalam mengevaluasi kasus lesi
halus yang mempengaruhi getaran pita suara. Mode ini memungkinkan untuk
penemuan lesi kecil seperti bekas luka pada pita suara, perdarahan, kista
intracordal, atau invasi epitelial pada awal karsinoma glotis.7,8

B. Penilaian Suara dan Aliran Udara


1. Penilaian Suara Objektif
Selain secara anatomis fungsi laring dan pita suara juga dapat dinilai dengan
menganalisa produk yang dihasilkannya yaitu suara. Analisa suara dapat
dilakukan secara perseptual yaitu dengan mendengarkan suara dan meilai derajat
(grade), kekasaran (roughness), keterengahan (breathyness), kelemahan

34
(astenitas), dan kekakuan (strain). Penilaian suara secara objektif
mendokumentasikan status suara pada saat evaluasi dan menetapkan dasar untuk
perbandingan lebih lanjut setelah pengobatan. Hasilnya juga dapat dibandingkan
dengan data normatif yang telah ditentukan. Cara sederhana mendokumentasikan
suara adalah melalui rekaman suara. Namun, perekaman (audiotape) masih
bersifat subjektif. Perubahan halus dalam produksi suara sulit untuk dinilai.
Analisis yang lebih canggih meliputi analisis akustik dan aerodinamis1,8.

2. Analisis akustik
Analisis akustik memeriksa energi dalam sinyal listrik yang mewakili suara.
Pengukuran spesifik dapat diambil untuk mengukur keteraturan getaran pita suara.
Istilah frekuensi dasar mengacu pada jumlah getaran pita suara per detik dan
berkorelasi dengan persepsi pitch. Pita suara pria dewasa bergetar antara 100 dan
130 Hz, sedangkan pita suara perempuan bergetar antara 200 dan 230 Hz. Tingkat
nada tinggi abnormal untuk usia dan jenis kelamin mungkin berhubungan dengan
hiperkontraksi dari otot krikotiroid dan mungkin merupakan disfonia fungsional
atau kompensasi. Rentang pitch dapat diukur dan berkorelasi dengan fleksibilitas
dari otot intrinsik laring. Orang dewasa sehat mampu menghasilkan rentang tiga
oktaf, meskipun biasanya hanya empat sampai lima nada yang digunakan dalam
percakapan umum. Sekarang ini analisis akustik dilakukan dengan menggunakan
program komputer seperti CSL (Computerized Speech Laboratory), Multyspeech,
ISA (Intelegence Speech Analysis), dan MDVP (Multi Dimensional Voice
Programe). Hasil pemeriksaan ini berupa parameter-parameter akustik dan
spektrogram dari gelombang yang dianalisis, yang kemudian dapat dibandingkan
antara suara yang normal dan yang mengalami gangguan.

3. Analisis aerodinamika
Suara tergantung pada dukungan napas yang konstan, dengan demikian,
bahkan masalah pernapasan halus dapat mengakibatkan disfungsi suara.
Pengukuran aerodinamika berguna dalam mengukur aliran udara selama respirasi
dan fonasi. Skrining fungsi paru dapat dilakukan untuk menyingkirkan segala
masalah yang mendasari pada paru-paru yang mungkin mencegah kapasitas yang
memadai untuk aliran udara yang teratur selama mengeluarkan suara. Waktu

34
fonasi maksimum (Maximum Phonation Time - MPT) adalah ukuran jumlah
waktu pasien dapat mempertahankan suara vokal pada satu napas. Orang dewasa
sehat biasanya dapat memperpanjang vokal untuk antara 15 dan 25 detik.
Penurunan nilai MPT biasanya berhubungan dengan penutupan glotis yang tidak
sempurna dan kehilangan udara dan/atau penggunaan yang tidak efisien (yaitu,
suatu kelainan) dalam mendukung paru-paru. Penyanyi, pelari jarak jauh, dan
perenang sering mampu mempertahankan suara yang lebih lama dari 25 detik;
namun nilai tersebut masih berada dalam batas normal dan merupakan penurunan
fungsi saat pasien ini hadir dengan gangguan suara.

4. Penilaian aliran udara glotal (glottal airflow)


Penilaian aliran udara glotal adalah pengukuran sensitif yang menangkap
jumlah udara yang melewati pita suara selama fonasi. Aliran udara glotal
(cc/detik) yang diukur dengan membagi total volume udara yang melewati pita
suara selama fonasi oleh jumlah waktu dalam detik. Aliran glotal memberikan
informasi mengenai fungsi sumber daya dan efisiensi pita suara dalam
mengendalikan aliran udara. Peningkatan aliran udara glotal biasanya dikaitkan
dengan penutupan glotis yang tidak sempurna. Pasien biasanya datang dengan
suara desah atau bisikan. Peningkatan aliran udara glotal sering terlihat pada
pasien dengan kelumpuhan pita suara unilateral. Penurunan aliran udara glotal
lebih biasanya ditemukan pada pasien denganhiperaduksi pita suara (disfonia
spasmodik).
C. Pemeriksaan penunjang lainnya

Ketika imobilitas pita suara terdeteksi, diferensial diagnosis termasuk cedera


denervasi atau fiksasi krikoaritenoid. Ketika dilakukan dalam 6 bulan dari cedera,
elektromiografi (EMG) mungkin dapat menjelaskan etiologi: cedera denervasi
biasanya menunjukkan tanda-tanda denervasi pada EMG, dan fiksasi
krikoaritenoid menunjukkan aktivitas listrik normal.1
Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan meliputi pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan radiologi, mikrobiologi dan patologi anatomi.8

34
1.

2.

3.

4.

5.
2.5. DIAGNOSIS DIFERENSIAL

2.5.1 Lesi Laring Jinak (Benign Laryngeal Lesions) 1,5

a. Sering
- Laryngitis
Laringitis (akut atau kronis) mungkin etiologi yang paling umum dari suara
serak. laringitis akut biasanya virus dan bersifat self-limiting. Tatalaksananya
ialah dengan peningkatan hidrasi dan konservasi suara. Ketika gejala laringitis
disertai dengan infeksi saluran pernapasan bagian atas, dekongestan sangat
membantu. Nilai antihistamin terbatas karena mereka efek pengeringan, yang
kontraproduktif dengan yang diperlukan pelumasan laring. Laringitis kronis lebih
mungkin berhubungan dengan hyperfungsi kronis dan paparan iritasi. Dalam
beberapa kasus, radang tenggorokan bisa menjadi prekursor untuk pengembangan
nodul pita suara.

- Nodul dan polyp pita suara (Vocal cord nodules and polyps)
Lesi jinak yang paling umum dijumpai pada orang dewasa adalah polip.
Nodul, polip, dan kista intracordal biasanya terkait dengan hiperfungsi vokal dan
paparan iritan. Lesi ini mengganggu penutupan glottic dan memungkinkan udara
melarikan diri selama fonasi sehingga menghasilkan suara serak. Nodul dan polip
terbentuk di persimpangan dari dua pertiga anterior vibrating edge pita suara,

34
yang merupakan titik kekuatan maksimal dengan menyuarakan. Granuloma
prosesus vokalis (Vocal process granuloma/intubation granuloma)
Granuloma dan ulkus kontak ditemukan di bagian posterior dari laring sekitar
proses vokal dan arytenoids. Granuloma dan ulkus kontak sering berkaitan dengan
penyakit refluks laryngotracheal dan berkaitan dengan pembersihan tenggorokan
kronis dan kebiasaan nada rendah. Baik granuloma dan ulkus kontak
mengakibatkan stress berlebih pada bagian tulang rawan pita suara, sehingga
terjadi ulserasi traumatis dan pembentukan granuloma sekunder.

- Edema Reinke (Reinke Edema)


Meskipun mekanisme pasti edema Reinke belum teridentifikasi, ada
hubungan yang sangat kuat antara merokok dengan perkembangan edema Reinke.
Fitur yang membedakan dari kondisi ini adalah sifat berdifusi pembengkakan,
yang merupakan akumulasi cairan di lapisan superfisial lamina propria dari
lipatan vokal. Pasien hadir dengan pembengkakan difus dari pita suara, yang
biasanya bilateral. Pita merasa berlumpur ketika dimanipulasi selama
microlaryngoscopy, dan pembengkakan dapat digulung di bawah instrumen.

- Kista Intrakordal
Kista Intracordal dapat berupa kista retensi lendir atau kista sederhana yang
mengandung keratin epidermoid. Laringoskopi menunjukkan kista unilateral
biasanya dari sepertiga tengah pita suara dengan luas sesuai hiperkeratosis pada
pita suara yang berlawanan. Stroboscopy menunjukkan hilangnya gelombang
mukosa di lokasi lesi.

- Kista Sakular
Kista sakular laring muncul sebagai divertikulum dari ujung anterior ventrikel
laring. Ini memanjang ke atas antara lipat vokal palsu dan permukaan bagian
dalam kartilago tiroid dan mengandung kelenjar mukus. Sebuah kista sakular
terjadi sebagai akibat dari obstruksi kelenjar ini, yang mungkin sekunder dari
sebuah anomali kongenital atau didapat.
Pemeriksaan menunjukkan perluasan lipatan aryepiglottic oleh kista di
dalamnya, yang dapat meluas ke leher melalui membran thyrohyoid. CT-Scan

34
menunjukkan kista memperluas ke supraglottis, dan tidak adanya udara di dalam
lesi membedakannya dari suatu laryngocele. Jaringan mesodermal mungkin tidak
terlihat di dinding kista sakular kongenital dan dapat mempengaruhi pendekatan
bedah.

- Laryngocele
Laryngocele adalah ekspansi abnormal dari ventrikel laring, yang dapat
dibatasi oleh kartilago tiroid (internal laryngocele) atau meluas melalui membran
krikotiroid ke leher (eksternal laryngocele). Perkembangan laryngocele sering
dikaitkan dengan aktivitas yang menyebabkan peningkatan tekanan intralaryngeal
–secara klasik adalah bermain terompet-tetapi dapat terjadi sekunder diakibatkan
keganasan dalam ventrikel laring, yang harus disingkirkan.

- Papilomatosis
Recurrent Respiratory Papilomatosis (RRP) ditandai dengan perkembangan
lesi berkutil eksofitik, terutama dalam laring, tetapi yang dapat ditemukan di
hidung, faring, dan trakea. Kondisi ini jinak tetapi terkait dengan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan. Ada distribusi bimodal; RRP onset remaha umumnya
didiagnosis antara usia 2 dan 4 tahun dan lebih agresif dari onset RRP dewasa,
yang puncak pada dekade ketiga.
RRP disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV), subtipe 6 dan 11, dan
kurang sering oleh subtipe 16 dan 18. HPV 6 dan 11 juga merupakan penyebab
paling umum dari papilomatosis genital, dan transmisi dari saluran genital
diyakini menjadi penyebab utama dari RRP. Transmisi vertikal virus dari ibu ke
anak terjadi baik sebagai infeksi rahim ascending atau melalui kontak langsung di
jalan lahir. Namun, risiko seorang anak berkembang RRP setelah melahirkan per
vaginam bersamaan kehadiran acuminatum kondiloma diperkirakan hanya 1 dari
400. Faktor yang menimbulkan kerentanan masih berada dalam penyelidikan.

b. Jarang5
- Kondroma
Kondroma adalah tumor jinak dari kartilago laring sering mempengaruhi laki-
laki di dekade keempat dekade keenam. Pasien hadir dengan disfonia perlahan

34
progresif, dispnea, dan disfagia, karena itu, pertumbuhan ini bisa meniru
neoplasma jinak ganas dalam presentasi mereka. Kondroma biasanya muncul
sebagai firm lesion yang halus dari laring subglottic atau salah satu kartilago
lainnya. Kadang-kadang, mereka hadir sebagai benjolan di leher. CT scan berguna
dalam menggambarkan tingkat neoplasma sedangkan laser CO2 berguna dalam
melakukan biopsi. Namun, pengobatan definitif bergantung pada bedah eksisi
tumor total melalui pendekatan terbuka. Eksisi endoskopik dipergunakan untuk
tumor berukuran kecil.

- Neoplasma Neuronal : Schwanomma dan Neurofibroma


Neoplasma Neurogenik adalah tumor langka dan biasanya entah
schwannomas atau Neurofibroma. Ini telah dikonfirmasi bahwa neoplasma sel
granular juga berasal dari selubung saraf. Schwannoma berasal dari sel Schwann
yang menutupi serat saraf di luar sistem saraf pusat. Lesi ini soliter, neoplasma
dibungkus kapsul yang jinak dan, meskipun mereka dapat tumbuh lambat
mengalami perubahan sarkomatous. Neurofibroma adalah proliferasi jinak serabut
saraf dan sering multipel (misalnya, dalam penyakit von Recklinghausen).
Berbeda dengan schwannomas, mereka tidak dibungkus kapsul.
Karena neoplasma neurogenik yang tumbuh dengan lambat, pasien datang
dengan perubahan suara, kliring tenggorokan, dan sensasi benjolan di
tenggorokan. Batuk dan gangguan pernapasan akan mengikuti.
Neoplasma neurogenik terletak di submukosa dan seringkali berada di lipatan
aryepiglottic. CT scan secara akurat dapat menentukan luasnya lesi sebelum
perawatan. Tumor kecil mungkin direseksi dengan endoskopi, tetapi tumor yang
lebih besar memerlukan pendekatan bedah terbuka.

- Amyloidosis
Laring adalah situs yang paling umum di saluran pernapasan untuk deposisi
amiloid. Presentasi pasien ditandai oleh adanya massa submukosa, yang mungkin
timbul di mana saja di laring dan dapat mengganggu mobilitas pita suara.
Diagnosis dikonfirmasi oleh kehadiran birefringence "hijau apel" dilihat dengan
mikroskop polarisasi setelah pewarnaan dengan pewarna merah Kongo.
Pengobatan melibatkan reseksi lokal, biasanya dilakukan endoskopi. Amiloid

34
laring biasanya primer dan lokal, tetapi telah dikaitkan dengan keterlibatan
jantung dan evaluasi sistemik menyeluruh sangat penting.

- Sarcoidosis
Satu sampai lima persen pasien dengan sarkoidosis hadir dengan lesi dalam
laring. Epiglottis adalah situs pada organ fonasi yang paling sering terlibat.
Umumnya granuloma kecil dan non-caseating yang nampak secara histologis, tapi
kondisi granulomatosa lain seperti infeksi jamur atau mikobakteri harus
disingkirkan. Remisi spontan terjadi, sehingga pengobatan umumnya simtomatik,
reseksi endoskopik dan steroid sistemik hanya digunakan dalam kasus khusus.

- Granulomatosis Wegener (Wegener’s Granulomatosis)


Wegener granulomatosis adalah penyakit autoimun multisistemik yang
mungkin melibatkan granulomata nekrotik pada saluran pernapasan, vaskulitis
luas, dan glomerulonefritis. Penyakit fokal mungkin timbul pada seluruh pohon
laryngotracheobronchial, tetapi sangat terkait dengan wilayah subglottic.
Presentasi biasanya dengan gejala obstruktif, meskipun disfonia mungkin hadir.
Penyakit sistemik diatasi dengan agen imunosupresif. Penyakit lokal tanpa
keterlibatan sistemik secara optimal dikelola dengan pengobatan lokal, termasuk
kortikosteroid intralesi.

2.5.2 Lesi Laring Ganas (Malignant Laryngeal Lesions)5

- Karsinoma Sel Skuamosa (KSS)


Setiap tahun, 11.000 kasus baru kanker laring didiagnosis di Amerika Serikat
(1% dari diagnosa kanker baru), dan sekitar sepertiga akan meninggal karenanya.
Rasio laki-laki dibandingkan perempuan untuk kanker laring adalah 4:1, namun
persentase relatif wanita yang menderita kanker laring telah meningkat dalam
beberapa waktu terakhir. Kanker laring paling umum ditemukan pada dekade
keenam dan ketujuh dalam kehidupan dan lebih umum di antara kelompok sosial
ekonomi rendah, yang sering mengalami keterlambatan diagnosis. Lebih dari 90%
kanker laring adalah karsinoma sel skuamosa (KSS) dan secara langsung terkait
dengan tembakau dan penggunaan alkohol yang berlebihan. Karena sifat

34
kompleks dan beragam penyakit ini, rencana perawatan yang terbaik disampaikan
melalui format papan tumor multidisiplin.

Jika lesi berasal dari pita suara, suara serak persisten adalah tanda paling
awal. Kadang-kadang, pasien datang dengan dispnea, stridor, disfagia, odinofagia,
hemoptisis, penurunan berat badan disebabkan oleh nutrisi yang buruk, dan
halitosis disebabkan oleh nekrosis tumor, yang menandakan penyakit sudah
berada pada tahap lanjut. Pasien juga mungkin datang dengan massa di leher
akibat metastasis ke kelenjar getah bening regional. Temuan laringoskopik
konsisten dengan gambaran tumor berbentuk jamur yang rapuh dengan tepi yang
menumpuk dan penampilan granular dengan beberapa daerah nekrosis pusat dan /
atau daerah hiperemia (erythroplasia) atau hiperkeratosis (leukoplakia).
Trakeostomi darurat kadang-kadang diperlukan jika tumor cukup besar untuk
menyebabkan obstruksi saluran napas atas. Pada tahap awal KSS dapat diobati
dengan terapi radiasi atau laser cordectomy dengan persentase tingkat
kesembuhan lebih dari 90%. Pasien dengan penyakit yang lebih lanjut mungkin
menjadi kandidat untuk dikombinasikan kemoterapi / radiasi terapi (protokol
konservasi laring) dan / atau laryngectomy parsial atau total.

- Keganasan lain pada laring


Dapat berupa karsinoma kelenjar liur (salivary gland carcinoma), sarkoma,
dan neoplasma lain (metastasis, invasi keganasan tiroid, tumor karsinoid, dan
limfoma) yang hadir dalam insidens yang lebih rendah dibandingkan KSS.

2.5.3 Paralisis Pita Suara (Vocal Cord Paralysis)1

Dalam kasus paralisis pita suara unilateral, ketiadaan gerak pada salah satu
pita suara dapat diamati pada pemeriksaan. Tergantung pada posisinya, penutupan
glotis yang tidak lengkap dapat mengakibatkan hilangnya udara. Pasien dengan
paralisis pita suara unilateral paling sering mengeluhkan suara mendesah, kualitas
vokal serak dengan volume menurun dan kelelahan jika berbicara dalam waktu
lama. Perlindungan jalan napas saat menelan merupakan proses yang melibatkan
lipat banyak lapis epiglotis, gerakan anterior dan superior dari seluruh laring,
kontak antara kartilago arytenoid dan epiglotis, penutupan lipat palsu, dan
penutupan lipat benar vokal. Penutupan glotis yang tidak lengkap yang dapat

34
menyebabkan aspirasi cairan. Pasien kadang-kadang batuk ketika minum cairan
karena kesulitan ini melindungi jalan napas. Etiologi yang paling umum dari
paralisis pita suara unilateral adalah iatrogenik, yaitu operasi toraks, kepala-leher,
dan basis kranii dimana di saraf laring mengalami kompresi, regangan, ataupun
terpaksan dikorbankan. Pada beberapa kasus tidak ditemukan penyebab khusus
(idiopatik).

Pasien dengan paralisis pita suara unilateral biasanya bermanifestasi klinis


dengan adanya disfonia low-pitched, suara terasa berat dan lemah, yang terjadi
secara tiba-tiba. Dalam beberapa kasus, disfonia dapat high-pitched karena adanya
kompensasi falsetto. Seringkali, paralisis ini berhubungan dengan disfagia,
khususnya dengan cairan, karena adanya ketidakmampuan glotis dapat
menyebabkan aspirasi. Hal ini terjadi jika paralisis pada n.laringeal superior dan
kedua n.laringeal rekuren. Kadang-kadang, perubahan suara akan disertai dengan
batuk saat proses menelan, terutama ketika meminum cairan. Manifestasi lanjut
menyebabkan anestesia pada faring, sehingga pasien mengalami disfagia dan
meningkatnya resiko terhadap aspirasi. Pasien dengan paralisis pita suara
unilateral seringkali memiliki gejala napas pendek atau perasaan kekurangan
udara. Pengaruh fisiologikal negatif pada fungsi pulmoner sangat jarang terjadi
pada pasien dengan paralisis pita suara. Bagaimanapun, karena ketidakmampuan
glotis, pasien akan mengalami kekurangan udara yang signifikan dan akan
mengalami sensasi napas menjadi pendek dan keluarnya udara selama berbicara.
Sebagai tambahan, penutupan glotis diperlukan oleh individu untuk menciptakan
tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP). Dengan demikian, beberapa pasien
postoperatif dengan segera akan mengalami penurunan fungsi pulmoner karena
hilangnya PEEP alami yang terjadi saat penutupan glotis.3
Paralisis pita suara bilateral dapat menyebabkan fiksasi lipat vokal dalam
abduksi atau posisi adduksi. Paralisis pita suara bilateral yang posisinya
terlateralisasi menghasilkan kualitas vokal yang terdengar sangat mendesah dan
menyebabkan angka aspirasi yang sangat tinggi. Paralisis pita suara bilateral
dalam posisi median menimbulkan bahaya obstruksi jalan nafas yang perlu
ditangani segera, pada kasus ini suara pasien terdengar normal. Etiologi paralisis
pita suara bilateral termasuk penyakit neurologis, trauma, dan intubasi.
Membedakan antara kelumpuhan sebenarnya dan imobilitas disebabkan oleh

34
dislokasi arytenoid atau proses lain yang mengganggu mobilitas sendi adalah
penting. Laringoskopi direk, palpasi sendi, dan pemeriksaan EMG berguna selama
pengkajian. Pasien dengan onset baru dari paralisis pita suara bilateral perlu
diperiksa dengan CT-Scan untuk menyingkirkan lesi neoplastik sepanjang
perjalanan saraf laringeus rekuren pada sisi ipsilateral. CT dari dasar tengkorak ke
mediastinum biasanya diperlukan.
Pada paralisis pita suara bilateral keluhan khas yang sering timbul adalah
hilangnya suara secara tiba-tiba biasanya setelah operasi tiroidektomi total atau
paratiroidektomi. Suara menjadi lemah untuk beberapa bulan pada awalnya. Lalu
suara menjadi seperti ”Mickey Mouse” untuk beberapa minggu. Kemudian suara
pun membaik hingga hampir normal atau suara mungkin menjadi sedikit tidak
dapat diprediksi dengan adanya suara yang tidak biasanya pada waktu yang tidak
terduga. Lalu pernapasan menjadi berat dengan adanya latihan. Terdapat episode
dimana pasien tidak dapat bernapas, sering akibat spasme laring, suara dengan
nada tinggi terdengar ketika sedang berusaha untuk bernapas. Seringkali terdapat
suara yang sangat berisik pada malam hari.3,6,7

Paralisis Laringeal Rekurens Unilateral Paralisis ini terjadi akibat


terganggunya nervus vagus ataupun karena adanya kerusakan pada nervus
laringeal rekurens. Paralisis pita suara terjadi pada posisi paramedian. Paralisis
pita suara kiri lebih sering terjadi daripada paralisis pita suara kanan. Kebanyakan
paralisis pita suara dikarenakan efek samping dari pembedahan.7

Paralisis Komplit Nervus Vagal Unilateral Paralisis komplit vagal unilateral


ini terjadi karena proses pembedahan misalnya pada pembedahan bagian bawah
tengkorak. Penyebab lainnya karena gangguan neurologik seperti multiple
sclerosis, siringomelia, dan encefalitis. Infark brainstem, inflamasi maupun proses
malignansi juga menjadi kausa lainnya dalam paralisis komplit vagal unilateral
ini.7
Paralisis Nervus Laringeal Rekuren Bilateral Paralisis ini kebanyakan
disebabkan oleh proses pembedahan tiroid, terutama total tiroidektomi. Penyebab
lainnya yang jarang adalah karena pertumbuhan tumor tiroid yang malignan.7

34
Paralisis Komplit Nervus Vagal Bilateral Paralisis ini biasanya melibatkan
nervus kranialis, yakni nervus glosofaringeus dan nervus hipoglosus. Pada
paralisis ini terjadi imobilasasi dari pita suara yang berlokasi pada posisi
intermediate dengan pelebaran celah glotis.7

Penyebab Kelumpuhan Pita Suara4


Etiologi
A. Peradangan (6%)
1. TBC
2. Herpes
3. Poliomielitis
4. Artritis
B. Susunan Saraf Pusat (10,7%)
1. Trisomi 18
2. Syrinx
3. Arnold-Chiari
4. Tumor
5. Degenerasi dan Vaskuler
C. Tumor (20,3%)
1. Nasofaring
2.Tiroid
3.Esofagus
4.Paru
5. Limfoma
6.Kemodektoma
7.Trakea
8.Neurolemoma
D. Kardiovaskuler (3%)
1. Kardiomegali
2. Aneurisma Aorta
E. Trauma (17,4%)
1. Luka tumpul
2. Luka tembak

34
3. Intubasi
F. Pasca-Bedah (24,2%)
1.Tiroid
2.Operasi leher (endartektomi karotis)
3.Operasi jantung
4.Operasi dada
5. Reseksi tulang temporal
G. Idiopatik (18,1%)
1. Bersama sepsis viral
2. Spontan

2.5.4 Disfonia Spasmodik (Spasmodic Dysphonia)1

Disfonia spasmodik. Disfonia spasmodik adalah distonia fokal dimana


spasme pita suara dalam posisi aduksi selama fonasi. Kualitas vokal yang
dihasilkan adalah karakteristik tegang dan seolah-olah dicekik. Pasien tampak
seperti sedang mencoba untuk berbicara sementara sedang tersedak. Laring
biasanya normal pada pemeriksaan, meskipun hiperaduksi dari lipatan vokal
sejati dan struktur supralaryngeal dapat dilihat.

Kadang-kadang, pasien mungkin juga hadir dengan distonia yang lebih umum
dalam kelompok otot yang lain dari mulut, wajah, dan / atau leher. Penyakit ini
pernah dianggap gangguan psikogenik, namun kini dianggap sebagai gangguan
suara neurologis, meskipun dapat diperburuk oleh stres. Disfonia spasmodik
paling sering menyerang perempuan di pada dekade keempat dan kelima dari
kehidupan. Belum ada pengobatan untuk penyembuhan total sampai saat ini.
Injeksi toksin botulinum ke dalam otot thyroarytenoid mengurangi gejala secara
temporer dengan menyebabkan chemodenervation sementara dan melemahnya
resultan dari vokal lipat adduction.12 Hasil -13 biasanya berlangsung rata-rata 4
bulan, dan karena itu pengobatan harus diulang secara berkala.

2.5.5 Disfonia Fungsional (Functional Dysphonia)1

Dalam gangguan suara fungsional, kelainan suara pasien tidak sesuai dengan
pengamatan laring. Dalam kebanyakan kasus, pita suara dan gerakan pita suara

34
mereka normal meskipun terdapat berbagai tingkat disfonia. Gangguan fungsional
dapat disebabkan faktor psikogenik atau teknis. Gangguan konversi
mempengaruhi gangguan bicara dan suara mungkin termasuk aphonia, suara
serak, hembusan nafas berat, nada terlalu tinggi, prosodi yang abnormal, bisu,
batuk kebiasaan, dan paradoks gerakan pita suara. Pemeriksaan laring
menunjukan gambaran normal. Bukti terkuat untuk disfonia fungsional adalah
reversibilitas gejala psikologis dimana tiba-tiba disfonia menghilang dan / atau
berulang tanpa perubahan status medis pasien. Selama evaluasi, pasien-pasien ini
sering diamati melakukan tugas non-fonasi seperti membersihkan tenggorokan
dengan kualitas vokal yang relatif normal meskipun aphonic atau sangat
dysphonic. Dalam kasus ini, pasien biasanya menekan kebutuhan psikologis yang
mendasari, dan keuntungan sekunder sering dijumpai.

2.3.6 Trauma Laring (Laryngeal Trauma)5

Laring memiliki tiga fungsi penting: perlindungan jalan nafas, pengaturan


pernapasan, dan fonasi. Cedera pada laring yang dihasilkan dari trauma akan
sangat membahayakan. Untungnya, trauma laring jarang terjadi yaitu hanya dalam
persentase kecil dari korban trauma. Standar protokol telah dikembangkan untuk
membantu memandu evaluasi yang akurat dan identifikasi cedera yang
memerlukan intervensi operasi. Diagnosis dini dan pengobatan sangat penting
untuk mencegah konsekuensi yang mengerikan, termasuk kematian.

Trauma laring dapat disebabkan cedera eksternal, cedera penetrasi, dan


intubasi. Tubuh mempunyai mekanisme refleks untuk melindungi saluran
pernafasan, yaitu refleks menundukan kepala. Selain itu juga terdapat otot-otot
leher, sternum, dan mandibula sehingga relatif sedikit daerah saluran nafas yang
tidak terlindungi. Cedera eksternal dapat terjadi ketika mekanisme tubuh tidak
sanggup melindungi yaitu misalnya pada kecelakaan kendaraan bermotor dan
kegiatan olah raga yang keras. Cedera penetrasi terjadi pada kasus penembakan
dan seringkali melibatkan kerusakan multistruktur. Cedera intubasi terjadi pada
pemakaian ventilator jangka panjang yang dapat menyebabkan fibrosis dan/atau
stenosis laring, paralisis pita suara, dan pembentukan granulasi.

34
1.

2.

3.

4.

5.

6.
2.6 TATALAKSANA

Penatalaksanaan disfonia atau disebut juga suara serak diawali dengan


diagnosis yang tepat dan terapi yang sesuai dengan diagnosis dan etiologi
tersebut. Diagnosis disfonia berupa anamnesis, pemeriksaan klinik, dan
pemeriksaan penunjang. Terapi dapat berupa medikamentosa, vocal hygiene,
terapi suara dan bicara serta tindakan operatif.3

Peranan Terapi Suara


Kebanyakan gangguan suara memiliki etiologi multifaktorial yang terkait
dengan iritasi dari refluks , alergi, merokok, hidrasi yang tidak memadai,
penyalahgunaan vokal,dan / atau vokal kronis yang berfungsi berlebihan. Nodul

34
pada pita suara jarang disebabkan oleh episode berteriak ; adapun kombinasi
paparan iritasi dan penyalahgunaan merupakan penyebab lebih sering.
Rehabilitasi diarahkan untuk membangun keseluruhan kebersihan vokal dan
mendidik pasien tentang konservasi vokal. Komponen utama dari terapi suara
melibatkan tentang edukasi pasien tentang anatomi dasar dan fisiologi mekanisme
produksi vokal. Pasien harus memahami hubungan antara gangguan suara yang
spesifik dan faktor penyebab. Pemahaman ini memfasilitasi kerjasama dengan
regimen terapi.

Konservasi Vokal
Pasien dengan gangguan suara yang disebabkan karena fungsi berlebihan
harus dinasehati mengenai metode-metode konservasi vokal. Mengistirahatkan
suaranya , jarang diperlukan kecuali dalam kasus-kasus perdarahan pita suara
akut. Sedangkan istirahat vokal memungkinkan perbaikan pembengkakan
jaringan ,namun perbaikan suara bersifat sementara dan disfonia dapat kembali
sampai perilaku vokal lebih tepat dipelajari.
Konservasi vokal adalah metode yang lebih praktis dan realistis
mengurangi penggunaan vokal, terutama pada pasien dengan penyalahgunaan
vokal perilaku. Mengurangi sumber yang jelas dari penyalahgunaan vokal
(misalnya, berteriak dan menjerit) hanya bagian dari program. pembersihan
tenggorokan berulang seperti berdeham adalah iritan plika vokalis dan harus
dihindari.
Metode konservasi vokal bersifat individu dengan gaya hidup spesifik
pasien. Berbicara melebihi latar belakang suara harus dihindari (imsalnya, musik
di mobil atau televisi) adalah sumber umum dari contoh yang tak perlu. Dalam
beberapa kasus, suara kerja tidak dapat dihindari, namun pasien dapat mengambil
manfaat dari menggunakan ‘ amplifier’ misalkan pada guru sekolah yang harus
mengeluarkan suara mereka untuk mendapatkan perhatian para siswa muda
mereka dapat menggunakan peluit untuk mencapai tujuan yang sama.

Terapi Perilaku Suara


Terapi perilaku suara juga dapat diindikasikan untuk meningkatkan aspek
teknis penggunaan suara. Terapi perilaku mencakup dukungan napas perut,
penggunaan level intensitas ‘pitch’ yang tepat, memperbaiki kalimat, dan teknik

34
khusus lainnya.4
Umpan balik sangat penting untuk proses terapi untuk memberikan
pasien kemampuan untuk membedakan antara target perilaku vokal dan perilaku
yang tidak tepat. Auditori, visual, sensorik, dan isyarat kinestetik semua
digunakan untuk meningkatkan kemampuan pasien untuk memantau suara dalam
sesi latihan. Mesin ‘biofeedback’ yang canggih juga tersedia untuk menyediakan
tampilan visual mewakili sinyal vokal. Tergantung pada dasar etiologi dan
keparahan dari gangguan suara, terapi mungkin memerlukan minggu ke bulan. 

Intervensi Medis
Indikasi untuk penggunaan antibiotik dan / atau antihista-dekongestan pada
pasien dengan suara serak adalah sangat jarang kecuali pasien dengan rinosinusitis
bersamaan atau laryngotrakeitis bakterial, yang dapat menyebabkan atau
komplikasi suara serak pasien. Kortikosteroid harus digunakan konservatif dan
hanya pada pasien yang memiliki yang penting kepentingan berbicara atau
bernyanyi dan yang tidak memiliki kecenderungan untuk penyalahgunaan vokal
kronis.4
Kortikosteroid dengan mengurangi edema pada tingkat glotik sehingga
mengurangi tingkat suara serak. Oleh karena itu, perlu diagnosis yang sepatutnya
adalah penting dalam rangka untuk mengobati penyebab suara serak pasien dan
untuk mengurangi kesempatan berulang suara serak. Kortikosteroid harus
diresepkan untuk tidak lebih dari 4 sampai 5 hari di samping konservasi suara.
Biasanya, pasien diberitahu untuk menggunakan suara mereka hanya untuk
panggilan suara mereka selama periode waktu. Selain itu, pentingnya pemanasan
sebelum pertunjukan harus menekankan kepada penyanyi.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat menyebabkan suara serak.
Penting pemantauan pasien untuk tidak menggunakan produk yang dapat
menyebabkan disfonia.

34
Intervensi Bedah
Peran intervensi bedah tergantung pada penyebab suara serak pasien. Pasien
dengan nodul pada plika vokalis atau polip biasanya memiliki riwayat
penyalahgunaan vokal yang harus diatasi. Penghilangan lesi tanpa mengatasi
penyalahgunaan vokal dapat menyebabkan kekambuhan dalam 1 tahun eksisi.
Pada pasien yang membutuhkan intervensi bedah, terapi suara harus dimulai
sebelum operasi untuk meminimalkan penyalahgunaan vokal dantrauma sekunder
pada periode pasca operasi. Teknik phonosurgikal untuk menghilangkan lesi
jinak fokus pada pelestarian mukosa yang normal sementara menghapus daerah
yang terkena saja. Pasien dengan paralisis pita suara dan disfonia yang tidak
membaik selama 3 bulan dan menunjukkan tanda-tanda prognostic miskin pada
mungkin ‘reinnervation’ pada EMG (yaitu fibrillation potentials or absent
activity ) adalah kandidat untuk medialization laryngoplasty (thyroplasty tipe I).
Injeksi pita suara dengan lemak, kolagen, atau polytef tergantung pada preferensi
ahli bedah dan pengalaman. Namun, injeksi polytef kurang dimanfaatkan oleh
sebagian laryngologists karena kesempatan meningkat untuk Granuloman dan
distorsi permanen integritas struktur pita suara.4

2.7 PENCEGAHAN

34
Pasien harus dikonseling tentang pentingnya hidrasi yang memadai dan
tindakan pencegahan antirefluks.

Pencegahan Hidrasi
Lubrikasi saluran vokal sangat penting untuk produksi vokal yang jelas. Oleh
karena itu pasien harus menghilangkan produk yang mengeringkan mukosa
termasuk produk berkafein, alkohol, dan antihistamin. Meskipun pengering atau
diuretik obat tidak dapat dihilangkan, hidrasi meningkat dapat membantu untuk
melakukan serangan balik efek obat itu dehidrasi. Pasien harus disarankan untuk
minum cairan yang memadai sampai warna urine mereka relatif jernih (yaitu,
"pee-pale”).

Tindakan Pencegahan Antirefluks


Tindakan pencegahan antirefluks, pasien tidak perlu memiliki bukti
terdokumentasi bahwa pasien memiliki penyakit refluks gastroesofageal untuk
menerima pencegahan konservatif pengobatan. Sebuah rencana pencegahan
menekankan pada pola kebiasaan makanan sehat dan perilaku yang tidak biasanya
tidak memfasilitasi refluks dapat diberikan kepada pasien. Pasien dinasehati
tentang pentingnya makan yang teratur seperti makan siang hari dibandingkan
tidak makan dan kemudian sering kelaparan di malam hari. Selain itu, pasien
harus menghindari produk yang diketahui untuk relaksasi sfingter esophagus
(misalnya, kafein dan coklat). Pasien juga harus menghindari makan atau minum
sebelum tidur; pasien harus menunggu 2 sampai 3 jam setelah makan terakhir
mereka sebelum pergi tidur. Pada pasien yang lebih bergejala, mengangkat kepala
tempat tidur sekitar 6 sampai 8 membantu untuk memungkinkan gravitasi untuk
menjaga sekresi lambung turun saat pasien sedang tidur. Selain itu, konsumsi
antasida 30 menit setelah makan dan sebelum tidur membantu untuk menetralisir
asam. Kadang-kadang histamin- antagonis seperti omeprazol dan ranitidine
dapatjuga sangat membantu. Praktek konservasi vokal yang baik juga dapat
berfungsi sebagai langkah preventif untuk menjaga baik kualitas vokal. Pasien
harus dianjurkan untuk menghindari jelas sumber penyalahgunaan vokal seperti
berteriak dan menjerit. Selain itu, pasien harus dikonseling sumber-sumber lain
mengenai penggunaan vokal berlebihan termasuk berdeham.

34
KESIMPULAN

Disfonia merupakan suatu gejala dan bukan penyakit. Walaupun tidak


diketahui berapa jumlah pasti orang dengan disfonia, diperkirakan 1,2-23,4 %
populasi mengalami gangguan pada suara. Manifestasi gangguan kualitas suara
pada disfonia dapat bervariasi seperti desahan, parau, tegang, tercekik, tebal, nada
menjadi tinggi atau rendah, tergantung struktur anatomis yang terganggu dan
patofisiologi produksi suara yang disebabkan penyakit yang mendasari disfonia.
Etiologi disfonia bervariasi seperti neoplasma jinak, neoplasma ganas,
trauma, peradangan/infeksi, gangguan saraf, gangguan psikologis/fungsional. Lesi
jinak pada laring yang paling sering ditemukan adalah radang (laringitis), polip,
kista, granuloma, laryngocele, dan papiloma. Lesi ganas yang paling sering
ditemukan adalah KSS.
Untuk mendiagnosa diperlukan anamnesa mendetail untuk mengetahui
kualitas vokal pasien yang terganggu, onset, dan progresifitas penyakit. Riwayat
pekerjaan sangat penting mengingat kemungkinan besar pasien memiliki profesi
yang berkaitan dengan penggunaan suara seperti penyanyi atau guru. Riwayat
penyakit sebelumnya dan pemakaian obat-obatan juga amatlah penting untuk
diselidiki. Pemakaian laringoskop direk, indirek, dan stroboskopi diperlukan
untuk menilai gangguan baik secara struktural dan fungsional.
Terapi berfokus pada konservasi suara dan edukasi teknik penggunaan suara
yang benar pada pasien. Medikamentosa digunakan secara konservatif, dan
diutamakan pada pasien yang memang profesinya menuntut penggunaan suara.
Intervensi bedah bergantung pada jenis penyebab disfonia, dan perlu didahului
terapi suara untuk mencegah komplikasi trauma sekunder paska operasi. Tindakan
pencegahan disfonia yang umum adalah anjuran untuk banyak minum dengan
tujuan memberi hidrasi laring dan mengatasi penyakit GERD atau laringotrakeal
refluks.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Lundy SD, Casiano RR. Diagnosis and Management of Hoarseness.


1999. [dikutip 2011 Desember 25]. Available from: http://www.turner-
white.com/pdf/hp_oct99_hoarse.pdf.
2. Cohen James . Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit
THT. -6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. h. 369-376.
3. Hermani B. Abdurrahman H. Tumor laring. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FK U I .
2 0 0 7 . h. 194-198.
4. Surgery, A. A.-H. (2011). Health information : Hoarseness. Retrieved
12 28, 2011, from American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
Web site: http://entmd.org/HealthInformation/hoarseness.cfm
5. Wareing M., Obholzer R. (2008). Chapter 29. Benign Laryngeal
Lesions. In A.K. Lalwani (Ed), CURRENT Diagnosis & Treatment in
Otolaryngology—Head & Neck Surgery, 2e. Retrieved December 27, 2011 from
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=2827547
6. Feierabend RH, Malik SN. Hoarseness in Adults [Internet]. 2009
[updated 2009 August 15, cited 2011 December 26]. Available from:
www.aafp.org/afp/2009/0815/p363.html
7. Rosen CA, Deborah A, Thomas M. Evaluating Hoarseness: Keeping
Your Patient's Voice Healthy [Internet]. 1998 [Updated 1998 June 1, Cited 2011
December 26]. Available from: www.aafp.org/afp/1998/0601/p2775.html
8. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi ke-6. 2009.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 231-236.
9. Snell, R. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed ke-6.
Jakarta: EGC; 2006.
10. Mills, Stacey E. Histology for Pathologist. 3rd Edition. Virginia :
Lippincott Williams &Wilkins;2007.

34

Anda mungkin juga menyukai