Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS THT

SINUSITIS DENTOGEN

Dokter Pembimbing
dr. Andriana, Sp.THT, Msi.Med

Disusun oleh
Winda Linting Sanda Lolok
112016275

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG


TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTO, SEMARANG
PERIODE 08 Januari 2018 – 10 Februari 2018

1
LAPORAN KASUS

Nama : Winda Linting Sanda Lolok Tanda Tangan


Nim : 11-2016-275
………………
Dr. Pembimbing : dr. Andriana, Sp.THT, Msi.Med
………………

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. W Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 53 tahun Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh Status menikah: Menikah
Pendidikan : SMP Alamat :Bangetayu wetan RT02/05

PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
Anamnesis
Diambil secara : Autoanamnesis
Pada tanggal : 23 Januari 2018 , 10.30 WIB.
Keluhan Utama : Hidung kiri tersumbat
Keluhan Tambahan : pilek, disertai batuk, telinga kiri berdengung

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan hidung kiri tersumbat sejak 1 minggu. Keluhan ini
disertai dengan pilek dengan ingus berwarna berwarna kekuningan serta berbau. Ingus ini
terasa turun sampai ke tenggorokan, terutama pada pagi hari sewaktu bangun tidur sehingga
pasien merasa mulutnya juga berbau. Keluhan biasanya muncul pada siang hari, memberat
saat pasien bekerja dan mereda pada saat pasien beristirahat. Selama pilek, pasien
mengeluhkan batuk serta penciumannya berkurang. Pasien mengeluhkan adanya sakit kepala
dan bersin-bersin. Pasien juga menyangkal hidung sering gatal, maupun hidung yang
tersumbat secara bergantian pada kanan dan kiri pada pagi atau malam hari. Pasien juga
mengeluhkan telinga kiri berdengung.

2
3 bulan SMRS , pasien masih merasakan keluhan yang sama , terjadi perubahan
sekret encer jernih, menjadi kuning, dan sedikit kental. Terkadang timbul dengung pada
telinga kiri, pasien juga terkadang batuk karena rasa tidak nyaman ditenggorok, penciuman
berkurang sedikit

Sejak 4 bulan yang lalu, pasienbeberapa kali mengalami pilek dengan ingus berwana
bening, tidak berbau, namun lebih ringan sehingga pasien tidak terlalu menganggapnya dan
hanya minum obat pilek biasa. Pasien mengaku sejak 6 bulan yang lalu, gigi gerahamnya
yang kedua pada bagian rahang kiri atas menghitam serta belum membaik. Tidak ada
riwayat kemasukan benda asing, tidak ada keluhan mimisan,.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan seperti ini, riwayat Asma (-), Hipertensi
(-), Diabetes melitus (-), Trauma (-), Riwayat alergi obat (-), Alergi makanan (-), TBC (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Dikeluarga tidak ada yang mengalami hal yang sama , Hipertensi (-) , Asma (-), Diabetes
Melitus (-), Alergi (-)

Riwayat sosial
Pasien bekerja sebagai buruh di pabrik tekstil, sebagai operator mesin jahit. Pasien juga suka
untuk meminum minuman dingin , tapi tidak terlalu sering. Pasien tidak memiliki riwayat
merokok , ataupun minum – minuman beralkohol.

PEMERIKSAAN OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan TD : 120/70
Kesadaran : Compos mentis N : 80 x/ menit
S : (36.5 o C)
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran.
Status Lokalis

3
Telinga
Bagian Dextra Sinistra
Auricula Bentuk normal, benjolan (-), Bentuk normal, benjolan (-),
nyeri tarik (-) nyeri tarik (-)
Preauricula Tragus pain (-), fistula (-), abses Tragus pain (-), fistula (-), abses
(-) (-)
Retroauricula Nyeri tekan (-), edema (-), Nyeri tekan (-), edema (-),
hiperemis (-) hiperemis (-)
Mastoid Nyeri tekan (-), edema (-), Nyeri tekan (-), edema (-),
hiperemis (-) hiperemis (-)
CAE Sekret (-), sedikit serumen , Sekret (-), sedikit Serumen,
hiperemis (-), edema (-), corpus hiperemis (-), edema (-), corpus
alienum (-) alienum (-)
Membran Timpani
Perforasi (-) (-)
Cone of light (+) arah jam 5 (+) arah jam 7
Warna Putih mengkilat seperti mutiara Putih mengkilat seperti mutiara

Hidung
Hidung Dekstra Sinistra
Nyeri tekan :
Pangkal hidung (-)
(kantus medius) (-)

Bentuk Normal Normal


Vestibulum Tampak bulu hidung Tampak bulu hidung
Tonjolan (-) Tonjolan (-)
Sekret / lendir (+) jernih (+) mukopurulen
Cavum nasi Lapang Menyempit
Konka Media Livid (-) , Hiperemis (+), Livid (-), Hiperemis (+),
Hipertrofi (-), Edema(-) hipertrofi (-), Edema (+)
Meatus Media Sekret (-) Sekret (+)
Konka inferior (livid ) (-) ,Hiperemis (+) , Livid (-) , Hiperemis (+),
edema (-) Hipertrofi (-) Edema (-) , Hipertrofi (-)
Septum Deviasi (-) (-)

4
Massa (-) (-)

Pemeriksaan Sinus Paranasal


Inspeksi : Tidak terlihat adanya kemerahan pada daerah sinus maksila,
etmoid, dan frontalis
Palpasi : Sinus etmoid : Nyeri tekan (-), ; sinus maksila : tidak ada
nyeri pada pipi , sinus frontalis : Tidak ada nyeri tekan daerah frontal.
Transluminasi : tidak dilakukan
Tenggorokan
Orofaring
Oral : Dapat membuka mulut dengan baik
Mukosa buccal : merah muda
Ginggiva : Merah muda
Gigi geligi : dalam batas normal, lengkap, caries (+) P2, gangrene
(-)
Lidah 2/3 anterior : dalam batas normal, merah muda
Palatum durum dan mole : warna merah muda
Arcus pharynx : Simetris
Tonsil
Dextra Sinistra
Ukuran T1 T1
Kripta tonsil Tidak Melebar Tidak Melebar
Permukaan Rata Rata
Warna Merah muda Merah muda
Detritus (-) (-)
Uvula Letak ditengah, edema(-) Letak ditengah, edema (-)
Peritonsil Abses ( - ) Abses ( - )

Dinding posterior orofaring :


terdapat post nasal drip (+) , hiperemis (-) , granulasi (-)

Nasofaring
Discharge : Tidak dilakukan pemeriksaan
Mukosa : Tidak dilakukan pemeriksaan
Adenoid : Tidak dilakukan pemeriksaan
Massa : (-)

5
Laringofaring
Mukosa : Tidak dilakukan
Massa : Tidak dilakukan
Lain- lain : Tidak dilakukan
Laring
Epiglotis : Tidak dilakukan
Plica vocalis : Tidak dilakukan
Gerakan
Posisi
Tumor
Massa : Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DIANJURKAN


Nasoendoskopi
Transiluminasi
Foto polos : Posisi Waters, Caldwell
Radioimaging : CT – Scan ( Gold standart)

Resume :
Pasien datang dengan keluhan hidung kiri tersumbat sejak 1 minggu. Keluhan ini
disertai dengan pilek dengan ingus berwarna berwarna kuning serta berbau. Ingus ini terasa
turun sampai ke tenggorokan, terutama pada pagi hari sewaktu bangun tidur sehingga pasien
merasa mulutnya juga berbau. Keluhan biasanya muncul pada siang hari, memberat saat
pasien bekerja dan mereda pada saat pasien beristirahat. Selama pilek, pasien mengeluhkan
batuk serta penciumannya berkurang. Pasien mengeluhkan adanya sakit kepala dan bersin-
bersin. Pasien juga menyangkal hidung sering gatal, maupun hidung yang tersumbat secara
bergantian pada kanan dan kiri pada pagi atau malam hari. Pasien juga mengeluhkan telinga
kiri berdengung.

3 bulan SMRS , pasien masih merasakan keluhan yang sama , terjadi perubahan
sekret encer jernih, menjadi kuning, dan sedikit kental. Terkadang timbul dengung pada
telinga kiri, pasien juga terkadang batuk karena rasa tidak nyaman ditenggorok, penciuman
berkurang sedikit . Sejak 1,5 bulan yang lalu, pasien beberapa kali mengalami pilek dengan
ingus berwana bening, tidak berbau, namun lebih ringan sehingga pasien tidak terlalu

6
menganggapnya dan hanya minum obat pilek biasa. Pasien mengaku sejak 6 bulan yang lalu,
gigi gerahamnya yang kedua pada bagian rahang kiri atas menghitam serta belum membaik.
Tidak ada riwayat kemasukan benda asing, tidak ada keluhan mimisan. Riwayat dahulu
pasien tidak memiliki riwayat penyakit asma, diabetes mellitus, hipertensi, riwayat alergi
obat.

Dari hasil pemeriksaan, TTV dalam batas normal , telinga tidak telihat adanya kelainan ,
hanya terlihat sedikit serumen tetapi membran timpani dapat dinilai. Pemeriksaan hidung
terlihat adanya konka media dan inferior yang oedema pada hidung kiri dan mukosa
hiperemis pada hidung kanan-kiri, tampak adanya sekret mucopurulent pada meatus media
hidung kiri, pada hidung sebelah kanan terdapat sekret bening pada kavum nasi. pada
pemeriksaan orofaring juga ditemukan adanya post nasal drip pada dinding posterior
orofaring faring, tonsil T1-T1, caries dentis pada premolar 2 kiri atas.

Differential Diagnosis :
Rhinitis simpleks
Hal yang mendukung : adanya hidung tersumbat, dan ingus encer, mukosa hidung tampak
merah dan membengkak, serta adanya ingus yang mukopurulen bila ada infeksi sekunder.
Hal yang tidak mendukung : Tidak adanya demam, onset >12 minggu
Rhinitis Vasomotor
Hal yang mendukung : Hidung tersumbat, bersin, edema.
Yang tidak mendukung : riwayat alergi, keluhan tetap muncul sepanjang hari .

Working Diagnosis:
Sinusitis dentogen
Dasar diagnosis : hidung tersumbat, gejala sekret purulent, napas berbau. Pada pemeriksaan
juga ditemukan, mukosa hidung yang hiperemis dan membengkak / hipertrofi pada konka
inferior kiri, serta adanya secret mucopurulen pada meatus media , dan adanya post nasal
drip, adanya caries gigi pada premolar 2 kiri atas.
Penatalaksanaan :

7
Medikamentosa :
Antibiotik : ciprofloksasin 500mg 2x1.
Anti histamine dan dekongestan : Rhinofed 2x1.
Mukolitik : Ambroxol 30 mg 3 x 1 tablet

Non-medikamentosa :
Operatif : Bedah sinus endoskopi fungsional(BSEF/FESS)
Konsultasi pada gigi dan mulut untuk penanganan selanjutnya.
Edukasi pasien .
 Gunakan masker pada tempat kerja
 Hindari / kurangi minum – minuman dingin
 Istirahat dan minum air yang cukup .
 Kontrol rutin ke dokter untuk melihat perkembangan penyakit ,
 Rujuk ke dokter spesialis THT

Prognosis
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam

Tinjauan Pustaka

Pendahuluan
Sinusitis merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal. Penyakit ini sering ditemukan dalam
praktek sehari-hari. Umumnya dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis.
Penyakit ini disebabkan oleh salesma atau common cold yang merupakan infeksi virus, dan

8
dapat diikuiti oleh infeksi bakteri. Sinusitis dapat menyerang beberapa sinus yang disebut
multisinusitis. Apabila menyerang semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Sinus yang
paling sering terkena adalah sinus maksilaris dan etmoid. Sedangkan sinus frontal dan
sfenoid jarang terjadi. 1
Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan suatu ruang berisi udara yang berada di tulang kepala (os
maxillae, os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale). Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala.Sinus paranasal berhubungan dengan kavum nasi melalui
suatu ostium. Manusia memiliki empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu
sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sphenoid. Sama halnya dengan tuba
eustachius, telinga tengah dan saluran pernapasan, epitel sinus paranasal dilapisi oleh epitel
kubus bertingkat bersilia.1
Di sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran
dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini merupakan daerah
yang sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM). Daerah ini terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula
etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.2
Sinus paranasal sebenarnya berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dimana
mulai berkembang pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid. Sinus
maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir. Hal ini berbeda dengan sinus yang lain,
dimana sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang
lebih delapan tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari
bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal
pada usia antara 15-18 tahun.2

Gambar 1. Sinus paranasal.3


Sinus Paranasal

9
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Pada saat lahir, sinus maksila
bervolume 6-8 ml. Kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu pada saat usia dewasa dengan ukuran 15 ml. Sinus maksila ini berbentuk
piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa
canina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya
adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding
inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid.2
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila secara klinis. Yaitu,
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan
P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar
gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik ke
atas menyebabkan sinusitis. Kemudian, apabila terjadi sinusitis maksila maka dapat
menimbulkan komplikasi orbita. Selain itu, ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari
dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior
dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase
sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.2

Sinus Frontalis
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal
dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal
mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia
20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainya
dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa
hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak
berkembang.2
Sinus frontalsis memiliki tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal
biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Apabila tidak ditemukan gambaran
septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya
infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa
serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus

10
frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan
dengan infundibulum etmoid.2
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat merupakan fokus
infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4
cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.2
Bentuk sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media
dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus
etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus
etmoid posterior bermuara ke di meatus superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil
dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media
dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya
lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.2
Pada bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat resesus frontal yang berhubungan dengan
sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu area penyempitan disebut
infundibulum yang merupakan tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan di
resesus frontal mengakibatkan sinusitis frontal. Sementara jika peradangan terjadi di
infundibulum mengakibatkan sinusitis maksila.Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian
resesus yang dibatasi 5 sekat tulang atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang paling
anterior ke posterior : prosesus uncinatus, bula etmoidalis (sel etmoid yang terbesar), dasar
atau lamela basalis dan konka superior (Walsh, 2008). Atap sinus etmoid yang disebut fovea
etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea
yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus
etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.2
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior (Stankiewicz, 2010).
Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai sebuah
evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2
x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid
berkembang dan pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm
(tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml (Soetjipto,
2010). Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi

11
hal utama yang harus diperhatikan (Stammberger, 2008). Sebelah superior sinus sfenoid
terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring,
sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.2
Fisiologi Sinus 2
Sebenarnya sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa,
karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Namun ada yang berpendapat
bahwa sinus memiliki peran yang cukup penting. Yaitu:
 Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang
lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam
untuk pertukaran udara total dalam sinus.
 Sebagai penahan suhu (thermal insulator)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-
sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
 Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka, akan
tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap
tidak bermakna.
 Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada
korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
 Sebagai perendam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada
waktu bersin atau membuang ingus.
 Membantu produksi mukus

12
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dengan udara inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus media,
tempat yang paling strategis
Definisi
Sinusitis adalah peradangan sinus, biasanya sinus paranasales; mungkin purulen atau
nonpurulen, akut atau kronik. Tipe-tipe peradangan ini dinamakan sesuai dengan sinus yang
terkena. Ethmoid sinusitis adalah peradangan sinus ethmoidalis, disebut juga ethmoiditis.
Frontal sinusitis adalah peradangan sinus frontalis. Maxillary sinusitis adalah peradangan
sinus maxillaris, disebut juga antritis. Sphenoid sinusitis adalah peradangan sinus
sphenoidalis, disebut juga sphenoiditis.4 Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang
melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal,. Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi
bersamaan, sehingga terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis.
Rinosinusitis dibagi menjadi kelompok akut, subakut dan kronik.5
Menurut American Academy of Otolaryngology – Head & Neck Surgery 1996 istilah
sinusitis diganti dengan rinosinusitis karena dianggap lebih tepat dengan alasan : 1). Secara
embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung 2). Rinosinusitis hampir selalu
didahului dengan rinitis 3). Gejala-gejala obstruksi nasi, rhinorrhea dan hiposmia dijumpai
pada rinitis ataupun rinosinusitis.

Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis
terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi
seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osti-meatal (KOM), infeksi
tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan
di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik , atau dapat juga disebabkan oleh infeksi jamur.
Faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rinitis alergika;
polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat sinus. 1 Pada anak, hipertrofi adenoid
merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk
menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat
didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-
1
lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia. Kelainan anatomi hiddung ,
infundibulum lebih sempit dari normal , obstruksi koana oleh jaringan adenoid jinak, trauma

13
sinus, tonsillitis,imunokompromais, gangguan silia atau mukosilier, berenang menyelam air
6
terisap ke sinus.

Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel
epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu
lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel
epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama
udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika
jumlahnya berlebihan. 1,2
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu
apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan
terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel
mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan
menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus. Organ-organ yang membentuk
KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan, akan saling
bertemu sehingga silia tidak dpat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan
negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous.
Kondisi ini boleh dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam
waktu beberapa hari tanpa pengobatan. 1
Bila kondisi ini menetap, sekret yang dikumpul dalam sinus merupakan media baik untuk
pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai
rinosinusitis aku bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Dengan ini dapat disimpulkan
bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi
silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem
fisiologis dan menyebabkan sinusitis. 1
Manifestasi Klinis
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai dengan nyeri/rasa tekanan
pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat
disertai dengan gejala sistemik seperti demam dan lesu. 1Keluhan nyeri atau rasa tekanan di
daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga
terasa di tempat lain (referred pain) . nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di

14
antara atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoidalis, nyeri di dahi atau
kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis maksila kadang-kadang terdapat nyeri alih
ke gigi dan telinga. 1 Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal
drip yang dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas
sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini:1
Sakit kepala kronik, Post-nasal drip, Batuk kronik, Ganguan tenggorok, Ganguan telinga
akibat sumbatan di muara tuba Eustachius, Ganguan ke paru seperti bronkitis (sino-
bronkitis), brokietakasis, serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak,
mukopus yang tertelan dapat menyebakan gastroenteritis.
Klasifikasi
Terdapat banyak subklasifikasi dari rinosinusitis, namun yang paling sederhana
adalah pembagian rinosinusitis berdasarkan durasi dari gejala. Menurut konsensus 2004
membagi akut dengan batas sampai 4 minggu , subakut antara 4 minggu – 3 bulan dan
kronik jika lebih dari 3 bulan. 1
Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS)
2007, rinosinusitis diklasifikasikan menjadi akut (kurang dari 12 minggu) dan kronik (lebih
dari 12 minggu). Sebelumnya, beberapa literatur juga mengklasifikasikan rinosinusitis ke
dalam grup sub akut, yang menunjukkan keadaan diantara akut dan kronik. Namun EPOS
menganggap tidak perlu menambahkan grup ”sub akut” dikarenakan jumlah penderita
sinusitis akut dengan gejala memanjang cukup jarang dan belum ada rekomendasi evidence
based untuk penatalaksanaan grup tersebut.5
Rhinosinusitis secara klinis dapat dibedakan menjadi tipe akut dan kronis :6
Rhinosinusitis Akut ( RSA)
 Gejala berlangsung < 12 minggu
 Episode akut berulang < 4 kali / tahun
 Reversibilitas mukosa : normal kembali setelah tatalaksana medik adekuat
Gejala
 Mayor : Ingus purulen ( probabilitas RSA : 92%) , post nasal drip purulen, dan batuk
 Minor : sakit kepala , nyeri wajah , edema perorbita, nyeri telinga , halitosis, nyeri
gigi, nyeri tenggorokan, peningkatan wheezing dan demam.
Diagnosis : 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan > 2 gejala minor.
 Rhinosinusisitis viral akut : common cold , umumnya durasi gejala < 10 hari

15
 Rhinosinusitis non viral akut lanjutan perburukan gejala 5 hatri , atau menetap setelah 10
hari dengan durasi < 12 minggu .
Rhinosinusitis Kronis
 Gejala berlangsung selama lebih dari 12 minggu
 Episode akut > 4 kali/ tahun
 Reversible mukosa : abnormal menetap kembali setelah tatalaksana medik adekuat.

Gejala
 Gejala mayor : nyeri wajah . rasa tertekan , obstruksi nasal, ingus purulent , hiposmia,
batuk
 Minor: nyeri kepala , demam , halitosis, fatique, nyeri gigi, batuk , gejala otologik .
Diagnosis > 2 gejala mayor , 1 gejala mayor dan 2 gejala minor . Jika hanya ditemukan 1
gejala mayor atau > 2 gejala minor maka dianggap sugestif.

Kriteria Major dan Minor


Berdasarkan data Rhinosinusitis Task Force of the American Academy of Otolaryngology-
Head and Neck Surgery (1997), gejala dan tanda rinosinusitis dibagi menjadi kriteria mayor
dan minor. Gejala mayor antara lain : obstruksi hidung/sumbatan, adanya sekret hidung yang
purulen, gangguan penghidu seperti hiposmia/anosmia, dijumpai sekret purulen pada
pemeriksaan hidung, nyeri wajah seperti tertekan, kongesti wajah (penuh), dan demam
(hanya pada rinosinusitis akut). Sedangkan gejala minor antara lain : sakit kepala, demam
(non-akut), halitosis, lemah/letih, nyeri gigi, batuk, nyeri telinga/ seperti ditekan dan merasa
penuh di telinga. Untuk diagnosis rinosinusitis dibutuhkan 2 gejala mayor atau 1 gejala
mayor dan 2 gejala minor.8

Diagnosa
Anamnesis yaitu dengan cara menanyakan riwayat dan perjalanan penyakit apakah
sudah berlangsung selama lebih dari 12 minggu serta didapatkan 2 gejala mayor atau 1 gejala
mayor dengan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior.
Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior
dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid). Meatus
medius sering dapat diinspeksi dengan baik setelah pemberian dekongestan. Pada

16
rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Dan bisa ditemukan nyeri tekan pada sinus
yang bermasalah.1
Adapula pemeriksaan nasoendoskopi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat
adanya kelainan septum nasi, meatus media, konka media dan inferior, juga dapat
mengetahui adanya polip atau tumor. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lain
seperti foto rontgen. Foto rontgen sinus paranasal yaitu pemeriksaan radiologik yang dapat
dalam beberapa posisi. Waters, pa, lateral. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara
cairan (airfluid level) atau penebalan mukosa.1
Pemeriksaan gold standar dalam mendiagnosa sinusitis adalah CT-scan. Dimana
pemeriksaan ini mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung
dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal, maka pemeriksaan ini
hanya digunakan sebagai penunjang diagnosa sinusitis kronik yang tidak membaik dengan
pengobatan atau pra-operatif sebelum melakukan operasi sinus.1

Sinusitis dentogen

Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar
sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus
maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa
tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi
jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah
dan limfe.1 Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksilaris kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati
sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang
mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi sinus maksila.1

Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :

1. Perjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari gigi kaninus
sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar
gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada
juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal.
2. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya dasar sinus
sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi

17
3. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari membran
periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus
4. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila
5. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambahan akibat
pengisian saluran akar yang berlebihan
6. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis
7. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan
folikuler

Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat menyebabkan obstruksi
ostium yang memicu sinusitis.
Tatalaksana
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan
mencegah perubahan akut menjadi kronik.
Medika Mentosa
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi
sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada
sinusitis bakterial akut. Antibiotik yang dipilih adalah yang berspektrum lebar, yaitu
golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman resisten terhadap amoksisilin, maka
diberikan amoksisilin-klavulanat atau sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik diberikan selama
10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Jika penderita tidak menunjukkan perbaikan
dalam 72 jam, maka dilakukan reevaluasi dan mengganti antibiotik yang sesuai. Pengobatan
secara medikamentosa menunjukkan hasil yang lebih memuaskan jika diberikan sesuai
dengan hasil kultur. Gold standard untuk kultur sinus adalah pungsi sinus maksilaris, namun
hal ini harus dilakukan pada pasien tertentu dan dilakukan dengan hati-hati karena dapat
menyebabkan komplikasi minor seperti nyeri dan perdarahan. Kultur sinus sangat penting
dalam memilih jenis obat pada rinosinusitis kronik karena organisme patogennya berbeda.
Antibiotik yang biasanya diberikan pada rinosinusitis kronik adalah yang sesuai untuk kuman
gram negatif (S. aureus) dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat
diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik seperti guaifenesin, steroid oral/
topikal, pencucian rongga hidung (irigasi) dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Steroid
hidung (spray) sering diberikan untuk terapi pemeliharaan/maintenance pada rinosinusitis
kronik. Nasal saline irrigation adalah jenis terapi yang penting dalam mengobati rinosinusitis
kronik. Bilasan hidung tersebut akan mencegah akumulasi krusta-krusta di hidung dan

18
membantu lancarnya klirens mukosiliar. Irigasi antibiotik seperti gentamisin (80 mg/L)
dipertimbangkan pemberiannya pada rinosinusitis kronik yang refrakter. Untuk pasien
dengan riwayat alergi dapat ditangani dengan cara menghindarkan faktor pencetus,
pemberian steroid topikal, dan imunoterapi. Antihistamin generasi ke-2 diberikan bila ada
alergi berat.1

Non Medika Mentosa


Pembedahan umumnya dicadangkan untuk pasien dengan kelainan anatomi dan hanya setelah
terapi medis maksimal gagal. Kriteria mutlak untuk operasi meliputi setiap perluasan infeksi
atau adanya tumor di rongga hidung atau sinus. Indikasi relatif termasuk sinusitis bakteri
akut berulang, obstruksi oleh poliposis hidung, rinosinusitis kronis yang tidak responsif
terhadap pengobatan dan penyakit penyerta seperti asma yang recalcitrant. Kerjasama yang
erat dengan otolaryngologist berpengalaman sangat penting dalam kasus-kasus yang sulit.
Radikal : sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc , sinus ethmoid dengan ethmoidektomi,
sinus frontal dan sfenoid dengan operasi killian. Non radikal : Bedah sinus endoskopi
fungsional(BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan
operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena
memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal,
prinsipnya dengan membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.1
Jika perlu, dapat diberikan terapi seperti analgetik, pencucian rongga hidung dengan NaCl
atau pemanasan (diatermi).1 Selain itu, simptomnya juga dapat dikurangkan dengan
humidifikasi/vaporizer, kompresi hangat, hidrasi yang adekuat dan nutrisi seimbang.1

Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.
Komplikasinya berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi lain yang dapat
1
dijumpai pada sinusitis kronik yaitu osteomielitis, abses subperiostal serta kelainan paru.
Komplikasi Orbita
Komplikasi orbita disebabkan infeksi sinus paranasal yang berdekatan dengan mata
(orbita), paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Terdapat
literatur yang membagi komplikasi orbita menjadi 5, yaitu selulitis preseptal, selulitis orbita,
abses subperiosteal, abses orbita, dan trombosis sinus kavernosus.

19
Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial dapat berupa meningitis, abses subdural, abses intraserebri ,
dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi intrakranial lebih umum dijumpai pada pasien
sinusitis kronik dibandingkan sinusitis.
Osteomielitis dan Abses Subperiosteal
Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan
biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula
oroantral atau fistula pada pipi.
Kelainan Paru
Kelainan paru akibat komplikasi rinosinusitis yaitu seperti bronkitis kronik dan
bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sino-
bronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

Prognosis
Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan sendirinya. Namun, sinusitis
yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan dalam kasus yang jarang dapat
menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus sinusitis akut membaik secara spontan tanpa
antibiotik. Perbaikan spontan pada sinusitis virus adalah 98 %. Pasien dengan sinusitis akut,
jika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat.
Tingkat kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5 %. Jika tidak
adanya respon dalam waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien dievaluasi kembali.
Rinosinusitis yang tidak diobati atau diobati dengan tidak adekuat dapat menyebabkan
komplikasi seperti meningitis, tromboflebitis sinus cavernous, selulitis orbita atau abses, dan
abses otak.9
Pada pasien dengan rhinitis alergi , pengobatan agresif gejala hidung dan tanda-tanda edema
mukosa yang dapat menyebabkan obstruksi saluran keluar sinus, dapat mengurangkan
sinusitis sekunder. Jika kelenjar gondok secara kronis terinfeksi, pengangkatan mereka dapat
menghilangkan nidus infeksi dan dapat mengurangi infeksi sinus.9

Daftar Pustaka
1. Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. Sinus Paranasal. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala &
leher. 7th edition. Jakarta: Badan Penerbit FK UI, 2015. h.122-26.

20
2. Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. Sinus Paranasal. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala &
leher. 7th edition. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2015.h.127-30.
3. Gambar diambil dari https://www.google.co.id/url?
sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwi0kvmg
2LvTAhWIM48KHcQKDx8QjhwIBQ&url=http%3A%2F%2Fteachmeanatomy.info
%2Fhead%2Forgans%2Fthe-nose%2Fparanasal-sinuses
%2F&psig=AFQjCNF1YFRvfzLpWMYc3q6mszB80LOTBw&ust=1493075065366532,
28 Januari 2018
4. Dorland, W. N. Kamus saku kedokteran dorland ed 28 . Jakarta: Elsevier ;2008.
5. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007. Diunduh dari:
http://www.ep3os.org/pdf/pocketguide/indonesia.pdf, 28 Januari 2018
6. Afifah NH, Dharmabakti US. Rinosinusitis .Dalam : Tanto C, Liwang F , HAnifati S,
Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran . Jilid II ed IV. Jakarta : Media Aesculapius;
2014.h.1046-8
7. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis and management for the clinician: a
synopsis of recent consensus guidelines. Mayo Clin Proc. 2011; 86 (5): 427-43
8. Benninger, M.S., 2008. Rhinosinusitis. In: Browning G.G., et al. Scott-Brown's
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed. Great Britain: Hodder Arnold,
1439-1445.
9. Brook I, Benson BE, Riauba L, Cunha BA. Acute sinusitis. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview. 28 januari 2018.
10. Irwawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis alergi . Dalam : Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala &
leher. 7th edition. Jakarta: Badan Penerbit FK UI, 2015.h.106-11

21

Anda mungkin juga menyukai