Anda di halaman 1dari 16

Efusi Pleura

dr. Pembimbing:
dr. Flora Eka Sari, Sp.P

Disusun oleh:
Indra Fransis Liong
11.2017.039

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 05 NOVEMBER 2018 – 12 JANUARI 2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

Efusi pleura adalah akumulasi cairan abnormal di dalam cavum pleura yang
terjadi karena adanya peningkatan produksi cairan ataupun karena adanya
penurunan absorbsi cairan dari permukaan pleura. Cairan abnormal tersebut dapat
berupa serous, darah, atau pus. Penyakit-penyakit yang dapat mengakibatkan
Efusi pleura adalah tuberkulosis, infeksi paru non tuberkulosis, keganasan, sirosis
hati, trauma tembus atau tumpul pada daerah dada, infark paru serta gagal jantung
kongestif. Efusi pleura biasa terjadi sebagai komplikasi dari berbagai penyakit
yang mengindikasikan bahwa terdapat suatu penyakit yang mendasarinya. 1,2
Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh penyakit
jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri. Sementara di
negara-negara berkembang seperti indonesia lazim di akibatkan oleh infeksi
tuberkulosis. Tingkat kejadian efusi pleura mencapai 320 per 100.000 penduduk
di negara-negara industri dan penyebaran etiologi berhubungan dengan prevalensi
penyakit yang mendasarinya.3 Insidensi di Amerika Serikat mencapai 1,5 juta
orang setiap tahunnya. Sementara itu, di Indonesia tingginya insidensi berbagai
kasus infeksi menjadi faktor resiko yang paling signifikan dalam menyumbang
insidensi kasus efusi pleura. Di Indonesia TB paru merupakan penyebab utama
efusi pleura, di susul oleh keganasan. 4
Gambaran klinik dan radiologik antara transudat dan eksudat bahkan antara
efusi pleura tuberkulosis dan non tuberkulosis hampir tidak dapat dibedakan,
sebab itu pemeriksaan laboratorium menjadi sangat penting. Diagnosis efusi
pleura tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks, usg dan ct-scan thoraks.
Penanganan efusi pleura berdasarkan etiologinya. Apabila diagnosis efusi pleura
tuberkulosa sudah dapat ditegakkan maka pengelolaannya pun tidak menjadi
masalah, yaitu efusi dan tuberkulosis ditangani seperti penanganan efusi dan
tuberkulosis pada umumnya. 5,6,7

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Efusi pleura adalah akumulasi cairan abnormal di dalam cavum pleura yang
terjadi karena adanya peningkatan produksi cairan ataupun karena adanya
penurunan absorbsi cairan dari permukaan pleura.1 Cairan abnormal yang
terakumulasi di dalam cavum pleura dapat berasal dari berbagai sumber, antara
lain; robeknya pembuluh darah dan pembuluh limfe, ekstravasasi yang berasal
dari kapiler paru, fistula dari cavum peritoneum, dan hasil sisa infeksi berupa
pus.1,5
Efusi pleura masif adalah akumulasi cairan abnormal pada cavum pleura
dengan jumlah besar, yakni > 50% pada gambaran radiologis dan atau memiliki
volume diatas 600 cc.1 Efusi pleura tuberkulosa adalah efusi pleura yang
disebabkan oleh penyakit tuberkulosis akibat infeksi Mycobacterium tuberculosis
yang disebut juga sebagai pleuritis tuberkulosa (pleuritis TB). Infeksi TB paru
primer menyebabkan peradangan pada pleura yang dapat menyebar dan meluas
hingga menimbulkan efusi pleura sebagai komplikasi.2,8

Epidemiologi
Tingkat kejadian efusi pleura mencapai 320 per 100.000 penduduk di
negara-negara industri dan penyebaran etiologi berhubungan dengan prevalensi
penyakit yang mendasarinya.3 Insidensi di Amerika Serikat mencapai 1,5 juta
orang setiap tahunnya.4 Sementara itu, di Indonesia tingginya insidensi berbagai
kasus infeksi menjadi faktor resiko yang paling signifikan dalam menyumbang
insidensi kasus efusi pleura. Efusi pleura tuberkulosa di Indonesia memiliki angka
kejadian 9,7 sampai 46% dari seluruh kasus tuberkulosis. Penyakit infeksi yang
paling sering mendasari terjadinya efusi pleura adalah tuberkulosis. Indonesia
menempati urutan ke-3 di antara negara-negara dengan prevalensi tuberkulosis
tertinggi di dunia dengan kasus efusi pleura sebagai komplikasinya mencapai
30,26% pada rerata usia 21-30 tahun.5

3
Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang
utama, khususnya di negara-negara berkembang sehingga TB merupakan salah
satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia. Hampir sekitar
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap tahunnya,
Indonesia memiliki ± 250.000 kasus baru dengan ± 140.000 kematian akibat TB.
Selain menyerang jaringan paru, TB sering bermanifestasi ke organ-organ lain
(TB ekstra paru). Organ yang sering terlibat, yaitu limfonodi, pleura, hepar, dan
organ gastrointestinal lainnya, organ genitourinarius, peritoneum, dan
perikardium. Angka kejadian TB ekstra paru berkisar antara 9,7 sampai 46% dari
semua kasus TB.10,11

Klasifikasi
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
pembentukan cairan, yaitu2,3,7
1. Transudat
Transudat adalah terbentuknya cairan pada satu sisi pleura yang melebihi
proses reabsorpsi cairan tersebut pada sisi pleura lainnya akibat dari
ketidakseimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik dengan tekanan
onkotik. Hal ini biasa terjadi pada kasus:
a) Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
b) Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
c) Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura
d) Menurunnya tekanan intra pleura
Efusi pleura transudativa biasanya disebabkan oleh penyakit non-paru,
antara lain; gagal jantung kiri, sindrom nefrotik, obstruksi vena cava
superior, dan asites pada sirosis hati. Transudat umumnya tidak berwarna
(jernih).
2. Eksudat
Eksudat adalah cairan yang terbentuk melalui membran kapiler abnormal
yang permeabel dan berisi protein berkonsentrasi tinggi. Hal ini terjadi
akibat proses peradangan yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
pleura sehingga sel mesotelial berubah bentuk menjadi bulat atau kuboidal
dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Protein yang
terdapat dalam cairan pleura umumnya berasal dari saluran getah bening.
Kegagalan aliran protein dari saluran getah bening ini (misalnya pada kasus

4
efusi pleura tuberkulosa) akan menyebabkan peningkatan konsentrasi
protein cairan pleura sehingga menimbulkan eksudat. Efusi pleura
eksudativa biasanya tidak hanya disebabkan oleh penyakit paru, seperti;
infeksi (tuberkulosis, pneumonia), tumor pada pleura, infark paru, dan
karsinoma bronkogenik, tetapi juga dapat disebabkan oleh infeksi lain yang
letaknya berdekatan dengan paru-paru, seperti abses intra-abdominal dan
perforasi esofageal. Pada efusi pleura eksudativa sering ditemukan sel-sel
peradangan, seperti sel polimorfonuklear dan jaringan nekrotik. Eksudat
dapat tidak berwarna (jernih), keruh, atau berdarah.
Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui
pengukuran kadar laktat dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura.
Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut
ini:
 Protein cairan pleura/protein serum > 0,5
 LDH cairan pleura/cairan serum > 0,6
 LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal di dalam serum
Efusi pleura tuberkulosa (pleuritis TB) biasanya bersifat eksudatif dan
limfositik.

Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada etiologinya yang dapat
mempengaruhi keseimbangan antara cairan dengan protein di dalam rongga
pleura.7 Sebelum memahami mekanisme efusi pleura tersebut, sangat penting
untuk mengetahui fisiologi dari cairan pleura terlebih dahulu.
Pleura terdiri atas suatu lapisan parietal yang menerima darah dari arteri
sistemik dan lapisan viseral yang menerima darah dari sistem arteri pulmonalis.
Diantara kedua lapisan pleura tersebut terdapat cairan pleura yang berfungsi untuk
melicinkan dan mengurangi gesekan pleura parietal dan viseral selama gerakan
nafas terjadi. Cairan pleura dalam keadaan normal dibentuk melalui proses filtrasi
di pembuluh darah kapiler sebanyak 10-20 cc per hari. Cairan pleura akan selalu
diproduksi dalam jumlah tetap apabila terdapat keseimbangan antara proses
produksi oleh pleura viseralis dengan proses reabsorpsi oleh pleura parietalis dan

5
sistem limfatik. Proses produksi dan reabsorpsi tersebut terjadi melalui proses
pertukaran pada dinding kapiler.2,12,13,14
Proses pertukaran pada dinding kapiler terjadi dalam dua cara, yaitu difusi
pasif menuruni gradien konsentrasi yang merupakan mekanisme utama untuk
pertukaran zat-zat terlarut dan bulk flow yang merupakan mekanisme untuk
menentukan distribusi volume cairan ekstra seluler (CES) antara kompartemen
vaskular (plasma) dengan cairan interstisium sehingga mekanisme bulk flow yang
memiliki peranan penting dalam keseimbangan cairan pleura. Bulk flow adalah
proses terjadinya filtrasi suatu volume plasma bebas protein yang kemudian
bercampur dengan cairan interstisium untuk selanjutnya direabsorpsi kembali.
Dinding kapiler memiliki fungsi sebagai penyaring dengan pori berisi air yang
dapat dialiri oleh cairan plasma. Ketika tekanan di dalam kapiler melebihi tekanan
di luar maka cairan terdorong ke luar melalui pori dalam suatu proses yang
dikenal sebagai ultrafiltrasi. Sebagian protein plasma tetap tertahan di bagian
dalam selama proses ini berlangsung karena efek filtrasi pori (bahan besar tak
larut lemak seperti protein plasma tidak dapat menembus pori yang berisi air)
sehingga filtrat yang dihasilkan adalah suatu plasma bebas protein. Ketika tekanan
di luar kapiler melebihi tekanan di dalam maka cairan terdorong masuk dari cairan
interstisium ke dalam kapiler melalui pori kembali yang dikenal sebagai
reabsorpsi.12,13,14
Terdapat empat gaya yang mempengaruhi perpindahan cairan melewati
dinding kapiler, yaitu
1. Tekanan darah kapiler: tekanan cairan atau hidrostatik yang dihasilkan oleh
darah pada bagian dalam dinding kapiler yang cenderung mendorong cairan
keluar dari kapiler ke dalam cairan interstisium.
2. Tekanan osmotik koloid plasma (tekanan onkotik): tekanan yang mendorong
perpindahan cairan ke dalam kapiler melalui efek osmotik akibat kadar protein
yang lebih tinggi dengan konsentrasi air yang lebih rendah di dalam kapiler
dibandingkan cairan interstisium.
3. Tekanan hidrostatik cairan interstisium: tekanan yang ditimbulkan oleh cairan
interstisium pada bagian luar dinding kapiler yang cenderung mendorong cairan
masuk ke dalam kapiler.

6
4.Tekanan osmotik koloid cairan interstisium: tekanan yang mendorong
perpindahan cairan keluar kapiler dan masuk ke dalam cairan interstisium (jika
protein plasma secara patologis bocor ke dalam cairan interstisium) Oleh karena
itu, dua tekanan yang cenderung mendorong cairan keluar kapiler adalah tekanan
darah kapiler dan tekanan osmotik koloid cairan interstisium, sedangkan tekanan
osmotik koloid plasma dan tekanan hidrostatik cairan interstisium cenderung
mendorong cairan kedalam kapiler.12,13
Berdasarkan penjabaran diatas, efusi pleura terjadi akibat akumulasi cairan
pleura abnormal yang secara garis besar dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu2
1. Pembentukan cairan pleura yang berlebih
Hal ini dapat terjadi karena peningkatan permeabilitas kapiler (peradangan dan
neoplasma), peningkatan tekanan hidrostatik (gagal jantung kiri), dan penurunan
tekanan intrapleura (atelektasis).
2. Penurunan kemampuan reabsorpsi
Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan tekanan osmotik koloid darah
(hipoalbumin) dan sumbatan pembuluh limfe.
Perjalanan penyakit efusi pleura tuberkulosa dimulai dari adanya infeksi
primer tuberkulosis oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang didapat melalui
inhalasi udara yang mengandung droplet nuclei. Bakteri yang masuk ke dalam
saluran pernafasan akan dilawan oleh sistem imunitas tubuh, yaitu neutrofil dalam
waktu 24 jam pertama. Setelah neutrofil, sistem imunitas tubuh lainnya yang
berperan penting adalah makrofag. Makrofag yang mefagositosis bakteri akan
menghasilkan sitokin, khususnya IL-12 dan IL-18 yang akan merangsang
pertumbuhan limfosit T CD4+ untuk kemudian melepaskan IFN-γ yang penting
dalam aktivasi mekanisme mikrobisid makrofag dan merangsang untuk
melepaskan TNF-α yang diperlukan dalam pembentukan granuloma. Granuloma
akan membatasi replikasi dan penyebaran mikobakteria. Bila bakteri mampu
bertahan dari makrofag maka bakteri akan berkembang biak di dalam sitoplasma
makrofag dan akan membentuk sarang TB pneumonia kecil/afek primer/fokus
(sarang) Ghon. Sarang primer ini dapat menyebar dan menjalar ke pleura hingga
membentuk tuberkel. Tuberkel adalah granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit
dan sel datia-langerhans (sel besar dengan banyak inti yang dikelilingi sel-sel

7
limfosit dan jaringan ikat). Tuberkel yang meluas dapat membentuk jaringan keju
(jaringan kaseosa) karena proses hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh
enzim yang diproduksi makrofag serta akibat aktivitas sitokin dengan TNF nya
yang berlebih. Jaringan keju (jaringan kaseosa) ini dapat pecah hingga
membentuk kavitas yang mengakibatkan bahan perkejuan serta kuman M. TB
masuk ke dalam rongga pleura dan menimbulkan interaksi dengan limfosit T.
Interaksi ini merangsang reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan menghasilkan
limfokin yang meningkatkan permeabilitas kapiler pleura terhadap protein
sehingga protein dapat keluar ke interstisial dan mengakibatkan akumulasi cairan
pleura abnormal (efusi pleura).2,7,8,15,16

Gambar 3.2 Patogenesis Efusi Pleura5

8
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari efusi pleura sangat bervariasi dan seringkali
berhubungan dengan proses penyakit yang mendasarinya. Nyeri dada dikarenakan
proses inflamasi pleura (infeksi pleura, mesotelioma, infark pulmonal). Sesak
dapat timbul karena penimbunan cairan dalam rongga pleura yang akan
memberikan kompresi patologis pada paru sehingga ekspansinya terganggu.
Batuk pada efusi pleura mungkin disebabkan oleh rangsangan pada pleura oleh
karena cairan pleura yang berlebihan, proses inflamasi, ataupun massa pada paru-
paru.6,17,18
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan efusi pleura dapat menunjukkan
beragam interpretasi yang tergantung dari jumlah volume cairan efusi pleura. Pada
umumnya, efusi <300 ml tidak dapat dideteksi dan tidak menunjukkan interpretasi
apapun, sedangkan pada efusi pleura dengan jumlah cairan >300 ml dapat
ditemukan bunyi redup pada perkusi, penurunan pergerakan pada salah satu
dinding dada (gerakan dinding dada asimetris), melemah sampai hilangnya stem
fremitus, penurunan sampai hilangnya suara pernafasan, dada tampak cembung,
dan ruang antar iga yang melebar dan mendatar.1
Pada pemeriksaan radiologis, dapat dijumpai kelainan parenkim paru. Bila
kelainan paru terjadi pada lobus bawah maka efusi pleura terkait dengan proses
infeksi TB primer dan bila kelainan lobus paru ada dibagian lobus atas maka
kemungkinan besar infeksi yang terjadi berasal dari TB pasca primer dengan
reaktivasi fokus lama. Efusi pleura hampir selalu terjadi disisi yang sama dengan
kelainan parenkim parunya.2,7
Cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan
seperti kurva dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian
medial. Jumlah Pada foto thoraks posterior anterior (PA), terdapat gambaran
kesuraman pada hemithoraks yang terkena efusi, konsolidasi homogen dan
meniskus, sinus costophrenicus tumpul, perdorongan trakea dan mediastinum ke
sisi yang berlawanan, serta permukaan cairan minimal yang dapat terlihat pada
foto thoraks PA adalah 175-200 ml. Bila cairan kurang dari 200 ml (75-100 ml)
dapat ditemukan gambaran pengisian cairan di sinus costophrenicus posterior

9
pada foto thoraks lateral. Foto thoraks lateral dapat mengetahui lokasi efusi
pleura, di depan atau di belakang tubuh.7,8

Penegakkan Diagnosis
Anamnesis
anamnesis, terutama untuk mengetahui faktor resiko penyakit pasien yang
mendasari terjadinya efusi pleura.
1. Keluhan Utama
Umumnya mencakup gejala respiratorik, seperti nyeri dada, sesak, atau
batuk.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Penggalian keluhan utama dan penyerta mulai dari; waktu dimulainya
pasien merasakan keluhan, sifat keluhan hilang-timbul atau menetap,
keluhan dipengaruhi oleh waktu, aktivitas, atau posisi tubuh, lokasi
terjadinya keluhan dan lain sebagainya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat batuk lama, asma, alergi, hipertensi, diabetes, penyakit jantung,
keganasan, dan trauma.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien,
riwayat batuk lama dan riwayat penggunaan OAT.
5. Riwayat Penggunaan Obat
Untuk kasus efusi pleura tuberkulosa sangat penting untuk mengetahui
riwayat penggunaan OAT pada pasien.
6. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pengkajian terhadap lingkungan tempat pasien beraktifitas sehari-hari;
kelembapan, ventilasi udara, cahaya matahari, kebersihan lingkungan, dan
lain sebagainya.

Gambaran Klinis
1. Gejala Respiratorik
1) Batuk
2) Sesak nafas
3) Nyeri dada
2. Gejala Sistemik
1) Demam

10
2) Keringat malam
3) Penurunan nafsu makan
4) Penurunan berat badan
5) Malaise

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan efusi pleura dapat menunjukkan
beragam interpretasi yang tergantung dari jumlah volume cairan efusi pleura,
mulai dari tanpa gejala hingga menimbulkan gejala yang bermakna, seperti; 2,8,14,15
- Inspeksi : dada tampak cembung dan gerakan dinding dada tampak asimetris.
- Palpasi : salah satu bagian dada tertinggal, melemah sampai hilangnya stem
fremitus, serta ruang antar iga yang melebar dan mendatar.
- Perkusi : redup hingga pekak (tergantung banyak cairan).
- Auskultasi : penurunan sampai hilangnya suara vesikuler, suara gesekan pleura.

Pemeriksaan Penunjang

1. Apusan dan kultur sputum, cairan pleura, serta jaringan pleura


Efusi pleura tuberkulosa tidak selalu mudah didiagnosis. Diagnosis pasti
dari efusi pleura TB adalah dengan ditemukannya basil TB pada sputum, cairan
pleura, dan jaringan pleura. Pemeriksaan apusan cairan pleura secara Ziehl-
Nielsen (ZN) walaupun cepat dan tidak mahal, tetapi sensitivitasnya rendah, yaitu
sekitar 35%. Pemeriksaan apusan secara ZN ini memerlukan konsentrasi basil
10.000/ml dan pada cairan pleura pertumbuhan basil TB biasanya terjadi dalam
jumlah kecil. Kultur cairan pleura (kultur Lowenstein) lebih sensitif dibandingkan
ZN, yaitu 11-50% karena pada kultur diperlukan 10-100 basil TB, tetapi kultur
memerlukan waktu yang lebih lama hingga enam minggu untuk menumbuhkan
bakteri. Hasil pemeriksaan BTA dan kultur yang negatif dari cairan pleura tidak
mengeksklusi kemungkinan dari efusi pleura tuberkulosa.
Hasil pemeriksaan BTA pada sputum jarang positif pada kasus primer (25-
33%), namun pada kasus reaktivasi pemeriksaan BTA sputum menunjukkan nilai

11
yang bermakna (50-60%). Eksudat yang kaya limfosit pada cairan efusi dan
granuloma nekrotik kaseosa pada jaringan pleura tidak selalu didapatkan.
2. Biopsi Pleura
Biopsi pleura merupakan suatu tindakan invasif yang memerlukan suatu
pengalaman dan keahlian yang baik karena pada beberapa kasus, pemeriksaan
histopatologi dari biopsi spesimen pleura sering negatif dan tidak spesifik, tetapi
keakuratan diagnosis histopatologis yang didapat dari biopsi pleura dengan jarum
tertutup mencapai 60-80%, yaitu dengan ditemukannya peradangan jaringan
granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif.
3. Uji Tuberkulin
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seorang individu sedang atau
pernah mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG, dan
Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe
lambat. Tes ini akan memberikan hasil yang positif setelah mengalami gejala > 8
minggu. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan akan timbul reaksi berupa
indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat, yakni reaksi persenyawaan antara
antibodi selular dengan antibodi tuberkulin. Pada penderita dengan status
gangguan kekebalan tubuh dan status gizi buruk, tes ini akan memberikan hasil
yang negatif.
4. Cairan Pleura
Sering kadar protein cairan pleura meningkat > 5 gr/dl. Pada kebanyakan
pasien, hitung jenis sel darah putih cairan pleura mengandung limfosit > 50%.
Pada pasien dengan gejala < 2 minggu, hitung jenis sel darah putih menunjukkan
kadar PMN lebih banyak. Pada efusi pleura tuberkulosa, kadar LDH cairan pleura
> 200 U, kadar glukosa sering menurun, kadar pH yang rendah, serta kadar CRP
yang lebih tinggi dibandingkan dengan efusi pleura eksudativa lainnya.

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan efusi pleura terrlebih dahulu meringankan gejala
simptomatik dengan cara mengeluarkan akumulasi cairan dari cavum pleura dan
menangani penyebab efusi pleura. Efusi pleura tuberkulosa yang tidak diterapi
akan mengalami resolusi spontan dalam waktu 4-16 minggu dengan adanya
kemungkinan perkembangan TB paru aktif atau TB ekstraparu pada 43-65%

12
pasien sehingga sangat penting untuk dapat mendiagnosis dan memberikan terapi
yang tepat untuk kasus ini.10
Pengobatan dengan obat-obat anti tuberkulosis (Rifampisin /INH/
Pirazinamid/ Etambutol/ Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan yang dibagi
dalam dua fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Fase intensif bertujuan untuk
membunuh sebagian besar bakteri secara cepat dan mencegah resistensi obat,
sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang tidak aktif.
Berdasakan pedoman tata laksana DOTS pasien dengan sakit berat yang luas atau
adanya efusi pleura bilateral dan sputum BTA positif diberikan terapi kategori I
yang terdiri dari empat macam obat selama 2 bulan fase intensif yang kemudian
dilanjutkan dengan dua macam obat selama 4 bulan fase lanjutan. 9,10 Dosis
pemberian obat disesuaikan dengan berat badan penderita dan cara pemberian
obat seperti pada pengobatan tuberkulosis paru, yaitu10
Kategori I :
2 (HRZE)/4 (HR)3 atau 2 (HRZE)/4 HR atau 2 (HRZE)/6 HE , untuk kasus:
- TB paru BTA (+)
- TB paru BTA (-), Rontgen (+) dengan gejala memberat/lesi luas
- TB ekstra paru kasus berat
Pengobatan dengan obat anti tuberkulosis dapat menyebabkan cairan efusi
diserap kembali oleh tubuh, tetapi untuk mengembalikan fungsi tekanan negatif
dan menghilangkan isi abnormal di dalam cavum pleura dengan cepat dapat
dilakukan terapi sebagai berikut:

1. Water Seal Drainage (tube thoracostomy)


Modalitas terapi yang bekerja dengan menghubungkan cavum pleura yang
berisi cairan abnormal dengan botol perangkat WSD yang nantinya akan
menarik keluar isi cairan abnormal yang ada di dalam cavum pleura dan
mengembalikan cairan pleura seperti semula serta mengurangi kompresi
terhadap paru yang tertekan hingga akhirnya paru akan mengembang kembali.

2. Thoracosintesis

13
Modalitas terapi yang bekerja dengan cara melakukan aspirasi menggunakan
jarum yang ditusukkan pada linea axillaris media spatium intercostalis 6.
Aspirasi dilakukan dengan menggunakan jarum dan spuit atau dapat juga
menggunakan kateter dengan batas maksimal 1000-1500 cc untuk menghindari
komplikasi reekspansi edema pulmonum dan pneumothoraks akibat terapi.

BAB III
KESIMPULAN
Efusi pleura adalah akumulasi cairan abnormal pada cavum pleura yang
dapat disebabkan oleh adanya kelainan pada pleura, paru atau karena penyakit
sistemik. Efusi pleura tuberkulosa adalah efusi pleura yang disebabkan oleh
penyakit tuberkulosis akibat infeksi Mycobacterium tuberculosis yang disebut
juga sebagai pleuritis tuberkulosa (pleuritis TB). Efusi pleura tuberkulosa
(Pleuritis TB) menjadi salah satu manifestasi tersering dari TB ekstra paru, yaitu
kedua terbanyak setelah limfadenitis TB. Efusi pleura tuberkulosa dapat
merupakan manifestasi dari komplikasi TB primer atau TB post-primer
(reaktivasi) pada pasien dengan status imunitas yang menurun melalui
penyerbukan langsung basil TB dari kavitas paru, aliran darah (hematogen), dan
sistem limfatik. Diagnosis efusi pleura tuberkulosis dapat ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Apabila diagnosis efusi
pleura tuberkulosa sudah dapat ditegakkan maka penatalaksanaannya sesuai
dengan tatalaksana efusi pleura dan tuberkulosis pada umumnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Masyhudi, ANF, Fatah S, Saktini F. Hubungan Jumlah Volume Drainase Water


Sealed Drainage dengan Kejadian Udema Pulmonum Re-Ekspansi pada Pasien
Efusi Pleura Masif. Jurnal Media Medika Muda. 2014.

2. Hadi H. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Penyakit-Penyakit Pleura. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FK UI; 2006.

3. Parcel JM, Light RW. Pleural Effusions. PubMed. 2013 February; 59(2): p. 29-
57.

4. Rubins J, Mosenifar Z, Manning HL, Peters SP. Pleural Effusions. Medscape.


2014.

5. Surjanto E, Sutanto YS, Aptridasari J, Leonardo. Penyebab Efusi Pleura pada


Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit. Jurnal Respi Indo. 2014 April; 32(2): p.
102-8.

6. Syahruddin E, Putrakusuma LG. Karakterisitik Efusi Pleura di Rumah Sakit


Persahabatan. J Respi Indo. 2012 July; 32(3): p. 155-60.

7. Mcgrath EF, Anderson PB. Diagnosis of Pleural Effusion, a Systematic


Approach. American Journal of Critical Care. 2011; 20(2): p. 119-27.

8. Longu RW. Update on Tuberculosis Pleural Effusion Respirology. PubMed.


2010; 15: p. 451-8.

9. RI Kementrian Kesehatan. Terobosan Menuju Akses Universal: Strategi


Pengendalian TB di Indonesia Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2010.

10. RI Kementrian Kesehatan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis


Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2014.

11. Isbaniyah, Fattiyah, Thabrani, Zubaedah, Soepandi. Tuberkulosis dalam

15
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia ; 2011.

12. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed. Rachman LY,
editor. Jakarta: EGC; 2007.

13. Sherwood L. Fisiologi Manusia : dari sel ke sistem. 6th ed. Yesdelita N, editor.
Jakarta: EGC; 2011.

14. lango DL, Fauxi AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: Hill
Companies; 2012.

15. Indonesia PDSPD. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. V ed. Sudoyo editor.
Jakarta: InternaPublishing; 2009.

16. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. 9th ed. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universita Indonesia; 2010.

17. Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ. Tuberkulosis, dalam Pedoman


Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2011.

18. Khan AH, Sulaiman SA, Muttalif AK, Hassali MA, Akram H, Gillani SW, et
al. Pleural Tuberculosis and It's Treatment Outcomes. Tropical Journal of
Pharmaceutical. 2013 Juni; 12(4): p. 623-27.

16

Anda mungkin juga menyukai