Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

Fixed Drug Eruption

Disusun Oleh:

Indra Fransis Liong

112017039

Pembimbing:

dr. Ika Soelistina, Sp. KK

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA H.S. SAMSOERI MERTOJOSO, SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 11 FEBRUARI – 16 MARET 2019


STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. NI
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 37 tahun
Pekerjaan : Satpam
Status Perkawinan : Belum menikah

II. ANAMNESIS
Dilakukan alloanamnesis pada tanggal 26 Februari 2018.

Keluhan Utama
Bercak kehitaman pada tangan kiri, kaki kanan dan kaki kiri sejak 2 minggu yang
lalu.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke poli penyakit kulit dan kelamin dengan keluhan bercak kehitaman
pada tangan kiri, kaki kanan dan kaki kiri sejak 2 minggu yang lalu. Pasien mengatakan
keluhan ini timbul semenjak 2 bulan lalu, namun hanya dibagian kaki kanan dan kiri saja.
Tidak ada rasa nyeri, panas, dan gatal pada bercak kehitaman tersebut. Keluhan tersebut
muncul setelah pasien mengkonsumsi obat kotrimoksazol hari ke 3 dari dokter penyakit
dalam. Pasien mengatakan 2 minggu sebelum ke poli kulit, pasien mendapat obat
kotrimoksazol lagi dari dokter penyakit dalam dan 1 hari setelah mengkonsumsi obat
tersebut muncul lagi keluhan yang sama di bagian tangan kiri. Keluhan juga tidak disertai
rasa nyeri, panas, dan gatal. Pasien mengatakan diberi obat kotrimoksazol tersebut karena
pasien mempunyai keluhan BAB sudah 2 bulan tidak berhenti, batuk selama 2 minggu,
berat badan turun, dan sering lelah. Oleh dokter penyakit dalam pasien dilakukan
screening HIV dan hasilnya reaktif 1 reagen.
Pasien mengatakan belum mengkonsumsi obat apapun untuk keluhan bercak
kehitaman di kulitnya. Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya dan tidak ada riwayat alergi juga sebelumya.

1
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit pasien saat ini.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang sedang menderita penyakit yang sama dengan pasien saat
ini.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Kepala : Normocephali
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 THT : Telinga : Normotia
Hidung : Tidak tampak kelainan bentuk
Faring : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tonsil : Tidak dilakukan pemeriksaan
Uvula : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Leher : Bentuk normal
 Thorax :
Paru : Tidak dilakukan pemeriksaan
Jantung : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas: Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Dermatologikus
Lokasi : Regio dorsum manus sinistra, dan regio dorsum pedis dexra dan sinistra.
Efloresensi : Makula hiperpigmentasi, berbatas tegas.

2
IV. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada anjuran pemeriksaan penunjang

V. RESUME
Pasien laki-laki usia 37 tahun datang ke poli penyakit kulit dan kelamin
dengan keluhan bercak kehitaman pada tangan kiri, kaki kanan dan kaki kiri sejak
2 minggu yang lalu. Pasien mengatakan keluhan ini timbul semenjak 2 bulan lalu,
namun hanya dibagian kaki kanan dan kiri saja. Tidak ada rasa nyeri, panas, dan
gatal pada bercak kehitaman tersebut. Keluhan tersebut muncul setelah pasien
mengkonsumsi obat kotrimoksazol dari dokter penyakit dalam. Pasien mengatakan
2 minggu sebelum ke poli kulit, pasien mendapat obat kotrimoksazol lagi dari

3
dokter penyakit dalam dan setelah mengkonsumsi obat tersebut muncul lagi
keluhan yang sama di bagian tangan kiri. Keluhan juga tidak disertai rasa nyeri,
panas, dan gatal. Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya dan tidak ada riwayat alergi juga sebelumya.
Pada pemeriksaan fisik berdasarkan status generalis didapatkan hasil yang
normal. Berdasarkan status dermatologis didapatkan lokasi di Regio dorsum manus
sinistra, dan regio dorsum pedis dexra dan sinistra., dengan efloresensi: makula
hiperpigmentasi, berbatas tegas.

VI. DIAGNOSIS KERJA

Fixed Drug Eruption

VII. DIAGNOSIS BANDING


Lentigo
Eritema Multiforme

VIII. TATALAKSANA
Non-Medikamentosa
 Hentikan obat penyebab munculnya keluhan
 Tidak menggaruk-garuk bercak apabila terasa gatal.

Medikamentosa
 Prednison tablet 3 x 10 mg sehari

IX. PROGNOSIS
ad vitam : Bonam
ad functionam : Bonam
ad sanationam : Dubia ad Bonam

4
Fixed Drug Eruption

DEFINISI
Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan
yang terjadi akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu yang biasanya
dikarakteristik dengan timbulnya lesi berulang pada tempat yang sama dan tiap pemakaian
obat akan menambah jumlah dari lokasi lesi.1,2

SINONIM
Eksantema fikstum, fixed exanthema.1

ETIOLOGI
Dalam evaluasi pasien dengan riwayat alergi obat, menjadi hal yang penting untuk
mengetahui riwayat minum obat pasien secara detail, termasuk menggunakan pengobatan
herbal. Obat yang baru digunakan selama 6 minggu terakhir adalah agen penyebab yang
potensial untuk kebanyakan erupsi pada kulit. Obat yang dapat menyebabkan fixed drug
eruption : (tabel 1)3,4,5.

5
EPIDEMIOLOGI
Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-pasien
dengan erupsi obat dirumah sakit atau bagian kulit dan kelamin pada tahun 1986-1990
dilaporkan pada 135 kasus didapatkan perubahan morfologik akibat erupsi obat yang
paling sering adalah eksantematous (39%), urtikaria/angioedema (27%), FDE (16%),
eritema multiform (5,4%) dan reaksi kulit lainnya (18%). Sejak tahun 1956 proporsi dari
reaksi erupsi obat berupa urtikaria menurun dan terjadi peningkatan angka kejadian FDE.6

PATOGENESIS
Obat-obatan yang paling sering menyebabkan FDE adalah kontrasepsi oral,
barbiturat, fenolftalein, fenasetin, salisilat, naproksen, nistatin, minosiklin, sulfonamide,
tetrasiklin, metronidazol, doriden, sulindac, tolmetin, maolate, bleomysin, busulfan,
zidovudine, klorpromasin, hidantoin, cyclofosfamid, klofasimin, antimalaria, prokarbasin,
doksorubisin.6,7,8
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non
imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang terjadi
melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang
sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat tersebut.disebabkan oleh berat
molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada mulanya sebagai antigen yang
tidak lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya yang berupa hapten, harus
berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari
membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten protein.
Kekecualiannya ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat berfungsi
langsung sebagai antigen yang lengkap.
Ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan sejauh mana kapasitas dari sebuah
obat dalam menimbulkan respon imun :
1. Karakteristik molekular dan sensitisasi.
Sebuah molekul yang imunogenik biasanya mempunyai berat molekul lebih dari 1000
dalton. Kebanyakan molekul obat tidak sebesar itu dan untuk memberikan respon imun
harus berikatan dengan makromolekul jaringan yang berperan sebagai hapten. Hapten

6
adalah sebuah substansi yang tidak imunogenik tetapi menjadi imunogenik ketika
berikatan dengan karier makromolekul. Ikatan yang terjadi haruslah sangat kuat dan
biasanya bersifat kovalen.
Untuk sebuah ikatan obat dan makromolekul jaringan kompleks menjadi imunogenik
harus diproses oleh antigen dan sel yang bersangkutan (seperti sel langerhans dari
kulit). Bersama-sama dengan antigen histokompatibiliti ke sebuah limfosit T sebagai
hasil dari presentasi terjadi aktivasi dari populasi sel T yang berbeda dan setiap
populasi sel T dapat menimbulkan reaksi klinik yang berbeda pada aktivasi TH1 tipe
sel T menyebabkan produksi dari interferon γ dan interleukin 2 yang akan diikuti
dengan terjadinya reaksi obat morbiliform pada kontak dermatitis atau mungkin
nekrolisis epidermal toksis. Aktivasi tipe sel TH2 menyebabkan terjadinya produksi
interleukin -4, -5, atau -13, yang akan menyebabkan terjadinya produksi dari antibodi
IgE dan reaksi klinik seperti urtikaria atau anafilaktik. Mekanisme yang menentukan
tipe terakhir dari aktivasi sel T belum diketahui.6
2. Variasi metabolik individu.
Variasi metabolik individu merupakan jalur yang dilewati oleh obat dimana dapat
memberi reaksi intermediet atau diekskresi. Reaktivasi intermediet berlaku sebagai
hapten yang dapat melakukan ikatan kovalen pada makromolekul sel yang dapat
menyebabkan kematian sel atau merangsang respon imun sekunder.6
3. Kemampuan imunogenetik.
Respon imun dari antigen-antigen yang bervariasi biasanya dikontrol secara genetik
dan berbeda-beda pada tiap individu. Beberapa observasi klinik mengatakan bahwa
kontrol genetik mempunyai suatu peranan yang besar dalam reaktivasi obat. Mereka
percaya bahwa reaksi anafilaktik lebih sering terjadi pada individu atopik dibanding
dengan non-atopik. Wanita memiliki angka kejadian 35% lebih tinggi daripada pria.
Sebagai tambahan pasien dengan SLE dapat meningkatkan prevalensi dari reaksi alergi
obat, tetapi belum jelas apakah hal ini berhubungan dengan abnormalitas imun atau
frekuensi pemaparan obat-obatan. Demonstrasi yang paling jelas tentang pentingnya
sistem imun terhadap resiko obat adalah pada kasus infeksi HIV. Reaksi obat pada
pasien HIV 10 x lebih tinggi daripada mereka yang tidak terinfeksi dan resiko ini
meningkat seiring dengan perjalanan penyakitnya. Demikian pula untuk pasien yang
melakukan transplantai sumsum tulang, dimana terjadi peningkatan resiko reaksi obat.6
4. Usia

7
Usia dapat menentukan kemampuan respon imun dari pemberian suatu obat, dimana
dikatakan alergi lebih sering ditemukan pada anak-anak dan pada manula, mungkin
karena ketidakmatangan atau involusi dari sistem imun.6

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya FDE :


1. Paparan obat.
Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit antigen antibodi
dengan terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola morfologik yang spesifik
yang dapat meningkat atau menurun pada pemberian obat yang menyebabkan
terjadinya reaksi kulit tersebut. Sebagai contoh FDE lebih sering ditemukan pada
pemberian barbiturat daripada penisilin, walaupun penisilin memiliki kemungkinan
menimbulkan reaksi kulit karena obat yang lebih tinggi.6
2. Waktu kejadian.
Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1 - 2 minggu dari terapi pertama.
Beberapa tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas dapat memberikan onset yang
tertunda bahkan sampai lebih dari 2 bulan setelah pemberian obat. Untuk beberapa
reaksi yang lebih serius, resiko yang berhubungan dengan pemberian obat lebih dari 2
bulan tampak lebih rendah.6
3. Uji eliminasi pemakaian obat.
Kebanyakan reaksi kulit karena obat akan berkurang dengan penghentian pemakaian
obat tersebut. Sebuah reaksi kulit tidak mungkin berhubungan dengan obat jika reksi
terus berlanjut setelah dilakukan penghentian pemakaian obat tersebut.6
4. Pemaparan obat ulangan.
Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti apakah obat tersebut
menyebabkan terjadinya reaksi kulit walaupun pemberian yang sering tidak
dimungkinkan karena tidak menjamin keselamatan dari pasien kecuali terjadi
perubahan pola status imunologik pasien.6

Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh


Coombs & Gell; suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari
ke empat jalur berikut ini;
1. Tipe I Reaksi Anafilaktik
Reaksi ini sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat tidak
menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi pajanan selanjutnya

8
menimbulkan reaksi. Antibody yang terbentuk adalah antibody IgE yang
memiliki afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil 3.
Pada pemberian obat yang sama, antigen dapat menimbulkan
perubahan berupa degranulasi sell mas dan basofil dan melepaskan
mediator seperti histamine, sitokin, dan lipid mediator 3.
Contoh reaksi obat tipe I adalah urtikaria, angioedema, maupun syok
anafilaktik. Reaksi terjadi dalam 25 menit dan reaksi berat berupa asfiksia
akibat edem laring sering terjadi antara 15-60 menit. Contoh obat yang
dapat menyebabkan erupsi obat tipe cepat antara lain:
Obat yang sering digunakan yang menimbulkan reaksi alergi
(IgE)
Melalui Hapten Melalui Antigen Lengkap
Penisilin Insulin
Sefalosporin Rekombinanan
Sulfonamid Enzim
Pelemas otot ACTH
Antituberculosis Vaksin
Antikonvulsan
kuinidin

2. Tipe II Reaksi Sitotoksik


Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan
penggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel. Hal ini menyebabkan
efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai
komplemen[3]. Contoh reaksi obat tipe II adalah destruksi membrane sel
seperti sel darah merah, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel.
Contoh obat yang dapat menyebabkan nya :
Obat yang sering menyebabkan reaksi
sitostatik
Penisilin
Sefalosporin
Sreptomisin
Sulfonamide
Isoniasid

3. Tipe III Reaksi Kompleks Imun

9
Reaksi ini ditandai dengan pembentukan kompleks antigen,
antibody (IgM, IgG) dala sirkulasi darah dan mengaktifkan komplemen.
Komplemen yang diaktifkan melepaskan berbagai enzim yang dapat
merusak jaringan. Gejala klinis dapat berupa vaskulitis, drug fever,
urtikaria, nefritis, limfadenopati, serum sickness, henoch schonlein purpura.
Lesi dapat menyatu dan membentuk plak. Contoh obat yang dapat
menyebabkan reaksi kompleks imun3:
Obat yang sering menyebabkan reaksi
kompleks imun
Penisilin
Eritromisin
Sulfonamide
Salisilat
Isoniasid

4. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat


Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisisasi
mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi tipe lambat
karena baru timbul 12 - 48 jam setelah pajanan dengan antigen[3].

GAMBARAN KLINIK
FDE dikarakteristik dengan 1 atau beberapa lesi eritematous. Lesi ini seringkali
timbul pada wajah dan daerah genital dan menyebabkan terjadinya luka seperti luka bakar
walaupun inflamasi akut sembuh secara perlahan-lahan tapi hiperpegmentasi lokal akan
menetap dengan pemaparan obat yang berulang, lesi akan muncul kembali pada tempat
yang sama.6
Lesi baru berbentuk bulat atau oval dan berbentuk plak dengan gambaran eritematous dan
bula pada kulit akan berubah berwarna ungu atau coklat. Lesi biasanya berkembang dalam
waktu 30 menit - 8 jam setelah pemberian obat, kadang-kadang lesi pada awalnya soliter
tapi pada pemberian obat yang berulang lesi baru dapat muncul lagi dan lesi lama yang
sudah ada dapat bertambah besar.
Lesi lebih sering muncul pada anggota gerak daripada badan. tangan, kaki, genitalia (glans
penis) dan daerah perianal adalah tempat favorit munculnya lesi. Lesi juga dapat muncul
di sekeliling mulut dan mata. Daerah genital dapat terjadi berhubungan dengan lesi pada
kulit atau terjadi sendiri. Apabila terjadi penyembuhan timbul pengelupasan yang diikuti

10
dengan perubahan warna yang menetap pada daerah lesi dimana warna berubah menjadi
kecoklatan. Hal ini dapat menghilang seiring waktu tapi sering menetap diantara
pemaparan obat. Pigmentasi terjadi lebih lama pada orang dengan kulit coklat. Pigmentasi
dari FDE menghilang apabila penderita tidak diberikan obat penyebab. FDE non
pigmentasi dilaporkan pada pemberian pseudoefedrin dan piroksikan bisa terdapat gejala-
gejala lokal atau umum yang menemani perjalanan penyakit fixed drug eruption yang
berupa gejala ringan atau tidak ada.6,7

Beberapa gambaran karakteristik ke arah dugaan adanya FDE :


1. Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada penggunaan pertama
kali, waktu reaksi berkisar antara 8-9 hari.7
2. Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan kimiawi
obat tersebut.7
3. Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang berat meskipun obat
tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.7
4. Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang sama
pada waktu yang berlainan, sebaliknya berbagai obat dapat menyebabkan reaksi atau
manifestasi klinik yang sama.7

11
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu memastikan diagnosa FDE
dengan pemeriksaan histopatologi.
Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan adanya degenarasi hidrotik pada lapisan sel
basal yang akan menuju pada inkontinens pagmentari, dimana dikarakteristik dengan
adanya melanin dalam jumlah yang banyak diantara makrofag yang terdapat pada lapisan
atas kulit (Tarnowsky). Sebagai tambahan terdapat penyebaran dari diskeratotik
keratonicytes dengan sitoplasma yang eosinifilik dan inti pignotik sering terlihat pada
epidermis (Furuya, dkk). Pada pemeriksaan dengan mengunakan mikroskop elektron
diskeratotik keratonicytes terisi dengan tonofilamen tipis yang homogen dan menunjukkan
sedikit dari sisa-sisa organel sel dan inti.

DIAGNOSIS
Diagnosis FDE berdasarkan :
1. Anamnesis :
Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat dan diketahui
mengenai :
- obat-obatan yang didapat
- kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah
masuknya obat.
- Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya
subfebril.

2. Kelainan Klinis :

12
Adanya kelainan klinis berupa lesi yang selalu timbul pada tempat yang sama
akibat pemaparan obat. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis
merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut.
3. Pemeriksaan Khusus :
Saat ini belum diketahui cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya untuk
mendeteksi obat penyebab FDE.1,4

DIAGNOSIS BANDING
Lentigo
Lentigo adalah macula coklat atau coklat kehitaman berbentuk bulat atau polisiklik.
Lentiginosis adalah keadaan timbulnya lentigo dalam jumlah yang banyak atau dengan
distribusi tertentu. Dengan gejala klinis lesi berupa macula hiperpigmentasi yang timbul
sejak lahir dan berkembang pada masa anak-anak. macula tersebut selalu memngenai
selaput lendir mulut berbentuk bulat, oval, atau tidak teratur; berwarna coklatkehitaman
berukuran 1-5 mm. Letaknya pada mukosa bukal, gusi, palatum durum, dan bibir. Berck di
muka tampak lebih kecil dan lebih gelap terutama di sekitar hidung dan mulut, pada tangan
dan kaki bercak tampak lebih besar.

Eritema Multiforme
Eritema Multiforme merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan
kadang-kadang pada selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spectrum dan
gambaran khas bentuk iris. Pada kasus yang berat disertai simptom konstitusi dan lesi
visceral.
Tipe macula-eritema; erupsi timbul mendadak, simetrik dengan tepat predileksi di
punggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas, dan selaput lendir. Pada
keadaan berat dapat juga mengenai badan. Gejala khas berbentuk iris (target lesion),

13
terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan,
dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan FDE belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam
memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya.
Pengobatan dibagi dalam :
 pengobatan kausal
Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka telah dapat
dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari obat yang mempunyai struktur kimia
mirip dengan obat tersangka (satu golongan).
 pengobatan sistemik
a. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Dosis standar
untuk fixed drug eruption pada orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednisone sehari.
b. Antihistamin
Antihistamin terbagi menjadi antihistamin H1 dan antihistamin H2.
Antihistamin H1 dapat dibagi menjadi dua, agen generasi pertama (misalnya,
diphenhydramine, klorfeniramin, hydroxyzine) dan yang lebih baru, agen generasi
kedua (misalnya, cetirizine, loratadin, fexofenadine, dan lain-lain).
Pada umumnya, efek antihistamin telah terlihat dalam waktu 15-30 menit
setelah pemakaian oral, dan mencapai puncaknya pada 1-2 jam, sedangkan lama
kerjanya bervariasi dari 3-6 jam. Antihistamin dapat diberikan selama 7-10 hari

Antihistamin H1 – Agen generasi pertama

14
Golongan antihistamin H1 ini menyebabkan kontraksi otot polos,
vasokonstriksi, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan pruritus. Agen ini
adalah lipofilik dan mudah melewati sawar darah otak, menyebabkan mengantuk
dan efek samping antikolinergik. Sedasi signifikan dan penurunan kinerja
(keterampilan misalnya, motorik, dan keterampilan mengemudi) terjadi pada lebih
dari 20 persen pasien.
Efek samping antikolinergik termasuk mulut kering, diplopia, penglihatan
kabur, retensi urin, atau kekeringan vagina. Pasien harus diperingatkan secara
khusus tentang efek samping ini.
Beberapa obat golongan antihistamin H1 generasi pertama contohnya adalah
sebagai berikut:
 Diphenhydramine
Dosis pada orang dewasa adalah 25 sampai 50 mg diberikan
lambat intravena (IV) atau intramuskular administrasi (IM) injeksi
setiap empat sampai enam jam, sesuai kebutuhan. Anak-anak dapat
menerima 0,5-1,25 mg / kg (sampai 50 mg per dosis) IV / IM setiap
enam jam sesuai kebutuhan.
 Hydroxyzine
Dosis pada orang dewasa adalah 25 sampai 50 mg administrasi
IM dalam pada orang dewasa setiap empat sampai enam jam, sesuai
kebutuhan. Anak-anak dapat menerima 0,5-1 mg / kg (sampai 50 mg
per dosis) IM setiap enam jam sesuai kebutuhan.

Antihistamin H1 – Agen generasi kedua


Antihistamin H1 generasi kedua lebih direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama oleh pedoman yang diterbitkan dari alergi dan dermatologi. [19,20] Obat ini
bebas dari efek antikolinergik (tidak seperti agen generasi pertama) dan memiliki
frekuensi pemberian yang lebih jarang dibandingkan dengan agen-generasi
pertama.
Antihistamin H1 generasi kedua hanya tersedia dalam bentuk formulasi oral
dan meliputi:
 Cetirizine

15
Cetirizine menunjukkan onset kerja yang cepat dengan
menstabilkan sel mas. Dosis standar 10 mg sekali sehari sesuai untuk
orang dewasa dan anak-anak berusia enam tahun atau lebih (dan dapat
ditingkatkan sampai dua kali 10 mg sehari pada orang dewasa jika
diperlukan). Dosis biasa untuk anak usia 2-5 tahun adalah 5 mg sekali
sehari. Anak kecil berusia enam bulan sampai dua tahun dapat
diberikan 2,5 mg sekali sehari (dapat ditingkatkan menjadi 2,5 mg dua
kali sehari pada anak satu tahun dan lebih tua jika diperlukan).
 Levocetirizine
Levocetirizine adalah enantiomer aktif cetirizine yang
menghasilkan efek setara dengan cetirizine sekitar satu setengah dosis.
Untuk orang dewasa dan anak-anak 12 tahun dan lebih tua, dosis
standar adalah 5 mg sekali sehari di malam hari (atau sampai dengan
dua kali 5 mg sehari pada orang dewasa jika diperlukan) atau 2,5 mg
sekali sehari di malam hari untuk anak usia 6 sampai 11 tahun.
Levocetirizine tidak mungkin efektif sebagai alternatif bagi pasien yang
memiliki toleransi terhadap efek cetirizine.
 Loratadin
Loratadin adalah antihistamin kerja panjang, selektif H1
antihistamin yang berbeda dari cetirizine yang memiliki dosis standar
10 mg sekali sehari untuk usia enam tahun dan lebih (atau sampai dua
kali 10 mg sehari pada orang dewasa jika diperlukan). Untuk anak usia
2-5 tahun, dosis biasa adalah 5 mg sekali sehari..
 Desloratadin
Desloratadin adalah metabolit aktif utama dari loratadin dan
menghasilkan efek setara dengan loratadine sekitar satu setengah dosis.
Untuk orang dewasa dan anak-anak 12 tahun dan lebih besar, dosis
standar adalah 5 mg sekali sehari (atau sampai dengan dua kali 5 mg
sehari pada orang dewasa jika diperlukan). Untuk anak-anak usia 6
sampai 11 tahun, dosisnya adalah 2,5 mg sekali sehari, dan untuk
mereka yang berusia 1 sampai 5 tahun, dosis 1.25 mg sekali sehari.
Dosis yang lebih rendah dari 1 mg sekali sehari disetujui di Amerika
Serikat untuk anak-anak kecil berusia 6 bulan sampai 1 tahun.

16
 Fexofenadine
Dosis yang disarankan adalah 180 mg sehari untuk usia 12 tahun
dan lebih (atau sampai dua kali sehari pada orang dewasa jika
diperlukan) atau 30 mg dua kali sehari untuk anak usia 2 sampai 11
tahun. Dosis yang lebih rendah dari 15 mg dua kali sehari disetujui di
Amerika Serikat untuk anak-anak kecil berusia enam bulan sampai dua
tahun.
Untuk wanita hamil dan ibu menyusui dapat diobati awalnya
dengan loratadine (10 mg sekali sehari) atau cetirizine (10 mg sekali
sehari). Ada data manusia meyakinkan untuk masing-masing obat ini
[24]
aman pada sejumlah besar pasien hamil . Pilihan lain adalah agen
klorfeniramin generasi pertama, 4 mg per oral setiap empat sampai
enam jam.
Di bawah ini adalah tabel obat-obat antihistamin sesuai dengan
golongan dan generasinya beserta dengan dosis yang dianjurkan.

Golongan Obat Dosis Frekuensi


Antihistamin H1 (generasi ke-1, sedatif)
Hydroxizine 0,5-2 mg/kg/kali Setiap 6-8 jam
(dewasa 25-100 mg)
Diphenhydramin 1-2 mg/kg/kali Setiap 6-8 jam
(dewasa 50-100 mg)
Chlorpheniramin 0,25 mg/kg/hari Setiap 8 jam
Maleat (dibagi 3 dosis)
Antihistamin H1 (generasi ke-2, nonsedatif)
Setirizin 0,25 mg/kg/kali 6-24 bulan: 2 kali/hari
>24 bulan: 1 kali/hari
Fexofenadin 6-11 tahun: 30 mg 2 kali/hari
> 12 tahun: 60 mg
Dewasa : 120 mg 1 kali/hari
Loratadin 2-5 tahun: 5 mg 1 kali/hari
> 6 tahun: 10 mg
Desloratadin 6-11 bulan: 1 mg 1 kali/hari
1-5 tahun: 1,25 mg
6-11 tahun: 2,5 mg
>12 tahun: 5 mg
Antihistamin H2
Cimetidine Bayi: 10-20 mg/kg/hari Tiap 6-12 jam (terbagi
Anak: 20-40 mg/kg/hari 2-4 dosis)
Ranitidine 1 bln-16 tahun: 5-10 Tiap 12 jam (terbagi
mg/kg/hari dalam 2 dosis)

17
 Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah.
Pada FDE, jika kelainan membasah dapat diberi kompres dan jika kering dapat diberi
krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2 ½ %.1,3,4
Identifikasi dari obat penyebab FDE dilakukan apabila hanya 1 obat yang
digunakan biasanya kita mencurigai beberapa obat sebagai petunjuk yang kita gunakan
adalah mengetahui kronologis pemberian obat-obatan tersebut. Hanya obat-obatan yang
baru digunakan (8-21 hari) yang dimasukkan dalam daftar yang dicurigai.
Identifikasi yang jelas dari obat penyebab dan catatan tertulis tentang obat-obat
penyebab yang diberikan pada pasien oleh dokter merupakan langkah pencegahan yang
sangat penting. Pemberian obat spesifik (kortikosteroid, obat-obatan imunosupresif/terapi
anti sitokin, immunoglobulin) seharusnya tidak diberikan sesuai standar pemberian obat
sebelum terdapat bukti efisiensi penggunaannya terhadap pasien, kadang-kadang
penggunaan obat-obatan tersebut dapat berbahaya bagi pasien.8

PROGNOSIS

18
Pada dasarnya FDE akan menyembuh bila penyebabnya dapat diketahui dan segera
disingkirkan. Akan tetapi beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan
berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis dapat menjadi buruk
bergantung pada luas kulit yang terkena.1

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Prof. DR. Adhi Djuanda, Dr. Mochtar Hamzah, Dr. Siti Aisah. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin, edisi ketiga. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1999:139-142
2. DermNet Editorial Board. Fixed Drug Eruption. Available from URL:
www.dermnetnz.org/reaction/fixed-drug-eruption.html. Last updated : September 30,
2004.
3. Freedberg Irwin, Eisen Arthur, Wolff Klaus et al. Dermatology in General
Medicine, 5th edition Vol. 1. McGrow Hill Companies, Inc. United States of
America,1999:1633-41
4. Seobaryo R, Suherman S. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Sularsito Sri,dkk. Erupsi
Obat Alergik. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI.1995:3-7,63-4
5. Thiers B. Disorders of Hyperpigmentation. In: Dermatologics Clinics. W.B
Saunders Company.2000:95-7
6. Arnold H, Odom R, James W. Contact Dermatitis in Drug Eruption. In: Diseases of
The Skin. 8th edition. W.B Saunders Company.1990
7. Lever Walter, Schaumberg G. Eruptions Due to Drugs, In: Histopathology of The
Skin. J.B Lippincott Company.1983:259-61
8. Revuz Jean. Serious Drug Reactions. In : Abstracts IX International Congress of
Dermatology. May 19-22, 2004. Beijing China:5

20

Anda mungkin juga menyukai