Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS

Creeping Eruption

Disusun Oleh:

Indra Fransis Liong

112017039

Pembimbing:

dr. Ika Soelistina, Sp. KK

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA H.S. SAMSOERI MERTOJOSO, SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 11 FEBRUARI – 16 MARET 2019


STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. I
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Polisi
Status Perkawinan : Sudah menikah

II. ANAMNESIS
Dilakukan alloanamnesis pada tanggal 18 Februari 2019.

Keluhan Utama
Nyeri dan kemerahan di paha kiri bagian depan sejak 2 minggu yang lalu.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang dengan keluhan rasa nyeri dan kemerahan di paha kiri bagian depan
sejak 2 minggu yang lalu. Pasien mengatakan keluhan ini timbul secara tiba-tiba saja.
Pasien menyangkal adanya gigitan dari binatang ataupun kontak dengan binatang. Keluhan
tambahan lainnya berupa rasa gatal dan rasa panas yang juga dirasakan sejak 2 minggu
lalu. Rasa nyeri, gatal, dan panas di daerah kemerahan tersebut dirasakan terus menerus
sepanjang hari. Akan tetapi, rasa gatal bertambah berat jika malam hari. Pasien
mengatakan awalnya hanya berupa satu bintik kemerahan saja, tetapi kemudian
membentuk alur yang berkelok-kelok.
Pasien mengatakan sudah meminum obat acyclovir dengan dosis 3 x 400 mg dan
menggunakan salep kortikosteroid sejak 2 minggu lalu. Akan tetapi tidak ada perubahan,
dan semakin lama semakin nyeri, gatal, dan kemerahan.
Pasien bekerja sebagai polisi lalu lintas dimana setiap harinya pasien bekerja di
jalanan. Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit pasien saat ini.

1
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang sedang menderita penyakit yang sama dengan pasien saat
ini.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos mentis
 Kepala : Normocephali
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 THT : Telinga : Normotia, sekret di liang telinga (-),
Hidung : Tidak tampak kelainan bentuk, sekret (-), septum deviasi (-)
Faring : Tidak hiperemis
Tonsil : T1-T1 tidak hiperemis
Uvula : Ditengah, tidak hiperemis
 Leher : Bentuk normal, pembesaran KGB (-)
 Thorax :
Paru : suara dasar napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : BJ 1 dan 2 murni reguler, murmur (-), gallop(-)
 Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) , nyeri tekan (-) hepar dan lien tidak
membesar
 Ekstremitas: akral hangat, tidak ada udem

Status Dermatologikus
Lokasi : Femoralis anterior sinistra
Efloresensi : Papul eritematosa seperti benang berkelok-kelok, sirkumskrip, polisiklik,
dan serpiginosa.

2
IV. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada anjuran pemeriksaan penunjang

V. RESUME
Pasien laki-laki usia 50 tahun datang dengan keluhan rasa nyeri dan
kemerahan di paha kiri bagian depan sejak 2 minggu yang lalu. Pasien mengatakan
keluhan ini timbul secara tiba-tiba saja. Keluhan tambahan lainnya berupa rasa
gatal dan rasa panas yang juga dirasakan sejak 2 minggu lalu. Rasa nyeri, gatal, dan
panas di daerah kemerahan tersebut dirasakan terus menerus sepanjang hari. Akan
tetapi, rasa gatal bertambah berat jika malam hari. Pasien mengatakan awalnya
hanya berupa satu bintik kemerahan saja, tetapi kemudian membentuk alur yang
berkelok-kelok. Pasien mengatakan sudah meminum obat acyclovir dengan dosis 3
x 400 mg dan menggunakan salep kortikosteroid sejak 2 minggu lalu. Akan tetapi
tidak ada perubahan, dan semakin lama semakin nyeri, gatal, dan kemerahan.
Pasien bekerja sebagai polisi lalu lintas dimana setiap harinya pasien bekerja di
jalanan.
Pada pemeriksaan fisik berdasarkan status generalis didapatkan hasil yang normal.
Berdasarkan status dermatologis didapatkan lokasi di regio femoralis anterior

3
sinistra, dengan efloresensi: Papul eritematosa seperti benang berkelok-kelok,
sirkumskrip, polisiklik, dan serpiginosa.

VI. DIAGNOSIS KERJA

Creeping Eruption

VII. DIAGNOSIS BANDING


Skabies
Dermatofitosis
Insect Bite

VIII. TATALAKSANA
Non-Medikamentosa
 Setelah selesai bekerja hendaknya mencuci tangan dengan air bersih dan
sabun
 Tidak menggaruk-garuk lesi atau daerah kemerahannya

Medikamentosa
 Thiabendzole 50 mg/kgBB/hari, sehari 2 kali.
 Kloretil spray

IX. PROGNOSIS
ad vitam : Bonam
ad functionam : Bonam
ad sanationam : Bonam

4
Creeping Eruption

Definisi 1

Kelainan kulit yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok,


menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari
anjing dan kucing.

Gambar 1 : creeping eruption

Etiologi 3,4

Penyebab utama dari creeping eruption adalah larva yang berasal dari cacing
tambang binatang anjing dan kucing, yaitu Ancylostoma brazilienes (spesies yang paling
sering ditemukan pada manusia) dan Ancylostoma caninum.

Di Asia timur umumnya disebabkan oleh gnatostoma babi dan kucing. Pada
bebrapa kasus ditemukan Echinococcus, Strongyloideus sterconalis, dermatobia maxiales,
dan Lucilia caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat,
misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan cattle fly. Biasanya larva ini merupakan
stadium ketiga siklus hidupnya.

Faktor risiko 4,5

1. Faktor perilaku

Adapun faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :

5
a) Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki Adanya bagian tubuh yang berkontak
langsung dengan tanah yang terkontaminasi akan mengakibatkan larva dapat melakukan
penetrasi ke kulit sehingga menyebabkan CLM.

b) Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing Penyebab utama CLM adalah
larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Perawatan rutin anjing dan
kucing, termasuk de-worming secara teratur dapat mengurangi pencemaran lingkungan
oleh telur dan larva cacing tambang.

c) Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai Kondisi biogeografis yang hangat
dan lembab menyebabkan banyak terdapat larva penyebab penyakit ini di daerah tropis .
Selain itu, kebiasaan wisatawan untuk berjalan di pesisir pantai tanpa menggunakan sandal
dan berjemur di pasir tanpa menggunakan alas menyebabkan banyaknya laporan kejadian
CLM dari wisatawan yang baru berlibur ke pantai. Sebuah penelitian pada wisatawan
international yang baru meninggalkan Brazil bagian Timur Laut di bandara menunjukkan
bahwa semua wisatawan yang menderita CLM telah mengunjungi pantai selama
liburannya.

2. Faktor lingkungan

Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :

a) Keberadaan anjing dan kucing Anjing dan kucing merupakan hospes definitif
dari cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma
caninum. Tinja anjing dan kucing yang terinfeksi dapat mengandung telur cacing
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum dan Ancylostoma caninum. Telur
tersebut dapat berkembang menjadi stadium larva yang infektif (filariform) pada tanah dan
pasir yang terkontaminasi. Larva filariform dari cacing tersebut apabila kontak dengan
kulit manusia, dapat menembus kulit dan menyebabkan CLM.

b) Cuaca atau iklim lingkungan Ada variasi musiman yang berbeda pada kejadian
CLM, dengan puncak kejadian selama musim hujan. Telur dan larva bertahan lebih lama
di tanah yang basah dibandingkan di tanah yang kering dan dapat tersebar secara luas oleh
hujan yang deras. Selain itu, iklim yang lembab juga mengakibatkan peningkatan infeksi
cacing tambang di anjing dan kucing sehingga pada akhirnya meningkatkan jumlah tinja
yang terkontaminasi dan risiko infeksi pada manusia

6
c) Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab Telur
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum
dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing. Pada keadaan lingkungan yang lembab dan
hangat, telur akan menetas menjadi larva rabditiform dan kemudian menjadi larva
filariform yang infektif. Larva filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit
dan menyebabkan CLM

3. Faktor demografis

Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :

a) Usia

CLM paling sering terkena pada anak berusia ≤4 tahun. Hal ini disebabkan karena
anak pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas kaki saat keluar rumah.

b) Pekerjaan

Larva infektif penyebab CLM terdapat pada tanah atau pasir yang lembab. Orang yang
pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut dapat meningkatkan risiko
terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang memiliki risiko teinfeksi larva penyebab CLM
diantaranya petani, nelayan, tukang kebun, pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain
yang sering kontak dengan tanah atau pasir.

c) Tingkat pendidikan

Suatu penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko CLM di Brazil menunjukkan, dari
1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari 354 (6,5%) penduduk dengan tingkat
pendidikan rendah menderita CLM, sedangkan pada penduduk dengan tingkat pendidikan
tinggi, didapati 34 dari 760 (4,5%) orang menderita CLM.

Siklus hidup 2,5

Penyebab utama Cutaneous Larva Migrans di Indonesia adalah larva cacing


tambang kucing dan anjing. Siklus hidup cacing tambang ini berawal dari telur-telur
cacing yang menetas di tanah yang lembab, hangat, dan teduh untuk menjadi larva.

7
Kemudian larva filariform menembus kulit hospes definitive yaitu kucing dan
anjing. Lalu terjadi siklus hidup yang normal menjadi cacing dewasa dan hidup di usus
hewan tersebut. Larva filariform dapat menembus kulit manusia dengan bantuan enzim
proteolitik yang dimilikinya namun tidak dapat menembus hingga ke dermis karena tidak
mempunyai enzim kolagenase, akibatnya larva akan mengembara diantara dermis dan
epidermis sehingga tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya secara normal dan larva
akhirnya mati.

Patogenesis 1,6,7

Creeping eruption disebabkan oleh berbagai spesies cacing tambang binatang yang
didapat dari kontak kulit langsung dengan tanah yang terkontaminasi feses anjing atau
kucing. Hospes normal cacing tambang ini adalah kucing dan anjing. Telur cacing
diekskresikan ke dalam feses, kemudian menetas pada tanah berpasir yang hangat dan
lembab. Kemudian terjadi pergantian bulu dua kali sehingga menjadi bentuk inefektif
(larva stadium tiga).

Manusia yang berjalan tanpa alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva
dimana larva menggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel, fisura atau
kulit intak. Setelah penetrasi stratum korneum, larva melepas kulitnya. Biasanya migrasi
dimulai dalam waktu beberapa hari.

Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa cm per hari,
biasanya antara stratum granulosum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit
bergerak tanpa arah tujuan yang pasti sepanjang dermoepidermal. Hal ini menginduksi
reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di
kulit.

Larva bermigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang
menembus ke dermis. Manusia merupakan hospes penderita dan larva tidak mempunyai
enzim kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis.
Sehingga penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik yang diekskresi larva
menyebabkan inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak
bisa mencapai intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva sering kali migrasi ke paru-

8
paru sehingga terjadi infiltrat paru. Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam
dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa bulan.

Gambar 2 : pathogenesis creeping eruption

Gejala Klinis 4,6

Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula akan
timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau
berkelok-kelok (snakelike appearance), menimbul dengan diameter 2-3 mm, berwarna
merah segar, atau merah muda, dan terasa gatal. Adanya lesi papul yang eritematosa ini
menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari.
Waktu dari terekspos sampai adanya onset dari gejala biasanya memakan waktu 1-6 hari.

Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-


kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow), mencapai
panjang beberapa milimeter sampai sentimeter setiap harinya. Bisa terdapat satu lesi
maupun beberapa lesi. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Terowongan yang
sudah lama akan mengering dan menjadi krusta dan bila pasien sering menggaruk akan
menimbulkan iritasi yang rentan terhadap infeksi sekunder.

9
Tempat predileksi adalah tungkai, plantar, tangan (unilateral/ bilateral), pinggang,
bahu, anus, bokong dan paha, juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak
dengan tempat larva berada.

Kriteria Diagnosis 1,3,4

a. Anamnesis

Penderita tinggal atau habis bepergian ke daerah tropis atau subtropis yang hangat
dan lembab. Memiliki kebiasaan sering berjalan tanpa menggunakan alas kaki atau
memiliki kegiatan yang sering berhubungan dengan tanah atau pasir. Terdapat kucing atau
anjing yang berkeliaran di sekitar tempat tinggal penderita.

b. Pemeriksaan Fisis

Dengan inspeksi pada daerah tungkai, plantar, tangan, anus, bokong atau paha, juga
di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada, akan
tampak adanya lesi seperti benang yang lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan
terdapat papul dan vesikel di atasnya.

c. Pemeriksaan penunjang
 Untuk menunjang diagnosis bisa dilakukan biopsi kulit. Walaupun tidak terlalu bermakna.
 Bila infeksi ekstensif bisa dijumpai tanda sistemik berupa eosinofilia perifer, sindrom
loeffler (infiltrat paru yang berpindah-pindah), peningkatan IgE. Hanya sedikit pasien yang
menunjukkan eosinofilia perifer dan peningkatan IgE.
 Pemeriksaan histologi bisa juga digunakan dimana akan tampak larva nematoda
terperangkap di antara kanal folikel, stratum korneum atau di dermis bersama
dengan infiltrat eosinofilik inflamasi.

Diagnosis Banding 1,6

1. Skabies
Etiologi: Sarcoptes scabiei, termasuk filum Arthropoda
Gejala klinis: - Pruritus nokturna, gatal pada malam hari
- Menyerang manusia secara berkelompok

10
- Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat
predileksi. Pada skabies terowongan yang terbentuk tidak
sepanjang seperti pada CLM dan gatal pada malam hari. Pada
skabies terdapat papul atau vesikel yang berpasangan.
- Menemukan tungau

Gambar 3. Skabies dengan terowongan

2. Dermatitis insects bite: Papul yang terdapat pada insect bite memiliki
kemiripan terhadap lesi permulaan dari CLM yang berbentuk papul.

Gambar 4. Insect bite


3. Dermatofitosis : penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, kuku, yang disebakan golongan
jamur dermatofita

11
Gambar 5. dermatofitosis

Penatalaksanaan 5,6,7

Non-medikamentosa

Infeksi cacing tambang dapat dicegah dengan menghindari kontak kulit langsung
dengan tanah yang tercemar dengan kotoran binatang dengan memakai alas kaki yang
memadai setiap saat. Pengobatan cacing tambang untuk kucing dan anjing merupakan hal
untuk mencegah creeping eruption. Kotoran binatang harus dipindahkan secara benar dari
area aktivitas manusia. Serta menjaga kebersihaan tangan dengan selalu mencuci tangan
dengan air bersih dan sabun.

Jika dibiarkan saja tanpa pengobatan, larva akan mati dan diabsorbsi. Meskipun
penyakit ini dapat sembuh sendiri, rasa gatal yang hebat dan resiko infeksi sekunder
memaksa seseorang untuk berobat. Untuk kasus yang ringan biasanya tidak memerlukan
pengobatan. Jika perlu dapat diberikan secara topikal ditujukan untuk lesi awal yang
terlokalisir. Untuk kasus yang lebih berat dapat diberikan obat peroral. Pengobatan oral
untuk lesi yang luas atau gagal dengan topikal. Antihistamin membantu mengurangi rasa
gatal. Jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberikan antibiotik.

Medikamentosa

Pengobatan oral

1. Thiabendazole

12
Merupakan antihelmintes heterosiklik generasi ketiga. Merupakan drug of choice
dari CLM. Menghambat enzim fumarat reduktase sehingga menginhibisi pembentukan
mikrotubuli..

Sejak tahun 1963 telah diketahui bahwa antihelmintes berspektrum luas, misalnya
tiabendazole (mintezol), ternyata efektif. Dosisnya 50mg/kgBB/hari, 2 kali sehari,
diberikan berturut-turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum sembuh
dapat diulang setelah beberapa hari. Obat ini sukar didapat. Efek sampingya mual, pusing,
dan muntah.

Topikal thiabendazole 10% krim, walaupun kurang efektif, merupakan alternatif


yang baik untuk anak-anak untuk mencegah efek samping sistemik dari pengobatan

 Dewasa

Topikal berupa suspensi 10-15% (kadang dicampur dengan krim kortikosteroid) secara
oklusi, 2 kali sehari, selama minimal 1 minggu. Oral 25-50mg/kgBB/hari, tiap 12 jam,
selama 2-5 hari

 Anak-anak

Dosis 25-50mg/kgBB/hari setiap 12 jam. Tidak lebih dari 3gr/hari

2. Ivermectin
Antiparasit sistemik makrosiklik yang berspektrum luas terhadap nematoda.
Cara kerjanya dengan menghasilkan paralisis flaksid melalui pengikatan kanal
klorida yang diperantarai glutamat. Mungkin merupakan drug of choice karena
keamanan, toksisitas rendah dan dosis tunggal. Dosis 12mg atau 200 ug/kgBB
dosis tunggal
3. Albendazole
Merupakan generasi ketiga dari obat heterosiklik antihelmintic. Sudah
digunakan untuk mengobati penyakit parasit pada saluran pencernaan.
Antihistamin spektrum luas yang mengganggu ambilan glukosa dan agregasi
mikrotubuli. Sebagai alternatif pengganti tiabendazole.
 Dosis untuk orang dewasa (>2thn), sehari 400mg sebagai dosis tunggal,
diberikan 3 hari berturt-turut atau 2x 200mg sehari selama 5 hari.

13
 < 2 thn: 200mg/hari selama 3 hari dan diulang 3 minggu kemudian jika
perlu.

Pengobatan Topikal

Thiabendazole, Aplikasi topikal dari 10%-15% thiabendazole ointment pada daerah


lesi memperlihatkan hasil yang memuaskan. Krim thiabendazole dibuat dari penghancuran
500mg tablet thiabendazole yang dilarutkan dalam air. Pada kebanyakan penderita, lesi
dari traktus migrasi larva membaik dalam waktu 48 jam pengobatan. Tujuan utama dari
pengobatan topikal adalah untuk mencegah terjadinya efek samping sistemik.

Albendazole, Aplikasi topikal dari 10% albendazole krim 2 kali sehari membaik
dalam waktu 10 hari

Agen Pembeku Topikal

Membekukan sesuai dengan alur dari larva yang terdapat pada kulit dengan sprai
ethylene cloride, solid carnbon dioxide, atau nitrogen cair terkadang berhasil. Cara terapi
ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan
selama 45” sampai 1’, dua hari berturut-turut. Cara beku dengan menyemprotkan kloretil
sepanjang lesi.

Prognosis 1

Prognosisnya sangat bagus. Creeping eruption merupakan penyakit yang dapat sembuh
sendiri. Manusia merupakan hospes penderita, dimana ketika larva mati, lesi akan
membaik dalam waktu 4-8 minggu, terkadang waktu 1 tahun.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah B, 2009. Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasus di Rumah Sakit.


Surabaya: Airlangga University Press. Hal: 141-144.
2. Aisah S, 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-6. Jakarta: FK
Universitas Indonesia. Hal: 125-126.
3. Siregar, RS. Atlas Bewarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi kedua. Jakarta: EGC;
2013
4. Buxton P.K., 2003. ABC of Dermatology 4th Edition. London: BMJ Publishing
Group. Page: 107-108.
5. Hunter J, Savin J, & Dahl M, 2012. Clinical Dermatology 3rd Edition. United States
of America: Blackwell Production. Page: 232.
6. James W.D., Berger T.G, & Elston D.M. 2010. Andrew’s Diseases of the Skin
Clinical Dermatology, Tenth Edition. Canada: W.B Saunders Company. Page: 435-
436.
7. Suyoso S, Ervianti E, Murtiastutik D, Agusni I, SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin FK Unair/RSU Dr. Soetomo, 2011. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi 2, Surabaya: FK Unair/RSU Dr. Soetomo, hal: 57-58.

15

Anda mungkin juga menyukai