Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN KASUS

CUTANEUS LARVA MIGRANS


Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD dr. H. Soewondo Kendal

Disusun oleh :
Andri Fajar Asrori
30101407135

Pembimbing :
dr. M. Nurul Kawakib, Sp. KK
dr. Nur Aeni Mulyaningsih, Sp.KK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Cutaneuos Larva Migrans (CLM) merupakan kelainan kulit berupa
peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif,
disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing atau
kucing[1]. Kelainan ini dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah yang
beriklim tropis, udara yang hangat dan lembab sangat cocok untuk kelangsungan
hidup cacing tambang. Kejadian cutaneous larva migrans di Indonesia cukup
tinggi, terutama di daerah pedesaan, sekitar 40% pada tahun 2010[2].
Penyebab utama cutaneous larva migrans adalah larva cacing tambang,
yang paling sering ditemukan adalah Ancylostoma brazilinse, Ancylostoma
caninum, Uncinaria stenochphala, Bunostonum phlebotomum, namun dapat juga
ditemukan jenis larva lain. Jenis nematoda tesebut memiliki siklus hidup untuk
berkembang biak di dalam dinding mukosa anjing dan karnivora lainnya dan pada
fase larva akan dikeluarkan melalui feses. Untuk dapat menjadi cacing dewasa
larva harus menginvasi hostnya kembali. Larva cacing ini sering menginvasi
manusia yang memiliki faktor resiko berupa pekerjaan yang kontak langsung
dengan tanah yang telah terkontaminasi. Anak-anak yang sering bermain tanah
tanpa menggunakan alas kaki, para pekerja bangunan yang kontak dengan pasir
atau tanah, para pemburu hewan di hutan, dan peternak hewan merupakan
kelompok yang paling sering menderita cutaneous larva migrans[2].
Saat mengalami kontak langsung dengan lapisan terluar kulit manusia, larva
ini dapat langsung menginvasi masuk ke dalam epidermis. Pada saat telah
menembus epidermis akan timbul gambaran papul pada lokasi invasi namun
umumnya jarang dicurigai. Gambaran inflamasi yang berkelok baru akan muncul
tergantung seberapa cepat cacing dapat menembus stratum korneum kulit. Larva
cacing ini tidak dapat menembus membran basal kulit sehingga tidak dapat
melanjutkan siklus hidupnya dan hanya berjalan-jalan tanpa tujuan di dalam
epidermis dan menimbulkan gambaran klinis peradangan yang berkelok-kelok
sesuai dengan perjalanannnya. Karena tidak dapat menembus membran basal dan
melanjutkan hidup, maka larva ini lama-kelamaan akan mati, sehingga penyakit
ini termasuk jenis self limitting disease. Namun waktu yang diperlukan untuk
sembuh bervariasi, ada yang mencapai bulanan, rasa gatal dan panas pada kulit
dapat sangat mengganggu[2].
Pengobatan cutaneous larva migrans dapat diberikan anti-helmintes
berspektrum luas seperti tiabendazol dengan dosis 50 mg/kgBB 2 kali sehari
selama 2 hari berturut-turut. Namun obat ini sulit didapatkan, sehingga di
Indonesia lebih sering menggunakan Albendazole untuk terapi cutaneous larva
migrans dengan dosis 400 mg sehari selama 3 hari berturut-turut[3]. Larva yang
bergerak-gerak menimbulkan rasa gatal dan panas yang sangat mengganggu
sehingga pengobatan untuk mematikan larva terlebih dahulu menjadi pilihan
utama, yaitu dengan menggunakan dry ice berupa kloretil yang disemprotkan di
daerah lesi dengan penekanan selama 45 – 60 detik[3].
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. A
Usia : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat : Kendal
Agama : Islam
Pekerjaan : Pekerja proyek bangunan
Tanggal Pemeriksaan : 29 April 2019
1. ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA : Gatal dan terkadang panas di daerah perut
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang dengan keluhan gatal dan terkadang panas pada perut.
Keluhan sudah dirasakan sekitar 1 bulan. Keluhan awal dirasakan di perut
bagian kanan atas kemudian meluas sampai ke perut bagian tengah atas dan
sedikit di perut bagian kiri atas. Pasien mengatakan selain merasa gatal dan
panas, juga mucul bentol di daerah yang mengalami gatal dan panas tersebut.
Keluhan ini dirasakan pertama kali setelah pasien pulang berkerja dari proyek
bangunan, merasakan gatal dan panas kemudian timbul bentol kecil berwarna
merah, semakin lama bentol tersebut memanjang. Kemerahan ini berpindah
tempat dengan bentuk yang panjang, berkelok-kelok, dan menimbul. Untuk
memperingan sakit yang dirasakan, pasien suka menggaruk-garuk, namun
rasa panas pada lesi menetap. Keluhan ini terasa lebih berat pada malam hari.
Pasien sudah memeriksakan diri di dokter keluarga dan dilakukan tindakan
elektrokauterisasi namun tidak ada perbaikan. Pasien tidak mengeluh demam
(-), pusing (-), riwayat memelihara anjing atau kucing disangkal, dan riwayat
digigit serangga disangkal.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat alergi makanan, riwayat asma, riwayat rhinitis di sangkal.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
Kesan cukup, pasien menggunakan BPJS
2. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
- Keadaan umum : Baik
- Kesadaran : Compos mentis
- Status Gizi : Baik
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- HR ( Nadi ) : 80x/ Menit , reguler, isi dan tegangan cukup.
- RR ( Laju Napas) : 20x/ Menit , reguler
- Suhu : 36,5 derajat celcius
STATUS DERMATOLOGIKUS
 Lokasi : Perut
 UKK : Lesi berkelok dan menimbul membentuk terowongan
dengan papul diatasnya dan dasar eritem. Lesi berbentuk serpiginosa dan
berbatas tegas. Erosi multipel.
 Distribusi : Unilateral
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada Pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
4. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari kelainan kulit tersebut setelah dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik adalah :
1). Cutaneous larva migrans
2). Scabies
3). Tinea corporis
5. DIAGNOSIS KERJA
Cutaneous larva migrans
6. PENATALAKSANAAN
 Albendazole Tablet 400 mg/hari, selama 3 hari
 Loratadine Tablet 10 mg/hari, selama 7 hari
7. PROGNOSIS
a. Quo ad sanam : dubia ad bonam
b. Quo ad vitam : ad bonam
c. Quo ad kosmetikum : dubia ad bonam
d. Quo ad functionam : ad bonam
BAB III
PEMBAHASAN
Dari lampiran kasus Sdr. A di atas yang didiagnosa sebagai cutaneous larva
migrans. Diagnosis ini ditegakkan dengan ditemukannya ujud kelainan kulit yang
khas berupa lesi peradangan berkelok-kelok yang panjang menimbul membentuk
terowongan dengan dasar eritem terdapat papul di atasnya, berbatas tegas, dan
bersifat progresif. Diagnosis serupa juga dijelaskan dalam buku Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin FK UI yaitu berupa bentuk khas, seperti benang yang lurus
atau berkelok, menimbul dan terdapat papul atau vesikel di atasnya[1].
Diagnosis ini didukung dengan pekerjaan Sdr. A pekerja proyek bangunan.
Pekerjaan Sdr. A merupakan salah satu faktor resiko menderita penyakit
cutaneous larva migrans akibat seringnya kontak dengan tanah, Kegiatan lainnya
yang menjadi faktor resiko penyakit ini adalah peternak, petani, pemburu, tukang
kayu, anak-anak yang sering bermain tanah dan pekerjaan lainnya yang sering
kontak dengan tanah tanpa menggunakan alat proteksi[2].
Bentuk hidup yang menginvasi ke dalam kulit umumnya adalah larva dari
Ancylostoma brazilines dan Ancylostoma caninum atau bisa juga dalam bentuk
telur. Larva ini akan menembus epidermis dan masuk ke bagian dalam namun
tidak dapat menembus membran basal. Gambaran berupa lesi seperti benang yang
lurus atau berkelok baru akan timbul setelah larva berhasil menembus stratum
korneum[2]. Pasien biasanya belum akan mengeluhkan gejala pada fase ini karena
hanya berupa gatal saja tanpa timbulnya lesi. Setelah beberapa hari larva akan
bermigrasi tanpa tujuan sehingga akan menimbulkan rasa panas dan gatal yang
meningkat. Pada saat bermigrasi inilah gambaran klinis berupa lesi berkelok dan
menimbul membentuk terowongan terlihat. Biasanya pada fase seperti ini pasien
datang untuk berobat ke dokter[3].
Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan (lembab,
hangat, dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva menetas dalam 1-2 hari. Larva
rabditiform tumbuh di tinja dan/atau tanah, dan menjadi larva filariform (larva
stadium tiga) yang infektif setelah 5 sampai 10 hari. Larva infektif ini dapat
bertahan selama 3 sampai 4 minggu di kondisi lingkungan yang sesuai. Pada
kontak dengan pejamu hewan (anjing dan kucing), larva menembus kulit dan
dibawa melalui pembuluh darah menuju jantung dan paru-paru. Larva kemudian
menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke faring dan tertelan. Larva
mencapai usus kecil, kemudian tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing
dewasa hidup dalam lumen usus kecil dan menempel di dinding usus. Beberapa
larva ditemukan di jaringan dan menjadi sumber infeksi bagi anak anjing melalui
transmammary atau transplasenta. Manusia juga dapat terinfeksi dengan cara
larva filariform menembus kulit. Pada sebagian besar spesies, larva tidak dapat
berkembang lebih lanjut di tubuh manusia dan bermigrasi tanpa tujuan di
epidermis[6].
Telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan
berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu. Larva
dapat bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena matahari langsung
dan berada dalam lingkungan yang hangat dan lembab. Kemudian jika terjadi
kenaikan suhu, maka larva akan mencari pejamunya. Setelah menempel pada
manusia, larva merayap di sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai.
Akhirnya, larva menembus ke lapisan korneum epidermis. Larva infektif
mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat bermigrasi di kulilt
manusia[6]. Selanjutnya, larva bermigrasi melalui jaringan subkutan membentuk
terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya. Pada hewan, larva
mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan berkembang
biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim kolagenase yang
cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis, sehingga larva
tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya. Akibatnya,
selamanya larva terjebak di jaringan kulit penderita hingga masa hidup dari cacing
ini berakhir[7].
Pemeriksaan penunjang biasanya jarang dilakukan karena gambaran klinis
dari cutaneous larva migrans sangat khas. Untuk menentukan diagnosis biasanya
dilihat dari gambaran klinis lesi berkelok yang khas membentuk terowongan,
berisi cairan serosa, lesi terasa sangat gatal dan panas, dapat juga timbul gejala
sistemik yang tidak khas. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
pemeriksaan laboratorium dari sampel lesi dapat ditemukan larva atau telur
nematoda[3].

Gambar 3. Larva yang ditemukan dari Pemeriksaan Penunjang[3]

Diagnosis banding dari cutaneous larva migrans salah satunya adalah


Scabies, karena gambaran klinis yang sama-sama membentuk terowongan,
dengan gatal yang menghebat dimalam hari,hal tersebut persis seperti yang
dialami oleh Sdr. A. Namun, yang membedakannya dari Scabies, terowongan yg
terbentuk pada Scabies relatif pendek dan kecil, rasa gatal yang hebat pada malam
hari juga tidak disertai rasa panas, dan predileksi khas dari scabies yang terdapat
pada sela-sela jari, pantat, daerah lipat paha, perut dan dada[4]. Dermatofitosis
jenis Tinea korporis juga bisa menjadi diagnosis banding jika berbentuk polisiklik
dengan gambaran central healing yang tampak. Namun pada Sdr. A tidak
didapatkan gambaran tersebut[4].
Pilihan terapi sistemik yang dapat diberikan adalah antihelmintes seperti
ivermectin, tiabendazol, mebendazol, dan albendazol. Ivermectin dengan dosis
tunggal 20 mg / kg BB per hari lebih efektif dibandingkan antihelmintes lainnya
karena langsung mematikan larva yang diam ataupun yang sedang bermigrasi.
Namun, obat ini hanya terdapat di negara-negara tertentu saja[3]. Terapi oral yang
diberikan kepada Sdr. A adalah albendazol tablet 400 mg single dose 1 kali sehari
selama 3 hari berturut-turut. Albendazol mudah didapatkan di negara-negara di
Asia tersedia dalam bentuk tablet dan suspensi 10 ml / botol dengan dosis 400 mg.
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pengambilan glukosa oleh larva cacing
sehingga produksi ATP sebagai sumber energi untuk mempertahankan hidup
lambat laun berkurang dan menyebabkan kematian larva. Efek samping obat dapat
menyebabkan gatal-gatal dan mulut kering[3].
Prognosis dari kasus termasuk ke dalam golongan penyakit self-limiting.
Pada akhirnya, larva akan mati di epidermis setelah beberapa minggu atau bulan.
Hal ini disebabkan karena larva tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada
manusia. Lesi tanpa komplikasi yang tidak diobati akan sembuh dalam 4-8
minggu, tetapi pengobatan farmakologi dapat memperpendek perjalanan
penyakit[5].
BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus dengan diagnosa Cutaneus Larva Migrans pada
pasien Sdr. A usia 25 th. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Dari anamnesis pasien mengeluh gatal di perut, keluhan sudah
1 bulan. Pasien memiliki pekerjaan proyek bangunan yang memungkinkan sering
kontak langsung dengan tanah. Pada pemeriksaan fisik didapatkan lesi berkelok-
kelok,menimbul dan berbentuk seperti terowongan. Dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat disimpulkan bahwa pasien menderita Cutaneus Larva
Migrans . Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien tablet Albendazole 1x400
mg/hari, selama 3 hari.
Prognosis pada kasus ini yaitu quo ad sanctionam adalah dubia ad bonam,
quo ad vitam adalah bonam, quo ad kosmetikum adalah dubia ad bonam dan
untuk quo ad fungsionam adalah bonam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aisah, Siti dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, editor Djuanda, Adhi.,
Hamzah, Mochtar., Aisah, Siti., Edisi Keenam. 2009. Jakarta : FK UI.
Hal., 125-126
2. Feldmeier, H., dalam Microbiol Infectsious Disease Journal : Hookworm-
related Cutaneous Larva Migrans. 2010. USA : Springer. Hal., 915-918
3. Goodman dalam Pharmacological Basic Therapeutics. 2009. Mc Graw Hill
: USA.
4. Mukherjee, A., dalam Journal of Medical Microbilogy: A rare case of
Cutaneous Larva Migrans. 2012. India. Hal., 357
5. Ang CC. Cutaneous Larva Migrans. N Eng J Med. 2010; 352:4.
6. Feldmeier H, Schuster A. Mini review: hookworm-related cutaneous larva
migrans. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2012; 31(6):915–8.
7. Pohan HT. Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI/RSCM; 2006. hlm. 1786-8.

Anda mungkin juga menyukai