Anda di halaman 1dari 17

CUTANEUS LARVA MIGRAN

TUTORIAL

Disusun Oleh :
TONI SALVATIO SIDAURUK (42160043)
YUSUF HANDYLIEM SETIAWAN (42160044)
LARRYAN MESAK MEOK (42160045)

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RS BETHESDA YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2016

STATUS PASIEN
Identitas Pasien
Nama : Sdr. AM
Jenis kelamin : Perempuan
Nomor Rekam Medis : 01-14-37-96

Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada 18 Oktober 2016 di Poli Kulit RS Bethesda Yogyakarta.
Informasi didapatkan dari pasien sendiri.

Keluhan utama
Pasien mengeluhkan gatal dan timbul benjolan memanjang pada betis kanan dan kiri
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluhkan semenjak pindah rumah timbul tonjolan memanjang yang semakin
lama semakin panjang. Sebelumnya pasien berkebun tanpa alas kaki. Disekitar rumah
terdapat banyak anjing dan kucing yang biasa buang air di dekat tempat berkebun.
Riwayat penyakit dahulu
- Hipertensi :-
- Asma : ada
- TBC :-
- DM :-
- Penyakit ginjal :-
- Penyakit jantung : -
- Keluhan serupa : -

Riwayat operasi
Tidak pernah
Riwayat alergi
Tidak ada alergi obat maupun makanan
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada yang mengalami keluhan serupa dengan pasien

1
Riwayat pengobatan
Pasien belum mengobati gejalanya dan tidak sedang menjalani pengobatan tertentu

Pemeriksaan Fisik
Status generalis
- Keadaan umum : Baik
- Kesadaran : Compos Mentis
- Vital sign : Tidak dilakukan
Status lokalis
Pada betis kanan dan kiri terdapat lesi tunggal, papul eritem berbentuk seperti huruf S,
serpiginosa, berbatas tegas dengan lebar 2mm dan panjang 2cm. Distribusi regional pada 1
tempat saja.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

Diagnosis Banding
- Cutaneus Larva Migrans
Lesi serpiginosa (proses yang menjalar ke satu jurusan, diikuti oleh penyembuhan
bagian yang ditinggalkan), tipis, linear (berbentuk seperti garis lurus), semakin
membesar, lesi membentuk seperti terowongan berukuran 2-3mm berisi cairan serosa.
Lesi mungkin lebih dari 1, tergantung jumlah larva yang berpenetrasi. Larva bergerak
beberapa millimeter setiap harinya. Distribusinya adalah pada daerah yang terekspos,
paling sering pada kaki, punggung kaki, bokong dan tangan.

- Scabies

Merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh sarcoptes scabiei. Cara


penularan bias melalui kontak langsung (kontak dengan kulit) dan melalui kontak tidak
langsung (melalui benda). Scabies memiliki gejala klinis seperti pruritus nocturnal,
adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau
keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung

2
terowongan ditemukan papul atau vesikel. Penyakit ini menyerang manusia
berkelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga
terkena infeksi. Pada scabies terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti
pada Creeping Eruption/ Cutaneus Larva Migrans.
- Herpes Zoster
Bila invasi larva yang multiple timbul serentak, papul-papul lesi dini sering
menyerupai herpes zoster stadium permulaan. Herpes Zoster adalah penyakit yang
disebabkan infeksi virus varisela zoster yang menyerang kulit dan mukosa. Daerah yang
sering terkena adalah daerah torakal. Terdapat gejala prodromal sistemik seperti demam,
pusing, malaise. Sedangkan gejala local nyeri otot-tulang, gatal, pegal dan sebagainya.
Disamping gejala kulit berupa papul yang timbul serentak dijumpai pembesaran kelenjar
getah bening regional. Lokalisasi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai tempat
persarafan.
- Insect Bite
Insect bite merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh gigitan hewan.
Kelainan kulit disebabkan oleh masuknya zat farmakologis aktif dan sensitasi dari hewan
tersebut. Dalam beberapa menit akan muncul papulpersisten yang seringkali disertai
central hemmoragic punctum. Reaksi bullosa sering terjadi pada kaki anak-anak. Pada
permulaan timbulnya creeping eruption akan ditemukan papul yang menyerupai insect
bite.
- Tinea Corporis
Merupakan infeksi jamur golongan dermatofita (berbagai spesies Trichophyton,
Microsporum dan Epidermophyton) pada badan, tungkai dan lengan dan mempunyai
gambaran morfologi yang khas. Pasien merasa gatal dan kelainan umumnya berbentuk
bulat, berbatas tegas, terdiri atas macam-macam effloresensi kulit (polimorf) dengan
bagian tepi lesi jelas tanda peradangannya daripada bagian tengah. Lesi dapat meluas dan
member gambaran yang tidak khas terutama pada pasien imunodefisiensi.

Diagnosa Kerja
Cutaneus Larva Migran/ Creeping Eruption/ Sandworm Disease

3
Penatalaksanaan
Topikal
Semprot ethyl chloride

R/ Albendazol tab 400 mg No. I

Alkohol 70 % 1ml No. I


Vaseline 9g No. I
m.f.l. unguentum No. I
S.U.E 2 d d applic part dol m.et.v (setelah mandi)
Sistemik
R/ Albendazol tab 400 mg No. III
S 1 d dtab.I
R/ Cetirizine tab 10mg No. VII
S 1 d d tab 1 (malam)

Edukasi
Kontrol 1 minggu lagi jika dirasakan lesi tersebut bertambah atau masih bergerak-gerak.
Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, menghindari kontak dengan sumber penularan
seperti tanah, dan hewan anjing maupun kucing.
Lesi yang gatal diusahakan untuk tidak digaruk karena dapat menimbulkan lecet.

Prognosis
Ad Vitam : Bonam
Ad Fungsionam : Bonam
Ad Sanationam : Bonam

4
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan kelainan kulit yang merupakan peradangan
yang berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi
cacing tambang yang berasal dari kucing dan anjing, yaitu Ancylostoma braziliense,
Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum. Selama beberapa dekade, istilah CLM dan
creeping eruption sering disamaartikan. Perbedaannya adalah, CLM menggambarkan sindrom,
sedangkan creeping eruption menggambarkan gejala klinis. Creeping eruption secara klinis
diartikan sebagai lesi yang linear atau serpiginius, sedikit menimbul, dan kemerahan yang
bermigrasi dalam pola yang tidak teratur.
Penyakit yang menimbulkan gejala berupa creeping eruption tapi tidak disebabkan oleh
parasit non-larva tidak disebut sebagai CLM, misalnya seperti pada dracunculiasis, loiasis,
skabies, schistosomiasis, ataupun onchocerciasis.

Epidemiologi
Cutaneous larva migrans (CLM) terjadi di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia,
terutama di daerah yang lembab dan terdapat pesisir pasir. Di Amerika Serikat, penyakit ini
sebagian besar terjadi di negara bagian tenggara, terutama Florida, tetapi dapat juga ditemukan
secara sporadik di negara bagian lain. Kasus CLM telah dilaporkan di Jerman, Prancis, Inggris,
Selandia Baru, dan Amerika Serikat.
Cutaneous larva migrans endemik di masyarakat kurang mampu di negara berkembang,
seperti Brazil, India, dan Hindia Barat. Sebuah studi di Manaus, Brazil, menunjukkan prevalensi
CLM pada anak-anak selama musim hujan berkisar 9,4%. Di daerah perkumuhan di Timur Laut
Brazil, didapati lebih dari 4% dari keseluruhan populasi dan 15% pada anak-anak menderita
CLM.
Di negara-negara berpenghasilan tinggi, CLM terjadi secara sporadis atau dalam bentuk
epidemi yang kecil. Kasus sporadis biasanya berhubungan dengan kondisi iklim yang tidak
umum seperti musim semi atau hujan yang memanjang. Penyakit ini sering muncul pada daerah
dimana anjing dan kucing tidak diberikan antihelmintes secara teratur.

5
Secara geografis, distribusi CLM mencerminkan distribusi geografi Ancylostoma
braziliense. Sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah wisatawan yang sering berkunjung ke
daerah pantai. Ancylostoma braziliense endemik pada anjing dan kucing, sering ditemukan di
sepanjang Pantai Atlantik Amerika Utara bagian tenggara, Teluk Meksiko, Laut Karibia,
Uruguay, Afrika (Afrika Selatan, Somalia, Republik Kongo, Sierra Leone), Australia, dan Asia.
Penyakit ini tidak muncul setelah terpapar pantai yang tidak terdapat Ancylostoma braziliense,
misalnya Pantai Pasifik Amerika Serikat dan Meksiko.

Faktor Risiko
1. Faktor perilaku
Adapun faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a) Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki Adanya bagian tubuh yang berkontak langsung
dengan tanah yang terkontaminasi akan mengakibatkan larva dapat melakukan penetrasi
ke kulit sehingga menyebabkan CLM.
b) Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing Penyebab utama CLM adalah larva cacing
tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Perawatan rutin anjing dan kucing,
termasuk de-worming secara teratur dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh telur
dan larva cacing tambang.
c) Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai Kondisi biogeografis yang hangat dan
lembab menyebabkan banyak terdapat larva penyebab penyakit ini di daerah tropis.
Selain itu, kebiasaan wisatawan untuk berjalan di pesisir pantai tanpa menggunakan
sandal dan berjemur di pasir tanpa menggunakan alas menyebabkan banyaknya laporan
kejadian CLM dari wisatawan yang baru berlibur ke pantai. Sebuah penelitian pada
wisatawan international yang baru meninggalkan Brazil bagian Timur Laut di bandara
menunjukkan bahwa semua wisatawan yang menderita CLM telah mengunjungi pantai
selama liburannya.
2. Faktor lingkungan
Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a) Keberadaan anjing dan kucing Anjing dan kucing merupakan hospes definitif dari cacing
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum. Tinja
anjing dan kucing yang terinfeksi dapat mengandung telur cacing Ancylostoma

6
braziliense, Ancylostoma ceylanicum dan Ancylostoma caninum. Telur tersebut dapat
berkembang menjadi stadium larva yang infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang
terkontaminasi. Larva filariform dari cacing tersebut apabila kontak dengan kulit
manusia, dapat menembus kulit dan menyebabkan CLM.
b) Cuaca atau iklim lingkungan Ada variasi musiman yang berbeda pada kejadian CLM,
dengan puncak kejadian selama musim hujan. Telur dan larva bertahan lebih lama di
tanah yang basah dibandingkan di tanah yang kering dan dapat tersebar secara luas oleh
hujan yang deras. Selain itu, iklim yang lembab juga mengakibatkan peningkatan infeksi
cacing tambang di anjing dan kucing sehingga pada akhirnya meningkatkan jumlah tinja
yang terkontaminasi dan risiko infeksi pada manusia.
c) Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab Telur Ancylostoma
braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum dikeluarkan bersama
tinja anjing dan kucing. Pada keadaan lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan
menetas menjadi larva rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang infektif.
Larva filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan menyebabkan CLM.
3. Faktor demografis
Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a) Usia
CLM paling sering terkena pada anak berusia 4 tahun. Hal ini disebabkan karena anak
pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas kaki saat keluar rumah. Pada
penelitian tersebut juga didapatkan bahwa usia merupakan faktor demografis yang
hubungannya paling signifikan dengan kejadian CLM (p<0,0001).
b) Pekerjaan Larva infektif penyebab CLM terdapat pada tanah atau pasir yang lembab.
Orang yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut dapat
meningkatkan risiko terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang memiliki risiko teinfeksi larva
penyebab CLM diantaranya petani, nelayan, tukang kebun, pemburu, penambang pasir
dan pekerjaan lain yang sering kontak dengan tanah atau pasir.
c) Tingkat pendidikan Suatu penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko CLM di Brazil
menunjukkan, dari 1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari 354 (6,5%) penduduk
dengan tingkat pendidikan rendah menderita CLM, sedangkan pada penduduk dengan
tingkat pendidikan tinggi, didapati 34 dari 760 (4,5%) orang menderita CLM.

7
Etiologi
Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing (Ancylostoma
braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum) dan Strongyloides. Penyebab
lain yang juga memungkinkan yaitu larva dari serangga seperti Hypoderma dan Gasterophilus.
Di Asia Timur, CLM umumnya disebabkan oleh Gnasthostoma sp. pada babi dan kucing. Pada
beberapa kasus ditemukan Echinococcus, Dermatobia maxiales, Lucilia caesar.
Di epidermis, larva Ancylostoma brazilense akan bermigrasi dan menyebabkan CLM
selama beberapa minggu sebelum larva tersebut mati. Di sisi lain, larva Ancylostoma caninum
dan Ancylostoma ceylanicum dapat melakukan penetrasi yang lebih dalam dan menimbulkan
gejala klinis yang lain seperti enteritis eosinofilik.

Morfologi
Ancylostoma caninum mempunyai tiga pasang gigi. Panjang cacing jantan dewasa
Ancylostoma caninum berukuran 11-13 mm dengan bursa kopulatriks dan cacing betina dewasa
berukuran 14-21 mm. Cacing betina meletakkan rata-rata 16.000 telur setiap harinya.
Morfologi Ancylostoma braziliense mirip dengan Ancylostoma caninum, tetapi kapsul
bukalnya memanjang dan berisi dua pasang gigi sentral. Gigi sebelah lateral lebih besar,
sedangkan gigi sebelah medial sangat kecil. Selain itu, pada Ancylostoma braziliense juga
terdapat sepasang gigi segitiga di dasar bukal kapsul. Cacing betina berukuran 6-9 mm dan
cacing jantan berukuran 5-8 mm. Cacing betina dapat mengeluarkan telur 4.000 butir setiap hari.
Morfologi Ancylostoma ceylanicum juga hampir sama dengan A. braziliense dan A. caninum,
hanya saja pada rongga mulut A. ceylanicum terdapat terdapat dua pasang gigi yang tidak sama
besarnya.

Siklus Hidup
Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan (lembab, hangat, dan
tempat yang teduh). Setelah itu, larva menetas dalam 1-2 hari. Larva rabditiform tumbuh di tinja
dan/atau tanah, dan menjadi larva filariform (larva stadium tiga) yang infektif setelah 5 sampai
10 hari. Larva infektif ini dapat bertahan selama 3 sampai 4 minggu di kondisi lingkungan yang
sesuai. Pada kontak dengan pejamu hewan (anjing dan kucing), larva menembus kulit dan
dibawa melalui pembuluh darah menuju jantung dan paru-paru. Larva kemudian menembus

8
alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke faring dan tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian
tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup dalam lumen usus kecil dan
menempel di dinding usus. Beberapa larva ditemukan di jaringan dan menjadi sumber infeksi
bagi anak anjing melalui transmammary atau transplasenta. Manusia juga dapat terinfeksi dengan
cara larva filariform menembus kulit. Pada sebagian besar spesies, larva tidak dapat berkembang
lebih lanjut di tubuh manusia dan bermigrasi tanpa tujuan di epidermis. Beberapa larva dapat
bertahan pada jaringan yang lebih dalam setelah bermigrasi di kulit.

Patogenesis
Telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan berkembang
menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu. Larva dapat bertahan hidup selama
beberapa bulan jika tidak terkena matahari langsung dan berada dalam lingkungan yang hangat
dan lembab. Kemudian jika terjadi kenaikan suhu, maka larva akan mencari pejamunya. Setelah
menempel pada manusia, larva merayap di sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai.
Akhirnya, larva menembus ke lapisan korneum epidermis. Larva infektif mengeluarkan protease
dan hialuronidase agar dapat bermigrasi di kulilt manusia. Selanjutnya, larva bermigrasi melalui
jaringan subkutan membentuk terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya.

9
Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan
berkembang biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim kolagenase yang
cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis, sehingga larva tersebut tidak
dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya. Akibatnya, selamanya larva terjebak di
jaringan kulit penderita hingga masa hidup dari cacing ini berakhir.

Gejala Klinis
Pada saat larva masuk ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas di tempat larva
melakukan penetrasi. Rasa gatal yang timbul terutama terasa pada malam hari, jika digaruk dapat
menimbulkan infeksi sekunder. Mula-mula akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang
khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan
berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut
telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya, papul merah ini
menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul, dan membentuk
terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter. Pada stadium yang lebih lanjut,
lesi-lesi ini akan lebih sulit untuk diidentifikasi, hanya ditandai dengan rasa gatal dan nodul-
nodul.
Lesi tidak hanya berada di tempat penetrasi. Hal ini disebabkan larva dapat bergerak
secara bebas sepanjang waktu. Umumnya, lesi berpindah ataupun bertambah beberapa milimeter
perhari dengan lebar sekitar 3 milimeter. Pada CLM, dapat dijumpai lesi tunggal atau lesi
multipel, tergantung pada tingkat keparahan infeksi.

Pada infeksi percobaan dengan 50 larva, didapati gejala mulai muncul beberapa menit
setelah tusukan, diikuti dengan munculnya papul-papul setelah 10 menit. Beberapa jam
kemudian, bercak awal mulai digantikan oleh papul kemerahan. Papul-papul kemudian
bergabung membentuk erupsi eritematopapular, yang kemudian akan menjadi vesikel yang

10
sangat gatal setelah 24 jam. Lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok mulai muncul 5 hari
setelah infeksi.
CLM biasanya ditemukan pada bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah atau
pasir Tempat predileksi antara lain di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, dan paha.
Pada kondisi sistemik, gejala yang muncul antara lain eosinofilia perifer (sindroma
Loeffler), infiltrat pulmonar migratori, dan peningkatan kadar imunoglobulin E, namun kondisi
ini jarang ditemui.

Diagnosis
Diagnosis CLM ditegakkan berdasarkan gejala klinisnya yang khas dan disertai dengan
riwayat berjemur, berjalan tanpa alas kaki di pantai atau aktivitas lainnya di daerah tropis, biopsi
tidak diperlukan.
Prosedur invasif jarang digunakan untuk mengindentifikasi parasit pada CLM. Hal ini
disebabkan karena ujung anterior lesi tidak selalu menunjukkan tempat dimana larva berada.
Pada pemeriksaan lab, eosinofilia mungkin ditemukan, namun tidak spesifik. Dalam sebuah
penelitian di Jerman pada wisatawan dengan CLM, hanya pada 8 (20%) dari 40 orang
didapatkan eosinofilia. Namun, peningkatan kadar eosinofil dapat mengindikasikan perpindahan
larva cacing ke visceral, tetapi ini termasuk komplikasi yang jarang terjadi.
CLM yang disebabkan oleh Ancylostoma caninum dapat dideteksi dengan ELISA
(Enzyme-linked immunosorbent assay). Sekarang ini, mikroskop epiluminesens telah digunakan
untuk memvisualisasikan pergerakan larva, namun sensitivitas metode ini belum diketahui.

Diagnosis Banding
Jika ditinjau dari terowongan yang ada, CLM harus dibedakan dengan skabies. Pada
skabies, terowongan yang terbentuk tidak sepanjang pada CLM. Namun, apabila dilihat dari
bentuknya yang polisiklik, penyakit ini sering disalahartikan sebagai dermatofitosis. Pada
stadium awal, lesi pada CLM berupa papul, karena itu sering diduga dengan insects bite. Bila
invasi larva yang multipel timbul serentak, lesi berupa papul-papul sering menyerupai herpes
zoster stadium awal.

11
Diagnosis banding yang lain antara lain dermatitis kontak alergi, dermatitis fotoalergi,
loiasis, myasis, schistosomiasis, tinea korporis, dan ganglion kista serpiginius. Kondisi lain yang
bukan berasal dari parasit yang menyerupai CLM adalah tumbuhnya rambut secara horizontal di
kulit.

Cutaneus Larva Migrans Herpes Zoster

Scabies Insect Bite

Tinea Corporis

Pengobatan (Oral dan Topikal)


1. Tiabendazol (Mintezol), antihelmintes spektrum luas. Dosis 50mg/kgBB/hari, sehari 2
kali, diberikan berturut turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum
sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Sulit didapat. Tiabendazol (50 mg per kg
berat badan selama 2-4 hari) telah digunakan secara luas sejak laporan mengenai
efikasinya pada tahun 1963. Namun, tiabendazol yang diberikan secara oral memiliki

12
toleransi yang buruk. Selain itu, penggunaan tiabendazol secara oral sering menimbul
efek samping berupa pusing, mual muntah, dan keram usus. Karena penggunaan
ivermectin dan albendazol secara oral menunjukkan hasil yang baik, penggunaan
tiabendazol secara oral tidak direkomendasikan. Penggunaan tiabendazol secara topikal
pada lesi dengan konsentrasi 10- 15% tiga kali sehari selama 5-7 hari terbukti memiliki
efektivitas yang sama dengan pengguaan ivermectin secara oral. Penggunaan secara
topikal didapati tidak memiliki efek samping, tetapi memerlukan kepatuhan pasien yang
baik. Tiabendazol topikal terbatas pada lesi multipel yang luas dan tidak dapat digunakan
pada folikulitis.
2. Solusio topikal tiabendazol dalam DMSO, atau suspensi tiabendazol secara oklusi selama
24 48 jam. Dapat juga disiapkan pil tiabendazol yang dihancurkan dan dicampur
dengan vaseline, di oleskan tipis pada lesi, lalu ditutup dengan band-aid/kasa. Campuran
ini memberikan jaringan kadar antihelmintes yang cukup untuk membunuh parasit, tanpa
disertai efek samping sistemik.
3. Albendazol (Albenza), dosis 400mg dosis tunggal, diberikan tiga hari berturut turut.
Oral albendazol (400 mg setiap hari) yang diberikan selama 5-7 hari menunjukkan
tingkat kesembuhan yang sangat baik, dengan angka kesembuhan mencapai 92-100%.
Karena dosis tunggal albendazol memiliki efikasi yang rendah, albendazol dengan
regimen tiga hari biasanya lebih direkomendasikan. Jika diperlukan, dapat dilakukan
pendekatan alternatif dengan dosis awal albendazol dan mengulangi pengobatan.
4. Ivermectin (Stromectol) dosis tunggal (200 g/kg berat badan) dapat membunuh larva
secara efektif dan menghilangkan rasa gatal dengan cepat. Angka kesembuhan dengan
dosis tunggal berkisar 77% sampai 100%. Dalam hal kegagalan pengobatan, dosis kedua
biasanya dapat memberikan kesembuhan. Ivermectin kontradiksi pada anak-anak dengan
berat kurang dari 15 kg atau berumur kurang dari 5 tahun dan pada ibu hamil atau wanita
menyusui. Dosis tunggal ivermectin lebih efektif daripada dosis tunggal albendazol,
tetapi pengobatan berulang dengan albendazol dapat dilakukan sebagai alternatif yang
baik di negara-negara dimana ivermectin tidak tersedia.

13
Pengobatan (Agen Pembeku Total)
1. Cryotherapy dengan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai 1
menit, selama 2 hari berturut turut.
2. Nitrogen liquid.
3. Kloretil spray, yang disemprotkan sepanjang lesi. Agak sulit karena tidak diketahui secara
pasti dimana larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan disekitarnya.
4. Direkomendasikan pula penggunaan Benadryl atau krim anti gatal (Calamine lotion atau
Cortisone) untuk mengurangi gatal.

Pencegahan
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian CLM antara lain:
Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau pasir yang
terkontaminasi
Saat menjemur pastikan handuk atau pakaian tidak menyentuh tanah
Melakukan pengobatan secara teratur terhadap anjing dan kucing dengan
antihelmintik
Hewan dilarang untuk berada di wilayah pantai ataupun taman bermain
Menutup lubang-lubang pasir dengan plastik dan mencegah binatang untuk
defekasi di lubang tersebut
Wisatawan disarankan untuk menggunakan alas kaki saat berjalan di pantai dan
menggunakan kursi saat berjemur.
Akan tetapi, pada masyarakat yang kurang mampu, keterbatasan finansial
mengakibatkan sulitnya masyarakat untuk memberikan pengobatan yang teratur terhadap
anjing dan kucing. Sehingga pada akhirnya, pemberantasan cacing tambang pada
binatang hanya bisa dilakukan dengan cara melakukan pengontrolan yang terintegrasi
antara pihak kesehatan masyarakat, antropologis medis, dokter hewan, dan masyarakat.

Komplikasi

14
Infeksi Sekunder
Adanya rasa gatal di sepanjang lesi menyebabkan penggarukan yang
mengakibatkan terjadinya infeksi sekunder. Biasanya disebabkan oleh streptococcus
pyogenes. Dapat diobati dengan antibiotic topical.
Sindrom Loeffler
Merupakan suatu gangguan pada system respirasi sementara yang disebabkan
oleh infeksi larva cacing, ditandai dengan batuk, dispnea, demam, eosinofilia, dan adanya
gambaran infiltrate di paru-paru pada pemeriksaan rintgen torax. Biasanya terjadi pada
infestasi yang berat, atau pada creeping eruption yang disebabkan ileh larva cacing
Strongyloides sterconalis. Bersifat self limited, gejala akan menghilang dalam 3-4
minggu.

Prognosis
CLM termasuk ke dalam golongan penyakit self-limiting. Pada akhirnya, larva akan mati
di epidermis setelah beberapa minggu atau bulan. Hal ini disebabkan karena larva tidak dapat
menyelesaikan siklus hidupnya pada manusia. Lesi tanpa komplikasi yang tidak diobati akan
sembuh dalam 4-8 minggu, tetapi pengobatan farmakologi dapat memperpendek perjalanan
penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

15
Aisah, Siti. 2008. Creeping Eruption. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisike 5. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta :Balai Penerbit FK UI. Hal 125 126.
Djaenudin, Natadisastra. 2009. Parasitology kedokteran: ditinjau dari organ tubuh yang
diserang. Jakarta: EGC. Hal 275.
Djuanda. A,Hamzah. Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keempat, cetakan
pertama, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2005; 125-126.
Feldmeier H, Schuster A. Mini review: hookworm-relatedcutaneous larva migrans. Eur J
ClinMicrobiol Infect Dis 2012; 31(6): 915-8.
Goldstein, Beth G, Adam O Goldstein. 2001. Dermatologi Praktis : Cutaneus Larva Migrans.
Jakarta: Hipokrates. Hal. 294
Harahap, Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit: Ruam Menjalar. Jakarta: Hipokrates. Hal. 196-
197
Heukelbach J, Feldmeier H. Epidemiological and clinical characteristics of hookworm-
related cutaneous larva migrans. Lancet Infect Dis 2008; 8:302-9.
Le Joncour A, Lacom SA, Lesco G, Regnier S, Gulliot J, Caumes E. Molecular
characterization of Ankylostoma brazilense larva in a patient with hook worm related
cutaneous larva migrans. Am J Trop Med Hyg 2012; 86:843-5.
Peris,M. Pruritic, serpiginous eruption in a returning traveller. CMAJ 2008;179:51-
52.diunduh dari: http//:www.cmaj.ca/cgi/content/full/179/1/51
Wolff K and Johnson RA. 2009. Fitzpatrikcs Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology, 6th ed., New York: McGraw-Hill Medical.

16

Anda mungkin juga menyukai