Anda di halaman 1dari 9

Laporan Kasus : Cutaneous Larva Migrans dengan Sebaran Multipel

I Made Mega Kencana Putra1, I Made Birawan2

Bagian/SMF Kulit dan Kelamin, Rumah Sakit Umum Bali Mandara Denpasar Bali
1,2

Abstrak

Cutaneus larva migrans (CLM) adalah Infeksi ini disebabkan karena penetrasi dan
bermigrasinya larva ke epidermis. Larva yang paling umum adalah Ancylostoma braziliense
dan diikuti oleh Ancylostoma caninum. Di Indonesia prevalensi infeksi cacing tambang
sekitar 30-50%, dimana pada daerah perkebunan memiliki prevalensi yang lebih tinggi. Pada
kasus ini kami melaporkan pasien laki-laki usia 55th dengan keluhan gatal dan muncul bintil-
bintil merah di kedua kaki. Kami mendiagnosa dengan CLM dengan sebaran Multipel, terapi
yang diberikan yakni obat oral albendazole 400 mg 1x1, dan interhistin 2x1 serta pemberian
topikal berupa chloroethyl dan campuran krim desoksimetason 0.25% dengan sagestam 10
gr. Selain terapi medikamentosa, pencegahan perlu dilakukan untuk menghambat
penyebaran larva.

Kata kunci : Cutaneus Larva Migrans, Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum,


albendazole

1. Pendahuluan

Cutaneous larva migrans (CLM) adalah salah satu kelainan kulit yang paling
umum terjadi di daerah tropis.[1] Infeksi ini disebabkan karena penetrasi dan
bermigrasinya larva ke epidermis. Diketahui etiologi dari CLM adalah larva filariform
cacing tambang hewan (terutama anjing dan kucing). Larva yang menjadi penyebab
paling umum sindroma ini adalah larva Ancylostoma braziliense (cacing tambang pada
anjing serta kucing liar dan kucing domestik) diikuti oleh Ancylostoma caninum (cacing
tambang anjing).[2] Prevalensi terjadinya CLM ini tinggi di wilayah geografis dengan
iklim hangat dan lembab dimana individu cenderung berjalan tanpa alas kaki dan
bersentuhan dengan kotoran anjing dan kucing. Di Indonesia prevalensi infeksi cacing
tambang sekitar 30-50%, dimana pada daerah perkebunan memiliki prevalensi yang
lebih tinggi.[3],[15]

Cacing tambang dewasa akan menempati usus inang definitifnya yaitu anjing dan
kucing. Kemudian telur cacing tambang dikeluarkan dari kotoran inang definitif
kemudian mencemari tanah atau pasir di sekitarnya. Telur akan menetas menjadi larva
rabditiform kemudian akan menjadi larva filariform yang infektif. Jika tanah yang
terkontaminasi dengan larva filariform ini kontak langsung dengan kulit maka akan
menyebabkan sindrom CLM.[3]

Patofisiologi penetrasi larva adalah melalui protease dan hyaluronidases yang


dikeluarkan oleh larva filariform sehingga larva filariform dapat menembus celah kulit,
folikel rambut, kelenjar keringat bahkan kulit yang intak dengan cara mencerna keratin
pada lapisan epidermis. Setelah menembus kulit, larva filariform melepaskan kutikula.
Sampai saat itu, larva tidak memiliki bagian mulut yang berfungsi. Setelah kutikula
dilepaskan, larva mulai bermigrasi sekitar 7 hari. Selama proses penetrasi larva terjadi
defisiensi kolagenase dan larva tidak dapat menginvasi dermis tetapi juga tidak dapat
mencapai pembuluh darah atau pembuluh limfatik untuk mencapai usus dan
menyelesaikan siklus hidupnya, seperti pada host definitif yaitu hewan (anjing atau
kucing). Proses defisiensi kolagenase menyebabkan larva tetap terkurung di epidermis.
Larva merayap tanpa tujuan di epidermis dengan rute serpiginous dengan kecepatan 2
mm sampai 2 cm per hari. Kecepatan migrasi bervariasi tergantung spesies larva, tetapi
umumnya tidak melebihi 1 cm sehari. Larva biasanya mati di jaringan subkutan dalam
waktu 2 hingga 8 minggu tanpa dapat menyelesaikan siklus hidupnya di dalam tubuh
manusia. Dengan kata lain, manusia adalah host buntu bagi larva. Migrasi ke organ
dalam sangat jarang dilaporkan tetapi dapat terjadi.[2]

Diagnosis CLM dibuat berdasarkan gejala dan tanda yang dialami oleh pasien.
Pada anamnesis biasanya ditemukan adanya riwayat kontak dengan tanah. Akan tetapi
sering terjadi kesalahan dalam mendiagnosis kasus CLM dengan presentase lebih dari
50%.[3],[6] Oleh karena itu perlu adanya pembahasan lebih lanjut terkait penyakit ini,
sehingga mengurangi terjadinya kesalahan dalam mendiagnosa awal kasus - kasus CLM.

2. Laporan Kasus

Seorang laki-laki berusia 55 tahun datang dengan keluhan gatal di kedua kaki
sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya muncul bintil-bintil merah di kaki kanan dan kiri dan
terasa perih. 5 hari setelahnya muncul bintil kemerahan dan menjalar seperti bentuk
benang berkelok kelok pada kedua kaki. Gatal dirasakan sepanjang hari. Tidak ada faktor
yang memperberat maupun memperingan dari keluhan pasien. Sebelum mengeluh gatal,
5 hari yang lalunya pasien sempat bekerja di kebun dengan tanah yang basah dan saat itu
pasien tidak memakai alas kaki. Saat bekerja kaki kiri pasien lebih terendam
dibandingkan kaki kanannya, dan sekitaran kebun juga ditemukan ada kotoran anjing.

Saat muncul bintil kemerahan pasien sempat berobat ke dokter dan mendapat
terapi salep dan obat minum, namun keluhan gatal tidak berkurang. Sebelumnya pasien
belum pernah mengalami keluhan penyakit seperti ini. Pasien tidak memiliki riwayat
alergi makanan dan alergi obat. Pasien juga menyangkal sering bersin pagi hari dan
tergigit binatang atau hewan lainnya. Dalam keluarga tidak ada riwayat sakit yang sama
ataupun alergi.

Dari pemeriksaan fisik, pasien dalam keadaan umum baik, kesadaran


composmentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 86 x/menit, frekuensi nafas 20
x/menit, suhu 36,5ºC. Pada status dermatologis didapatkan pada:

1. Regio dorsum pedis sinistra tampak multipel papul eritematosa berbatas tegas,
penyebaran serpiginosa, menimbul dengan ukuran ± 3mm yang berbentuk seperti
terowongan dan tampak krusta kecoklatan (Gambar 1). Pada regio kruris sinistra
tampak multiple papul eritematosa berbatas tegas, penyebaran serpiginosa, linier dan
berbentuk seperti terowongan (Gambar 2).
2. Regio dorsum pedis dextra tampak vesikel diatas makula eritematosa berbatas tegas,
penyebaran serpiginosa, tersusun linier dan berbentuk seperti terowongan (Gambar 3).

Pasien ini didiagnosis mengalami CLM dengan sebaran multipel. Terapi


medikamentosa yang diberikan adalah pemberian obat oral albendazole 400 mg 1x1, dan
interhistin 2x1. Pemberian topikal berupa chloroethyl yang disemprotkan pada lesi dan
campuran krim desoksimetason 0.25% dengan sagestam 10 gr yang dioleskan pada lesi.
Prognosis pasien ini adalah dubia ad bonam.
Gambar 1. Regio dorsum pedis sinistra tampak multipel papul eritematosa
berbatas tegas, penyebaran serpiginosa, menimbul dengan ukuran ± 3mm yang
berbentuk seperti terowongan dan tampak krusta kecoklatan.

Gambar 2. Regio kruris sinistra tampak


multiple papul eritematosa berbatas tegas,
penyebaran serpiginosa, linier dan berbentuk
seperti terowongan.
Gambar 3. Dorsum pedis dextra tampak
vesikel diatas makula eritematosa berbatas
tegas, penyebaran serpiginosa, tersusun linier
dan berbentuk seperti terowongan.

3. Pembahasan

Penegakan diagnosis cutaneous larva migrans (CLM) utamanya berdasarkan


anamnesa dan temuan klinis pada pasien. Akan tetapi sering terjadi kesalahan dalam
mendiagnosis kasus CLM dengan presentase lebih dari 50%.[3],[6]

Pada kasus ini pasien mengeluh gatal di kedua kaki sejak 1 minggu yang lalu.
Awalnya muncul bintil-bintil merah di kaki kanan dan kiri dan terasa perih. 5 hari
setelahnya muncul bintil kemerahan dan menjalar seperti bentuk benang berkelok kelok
pada kedua kaki. Gatal dirasakan sepanjang hari. Sebelum mengeluh gatal, 5 hari yang
lalunya pasien sempat bekerja di kebun dengan tanah yang basah dan saat itu pasien
tidak memakai alas kaki. Saat bekerja kaki kiri pasien lebih terendam dibandingkan kaki
kanannya, dan sekitaran kebun juga ditemukan ada kotoran anjing. Sesuai teori bahwa
keluhan berupa gatal disertai dengan munculnya papula eritema kecil disertai dengan
adanya inflamasi lokal yang selanjutnya berkembang menjadi ruam gatal berbentuk
“seperti ular” dengan kecepatan perkembangan per harinya 1 hingga 2 cm akan timbul
beberapa hari setelah kontak ke tanah yang terkontaminasi dengan larva cacing. Hal
tersebut terjadinya dikarenakan masa inkubasi larva sekitar 5 - 15 hari. Pruritus adalah
gejala yang khas pada sindroma ini. Rasa gatal bisa dimulai sebelum lesi muncul dan
memburuk secara signifikan selama perjalanan penyakit.[3],[7]

Dari pemeriksaan fisik, pasien dalam keadaan umum baik, tanda-tanda vital
dalam batas normal. Pada status dermatologis didapatkan pada regio dorsum pedis
sinistra tampak multipel papul eritematosa berbatas tegas, penyebaran serpiginosa,
menimbul dengan ukuran ± 3mm yang berbentuk seperti terowongan dan tampak krusta
kecoklatan. Pada regio kruris sinistra tampak multipel papul eritematosa berbatas tegas,
penyebaran serpiginosa, linier dan berbentuk seperti terowongan. Pada regio dorsum
pedis dextra tampak vesikel diatas makula eritematosa berbatas tegas, penyebaran
serpiginosa, tersusun linier dan berbentuk seperti terowongan. Pada dasarnya temuan
klinis timbul karena setelah masa inkubasi larva mulai bermigrasi dan berkeliaran
dengan bebas dalam epidermis yang menyebabkan eritema/ruam pada kulit, terjadi
penebalan lapisan permukaan kulit berkelok-kelok, atau kadang membentuk jalur linier
yang memanjang dengan dasar papula coklat kemerahan yang merupakan bekas
penetrasi larva. Saluran tersebut kemungkinan berisi cairan serosa. Kadang lesi dapat
melepuh karena terjadi reaksi inflamasi.[3],[7]

Lesi yang muncul umumnya ditemukan di bagian tubuh yang secara tidak sengaja
kontak dengan tanah yang tercemar. Sehingga apabila terdapat lesi yang multipel, hal
tersebut terkait dengan port d’entry larva. Pada pasien ini ditemukan jumlah lesi yang
lebih banyak di kaki kiri dari pada kaki kanan akibat dari kaki kiri pasien kontaknya
lebih dominan berdasarkan anamnesis yang didapat.[16],[17]

Untuk menyingkirkan diferensial diagnosis selain dengan anamnesa dan


pemeriksaan fisik dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah tepi
yang akan tampak peningkatan serum IgE dan eosinofil. Mikroskop epiluminescence
dapat digunakan untuk mendeteksi adanya larva dan mengkonfirmasi diagnosis.
Dermoskopi yang biasanya menunjukkan area tembus cahaya, kecoklatan, dan area
bersegmen yg tidak beraturan yang sesuai dengan struktur tubuh larva dan juga liang
bertitik merah yang menunjukkan liang yang kosong. Namun dalam banyak kasus,
dermoskopi seringkali gagal mengidentifikasi larva. Pencitraan fluoresensi inframerah
pada lesi memberikan hasil yang lebih baik. Pemindaian mikroskopik oleh laser confocal
juga dapat digunakan untuk mendeteksi larva yang sangat tahan api.[3],[6] Karena
berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien pada kasus ini sudah sangat jelas
maka pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti darah tepi, pemeriksaan
mikroskop epiluminescence, dermoskopi maupun pemindaian menggunakan laser
confocal.

Beberapa kasus CLM terkadang muncul komplikasi yang bersifat infektif dan
alergik. Komplikasi infektif berupa infeksi sekunder oleh Staphylococcus pyogenes oleh
karena adanya eksematisasi. Terkadang CLM juga disertai dengan adanya folikulitis.
Pada kasus yang jarang, seperti infeksi cacing lainnya, dapat terjadi respon alergi pada
paru-paru berupa Sindrom Löeffler. [3],[6] Kasus ini tidak menunjukan adanya komplikasi.

Pada dasarnya, cutaneous larva migrans merupakan self-limiting disease yang


dapat sembuh sendiri dalam 2 sampai 8 minggu, namun pruritus atau gatal-gatal bisa
menjadi sangat berat selama perjalanan sindrom ini.[2] Pengobatan dianjurkan bila
terdapat pruritus intens dan risiko tinggi untuk terjadinya infeksi. [10] Albendazole dengan
dosis 400 mg per hari selama 3 hari dan ivermectin dengan dosis 200 μg/kg sehari
selama 1 atau 2 hari adalah terapi yang efektif untuk CLM terkait cacing tambang.
Pengobatan folikulitis cacing tambang mungkin memerlukan perawatan berulang. Terapi
topikal dengan thiabendazole, albendazole 10%, atau ivermectin juga dapat digunakan,
tetapi mungkin kurang efektif dibandingkan terapi oral. [11] Sensasi gatal harus dikurangi
dengan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Antibiotik diberikan sebagai tambahan
bila terdapat infeksi bakteri sekunder. Terkadang, pasien CLM harus menjalani
cryotherapy atau laser CO2 untuk menghancurkan larva.[12],[13] Namun, cryotherapy atau
operasi beku menggunakan nitrogen cair dan etil klorida saat ini sudah tidak
direkomendasikan lagi.[14]

Pasien pada kasus ini mendapat terapi medikamentosa oral berupa Albendazole
400mg 1 kali sehari dan interhistin 2x1. Pemberian topikal berupa chloroethyl yang
disemprotkan pada lesi dan campuran krim desoksimetason 0.25% dengan sagestam 10
gr yang dioleskan pada lesi.

4. Pencegahan

Pada daerah endemik, tindakan pencegahan termasuk pemberantasan cacing


secara berkala terhadap anjing dan kucing dan melarang hewan-hewan tersebut berada di
pantai dan taman bermain, membuang kotoran anjing dan kucing dengan benar, memakai
alas kaki yang tepat saat berjalan di pantai, menggunakan handuk, kasur dan kursi dek di
pantai, dan menghindari berbaring atau duduk langsung di atas pasir/tanah. Pasir tempat
bermain anak-anak harus dilindungi dari anjing dan kucing. Sarung tangan harus dipakai
saat memegang tanah atau pasir.[3]

5. Kesimpulan

Cutaneus larva migrans merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh larva
cacing tambang hewan yang berasal dari kotoran anjing atau kucing. Larva tersebut
dapat menginvasi bila terdapat kontak langsung antara kulit dengan tanah atau pasir yang
terkontaminasi. Terapi yang dapat diberikan pada kasus CLM yakni anthelmintic seperti
Ivermectin dan albendazole. Pasien didiagnosis dengan CLM berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pasien mendapatkan terapi oral albendazol dan interhistin disertai
terapi topikal berupa kloretil yang disemprotkan pada lesi serta sediaan krim steroid dan
antibiotik yang dioleskan pada lesi. Prognosis pada penyakit ini baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Goel B, Singh K, Agrawal S, et al. Cutaneous Larva Migrans A Case Report. JDA
Indian Journal of Clinical Dermatology. 2019;2(2).
2. Tan ST, Firmansyah Y. New Approachment of Creeping Eruption Management. J
Derma-tol Res The. 2020; 6(2).
3. Leung A, Barankin B, dan Hon K. Cutaneous Larva Migrans. Recent Patents on
Inflammation & Allergy Drug Discovery. 2017;11(1)
4. Veraldi S, Çuka E, dan Vaira F. Dermatologic Cryosurgery and Cryotherapy:
Cutaneous Larva Migrans. Springer-Verlag, London; 2016.
5. Agustiningtyas I. Cutaneous larva migrans in a gardener. IOP Conf. Ser.: Earth
Environ. Sci. 2018:125.
6. Paul, Indira S. & Singh,B. Cutaneous larva migrans in children: A case series from
Southern India. Indian Journal of Paediatric Dermatology. 2017;18:36-8.
7. Sunderkötter, C. et all. S1 Guideline Diagnosis And Therapy Of Cutaneous Larva
Migrans (Creeping Disease). John Wiley & Sons Ltd. 2014: 86-90.
8. Syahputri SAH, Nurdian Y. Cutaneous larva migrans merupakan masalah
dermatologis yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. 2017.
9. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2015.
10. Perić J, Lekić B, Reljić V, Ćirković L, dan Škiljević D. Cutaneous Larva Migrans –
Report of 2 new Cases Locally Acquired in Serbia. Serbian Journal of Dermatology
and Venereology 2017; 9 (4): 149-153
11. Kang Sewon et al. Fitzpatrick’s Dermatology 9th Editiom. McGraw-Hill Education.
2019 (1) : 3264
12. Bricca R, Chidiac C, Ferry T. Imported cutaneous larva migrans by a 31-year-old
French woman after a travel in Gabon. BMJ Case Reports. 2016.
13. Bhaskaran Sathyapriya., et al. “Cutaneous Larva Migrans: A Case Report”. Acta
Scientific Microbiology 1.8. 2018: 44-46.
14. Prickett KA, Ferringer TC. What’s eating you? Cutaneous larva migrans. Cutis; 2015
(95) : 126-128.
15. Maya N. Cutaneous Larva Migrans In A 3 Years Old Child. 2020. Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.
16. Sergio Vano-Galvan et all. Cutaneous Larva Migrans: a case report. 2009.
Department of Dermatology, Ramon y Cajal Hospital.
17. Frank-Leonel Tianyi et all. An unusual case of extensive truncal cutaneous larva
migrans in a Cameroonian baby: a case report. 2018. Mayo-Darlé Sub-divisional
Hospital.

Anda mungkin juga menyukai