Anda di halaman 1dari 10

Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan pada Kasus Tinea Pedis

Priyaveda Janitra
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat, 11470
Email : priyaveda76@yahoo.com
Pendahuluan
Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh kita yang paling luas dan paling mudah terkena
terkontak dengan penyakit, terutama penyakit yang menyebar melalui lingkungan di sekitar kita.
Penyakit-penyakit tersebut umumnya disebabkan oleh jamur, bakteri, virus dan kontak dengan
zat-zat kimia dan alergen. Pada makalah kali ini, penulis akan membahas mengenai penyakit
kulit yang berhubungan dengan infeksi oleh jamur dermatofita yang biasanya disebut
dermatofitosis. Penulis juga akan menulis tentang cara membedakannya penyakit ini dengan
penyakit kulit lainnya, gejala klinisnya, penanganannya dan pencegahan serta komplikasi dari
penyakit kulit karena jamur ini. Penulis berharap pembaca dapat mengerti apa yang ditulis oleh
penulis dan dapat bermanfaat bagi pembaca.
Anamnesis
Pada kasus seorang perempuan berusia 21 tahun dengan pekerjaan sebagai tukang cuci baju,
kita melakukan autoanamnesis pada pasien. Pertama kita tanyakan keluhan utama pasien. Pasien
datang dengan keluhan gatal pada sela-sela jari kaki kanan dan kiri. Kemudian kita tanyakan
mulai kapan gatalnya muncul yaitu sejak 2 bulan yang lalu. Kita dapat juga tanyakan bagaimana
gatal itu sampai muncul. Setelah itu kita dapat tanyakan apakah ada keluhan lain pada pasien

tersebut, adanya riwayat penyakit yang sama atau penyakit penyerta lainnya pada pasien. Lalu
kita dapat tanyakan apakah penyakitnya sudah pernah diobati atau belum. Kita juga dapat
tanyakan apakah pasien ada riwayat alergi atau tidak, bagaimana keadaan lingkungan rumah dari
pasien, kebiasaan pasien pada saat melakukan aktivitas yang berhubungan dengan penyakitnya.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada kasus kulit berupa inspeksi dan palpasi secara
menyeluruh maupun pada daerah yang terkena penyakit. Inspeksi dimulai dari melihat warna
kulit secara keseluruhan dan melihat adanya perubahan warna kulit yang berbeda dari warna
kulit yang disekitarnya. Kita harus mencurigai adanya kelainan-kelainan berupa hiperpigmentasi,
hipopigmentasi, kemerahan, kebiruan, kekuningan dan warna yang lebih pucat. Kemudian kita
dapat tanyakan kepada pasien mengenai temuan yang mencurigakan pada pasien tersebut perihal
penyebab dari kelainan tersebut. Untuk palpasi kita dapat memeriksa kelembaban kulit, suhu
kulit, tekstur dari kulit, dan lesi yang dikeluhkan pasien. Yang harus kita lihat dari lesi tersebut
adalah lokasinya dan distribusinya, jenis lesinya, warna lesi tersebut, dan bentuk maupun pola
dari lesinya.1
Pemeriksaan Penunjang
Dermatofit dapat dikenali melalui dari tampilan koloni dan morfologi mikroskopisnya setelah
tumbuh selama 2 minggu dalam biakan dekstrosa Sakaroud. Selain itu kita dapat menggunakan
kerokan kulit, rambut atau kuku dan dibuat sediaan basah (bahan kerokan + KOH 10% untuk
sediaan rambut dan 20% untuk sediaan kuku dan kulit. Kemudian sediaan tersebut dapat
diwarnai dengan tinta Parker superchroom blue black. Pada sediaan kita dapat melihat hifa
maupun artospora.2,3

Diagnosis Kerja
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum
korneum pada epidermis, rambut dan kuku, yang biasanya disebabkan oleh jamur dermatofita.
Penyakit ini biasanya disebut juga sebagai ringworm atau kurap. Biasanya dermatofitosis
mempunyai morfologi yang khas yaitu lingkaran berbatas tegas oleh vesikel kecil, dengan dasar
kelainan berupa kemerahan dan tertutup sisik. Untuk mempermudah diagnosis dan tatalaksana,
dermatofitosis dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu : (1) Tinea kapitis yang predileksinya di
kulit dan rambut kepala. (2) Tinea barbe yang predileksinya pada dagu dan jenggot. (3) Tinea
Kruris yang predileksinya pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang
sampai ke perut bagian bawah (4) Tinea pedis et manum yang predileksinya pada kaki dan
tangan. (5) Tinea unguium yang predileksinya pada kuku jari tangan dan kaki. (6) Tinea korporis
yang predileksinya pada kulit selain kelima bagian lain yang telah disebutkan di atas.2,3
Pada makalah ini yang akan dibahas adalah tinea pedis, yang biasanya dapat terjadi pada
daerah kaki biasanya terjadi pada sela jari IV dan V. Efloresensi yang dapat muncul berupa fisura
yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari dan juga sela jari
yang lain. Pada beberapa kasus dapat terjadi maserasi dikarenakan daerah tersebut biasanya
lembab. Pada kasus tertentu, dapat disertai infeksi sekunder seperti selulitis, limfangitis,
linfadengitis, dan erisipelas yang biasanya akan menghasilkan pustul dan rasa nyeri.2,3
Diagnosis Banding
Candidiasis Intertriginosa

Candidiasis intergininosa biasanya terjadi di daerah lipatan kulit ketiak, genitokrural,


intergluteal, lipat payudara, interdigital, dan umbilikus. Lesi yang muncul biasanya berupa
bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan kemerahan. Lesinya biasanya dikelilingi oleh
satelit vesikel dan pustul kecil atau bula yang apabila pecah meninggalkan daerah erosif,
dengan pinggir yang kasar dan berkembang sebagai lesi primer. Penyakit ini dikenal sebagai
penyakit kutu air. Biasanya hal ini disebabkan akibat pekerjaan atau kebiasaan yang banyak
berhubungan dengan air. Diagnosis dari Candidiasis dapat ditegakkan dengan menemukan sel
ragi dan hifa semu dari jamur Candida spp. pada sediaan kerokan kulit dengan tambahan
KOH 10%, atau dengan biakan pada Saboroud dekstrosa. Candidiasis biasanya muncul akibat
adanya disintegrasi jaringan pada tempat yang lembab dan hangat pada kulit yang
menyebabkan turunnya imunitas lokal yang menyebabkan dapat tumbuhnya jamur Candida
ini.2-4
Dermatitis Intertriginosa
Dermatitis adalah peradangan pada kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap
pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, yang menyebabkan kelainan klinis berupa
efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, dan likenifikasi) dan disertai
keluhan gatal. Efloresensi tersebut dapat muncul bersamaan atau juga muncul sendiri-sendiri
(oligomorfik). Penyebab dari penyakit ini berasal dari luar tubuh (eksogen) misalnya : bahan
kimia (detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (sinar, suhu), mikro-organisme (bakteri, jamur)
maupun dari dalam tubuh. Pada umumnya pasien akan merasakan gatal, lesinya dapat
berbatas tegas maupun difus, dengan penyebarannya pada daerah setempat, generalisata,
maupun universalis. Penyakit ini dibagi atas 3 fase : akut, subakut, dan kronik. Dermatitis

diberi nama khusus sesuai dengan penyebabnya, morfologinya, ketaknya, dan berdasarkan
fase penyakitnya.2
Eritrasma
Eritrasma adalah penyakit infeksi superfisial yang bersifat kronik pada daerah
intertriginosa. Penyebab utama dari penyakit ini adalah Corynebacterium minutissimum, yang
merupakan flora normal kulit. Corynebacterium biasanya menyerang sepertiga atas dari
stratum korneum. Pada kondisi yang menguntungkan seperti panas dan kelembaban,
organisme ini dapat berkembang biak. Hal ini menyebabkan stratum korneum menebal.
Organisme yang menyebabkan eritrasma terlihat di ruang-ruang antar serta di dalam sel,
melarutkan keratin fibril. Fluoresensi berwarna merah karang terlihat pada sisik apabila
dilihat di bawah Wood Light dikarenakan adanya produksi porfirin oleh diphtheroid ini.
Bentuk lesinya berupa makula merah kecoklatan yang berbatas tegas biasanya disertai dengan
skuama. Infeksi ini biasa terjadi pada paha bagian dalam, region kruris, skrotum, dan jari kaki.
Test KOH pada kasus ini menunjukkan hasil yang negatif. Diagnosa dapat ditegakkan dengan
temuan Wood Light dan pewarnaan Gram pada kerokan lesi (batang Gram + berfilamen).
Etiologi
Dermatofitosis biasanya disebabkan oleh jamur dermatofita. Jamur ini hanya menginfeksi
jaringan keratin yang berada di superfisial. Jamur dermatofita dibagi atas 3 genus: Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton. Dermatofit dapat menyebar melalui secara geofilik,
antrofilik, dan zoofilik. Spesies yang antrofilik yang menyebabkan sebagian besar dari infeksi
jamur ini, menimbulkan infeksi yang relatif ringan dan kronis pada manusia Sedangkan

dermatofit zoofilik dan geofilik menyebabkan infeksi peradangan yang lebih akut dan cenderung
sembuh lebih cepat.3,4,6
Epidemiologi
Penyakit ini cukup banyak ditemukan di Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Khusus
untuk Tinea Pedis, penyakit ini merupakan penyakit dermatofitosis yang paling umum dengan
laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Insidennya meningkat sesuai dengan meningkatnya
umur dan umunya terjadi pascapubertas.3
Patofisiologi
Pada manusia jamur hidup di lapisan tanduk. Jamur itu melepaskan toksin yang bisa
menimbulkan peradangan dan iritasi berwarna merah dan gatal. Infeksinya bisa berupa bercakbercak warna putih, merah, atau hitam di kulit dengan bentuk simetris. Ada pula infeksi yang
berbentuk lapisan-lapisan sisik pada kulit. Hal itu tergantung pada jenis jamur yang menyerang.
Masuknya jamur dalam tubuh dapat melalui (1) Luka kecil atau aberasi pada kulit, misalnya
golongan dermatofitosis, kromoblastomikosis. (2) Melalui saluran pernafasan, dengan mengisap
elemen-elemen jamur, seperti pada histoplasmosis (3) Melalui kontak, tetapi tidak perlu ada luka
atau aberasi kulit, seperti golongan dermatofitosis.7
Jamur golongan dermatofita mengeluarkan enzim keratinase untuk mencerna keratin pada
kuku, rambut dan pada stratum korneum. Selain itu, jamur ini memproduksi mannan yaitu suatu
komponen dimding sel yang bersifat immunoinhibitory. Mannan juga dapat menghambat
eliminasi jamur oleh hospes dengan menekan kerja cell mediated immunity. Beberapa faktor
dalam tubuh dapat berperan dalam menghambat patogenitas. Contohnya seperti progesteron

yang dapat menghambat perkembangan dermatofita dan juga unsaturated fatty acid pada sebum
dapat menghambat pertumbuhan jamur. Hal ini menjelaskan mengapa jamur dermatofita
biasanya menyerang daerah yang memiliki kelenjar sebasea yang sedikit.3,8
Tatalaksana
Medika Mentosa
Pengobatan dari Tinea pedis dapat menggunakan obat antijamur topikal maupun oral,
ataupun dapat dikombinasikan. Agen topikal biasanya digunakan 1 6 minggu, tergantung
dari jenis obat. Naftifin gel atau krim 2% biasanya dipakai untuk tinea pedis pada remaja dan
dewasa dengan pemakaian 1 2 kali sehari. Studi menunjukkan pemakaian naftifin gel 2%
menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan sediaan tanpa kandungan obatnya.8,9
Jenis obat topikal lainnya berupa golongan imidazole (clotrimazole 1%, econazole,
ketoconazole, miconazole 2%, oxiconazole 1% cream), golongan pyridone (ciclopirox 1%
cream 2x sehari), terbinafine 2x sehari. Selain itu untuk sedian oral berupa Itraconazole 2 x
100 200mg/hari selama 3 hari, Terbinafine 250mg/hari PO single dose atau dibagi 2x sehari
selama 2 6 minggu, dan Griseofulvin 250 500mg/hari 4 8 minggu. Selain itu dapat
diberikan obat kompres berupa aluminium asetat serta dapat diberikan keratolitik untuk kasus
yang bersisik yang berupa ammonium laktat dan urea.2,6,8,9
Non Medika Mentosa
Penyakit Tinea pedis sering kambuh sehingga untuk menghindari faktor risiko dapat
melakukan hal, seperti kaus kaki yang digunakan, hendaknya dapat menyerap keringat dan
diganti tiap hari, kaki harus bersih dan kering. Hindari memakai sepatu tertutup, sepatu

sempit, sepatu olah raga, dan sepatu plastik, terutama yang digunakan sepanjang hari. Tidak
bertelanjang kaki atau selalu memakai sandal sehingga dapat menghindari kontak dengan
jamur penyebab Tinea pedis.7
Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan adanya menghindari faktor pencetus dari munculnya jamur
itu. Selain itu, kita harus rajin mencuci kaki kita agar jamur tersebut dapat hilang. Suatu studi
mengatakan pada pasien DM, kebiasaan mencuci kaki dapat menghilangkan residu dari jamur
yang ada pada kaki pasien.10
Prognosis
Dengan deteksi penyakit yang baik dan pengobatan yang baik, penyakit ini memiliki
prognosis yang baik. Akan tetapi apabila terjadi infeksi sekunder atau adanya faktor pemberat
seperti diabetes atau pada pasien immunosuppresif, prognosis dapat menjadi lebih buruk
dibandingkan dengan pasien normal.8
Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus Tinea Pedis adalah adanya infeksi sekunder
dikarenakan lesi digaruk oleh pasien. Infeksi yang sering muncul berupa selulitis, limfangitis,
linfadengitis, dan erysipelas, bahkan osteomyelitis. Komplikasi ini sering muncul pada pasien
DM dan immunosuppresif.2,8

Kesimpulan

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, kita dapat menyimpulkan
bahwa ibu tersebut menderita dermatofitosis jenis Tinea pedis. Dengan penegakan diagnosis dan
penanganan yang tepat, maka pasien tersebut memiliki prognosis yang baik.
Daftar Pustaka
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates guide to physical examination and history taking. 11th
edition. China: Lippincott Williams & Wilkins.; 2013.
2. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. ed.7.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.: 2015.
3. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. editor. Buku ajar parasitologi kedokteran. ed.
4. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.: 2015.
4. Nugroho AW, Ramadhani D, Santasa H, Yesdelita N, Nirmala WK, et al. Mikologi Medis.
Dalam : Jawetz, Melnick, & Adelberg mikrobiologi kedokteran. ed. 25. Diterjemahkan dari
Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA. Medical Mycology In : Jawetz,
Melnick, & Adelbergs medical microbiology. 25th edition. Jakarta: EGC.; 2012. h. 657-61.
5. Kibbi AG, Haddad FG, Bahhady RF, Vinson RP, Meffert J, James WD, et al. Erythrasma.
Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1052532 17 April 2016
6. Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA. editor. Patofisiologi konsep klinis prosesproses penyakit. ed.6. Diterjemahkan dari Price SA, Wilson LM. Pathophysiology: clinical
concepts of disease processes. 6th ed. Jakarta: EGC.: 2005.
7. Kurniawati RD. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tinea pedis pada pemulung
di TPA Jatibarang Semarang. Diunduh dari
https://core.ac.uk/download/files/379/11715767.pdf 17 April 2016
8. Robbins CM, Elewski BE, Wells MJ, Libow LF, Elston DM, Raugi GJ. Tinea pedis. Diunduh
dari http://emedicine.medscape.com/article/1091684 17 April 2016
9. Plaum S, Fleischer A, Verma A, Olayinka B, Hardas B. Naftifine hydrochloride gel 2% is
efficacious and safe for the treatment of tinea pedis: results from a randomized, multicenter,

double-blind, vehicle-controlled study. Journal of the American Academy of Dermatology.


2013 Apr 1;68(4) p. AB129.
10. Takehara K, Amemiya A, Mugita Y, Tsunemi Y, Seko Y, Ohashi Y, et al. association between
washing residue on the feet and tinea pedis in diabetic patients. Nursing Research and
Practice. 2015 Feb;2015

Anda mungkin juga menyukai