Anda di halaman 1dari 10

Tinea Cruris

8:04 AM | Posted by Jessy Londok |


BAB I
PENDAHULUAN
Definisi
Tinea cruris adalah infeksi jamur dermatofita pada daerah lipat paha, daerah perineum dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah
genitor-krural saja atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah
atau bagian tubuh yang lain. (1,2)
Sinonim
Eczema marginatum, Dhobie itch, Jockey itch, Ringworm of the groin (1)

Etiologi
Sering disebabkan oleh Epidermophyton floccosum, namun dapat pula oleh Tricophyton rubrum,
dan Trycophyton mentagrophytes yang ditularkan secara langsung atau tak langsung. (2)

Epidemiologi
Tinea cruris terdapat di seluruh dunia dan paling banyak di darah tropis. Berdasarkan penelitian
di RSUP Prof. DR R.D Kandou Manado, didapatkan jumlah penderita Tinea cruris tahun 19982002 sebanyak 1.424 penderita dari 33.553 pasien rawat jalan di poliklinik.
Infeksi ini kebanyakan pada usia dewasa dan dapat ditemukan pada pria dan wanita, dimana pria
lebih sering terinfeksi daripada wanita. Keadaan lingkungan yakni suhu dan kelembaban sangat
berperan penting, dimana suhu yang panas dan kelembaban yang tinggi merupakan faktor
predisposisi untuk timbulnya penyakit ini..(2,3)

Patogenesis
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan langsung dapat
secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah.

Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian debu.
Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei
penderita. Jamur ini menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat
memudahkan invasi ke stratum korneum. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabangcabangnya didalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang
berdifusi ke jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan
pola radial di stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan
meninggi (ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu
reaksi peradangan. Menyebabkan penderita merasa gatal atau sedikit panas di tempat tersebut
akibat timbulnya peradangan dan iritasi. Faktor risiko infeksi awal atau kekambuhan adalah
memakai pakaian ketat atau basah.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:
a.Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik, zoofilik, geofilik. Selain
afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula satu dengan yang lain dalam hal afinitas terhadap
manusia maupun bagian-bagian dari tubuh misalnya: Trichopyhton rubrum jarang menyerang
rambut, Epidermophython fluccosum paling sering menyerang liapt paha bagian dalam.
b.Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.
c.Faktor suhu dan kelembapan
Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau
lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela jari paling sering terserang
penyakit jamur.
d.Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat insiden penyakit jamur
pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering ditemukan daripada golongan
ekonomi yang baik
e.Faktor umur dan jenis kelamin (4,5)
Manifestasi klinis
Penyakit ini memberikan keluhan perasaan gatal yang menahun, bertambah hebat bila disertai
dengan keluarnya keringat. Kelainan yang akut memberikan gambaran yang berupa makula yang

eritematous dengan erosi dan kadang-kadang terjadi ekskoriasis. Pinggir kelainan kulit tampak
tegas dan aktif. Apabila kelainan menjadi menahun maka efloresensi yang nampak hanya makula
yang hiperpigmentasi disertai skuamasi dan likenifikasi. Gambaran yang khas adalah lokalisasi
kelainan, yakni daerah lipat paha sebelah dalam, daerah perineum dan sekitar anus. Kadangkadang dapat meluas sampai ke gluteus, perut bagian bawah dan bahkan dapat sampai ke aksila.
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder. (5,6)

Pemeriksaaan Penunjang
Mikroskop
Pada tinea kruris, bahan untuk pemeriksaan jamur sebaiknya diambil dengan mengikis tepi lesi
yang meninggi atau aktif. Khusus untuk lesi yang berbentuk lenting-lenting, seluruh atapnya
harus diambil untuk bahan pemeriksaan. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan artrospora (hifa
yang bercabang) yang khas pada infeksi dermatofita.
Kultur
Kultur jarang di lakukan karena selalunya mahal dan memakan masa yang lama.namun ,kultur
dilakukan apabila penderita dengan riwayat terapi obat yang lama tetapi diagnosis masih diragui.
Identifikasi spesifik zoofilik spesies sebagai sumber infeksi dapat membantu mencegah infeksi
kembali ia juga penting untuk menentukan spesifik jamur penyebab karena aktiviti anti jamur
bervariasi. (5)
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan melihat gambaran
klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan penunjang seperti yang telah disebutkan
dengan menggunakan mikroskop pada sediaan yang ditetesi KOH 10-20%, sediaan biakan pada
medium Saboraud, punch biopsi, atau penggunaan lampu wood. (5)

Diagnosis banding
1. Kandidiasis inguinalis.
Kandidiasis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida.
Kandidosis kadang sulit dibezakan dengan Tinea Cruris jika mengenai lipatan paha dan perianal.
Lesi dapat berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan berkrusta. Perbedaannya ialah
pada kandidiasis terdapat eritema berwarna merah cerah berbatas tegas dengan satelit-satelit di
sekitarnya. Biasanya kandidiasis dilipat paha mempunyai konfigurasi hen and chicken.
Predileksinya juga bukan pada daerah-daerah yang berminyak, tetapi lebih sering pada daerah

yang lembab. Selain itu, pada pemeriksaan dengan larutan KOH 10 %, terlihat sel ragi,
blastospora atau hifa semu. Pada wanita, ada tidaknya flour albus biasanya dapat membantu
diagnosis.
Pada penderita diabetes mellitus, kandidiasis merupakan penyakit yang sering dijumpai.
2. Eritrasma
Eritrasma merupakan penyakit yang sering berlokalisasi di sela paha. Efloresensi yang sama,
yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan tanda-tanda khas penyakit ini.
Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan lampu Wood dapat menolong dengan adanya
fluoresensi merah ( red coral ).
3. Psoriasis vulgaris
Psoriasis vulgaris berbeza dengan Tinea Cruris karena terdapat kulit mengelupas atau skuama
yang tebal, kasar, dan berlapis-lapis, disertai tanda titisan lilin, Kobner dan Auspitz. Tempat
predileksinya juga berbeza, psoriasis sering terdapat di ekstremitas bagian ekstensor terutama
siku, lutut, kuku dan daerah lumbosakral. Perbezaannya ialah skuamanya lebih tebal dan putih,
seperti kaca. Selain itu, pada pemeriksan histopatologis terdapat papilomatosis.
4. Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea ialah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, dimulai dengan lesi awal
berbentuk eritema dan skuama halus. Lesi awal berupa herald patch, umumnya di badan, soliter,
bentuk oval dan terdiri atas eritema serta skuama halus dan tidak berminyak di pinggir. Lesi
berikutnya lebih khas yang dapat dibedakan dengan Tinea Cruris, yaitu lesi yang menyerupai
pohon cemara terbalik. Tempat predileksinya juga berbeda, lebih sering pada badan, lengan atas
bagian proksimal dan paha atas, jarang pada kulit kepala (5,6)

Penatalaksanaan
Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti jamur topikal saja dari
golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam beberapa formulasi. Semuanya
memberikan keberhasilan terapi yang tinggi 70-100% dan jarang ditemukan efek samping. Obat
ini digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas
lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. Terapi sistemik
dapat diberikan jika terdapat kegagalan dengan terapi topikal, intoleransi dengan terapi topikal.
Sebelum memilih obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-obatan tersebut.
Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar apabila terapi sistemik diberikan lebih dari 4
mingggu.

Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam empat golongan yaitu:

golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti siklopiros,tolnaftan,
haloprogin. Golongan azole ini akan menghambat enzim lanosterol 14 alpha demetylase (sebuah
enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana struktur tersebut
merupakankomponen penting dalam dinding sel jamur. Goongan Alynamin menghambat keja
dari squalen epokside yang merupakan enzim yang mengubah squalene ke ergosterol yang
berakibat akumulasi toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian sel. Dengan
penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan membran sel sehingga ergosterol
tidak terbentuk. Golongan benzilamin mekanisme kerjanya diperkirakan sama dengan golongan
alynamin sedangkan golongan lainnya sama dengan golongan azole. (5)

Komplikasi
Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain. Pada infeksi jamur
yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.
Prognosis
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan kelembapan dan
kebersihan kulit selalu dijaga.

BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : Tn J.S
Umur : 75 tahun
BB/TB : 54 Kg/160 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Ranotana Weru lingkungan VI
Pekerjaan : Pensiunan TNI
Suku/bangsa : Minahasa / Indonesia

Agama : Kristen Protestan


Status perkawinan : Menikah
Tanggal periksa : 16 Juni 2010

ANAMNESIS
Keluhan utama : bercak kemerahan di daerah bokong dan lipat paha.
Bercak kemerahan disertai rasa gatal di daerah bokong dan lipat paha dialami pasien sejak 1
bulan yang lalu. Awalnya bercak kemerahan hanya berukuran kecil yang timbul di bokong dan
terasa sangat gatal, kemudian oleh pasien digaruk-garuk sehingga merah dan gatal mulai
menyebar ke seluruh daerah bokong. Gatal hilang timbul, lebih gatal saat berkeringat. Pasien
sudah pernah berobat ke puskesmas dan diberikan obat tablet dan kapsul, pasien sudah lupa
nama obatnya. Pasien juga memakai salep cina, tapi tidak ada perubahan. Penderita juga sering
mengoles belerang yang dicampur dengan minyak kelapa pada daerah yang terasa gatal.
Riwayat penyakit dahulu : Penyakit kulit lain disangkal penderita.
Hipertensi (+) baru diketahui penderita 1 bulan yang lalu saat berobat ke puskesmas, tapi tidak
terkontrol.
Riwayat alergi :
Makanan : ikan laut
Obat : disangkal.
Bahan kimia : disangkal.
Riwayat atopi : Bersin-bersin di pagi hari (+)
Asma dan alergi debu disangkal pasien.
Riwayat penyakit keluarga : Hanya pasien saja yang sakit seperti ini dalam keluarga.
Riwayat kebiasaan : Pasien mandi 2x sehari, menggunakan sabun batang dan digunakan
sendiri.
Handuk dipakai sendiri dan dicuci 1 bulan 1x.

Pakaian dalam diganti setiap habis mandi.


Setelah mandi pasien menggunakan pakaian bersih.
Riwayat sosial : Rumah terbuat dari beton, lantai ubin, atap rumah terbuat dari seng. Jumlah
kamar 4 buah, penghuni rumah ada 8 orang. Kamar mandi dan WC terletak di dalam rumah dan
digabung.

PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
KU : Baik Kes : Compos Mentis
TD : 150/100 mmHg N : 88 x/menit
R : 22 x/menit S : 36,30 C
Kepala : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : Pembesaran kelenjar limfe tidak ada
Thoraks : Cor : SI-SII normal, bising tidak ada
Pulmo : Ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen : Datar, lemas bising usus normal peristaltik normal. Hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas : Akral hangat, edema tidak ada.

Status dermatologis : Regio intergluteal-gluteus, Regio inguinalis bilateral : makula


hiperpigmentasi yang sirkumstrip, ukuran plakat, skuama (+)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan kerokan kulit dengan pewarnaan KOH 20%
Hifa panjang bersepta

DIAGNOSIS
Tinea Kruris

TERAPI:
Oral : Griseofulvin 125mg 1x4 tablet selama 2 minggu
Interhistin 3x1 tablet
Topikal: Ketoconazol krim 2 x app

ANJURAN
Menjaga kebersihan kulit dengan mandi 2x sehari.
Menjaga keadaan kulit agar tidak lembab.
Kontrol 1 minggu kemudian untuk melihat hasil pengobatan.

BAB III
DISKUSI
Diagnosis tinea kruris ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Berdasarkan anamnesis didapatkan adanya keluhan berupa bercak kemerahan yang disertai rasa
gatal pada bokong dan lipat paha sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya berupa bercak kecil
kemerahan di bokong kemudian digaruk, membesar dan menyebar ke seluruh bagian leher.
Pasien juga merasa gatal yang hilang timbul, namun bertambah berat saat pasien berkeringat.
Dari riwayat pasien, terdapat beberapa faktor predisposisi kandidosis yang ditemukan baik
eksogen dan endogen. Faktor predisposisi tersebut adalah pasien tergolong pada kelompok usia
lanjut, status imun pasien imunokompromais karena pasien menggunakan kortikosteroid selama
2 tahun tanpa resep dokter. Pasien memiliki kebiasaan mandi 1x sehari yang menunjukkan
bahwa kebersihan kulit pasien tidak terjaga dengan baik.

Pada pemeriksaan fisik pasien eflorosensi berupa papul lentikular eritematosa, berbatas jelas,
erosi, lesi satelit, skuama basah pada daerah leher. Menurut kepustakaan, predileksi kandidosis
adalah di daerah lipatan leher, kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari
tangan atau kaki, glans penis, dan umbilikus, berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah,
dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh lesi satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul
kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosi dengan pinggiran yang kasar
dan berkembang seperti lesi primer. Pada keadaan kronik, daerah-daerah likenifikasi,
hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan terkadang berfistula. Kelainan pada kulit menimbulkan
keluhan gatal yang hebat, kadang-kadang disertai rasa panas dan terbakar. (1,5)
Pemeriksaan penunjang untuk kandidosis intertriginosa adalah pemeriksaan gram. Pada
pemeriksaan ini ditemukan spora, pseudohifa, budding cell.
Diagnosa kandidosis intertriginosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini jelas menggambarkan suatu kandidosis intertriginosa,
sehingga tidak didiagnosis banding lagi dengan penyakit lain. Dalam kepustakaan, kandidosis
intertriginosa didiagnosis banding dengan eritrasma, dermatitis kontak alergika, dermatofitosis
(tinea). Secara praktis dapat dibedakan melalui perbedaan lesi dan melalui kerokan kulit atau
preparat langsung KOH dengan elemen jamur negatif. (1)
Penatalaksanaan pada pasien ini terdiri dari non medikamentosa dan medikamentosa. Sebagai
terapi non medikamentosa pasien dianjurkan agar memakai obat-obat yang diberikan secara
teratur dan sesuai instruksi pemakaian. Menjaga kebersihan kulit harus dilakukan pasien
mengingat faktor predisposisi yang dimiliki pasien sulit untuk dihindari, yaitu faktor usia. Kulit
yang lembab sangat berisiko terkena infeksi jamur, sehingga penting bagi pasien untuk
menghindari kulit lembab untuk mempercepat penyembuhan dan rekurensi. Pasien sebaiknya
datang memeriksakan diri kembali seteleh seminggu pengobatan, agar dapat dievaluasi tingkat
penyembuhan dan efektivitas pengobatan.
Pasien tergolong dalam kelompok usia lanjut yang sangat rentan terinfeksi dengan jamur.
Mengingat akan hal tersebut, penting untuk merubah kebiasaan pasien yang cenderung
memberikan gambaran tingkat kebersihan kulit yang rendah. Pasien memiliki riwayat
penggunaan kortikosteroid yang lama tanpa pengawasan dokter sehingga dihentikan
penggunaannya. Penatalaksanaan pada pasien ini sangat penting untuk menghindari faktor-faktor
predisposisi kandidosis serta menggunakan obat anti jamur. Dalam pengobatan pada pasien ini
diberikan anti jamur mikonazole krim, serta antihistamin chlorpheniramine maleat.
Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif stabil. Mikonazol menghambat
aktivitas jamur Candida, Trichophyton, Epidermophyton, Microsporum, dan Malassezia furfur.
Mikonazol masuk ke dalam sel jamur dan menyebabkan kerusakan dinding sel sehingga
permeabilitas terhadap berbagai zat intrasel meningkat. Efek samping yang timbul ialah iritasi,
rasa terbakar dan maserasi. Obat ini tersedia dalam bentuk krim 2 % dan bedak tabur yang
digunakan 2 kali sehari selama 2-3 minggu.

Antihistamin diberikan untuk membatasi dan menghambat aktivitas farmakologi histamine yang
dilepaskan sewaktu reaksi antigen antibodi terjadi. Pada pasien ini diberikan chlorpheniramin
maleat dengan dosis 3 kali sehari.
Prognosis pada pasien ini adalah bonam, meskippun faktor usia lanjut sulit untuk dihindari
sebagai faktor predisposisi. Dengan menghindari faktor-faktor predisposisi yang lain serta
dengan pengobatan yang teratur serta efektif, keadaan pasien akan mengalami perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Budimulya, Unandar. Mikosis. Dalam : Djuanda A. Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, edisi kelima, cetakan kedua dengan perbaikan. Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007 : 89-105.
2. Siregar RS. Saripati Penyakit Kulit, edisi kedua. Jakarta. EGC. 2004 : 29-31
3. Complete chaos. 2009. Tinea Unguium. Available at : http://www.completechaos-darknightblogspot.com/2009/04-tinea-unguium.html. Acessed on October 8th 2010
4. Wahid Ibnu Dian. 2009. Tinea Unguium. Available
at : http://diyoyen.blog.friendster.com/category/healthy/kulit-kelamin. Acessed on October 8th
2010
5. Soepardiman, L., 2001, Kelainan Kuku, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S., (eds )
Ilmu Penyakit kulit Dan Kelamin, 3rd ed, FKUI, Jakarta : 290-295

Anda mungkin juga menyukai