Anda di halaman 1dari 4

TINEA CRURIS

DEFINISI
Tinea cruris merupakan infeksi jamur superfisisalis yang mengenai kulit pada daerah lipat
paha, genital, sekitar anus dan daerah perineum yang disebabkan oleh jamur dermatofita.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun bahkan merupakan penyakit yang berlangsung
seumur hidup. Bila penyakit ini menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik.
Erosi dan kerluarnya cairan biasanya akibat garukan. Berikut ini adalah gambaran predileksi
terjadinya tine crusis.

Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada
tepi lebih nyata daripada bagian tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk
yang primer dan sekunder (polimorfi). Tinea cruris mempunyai nama lain eczema
marginatum, jock itch, ringworm of the groin, dan dhobie itch.

EPIDEMIOLOGI
Tinea cruris merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai di Indonesia. Paling banyak
mengenai daerah tropis karena tangkat kelembapan yang tinggi dan dapat memicu
pengeluaran keringat yang banyak menjadikan faktor predisposisi penyakit ini. Hygiene dan
sanitasi yang tidak dijaga dengan baik juga mempengaruhi pertumbuhan infeksi jamur
dermatofita. Tinea cruris lebih sering menyerang laki-laki dibandingkan perempuan.

ETIOLOGI
Tinea cruris.disebabkan oelh infeksi jamur golongan dermatofita. Dermatofita adalah
golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini bersifat mencerna
keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti, yang terbagi dalam tiga genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton floccosum dan Trichophyton rubrum. Selain itu juga dapat
disebabkan oleh Trichophyton mentagrophytes dan walaupun jarang juga dapat disebabkan
oleh microsporum gallinae.

PATOGENESIS
Tiena cruris biasanya terjadi setelah kontak dengan individua tau binatang yang terinfeksi.
Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya perabut dan sebagainya. Tinea
cruris umunnya terjadi pada pria. Maserasi dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan
peningkatan suhu dan kelembapan kulit sehingga memudahkan infeksi, salain itu dapat pula
terjadi akibat penjalaran infeksi dari abgian tubuh lain.
Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi dermatofita melibatkan tiga
langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel, dan
perkembangan respon pejamu.
Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada
jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembapan, kompetisis dengan flora normal
dan sphingiosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang di produksi oleh kelenjar
sebasea juga bersifat fungistatic.
Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum
korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi. Penetrasi juga
dibantu oleh sekresi proteinase, lipase, dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan
nutrisis untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit.
Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam dermis.
Perkembangan respon tubuh. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun penderita dan
organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau delay type hypersensitivity
(DTH) memainkan peran sangat penting dalam melawan dermatofita. Pasien yang belum
pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya, infeksi primer menyebabkan inflamasi dan tes
trichopitin hasilnya negative. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang
dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Terdapat hipotesis menyatakan bahwa
antigen dermatofita diproses oleh sel Langerhans epidermis dan di presentasikan dalam
limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi bermigrasi ke tempat yang
terinfeksi untuk menyerang jamur. Saat ini lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan berier
epidermal menjadi permeable terhadap transferrin dan sel-sel yang bermigrasi.

FAKTOR RISIKO
1. Yang menyuburkan pertumbuhan jamur
Pemeberian antibiotic yang mematikan kuman akan menyebabkan keseimbangan
antara jamur dan bakteri terganggu.
Adanya penyakit diabetes melitus dan kehamilan dapat menyuburkan pertumbuhan
jamur.
2. Yang memudahkan terjadinya invasi ke jaringan karena daya tahan yang menurun
Adanya rangasangan setempat yang terus menerus pada lokasi tertentu oleh cairan
yang menyebabkan pelunakan kulit, misalnya air pada sela jari kaki, kencing pada
pantat bayi, keringat pada daerah lipatan atau liur disudut mulut orangtua.
Adanya penyakit tertentu, sperti gizi buruk, penyakit darah, keganasan.
Beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan dikulit adalah :
a. virulensi dari dermatofita
b. trauma
c. suhu dan kelembaban
d. keadaan social serta kurangnya kebersihan
e. umur dan jenis kelamin

GEJALA KLINIS
Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas terdiri atas bermacam-
macam efloresensi kulit (polimorfik). Bentuk lesi yang beraneka raga mini dapat berupa
sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi menahun. Kelainan yang dilihat dalam klinik
merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-
kadang dengan vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah ditengah bisanya lebih tenang,
sementara yang ditepi lebih aktif yang sering disebut dengan central healing. Kadang-kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran yang
tidak khas terutama pada pasien imunodefisiensi.
DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Gatal dan kemerahan didaerah lipat paha, sekitar ano-genital, sering bertambah berat
sewaktu berkeringat dan tidur sehingga digaruk ekmudian timbul erosi dan infeksi
sekunder. Riwayat sebelumnya belum pernah memiliki keluhan yang sama. Berada di
tempat yang iklim lembab, memakai pakaian ketat, diabetes melitus. Penyakit ini
menyerang pada tahanan penjara, tantara, atlit olahraga, dan individu berisiko
dermatophytosis.
b. Pemeriksaan fisik
Pada sela paha lesi berbatas tegas yang simetris dapat bersifat akut atau menahun.
Mula-mula sebagai bercak eritematosa, gatal lama kelamaan meluas, dapat meliputi
skrotum, pubis, glutea, bahkan sampai paha, bokong dan perut bawah. Tepi lesi aktif
(peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya), polosklis, ditutupi
skuama dan kadang-kadang dengan banyak vesikel kecil-kecil. Jika menahun dapat
berupa bercak hitam disertai sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat
garukan. Pada infeksi akut, ruam biasanya basah dan eksudatif. Pada infeksi kronik,
permukaan kering dengan tepi papuler anular atau asiner.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kerokan bagian tepi lesi dengan KOH dan kultur. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
dengan lampu wood, yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan gelombang 3650 A.
a. Sedian basah
Kulit dibersihkan dengan alcohol 70% kemudian kerok skuama dari bagian tepi lesi
dengan memakai scalpel, pinggir gelas atau selotip, letakkan di obyek glass kemudian
tetesi KOH 10-20% 1-2 tetes, tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan lalu lihat
dimikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis
sejajar, terbagi oleh sekat dan bercabang maupun spora berderet (atrospora) pada
kelainan kulit yang lama tau sudah diobati dan miselium.
b. Pemeriksaan kultur jamur
Tujuannya untuk menentukan spesies. Media kultur diinkubasi pada suhu kamar 26 C
maksimal selama 4 minggu, dan dibuang bila tidak ada pertumbuhan.
c. Puch biopsy
Pengecatan dengan peridoc acid-schiff, jamur akan tampak merah muda atau
menggunakan pengecatan methenamine silver, jamur akan tampak coklat atau hitam.
d. Lampu wood
Untuk menyingkirkan adanya eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.

PENATALAKSANAAN
infeksi dermatofita dengan krim topikal antifungal hingga kulit bersih (biasanya
membutuhkan 3 sampai 4 minggu pengobatan dengan azoles dan 1 sampai 2 minggu dengan
krim terbinafin) dan tambahan 1 minggu hingga secara klinis kulit bersih.

a. Griseovulfin. Pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi


dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum
griseovulfin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 untuk
orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10 – 25 mg per kg berat
badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit dan
keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di lanjutkan 2 minggu agar tidak
residif.
b. Butenafin adalah salah satu antijamur topical terbaru diperkenalkan dalmam dua
minggu pengobatan dimana angka kesembuhan sekitar 70%.

c. Flukonazol (150 mg sekali seminggu) selama 4-6 minggu terbukti efektif dalam
pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74% dari pasien mendapatkan
kesembuhan.
d. Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg /hari diberikan sebagai dua dosis
harian 200 mg untuk satu minggu.
e. Terbinafin 250 mg /hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan rejimen
umumnya 2-4 minggu
f. Itrakonazol diberikan 200 mg /hari selama 1 minggu dianjurkan, meskipun rejimen
100 mg /hari selama 2 minggu juga telah dilaporkan efektif.
g. Ketokonazol bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap griseovulfin dapat
diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi
hari setelah makan. Selama terapi 10 hari, gambaran klinis memperlihatkan makula
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pemeriksaan ulang KOH 10% dapat tidak
ditemukan kembali.

Penatalaksanaan tinea kruris secara non-medikamentosa dan pencegahan dari kekambuhan


penyakit sangat penting dilakukan, seperti mengurangi faktor predisposisi yaitu
menggunakan pakaian yang menyerap keringat, mengeringkan tubuh setelah mandi atau
berkeringat, dan membersihkan pakaian yang terkontaminasi.

PROGNOSIS

Prognosis tergantung penyebab, disiplin, status imunologis dan social budaya, tetapi pada
umumnya baik. Selain itu faktor kelebapan dan kebersihan kulit juga berpengarus pada
prognosis.

Anda mungkin juga menyukai