Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang
disebabkan golongan jamur dermatofita. Jamur ni dapat menginvasi seluruh
lapisan stratum korneum dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons
imun penjamu.1
Dermatofita, termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3
genus yaitu Genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.
Dermatofitosis dibagi menjadi beberapa bentuk yaitu. Tinea kapitis, tinea
baerbae, tinea kruris, tinea pedis et manum, tinea unguium, tinea korporis.1
Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur,
sehingga dapat ditemukan hampir di semua tempat. Insidensi penyakit jamur
yang terjadi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi antara
2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak menggambarkan populasi umum.2
Tinea kruris merupakan keadaan infeksi jamur yang sering terjadi di
seluruh dunia dan paling sering di daerah tropis. Keadaan lembab dan panas
berperan pada timbulnya penyakit. Tinea kruris lebih sering pada pria
dibanding wanita, salah satu alasannya karena skrotum menciptakan kondisi
yang hangat dan lembab. Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha,
daerah perineum, dan sekitar anus. Lesi kulit dapat berbatas pada daerah
genitokrural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut
bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.1
Faktor-faktor yang memegang peranan untuk terjadinya
dermatomikosis adalah iklim yang panas, higiene sanitasi sebagian
masyarakat yang masih kurang, adanya sumber penularan disekitarnya,kontak
langsung oleh penderita tinea kruris atau dengan kontak tidak langsung seperti
melalui penngunaan handuk bersama,alas tempat tidur,dan segala hal yang
dimiliki pasien tinea kruris.2

1
2

Insect hypersensitivity atau hipersentivitas (alergi) kulit terhadap serangga


mencakup reaksi alergi akibat gigitan (bites), sengatan (stings) serangga, dan
kontak dengan bagian tubuh serangga. Serangga yang paling sering menggigit
(menusuk) di antaranya adalah nyamuk (mosquitoes), kutut berkaki 6 (fleas),
kutu busuk (cimex lectularius), dan serangga lainnya. Alergi kulit terhadap
gigitan serangga (insect bites hypersensitivity), juga lebih dikenal nama
popular-urtikaria, merupakan salah satu penyakit kulit pada bayi dan anak
yang banyak dijumpai sehari-hari. Gambaran klinis dintandai papul yang
dikelilingi uertika dan bagian tengahnya terdapat (puctum) bekas gigitan,
biasanya bersifat kronik-recuren.1

Insidens sesungguhnya sukar diketahui, namun cenderung terjadi


peningkatan pada musim semi dan panas di Negara 4 musim dan di musim
panas di Negara 2 musism, termasuk di iklim tropis, antara lain di Indonesia.
Laki-laki dan perempuan dapat terkenan popular urtika.1

Berdasarkan pemaparan diatas, laporan kasus ini dibuat sebagai tugas


maupun bahan pembelajaran pada stase kulit kelamin di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Palembang BARI.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinea Kruris


2.1.1 Definsi

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat


tanduk misalnya stratum corneum epidermis, rambut dan kuku yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Penyakit ini termasuk mikosis
superfisial. adapun Sinonim dermatofitosis adalah tinea, ringworm, kurap,
teigne, herpes sirsinata.3

Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum,


dan sekitar anus. Lesi kulit dapat berbatas pada daerah genitokrural saja, atau
meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau
bagian tubuh yang lain.3

2.1.2. Etiologi

Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.


Golongan jamur ini memiliki sifat mencernakan keratin. Dermatofita
termasuk kelas Fungi imperfecti yang terbagi dalam 3 genus yaitu
microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Hingga kini dikenal
sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies epidermopyton, 12
spesies microsporum dan 21 spesies trichophyton. Untuk kepentingan klinis
dan epidemiologis, dermatofita yang menginfeksi manusia terbagi
berdasarkan tempat hidupnya, yaitu geofilik untuk jamur yang berasal dari
tanah antara lain M. Gypseum; golongan zoofilik berasal dari hewan
misalnya M. Canis; antropofilik khusus untuk jamur yang bersumber dari
manusia contohnya T. Rubrum.3

2.1.3 Epidemiologi

Infeksi penyakit oleh jamur dapat ditemukan hampir di seluruh daerah


Indonesia karena merupakan wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur.
4

Iklim dan kondisi geogafis di Indonesia memudahkan pertumbuhan jamur


sehingga menyebabkan banyaknya kasus infeksi jamur.5 Insidensi penyakit
yang disebabkan oleh jamur di Indonesia berkisar 2,93-27,6% untuk tahun
2009-2011. Di Manado sendiri menurut penelitian oleh Bertus11 di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou periode Januari – Desember 2012 didapatkan 65
kasus (1,61%) dermatofitosis dengan persentasi kasus terbanyak yaitu tinea
kruris sebanyak 36 kasus (55,38%) dari keseluruhan kasus dermatofitosis.4
Distribusi kasus dermatofitosis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Tahun 2013 yang diklasifikasikan berdasarkan lokasinya
diadapatkan 54 kasus (35.3%) tinea kruris, kemudian tinea korporis dengan
50 kasus (32,7%), tinea kapitis 11 kasus (7,2%), lalu tinea unguium atau
onikomikosis dengan 8 kasus (5,3%) dan tinea pedis et manum 4 kasus
(2,6%). Selain itu ada juga lokasi kombinasi tinea korporis et kruris dan tinea
kruris et korporis dengan 26 kasus (17,0%).4
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di RSUD Daya
Makassar pada bulan januari – desember 2016, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan yaitu berdasarkan kriteria Umur penderita dermatofitosis
diperoleh bahwa penderita dermatofitosis terbanyak pada kelompok usia
dewasa (> 18 tahun) yaitu sebanyak 69 orang atau sebesar 86,25% di RSUD
Daya Makassar tahun 2016. Berdasarkan kriteria jenis kelamin penderita
dermatofitosis diperoleh bahwa penderita dermatofitosis terbanyak pada jenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak 41 orang atau sebesar 51,25% di RSUD
Daya Makassar 2016. Berdasarkan kriteria lokasi lesi penderita
dermatofitosis diperoleh bahwa penderita dermatofitosis terbanyak adalah
tinea kruris yang terdapat pada daerah pubis dan sela paha sebanyak 36 orang
atau sebesar 45% di RSUD Daya Makassar tahun 2016.4
5

2.1.4. Patogenesis Dermatofitosis


Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu:
1. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia.
Ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lantai
kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa
reaksi keradangan (silent “carrier”).
2. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia.
Ditularkan melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui bulu
binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan
pada rumah / tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan.
Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
3. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia.
Secara sporadis menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi radang.
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi
pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan
melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus
jaringan pejamu, dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan
diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan
menimbulkan reaksi jaringan atau radang. Terjadinya infeksi dermatofit melalui
tiga langkah utama, yaitu: perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di
antara sel, serta pembentukan respon pejamu.5

2.1.5. Gejala Klinis


Dermatofitodis pada kulit tidak berambut mempunyai morfologi yang
khas. Penderita mengeluhkan gatal dan terdapat kelainan kulit berbatas tegas
terdiri atas macam-macam efloresensi kulit. Bagian tepi lebih aktif daripada
bagian tengah.3
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah
genitokrural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus, dan perut
bagian bawah atau bagian tubuh yang lain.3
6

Kelainan kulit tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi
terdiri dari atas macam-macam bentuk primer dan sekunder (polimorf).
Bila penyakit ini menjadi menahun, maka dapat berupa bercak hitam
disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan akibat garukan. Tinea ini
merupakan salah satu bentuk klinis yang sering dijumpai di Indonesia.3

Gambar 2.3 tinea kruris9

2.1.6. Diagnosis banding


Tinea corporis dan tinea cruris dapat didiagnosis banding dengan proriasis.
Psoriasi dapat di kenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi yaitu daerah
ekstensor, misalnya siku, lutut, punggung. Psoriasis pada sela paha menyerupai
tinea kruris. Lesi-lesi pada psoriasis lebih merah, skuama lebih banyak dan
lamelar.2 Pitiriasis rosea, gambaran makula eritematosa dengan tepi sedikit
meninggi, adea papula, skuama. Diameter panjang lesi menuruti garis kulit.9

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur penyebab penyakit
yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, kuku. Pemeriksaan langsung sediaan
basah dilakukan dengan mikroskop. Sediaan basah dibuat dengan meletakkan
bahan kerokan diatas gelas alas, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH.
Konsentrasi larutan KOH pada sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan
rambut KOH 20%. Setelah sediaan dicampur dengan KOH tunggu 15-20 menit
7

untuk melarutkan jaringan tersebut. Untuk mempercepat proses tersebut dapat


dilakukan pemanasan sediaan basah diatas api kecil. Untuk melihat elemen jamur
lebih nyata maka dapat ditambahkan zat pewarna pada sediaan, seperti tinta
parker superchroom blue black.3
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis
sejajar, tebagioleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet pada kelainan
kulit lama dan/atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora
kecil atau besar. Spora dapat tersusun diluar rambut atau di dalam rambut.3
Pemeriksaan dengan biakan diperlukan untukmenyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan dan yang
dianggap baik pada saat ini adalah medium agar dextrosa saboraud.3

2.1.8 Penatalaksanaan
Tersedia bermacam pengobatan topikal maupun sistemik untuk tipe
dermatofitosis. Selama ini pengobatan standar untuk tinea kapitis di Amerik
Serikat adalah griseopulvin, sedangkan golongan triazol dan alilamin
menunjukkan keamaan, efikasi dan manfaat lebih karena penggunaanya yang
memerllukan waktu singkat.3
Dosis pengobatan griseopulvin berbeda-beda. Dalam bentuk fine particle
dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk
anak-anak atau 10-25mg/kgbb. Diberikan 1-2 kali sehari. Setelah sembuh klinis
maka terapi dilanjutkan hingga 2 minggu. Efek samping griseofulvin jarang
dijumpai, yang merupakan keluhan utama adalah sefalgia, dizziness, daninsomnia.
Efek samping lain dapat berupa gangguan traktud digestivus seperti nausea dan
vomitus.3
Ketokonazol juga efektif untuk dermatofitosis karena bersifat fungistatik.
Dapat diberikan 200 mg/hari selama 10 hari-2 minggu pada pagi hari setelah
makan. Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.
Sebagai penggantinya dapat diberikan itrakonazol yang biasanya diberikan 2 x
100-200 mg sehari dalam kapsul selama 3 hari.3
8

Obat anti jamur golongan azol dan alinamin mengalami proses


metabolisme oleh kelompok enzim sitokrom P450 sehingga dapat berinteraksi
dengan berbagai obat lain yang mengalami metabolisme oleh kelompok enzim
yang sama rifampisin, simetidin.3
Terbinafin juga dapat bersifat fungisidal sebagai pengganti griseofulvin
yang diberkan 2-3 minggu dengan dosis 62,5 mg – 250 mg/hari bergantung pada
berat badan. Efek samping yang ditemukan kira-kira 10% penderita dengan
gangguan gastrointestinal seperti nausea, vomitus, diare, konstipasi yang
umumnya ringan.3
pada saat ini selain obat-obat topikal konvensioal seperti asam salisilat 2-
4%, asam benzoat 6-12%, sulfur 4-6%, viofom 3%, dikenal banyak obat topikal
baru siantaranya tolnaftat 2%, tolsiklat, haloprogin derivat-derivat imidazol,
siklopiroksolamin dan naftifine masing-masing 1%.3

2.2 Insect Bite


2.2.1 Definisi
Alergi kulit terhadap gigitan serangga (insect bites hypersensitivity), juga
lebih dikenal nama popular-urtikaria, merupakan salah satu penyakit kulit pada
bayi dan anak yang banyak dijumpai sehari-hari. Gambaran klinis dintandai
papul yang dikelilingi uertika dan bagian tengahnya terdapat (puctum) bekas
gigitan, biasanya bersifat kronik-recuren. Sinonim yaitu urtika popular, insect
bite dan sting.3

2.2.2 Epimediologi
Insidens sesungguhnya sukar diketahui, namun cenderung terjadi
peningkatan pada musim semi dan panas di Negara 4 musim dan di musim
panas di Negara 2 musism, termasuk di iklim tropis, antara lain di Indonesia.
Laki-laki dan perempuan dapat terkenan popular urtika. Lesi kulit biasanya
swasirna (self-limited).3
Data yang dikumpulkan Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia
(KSDAI) pada tahun 2002, dari bagian IP. Kulit dan Kelamin 7 Rumah sakit
di Indonesia didapatkan sejumlah 214 kasus yang didiagnosis sebagai insect
9

bites. Sebagai perbandingan penyakit kulit pada anak di queen Sirikit hospital
Bangkok termasuk ke-2 terbanyak, yaitu 1131 (16%) dari 7000 pasien.3
Di Indonesia belum ada laporan kematian akibat gigitan atau serangan
serangga, hal ini berbeda dengan di luar negeri. Misalnya gigitan atau
sengatan lebah seringkali menyebabkan reaksi anafilaksis, bahkan kematian.
Reaksi di kulit akibat gigitan serangga, pada umumnya dapat menimbulkan
erupsi kulit berupa eritem, nodus, bula, edema, prurigo, urtikaria popular,
urtika, angioderma, bahkan kadang-kadang menjadi selulitis.3

2.2.3 Etiologi
Urtikaria popular merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap gigitan atau
sengatan serangga, termasuk nyamuk, sejenis nyamuk agas (gnats), kutu
berkaki 6 (fleas), kutu berkaki 8 (mites, kutu busuk (bedbugs), caterpillars
dan ngengat (moths).
Selain itu berdasarkan perannya di bidang kedokteran digolongkan ke dalam
kelompok berdasarkan penyebab, yaitu:
1. Penularan penyakit (sebagai vector dan hospes perantara)
2. Penyakit parasit,
3. Keracunan akibat toksin yang dikeluarkan.
4. Hipersensitivitas pada orang yang rentan.
5. Entomofobia ( rasa ngeri atau takut melihat bentuk serangga)

2.2.4 Patogenesis
Pada bayi, anak atau dewasa, usia muda umumnya jarang atau tidak terjadi
reaksi alergik sehingga tidak menimbulkan eritema, pruritus, ataupun papul.
Pada indivisu normal gigitan serangga meninggalkan bekas kemerahan atau
purpuran (bintik perdarahan) di kulit menghilang dalam beberapa jam atau
hari.3
Terjadinya reaksi alergi terhadapa gigitan serangga berlangsung 3 tahap,
yaitu tidak terjadi reaksi karena belum tersensitisasi, setela terjadi sensitisasi
akan timbul reaksi alergik, kemudian setelah beberapa tahun hipersensitivitas
10

. Reaksi yang terjadi dapat merupakan reaksi tipe cepat dan lambat
bergantung pada derajat sensitisasi dan stastus imun seseorang.
a. Reaksi tipe cepat
Terjadi segera setelah gigitan sampai 20 menit kemudian, umunya
bervariasi 1-60 menit, bertahan selama 1 samapi 3 jam. Manifestasi
berupa urtika berbentuk ireguler disertai pseudopodi, kadang-kadang
dikelilingi zona eritem, biasanya ada rasa gatal.
b. Reaksi tipe lambat
Dapat terjadi 20 menit kemudian setelah gigitan serangga, urtika
terbentuk lambat bergantung pada derajat hipersensitivitas dan usia.
Pada anak usia < 2 tahun reaksi terjadi setelah 20-40 menit, pada anak
usia 7 tahun dapat terjadi setelah 1-2 jam, pada anak usia 12 tahun dapt
terjadi dalam 3-5 jam. Sedangkan pada orang dewasa setelah 3-5 hari,
ada pula yang melaporkan teradi setelah 14 hari kemudian. Reaksi tipe
lambat umunya berbentuk urtikaria popular, yaitu papul kemerahan
berbentuk bulat, sangat gatal dan bertahan beberapa hari, kadang-
kadang dikelilingi zona kemerahan, dan tanda bekas garukan.
c. Reaksi yang ekstrim
Dapat terjadi berupa lesi generalisata atau reaksi sistemik
anafilaksis. Bila terjadi reaksi sistemik, penanganan pertama yaitu
harus diberikan suntikan adrenalin (1:1000)i.m, pasang torniket, dan
sebagai tambahan dapt diberikan kortikosteroid dan antihistamin.
Infeksi sekunder oleh bakteri di kulit, sehingga lesi menjadi lebar,
edematosa disertai rasa panas dan nyeri, diikuti timbulnya pustule.
Pada keadaan serupa itu diperlukan antibiotik dan antiinflamasi selain
anti-alergi.3
11

2.2.5 Diagnosis
Gambaran klinis spesifik urtikaria popular akibat gigitan sengatan
serangga biasanya khas, dibagian tengah papul terlihat ada punctum hemoragik
(haemorrhagic puncta) bekas alat tusuknya. Mula-mual timbul urtika yang segera
diikuti terbentuknya papul atau vesikel di bagian tengahnya, bahkan dapat
menjadi bual. Keadaan ini dapat bertahan beberapa jam atau hari. Pada keadaan
berat, 4-8 jam setelah gigitan dapat terbentuk pustule berumbilikasi dengan dasar
edema dan eritematosa. Pustul kemudia menjadi memecah meninggalkan
hiperpigmentasi dan sikatriks ringan.

Gambar : Papular urtikaria: Bekas gigitan kutu, sangat gatal, urtikaria seperti
papula di lokasi gigitan kutu pada lutut dan kaki seorang anak, papula biasanya
berdiameter <1 cm serta memiliki vesikel di atasnya, Bila tergoreskan
mengakibatkan erosi maupun krusta.
12

Gambar : pada bagian tengah lesi tampak ekskoriasi dikelilingi daerah yang
edem dan eritem.

2.2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding insect bite reaction didasarkan oleh reaksi pada tempat
gigitan (papula eritema, vesikel), organisme yang menggigit serta nekrosis
kutaneus yang menyebabkan timbulnya lesi yang berbeda:
a. Urtikaria papular
Urtikaria papular adalah suatu bentuk prurigo yang sering terjadi pada
bayi. kelainan khas berupa urtikaria papular, yaitu urtikaria yang
berbentuk papul-papul bewarna kemrahan. Penderita sering mengeluh
gatal dengan riwayat gigitan serangga sebelumnya. Kelainan klinis khas
berupa urtikaria papular, yaitu uertikaria yang berbentuk papul-papul
kemerahan tersebar secara diskret dan ireguler, terutama bagian ekstensor
lengan dan tungkai.
b. Dermatitis kontak alergik
Pasien umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada tingkat
keparahan dan lokasi dermatitisnya. Pada stadium akut dimulai dengan
bercak eritematosa berbatas tegas kemudian diikuti edema, papulovesikel,
vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menyebabkan erosi dan
eksudasi (basah). DKA akut ditempat tertentu, misalnya kelopak mata,
penis, skrotum, lebih didominasi oleh eritem dan edema. Pada DKA kronis
terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga
fisur, berbatas tidak tegas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis
kontak iritan kronis, dengan kemungkinan penyebab campuran.
13

DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara autosensitisasi.


Scalp, telapak tangan, dan kaki relative resisten terhadap DKA.

2.2.7 Penatalaksanaan
Umumnya terapi bersifat simtomatik, dapat diberikan
kortikosteroid topical, analgetik, dan antihistamin (sedatif dan nonsedatif)
per oral. Terapi topical ditunjukkan untuk mengurangi rasa gatal (obat oles
mengandung kamfer atau mentol) dan mengurangi reaksi alergik, misalnya
koertikosteroid golongan sedang atau kuat. Bila terjadi infeksi sekunder
dapat diberikan antibiotik topical maupun sistemik.
Upaya preventif menghindari serangga dengan memakan pakaian
yang menutupi badan dan ekstremitas serta menggunakan insect repellent
(penangkis serangga).
Topical : jika reaksi local ringan, dikompres dengan larutan asam borat 3
%, atau koertikosteroid topical, seperti krim hidrokortison 1-2%. Jika
reaksi berat dengan gejala sistemik, dilakukan, pemasangan torniket
proksimal dari tempat gigit, dan diberi obat sistemik.
Sistemik : injeksi antihistamin seperti klorfeniramin 10 mg atau
difenhidramin 50 mg. adrenalin 1% 0,3-0,5 ml subkutan. Kortikosteroid
sistemik diberikan pada penderita yang tidak tertolong dengan
antihistamin atau adrenalin.

2.2.8 Prognosis
Sebagian besar insect bite meninggalkan bercak kehitaman yang
cenderung menetap. Infeksi sekunder dapat meningglkan sikatriks
14

BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : NT
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 23 September 1945
Pendidikan : SMA
Agama : Budha
Bangsa/ Suku Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. Talang Anyar, Karya Baru, Alang Alang
Lebar, Palembang
Tanggal kunjungan / jam : 17 juni 2019/ 11.30 WIB

3.2. Anamnesis (Alloanamnesis dengan ibu pasien, pukul 10.00 WIB)


3.2.1 Keluhan utama
Timbul bercak merah, bersisik pada sela lipatan bokong sejak 8 bulan
yang lalu.
Timbul bengkak di punggung kaki kanan sejak 3 hari yang lalu.

3.2.2 Keluhan tambahan


Gatal pada daerah sela lipatan bokong dan nyeri di punggung kaki
kanan.

3.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit


Kisaran 8 bulan lalu timbul bintil merah, bulat, berisi nanah seukuran
biji kacang hijau beberapa buah di sela lipatan bokong. Pasien kemudian
berobat ke dokter dan bintil tersebut pecah disertai gatal, pasien mengatakan
diberikan obat salep namun pasien lupa nama obatnya. Setelah berobat bintil
tidak dan gatal mulai berkurang. Bintil sudah tidak ada namun terdapat
bercak merah dan bersisik disertai gatal terutama pada saat berkeringat
namun tidak perih dan tidak panas.
15

Kisaran 3 bulan lalu pasien mengatakan bercak merah tidak gatal dan
selalu dibersihkan ketika saat mandi, pasien tidak terganggu dalam
melakukan aktivitas sehari-hari.
Kisaran 2 bulan lalu pasien berobat ke poli kulit Rumah sakit
Palembang bari dengan keluhan bercak merah di buah zakar disertai rasa
gatal dan ada sisik. Pasien mendapatkan obat antigatal dan antijamur. 1
minggu kemudian keluhan di buah zakar sudah membaik. Sedangkan bercak
merah di bokong masih ada namun menggangu.
Kisaran 2 pekan lalu pasien mulai merasakan gatal di daerah lipat
bokong, pasien juga menggaruk pada saat gatal. Bercak merah dan bersisik
muncul dipengaruhi oleh suhu lingkungan atau ketika berkeringat. 2 minggu
kemudian pasien datang berobat ke poli kulit rumah Sakit Palembang bari.
Kisaran 3 hari yang lalu timbul bengkak di punggung kaki kanan
setelah terinjak serangga (tawon). Bengkak disertai rasa nyeri dan rasa
panas. pasien tidak langsung mengobati keluhan tersebut. Pada telapak kaki
kanan masih ada bekas merah akibat gigitan serangga.
Kisaran 2 hari yang lalu pasien sudah tidak merasa nyaman Karena
semakin bengkak,merah dan nyeri seperti ditusuk-tusuk dan terasa panas.
keesokan harinya pasien berobat ke poli kulit rumah sakit Palembang Bari
dengan keluhan bengkak, merah dan nyeri di punggung kaki kanan.
Pasien tidak ada riwayat alergi makanan, pasien tidak pernah ada
keluhan yang serupa sebelumnya. Keluhan tambahan seperti berketombe
pada rambut disangkal pasien. Pasien mengatakan tidak memelihara hewan
seperti anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit. Tetapi di tempat kerja terdapat
beberapa kucing. Riwayat kulit kering tidak ada. riwayat gatal bila
berkeringat dan menggunakan pakaian berbahan woll tidak ada.

3.2.4 Riwayat penyakit dahulu


Keluhan yang sama belum pernah dirasakan sebulumnya. Ada riwayat
berobat bercak merah di alat genitalia (buah zakar) 2 bulan yang lalu.
16

1.2.5 Riwayat penyakit dalam keluarga


Riwayat keluhan yang sama dikeluarga disangkal.

3.2.6 Riwayat Kebersihan


Pasien mandi 2 kali sehari, pagi dan sore dengan menggunakan air
PDAM. Pasien sering memakai pakaian yang tidak mudah menyerap
keringat. Dan dilingkungan tempat kerja pasien panas dan lembab. Pasien
mengganti pakaian 2 kali sehari. Pasien menggunakan handuk sendiri tidak
bergantian. Kesan : hiegene cukup baik.

3.2.7 Riwayat Sosioekonomi


Pasien tinggal di alang-alang lebar bersama 3 orang anaknya. Pasien
bekerja sebagai buruh (penjaga) di panti werdha setiap hari dari pukul
09.00-17.00 wib.. Kesan: sosioekonomi menengah ke bawah

3.3. Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmhg
Nadi : 90 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,6oC
Berat badan : 52 kg
Tinggi badan : 165 cm

B. Status Generalisata
Keadaan Spesifik
Kepala
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
17

- Hidung : sekret (-/-)


- Telinga : sekret (-/-)
Leher
- JVP 5-2 cmH2O
- Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar tiroid (-/-)
Thorax
Pulmo
Inspeksi : simetris kanan=kiri, retraksi sela iga (-)
Palpasi : stem fremitus kanan =kiri
Perkusi : sonor kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : teraba iktus kordis ICS IV linea aksilaris anterior sinistra
Perkusi : batas jantung paru normal
Auskultasi : S1/S2 normal, gallop (-), murmur (-)
Ekstremitas Superior : tidak ada kelainan fungsi pergerakan maupun
deformitas
Ekstremitas Inferior : tidak ada kelainan fungsi pergerakan maupun
deformitas
18

3.4. Status Dermatologikus


a. Regio intergluteal dextra et sinistra
Terdapat patch eritema, soliter, bentuk irregular, ukuran 6 cm x 5 cm,
tersebar diskret disertai permukaan ditutupi skuama halus bewarna putih.

skuama

eritema

b. Pada regio dorsum pedis dextra


Terdapat eritema, soliter,bentuk regular, ukuran 5 cmx 4 cm, tersebar
diskret disertai edema.

eritema
19

c. Pada regio plantar pedis dextra


Terdapat eritem, multiple, bentuk regular, ukuran 0,1-0,2x 0,1-0,1
tersebar diskret.

eritema

3.5. Resume
Tn. NT, laki-laki, usia 70 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin
RSUD Palembang BARI dengan keluhan Timbul bercak merah, bersisik pada sela
lipatan pantat sejak 8 bulan yang lalu. Timbul bengkak pada kaki kanan yaitu di
punggung kaki sejak 3 hari yang lalu.
. Kisaran 8 bulan lalu timbul pustul eritem, multipel, milier, konfluens di
regio intergluteal dextra et sinistra. Kemudian melunak menjadi abses berisi pus
lalu memecah. Kisaran 7 bulan lalu timbul patch eritem, soliter, irregular, diskret,
ditutupi skuama putih halus.

3.6. Diagnosis Banding


1. Tinea Cruris + insect bite
2. Dermatitis Seboroik + urtikaria papular
3. Eritrasma +dermatitis kontak alergik

1.7. Diagnosis Kerja


Tinea Cruris +insect bite
20

1.8. Pemeriksaan Penunjang


Kerokan kulit dengan menggunakan KOH 10%
Hasil : spora (+), Hyfa (-)

3.9. Penatalaksanaan
Non medikamentosa
1. Tinea Cruris
b. Memberitahukan pasien bahwa penyakit disebabkan oleh jamur yang
dapat ditularkan dari tanah, hewan, dan manusia.
c. Mencuci tangan setelah kontak dengan hewan ataupun tanah.
d. Gunakan handuk sendiri dan tidak dipakai bersama orang lain.
e. Cuci handuk dan baju yang terkena bagian tubuh yang terinfeksi jamur
untuk mencegah penyebaran jamur.
f. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju yang tidak menyerap
keringat. Jika sudah berkeringat segera berganti baju

Medikamentosa:
Tinea Cruris
- Klotrimazole 1 % cream 8,96 gr 2 kali sehari selama 2 minggu pada
bokong.
- Griseofulvin 1 x 500 mg/hari selama 3 minggu.

Non Medikamentosa
2. Insect bite
- Menghindari manipulasi (garukan) agar lesi tidak meluas
- Upaya mengindari serangga dengan memakai pakaian yang menutupi
badan dan ekstremitas
- Membersihkan tempat tidur sebelum tidur

Medikamentosa
Insect bite
21

- Kortikosteroid topical, krim hidrokortison 1-2 % 1,75 gr dioleskan 2x


sehari selama 1 minggu

3.10. Prognosis
a. quo ad vitam: bonam
b. quo ad functionam: bonam
c. quo ad sanationam: bonam
d. quo ad cosmetica : bonam
22

BAB IV
ANALISA KASUS

Diagnosa pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang.
Tn NT, laki-laki, usia 70 tahun didiagnosis dengan Tinea Cruris + Insect
bite.
Umur penderita dermatofitosis diperoleh bahwa penderita dermatofitosis
terbanyak pada kelompok usia dewasa (> 18 tahun) dan kriteria jenis kelamin
terbanyak pada jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki. sedangkam pada
Kasus ini diketahui berjenis kelamin perempuan berusia 70 tahun. Tinea kruris
lebih sering pada pria dibanding wanita, salah satu alasannya karena skrotum
menciptakan kondisi yang hangat dan lembab. Pada pasien ini jenis kelamin laki-
laki.
Timbul bintil merah, bulat, berisi nanah seukuran biji kacang hijau
beberapa buah di sela lipatan bokong. Pasien kemudian berobat ke dokter dan
bintil tersebut pecah disertai gatal, pasien mengatakan diberikan obat salep namun
pasien lupa nama obatnya. Setelah berobat bintil tidak dan gatal mulai berkurang.
Bintil sudah tidak ada namun terdapat bercak merah dan bersisik disertai gatal
terutama pada saat berkeringat namun tidak perih dan tidak panas. Tinea kruris
adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum dan sekitar anus. Kelainan
ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit seumur
hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genitokrural saja, atau meluas ke
daerah sekitar anus, daerah gluteus, dan perut bagian bawah atau bagian tubuh
yang lain. Kelainan kulit tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya.
Berdasarkan anamnesis, pasien tidak memelihara hewan seperti anjing,
kucing, sapi, kuda. Pasien mengatakan ada beberapa kucing di tempat kerja
pasien. Riwayat yang sakit yang sama dikeluarga disangkal. Berdasarkan teori
23

tinea disebabkanoleh jamur dermatofita. Golongan jamur ini memiliki sifat


mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti yang terbagi
dalam 3 genus yaitu microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.Terjadinya
penularan dapat melalui transmisi dari manusia ke manusia contohnya T. Rubrum.
Transmisi dari hewan ke manusia ditularkan melalui kontak langsung maupun
tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau
sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur hewan, tempat makanan dan
minuman hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan
mencit misalnya M. Canis. Transmisi dari tanah ke manusia misalnya M.
Gypseum.
Dari anamnesis keluhan terutama pada bagian sela lipat bokong. Tinea
kruris mengenai pada lipat paha, daerah perineum dan sekitar anus. Kelainan ini
dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit seumur
hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genitokrural saja, atau meluas ke
daerah sekitar anus, daerah gluteus, dan perut bagian bawah atau bagian tubuh
yang lain.
3 hari yang lalu timbul bengkak di punggung kaki kanan setelah terinjak
serangga (tawon). Bengkak disertai rasa nyeri dan rasa panas. Pada telapak kaki
kanan masih ada bekas merah akibat gigitan serangga.
Insidens sesungguhnya sukar diketahui, namun cenderung terjadi
peningkatan pada musim semi dan panas di Negara 4 musim dan di musim panas
di Negara 2 musim, termasuk di iklim tropis, antara lain di Indonesia. Laki-laki
dan perempuan dapat terkenan popular urtika.
Reaksi di kulit akibat gigitan serangga, pada umumnya dapat
menimbulkan erupsi kulit berupa eritem, nodus, bula, edema, prurigo, urtikaria
popular, urtika, angioderma, bahkan kadang-kadang menjadi selulitis. Pada
indivisu normal gigitan serangga meninggalkan bekas kemerahan atau purpuran
(bintik perdarahan) di kulit menghilang dalam beberapa jam atau hari.
Berdasarkan teori, pasien didiagnosis tinea cruris Lesi kulit dapat terbatas
pada daerah genito krural atau dapat meluas ke daerah disekitar anus , gluteus dan
perut bagian bawah. Efloresensi terdiri dari atas macam-macam bentuk primer dan
sekunder (polimorf). Bila penyakit ini menjadi menahun, maka dapat berupa
24

bercak hitam disertai sedikit sisik. Pada anamnesis di dapatkan keluhan dengan
keluhan Timbul bercak merah, bersisik pada sela lipatan pantat sejak 8 bulan yang
lalu, dengan status dermatologikus . Regio intergluteal dextra et sinistra Terdapat
patch eritema, soliter, bentuk irregular, ukuran 6 cm x 5 cm, tersebar diskret
disertai permukaan ditutupi skuama halus bewarna putih.
Pasien ini juga didiagnosis insect bite, Terdapat eritema, soliter,bentuk
regular, ukuran 5 cmx 4 cm, tersebar diskret disertai edema. Terdapat eritem,
multiple, bentuk regular, ukuran 0,1-0,2x 0,1-0,1 tersebar diskret. Gambaran
klinis dintandai papul yang dikelilingi uertika dan bagian tengahnya terdapat
(puctum) bekas gigitan, biasanya bersifat kronik-recuren.
Dalam menunjang diagnosis, diperlukan pemeriksaan penunjang yaitu
kerokan kulit dengan menggunakan KOH 10%. Cara melakukannya adalah
dengan meneteskan KOH 10% pada papul yang baru terbentuk dan masih utuh.
Kemudian di kerok dengan scapel steril. Selanjutnya letakkan hasil kerokan di
preparat dan tutup dengan menggunakan kaca objek yang lebih kecil. Lalu
diperiksa di bawah mikroskop. Pemeriksaan KOH positif (+) apabila ditemukan
sarcoptes scabei dewasa, larva, telur atau skibala.

Tabel 4.1. Anamnesis secara teori dan kasus


Teori Kasus

Epidemiologi  Umur penderita Pada kasus tinea cruris terjadi


dermatofitosis diperoleh pada laki-laki berusia 70 tahun,
bahwa penderita berjenis kelamin laki.
dermatofitosis terbanyak
pada kelompok usia dewasa
(> 18 tahun). Tinea kruris
lebih sering pada pria
dibanding wanita, salah satu
alasannya karena skrotum
menciptakan kondisi yang
hangat dan lembab.
25

Anamnesis Kelainan kulit tampak pada - Pada kasus ini, timbul bintil
sela paha merupakan lesi merah, bulat, berisi nanah
berbatas tegas. Peradangan seukuran biji kacang hijau
pada tepi lebih nyata daripada beberapa buah di sela lipatan
daerah tengahnya. Efloresensi pantat. Pasien kemudian berobat
terdiri dari atas macam- ke dokter dan bintil tersebut
macam bentuk primer dan pecah disertai gatal. Setelah
sekunder (polimorf). Bila berobat keluhan bintil dan gatal
penyakit ini menjadi menahun, mulai berkurang. Bintil sudah
maka dapat berupa bercak tidak ada namun terdapat bercak
hitam disertai sedikit sisik. merah dan bersisik disertai gatal
terutama pada saat berkeringat
namun tidak perih dan tidak
panas. Pasien juga menggaruk
pada saat gatal. Bercak merah
dan bersisik muncul
dipengaruhi oleh suhu
lingkungan atau ketika
berkeringat.
Predileksi Region inguinalis bilateral, Timbul bercak merah, bersisik
perineum, anus, intergluteal, pada sela lipatan pantat
gluteus, suprapubis, abdomen
bagian bawah

Berdasarkan data di atas, dapat dipikirkan diagnosis tinea cruris pada


pasien. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk
mendukung diagnosis. Dari anamnesis, di dapatkan beberapa diagnosis banding
tinea cruris antara lain dermatitis seboroik dan eritrasma.
26

Tabel 4.2. Diagnosa Banding


Kelainan
kulit
Dermatitis
Kasus Tinea Cruris Eritrasma
Seboroik

Teori

Definisi Infeksi jamur penyakit inflamasi Infeksi kulit


dermatofita pada kronik residif pada superficsial, ditandai
daerah lipat paha, kulit dengan oleh macula
daerah perineum, dan eritematosa hingga
karakteristik
sekitar anus. kecoklatan, berbatas
berupa pruritus
dan episode tegas, didaerah lipatan
(intertriginosa), atau
simultan
berbentuk fisura
eksaserbasi-remisi
dengan maserasi putih
disela-sela jari.

Epidemiologi Umur penderita Prevalensi Biasanya pada


dermatofitosis dermatitis dewasa muda.
diperoleh bahwa seboroik secara Frekuensinya sama
penderita umum berkisar 3- pada pria dan wanita
dermatofitosis 5% pada populasi
terbanyak pada umum. Lesi
kelompok usia ditemui pada
dewasa (> 18 kelompok remaja,
tahun). Tinea kruris dengan ketombe
27

lebih sering pada sebagai bentuk


pria dibanding yang lebih sering
wanita, salah satu dijumpai. Umumnya
alasannya karena diawali sejak usia
skrotum pubertas, dan
memuncak umur 40
menciptakan
tahun.
kondisi yang hangat
dan lembab.

Anamnesis Mengeluh gatal, Ruam kulit, Kelainan kulit Eritema meluas ke


merah, bersisik di bersisik,dan rasa terdiri atas eritema seluruh region, dan
sela lipatan pantat. gatal. dan skuama yang teraba panas serta ada
berminyak dan agak skuama halus
Riwayat atopi (-),
kekuningan
alergi makanan
batasnya agak
kurang tegas.

Predileksi Didaerah intergluteal Region inguinalis Kulit kepala, Lipat paha bagian
bilateral, perineum, belakang telinga, dalam sampai
anus, intergluteal, alis mata, cuping skrotum, aksila, dan
gluteus,suprapubis, hidung, ketiak, dada, intergluteal.
abdomen bagian antara scapula, daera
bawah suprapubis

Efloresensi Terdapat patch Macula eritematosa Macula Eritema luas


eritema dengan numular samapi eritematosa yang berbatas tegas
skuama halus geografis, berbatas ditutupi oleh papul- dengan skuama halus
bewarna putih tegas dengan tepi papul miliar dan terkadang erosive.
lebih aktif terdiri dari berbatas tidak tegas,
papula atau pustule. dan skuama halus
Jika kronik macula putih berminyak.
menjadi Kadang-kadang
hiperpigmentasi ditemukan erosi
dengan skuama dengan krusta yang
diatasnya. sudah mongering
28

bewarna
kekuningan.

Tabel 4.3 Diagnosis Banding Insect Bite


Kelainan
kulit
Dermatitis Kontak
Kasus Insect Bite Urtikaria papular
alergik

Teori

Definisi Kelainan akibat Reaksi vascular Dermatitis yang


gigitan atau tusukan pad kulit, ditandai disebabkan oleh
serangga yang dengan adanya bahan/substansi yang
disebabkan reaksi menempel pada kulit.
edema setempat
terhadap toksin atau
yang cepat timbul
allergen yang
dan menghilang
dikeluarkan arthopoda
perlahan-lahan,
penyerang.
bewarna pucat atau
kemerahan, umunya
dikelilingi oleh halo
kemerahan (flare)
dan disertai rasa
gatal yang berat,
rasa terssengat dan
tertusuk.

Epidemiologi Insidennya Sebagian besar Semua umur.


sesungguhnya sukar anak-anak (85%) Frekuensinya sama
diketahui, namun yang mengalami pada pria dan wanita
cenderung terjadi
urtikaria, tidak
peningkatan pada
disertai
29

musim semi dan angioderma.


panas di Negara 4 Sedangkan 40 %
musim dan dimusim dewasa yang
panas di Negara 2
mengalami
musim, termasuk
urtikaria, juga
iklim tropis, antara
mengalami
lain Indonesia. Laki-
angioderma.
laki dan perempuan
dapat terkena papula
urtika.

Anamnesis dan mengeluh Bengkak dan nyeri Mengeluh gatal, Pasien umumnya
bengkak serta nyeri pada tempat gigitan dan bengkak mengeluh gatal.
di punggung kaki dengan riwayat
kanan akibat gigitan
gigitan serangga
serangga (+)
sebelumnya.

Predileksi Di dorsum pedis Dapat diseluruh Dapat diseluruh Seluruh permukaan


dextra tubuh tubuh tubuh dapat terkena

Efloresensi Terdapat eritema Berupa eritema Macula Kelainan kulit


disertai edema morbiliformis atau eritematosa yang bergantung pada
bula yang dikelilingi ditutupi oleh papul- tingkat keparahan
eritema dan iskemia, papul miliar dan lokasi
kemudia terjadi berbatas tidak tegas,
dermatitisnya. Pada
nekrosis luas dan dan skuama halus
stadium akut dimulai
gangrene. Kadang- putih berminyak.
dengan bercak
kadang berupa pustule Kadang-kadang
miliar sampai ditemukan
eritematosa berbatas
erosi
lenticular, menyeluru dengan krusta yang tegas kemudian

Dapat diseluruh sudah diikuti edema,


mongering
tubuh atau pada bewarna papulovesikel,
sebagian tubu Dapat kekuningan. vesikel, atau bula..
diseluruh tubuh.
30

Pasien mengeluh timbul bengkak di kaki kanan yaitu punggung kaki


setelah terinjak serangga (tawon). Bengkak disertai rasa nyeri dan rasa
panas. Pada status dermatologikus Pada regio dorsum pedis dextra Terdapat
eritema, soliter,bentuk regular, ukuran 5 cmx 4 cm, tersebar diskret disertai
edema.
Penatalaksanaan tinea cruris yaitu umum berupa edukasi untuk
meningkatkan higienitas, lingkungan, Memberitahukan pasien bahwa
penyakit disebabkan oleh jamur yang dapat ditularkan dari tanah, hewan,
dan manusia. Mencuci tangan setelah kontak dengan hewan ataupun tanah.
Gunakan handuk sendiri dan tidak dipakai bersama orang lain. Cuci handuk
dan baju yang terkena bagian tubuh yang terinfeksi jamur untuk mencegah
penyebaran jamur. yang penting adalah kita memberikan penjelasan kepada
pasien bahwa penyakit disebabkan oleh infeksi jamur.
Pada terapi medikamentosa pada pasien tinea cruris diberikan
1. Kotrimazol 1% cream 2 kali sehari selama 4 minggu sebanyak 8,96
dioles pada daerah intragluteal.
Kotrimazol merupakan obat topikal golongsn azol-imidazol yang
relatif berprektrum luas bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara
menghambat sintesis ergosterol jamur yang mengakibatkan defek pada
membran sel jamur. Kotrimazol dapat digunakan pada pengobatam
dermatofitosis, kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan
infeksi jamur pad akulit digunakan kotrimazol cream 1 %, dosis dan
lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan
selama 2-4 minggu di oleskan 2 kali sehari. Efek samping pada
penggunaan obat ini berupa rasa gatal dan rasa terbakar namun jarang
terjadi. Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
kandidiasis oral, kutaneus dan genital namun efek samping pada pasien
berupa eritema lokal, sensasi terbakar, tersengat, atau gatal. Mikonazol
dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor,
serta kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Mikonazol cepat berpenetrasi
pada stratum korneum dan bertahan lebih dari 4 hari setelah pengolesan.
Efek samping pemakaian topikal adalah rasa terbakar, gatal atau iritasi,
31

sakit kepala, urtika, atau skin rash, dan maserasi memerlukan


penghentian terapi. Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan
keratin dan mencapai keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar
keringat ekrin. Namun Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika
mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4 minggu sehingga
kerja obatnya lebih lambat. Efek samping yang dapat terjadi yaitu risiko
terjadinya hepatotoksik. Nystatin merupakan obat anti jamur golongan
poliene yang bekrja berikatan dengan ergosterol secara irreversibel.
Golongan ini tidak efektif terhadap dermatofita dan pengunaannya secara
klinis terbatas pada pngobatan infeksi oelh candida albicans dan candida
spesies yang lain.16
Dengan menggunakan perhitungan FTU : Pasien seorang laki-laki
dewasa mengoleskan bokong. Dua kali sehari, dia membutuhkan 1 FTU
per hari untuk bagian bokong dan, dia membutuhkan 1 FTU per hari.
Perhari membutuhkan 1 FTU atau 1 x 0,4 gr = 0,16 gram x 2 oles
sehingga dibutuhkan 0,32 gram perhari. gram perhari. Jika satu minggu
diperlukan 2,24 gram dan untuk 4 minggu maka dibutuhkan 8,96 gram.
Pasien dapat menggunakan salep 1 tube 10 gr.

Antijamur Topikal
No Nama obat Sediaan
1 Clotrimazol 1% Salep 3 gr, 5 gr, 10 gr
2 Miconazole nitrat 2 % Krim 5 gr, 10 gr, bubuk
3 Ketokanzole 2 % Krim 5 gr, 10 gr larutan topical kepala

2. Griseofulvin 1 x 500 mg/hari selama 3 minggu.


Indikasi antijamur sistemik di dermatofitosis:
 Tinea capitis
 Tinea mempengaruhi kuku
 Tinea melibatkan lebih dari satu wilayah tubuh secara bersamaan,
misalnya, tinea kruris dan corporis, atau tinea cruris dan tinea pedis
32

 Tinea corporis di mana lesi sangat luas.


 Tinea pedis bila ada keterlibatan yang luas dari telapak kaki, tumit,
atau punggung bawah kaki atau ketika berulang
Jadi pada pasien ini memiliki indikasi pemberian obat antijamur
sistemik dan pada kasus ini diberikan griseofulvin. Griseopulvin
merupakan obat antijamur yang berasal dari spesies Penicilium mold.
Griseofulvin merupakan obat anti jamur pertama yang diberikan secara
oral untuk pengobatan dermatofitosis. Mekanisme kerja griseofulvin
yaitu bekerja sebagai fungistatik, berikatan dengan protein mikrotubular
dan menghambat mitosis sel jamur. Griseofulvin mempunyai aktivitas
spektrum yang terbatas hanya untuk spesies Epidermopyton
mirkosporum, trichophyton, yang merupakan penyebab infeksi jamur
pada kulit, rambut dan kuku. Pemberian griseofulvin secara oral pada
dewasa dengan dosis 0,5-1 gr.
Griseofulvin kurang baik penyerapannya pada saluran pencernaan
atas karena oabat ini tidak larut dalam air. Absorbsinya meningkat bila
diberikan bersamaan dengan makanan berlemak. Dosis d 0,5 gr akan
menghasilkan konsentrasi puncak plasma sebanyak 1 mikrogram/ml
dalam waktu 4 jam. dalam serum obat akan berikatan dengan serum
albumin dan dimetabolisme di hati dengan mettabolit utamanya adalah 6-
metilgriseopulvin. Distribusi ke jaringan ditentukan oleh plasma free
concntration. Selanjutnya ke menyebar melalui cairan transepidermal dan
keringat dan akan di deposit di sel prekursor keratin kulit (startum
korneum), lalu muncul bersama dengan sel yang baru berdiferensiasi
terikat kuat dengan keratin baru ini sehingga sel ini akan resisten
terhadap serangan jamur.
Keratin yang mengandung jamur akan terkelupas dan digantioleh
sel yang normal. Pemberian griseofulvin akan mencapai stratum korneum
dalam stelah 4-8 jam. Waktu paruh obat ini kurang lebih 1 hari atau 24
jam jadi dapat diberikan 1 x sehari. 50% dari dosis oral yang diberikan
dikeluarkan bersama urin dalam bentuk metaboleit selama 5 hari. Lama
pengobatan untuk tinea korporis an kruris adalah 2-4 minggu. Terapi ini
33

berdasarkan proses keratinisasi memakan waktu 20-30 hari. Bila jamur


negatif dalam biakan dalam 1-2 minggu terapi dapat dilanjutkan dengan
3-4 minggu. Efek samping biasanya ringan berupa sakit kepala, mual,
muntah dan sakit pada abdominal.16
Ketokonazol merupakan turunan mikozol sintetik yangbekerja
menghambat biosintesis ergosterol yang mempertahankan integritas
membran sel jamur. Ketokonazol mempunyai spektrum luas terhadap
blastomyces dermatitis, candida spesies, coccidiodes immitis, malassezia
furfur, paracoccidiodes brasiliensis. Efek samping yang sering adalah
anoreksia, mual muntah, namun dapat juga menimbulkan hepatotoksik
yang ringan tetapi kerusakan hepar yang serius jarang terjadi. Efek
smaping yang serius dari hepatotoksik adalah idiosinkratik dan jarang
ditemukaan 1:10.000 dan 1:15.000, biasanya dijumpai pada pasien yang
mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu. Sehingga pemberian obat ini
harus dipertimbangkan.16
Terbinafin merupakan obat antijamur golongan alilamin yang
bekerj a menghambat sintesis ergosterol. Efektif terhadap candida
albicans, candida parapsilosis, aspergillus spesies, blastomyces
dermatitidis, histoplasma capsulatum. Efek samping pada gastrointestinal
seperti diare, dyspepsia, sakit di abdomen sering dijumpai. Jarang
dijumpai pasien yang menderita kerusakan hepar dan meninggal akibat
konsumsi terbinafin untuk pengobatan infeksi kuku. Terbinafin tidak
direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar ang kronik atau
aktif.16

Antijamur Sistemik
No Nama obat Sediaan
1 Ketokanazole Tab 200 mg
2 itrakonazole Caps 100 mg
3 flukonazole Caps 50 mg
4 griseofulvin Caps 125 mg, 500 mg
5 terbinafine Tab 250 mg
34

6 nystatin Suspense 100.000 IU

Pada insect bite Non Medikamentosa yaitu Menghindari


manipulasi (garukan) agar lesi tidak meluas, Upaya mengindari serangga
dengan memakai pakaian yang menutupi badan dan ekstremitas,
Membersihkan tempat tidur sebelum tidur. Medikamentosa yaitu
Kortikosteroid topical, krim hidrokortison 1-2 % dioleskan 3x sehari.
Pada kasus ini tatalaksana kortikosteroid hanya diberikan secara
topical, karena pemberian kortikosteroid sistemik bukan merupakan hal
yang rutin, hanya digunakan terutama pada kasus yang berat.1 Pada kasus
ini dermatitis yang dialami termasuk dalam kategori dermatitis atopik
ringan. Selain itu, kortikosteroid topikal lebih dipilih karena berbagai
pertimbangan yaitu lesi tidak luas, ukuran lesi tidak besar dan juga lokasi
lesi mudah dijangkau, selain itu efek sampingnya lebih minimal bila
menggunakan topikal karena kerjanya langsung ke tempat target bila
dibandingkan kortikosteroid oral sehingga pada kasus ini tidak perlu
diberikan kortikosteroid sistemik. Pada kasus ini dipilih kortikosteroid
golongan VII.
Kortikosteroid topikal golongan VII terdiri dari hidrokosrtison,
methylprednisolone, prednisolone, glumetason dan dexamethasone.1 Pada
kasus ini dipilih obat topikal golongan VII (potensi lemah) yaitu
hidrokortison 1%. Pemilihan obat ini dilihat dari keefektifan dan efek
samping yang diberikan. Turunan 9α-fluoro hidrokortison aktif secara
topikal, dan steroid terfluorinasi-9α dexamethasone tidak memiliki
manfaat terapi diatas hidrokortison. Hidrokosrtison memiliki efek terapi
yang lebih baik, dengan masa kerja yang singkat dan efek samping yang
lebih sedikit.5
Untuk menghitung jumlah kortikosteroid topikal yang diresepkan,
sebaiknya menggunakan ukuran “fingertip unit” yang dibuat oleh Long
dan Finley. Satu “fingertip unit” setara dengan 0,5 gram krim atau salep
(Gambar 2).6
35

Gambar . Fingertip Unit6

Pada laki-laki satu fingertip unit setara dengan 0,5 gram, sedangkan pada
perempuan setara dengan 0,4 gram. Pada pasien ini, didapatkan 4,55 gram selama
2 minggu dari perhitungan FTU. Perhitungan ini didapatkan dari lesi pada kaki
kanan, 1 FTU. Jadi total 1 FTU x 0,5 gram x 7 hari = 1,75 gram yang diberikan
selama 1 minggu.

Bila dilihat dari keseluruhan mulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisik,
prognosis pasien ini adalah :
1. Quo ad vitam adalah bonam karena tinea cruris + insect bite tidak
mengancam jiwa.
2. Quo ad Functionam adalah bonam karena tidak mengakibatkan fungsi
organ tubuh terganggu.
3. Quo ad Sanationam adalah bonam karena penyakit ini dapat sembuh
dengan pengobatan yang benar dan kepatuhan pasien dalam pengobatan.
4. Quo ad cosmetica adalah bonam karena lesi bisa hilang tanpa
meninggalkan bekas.
36

BAB V
KESIMPULAN

Pasien atas nama NT, laki-laki, usia 70 tahun didiagnosis Tinea


cruris+insect bite. Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah
perineum, dan sekitar anus. Lesi kulit dapat berbatas pada daerah genitokrural
saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian
bawah, atau bagian tubuh yang lain.Sedangkan Alergi kulit terhadap gigitan
serangga (insect bites hypersensitivity), juga lebih dikenal nama popular-
urtikaria, merupakan salah satu penyakit kulit pada bayi dan anak yang
banyak dijumpai sehari-hari. Gambaran klinis dintandai papul yang
dikelilingi uertika dan bagian tengahnya terdapat (puctum) bekas gigitan,
biasanya bersifat kronik-recuren.

Gejala klinis tine cruris adalah bercak merah,bersisik sedangkan insect


bite adalah gatal, bengkak, dan nyeri.. Pengobatan pada didiagnosis Tinea
cruris+insect bite berupa edukasi kapada pasien, menjaga hygiene pribadi,
dan tatacara pengolesan obat. Terapi medikamentosa pada tinea cruris
diberikan Klotrimazole 1 % cream 8,96 gr 2 kali sehari selama 2 minggu pada
bokong. Griseofulvin 1 x 500 mg/hari selama 3 minggu. Pada insect bite
diberikan Kortikosteroid topical, krim hidrokortison 1-2 % 1,75 gr dioleskan
2x sehari selama 1 minggu. Prognosis baik bila ditatalaksana secara tepat.
37

DAFTAR PUSTAKA

1. Rihatmaja, R. Anatomi dan Faal Kulit. In: Menaldi SLS, Bramono K,


Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultak Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.
2. Widaty, S & Unandar B. Dermatofitosis. In: Menaldi SLS, Bramono K,
Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultak Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.
3. Agustine R. Perbandingan Sensitivitas Dan Spesifitas Pemeriksaan Sediaan
Langsung Koh 20% Dengan Sentrifugasi Pada Tinea Kruris. In: Anwar,
AA. Karakteristik Penderita Dermatofitosis Pada Pasien Rawat Jalan Di
Rsud Daya Makassar Periode Januari-Desember 2016. Skripsi, Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. 2017.
4. Thigita, Ap & Herry, Ejp. Etiopatogenesis Dermatitis Atopi. Bagian/Smf
Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Manado
Universitas Sam Ratulangi. Jurnal Biomedik (Jbm), Volume 6, Nomor 2,
Hlm. 76-83. 2014..
5. Sondakh, CEEJ, Thigita A. P & Ferra O. M. Profil dermatofitosis di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
periode Januari – Desember 2013 . Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor
1. 2016.
6. Siregar, R.S. Atlas berwarna saripai penyakit kulit edisi 3. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC. 2016.
7. Lubis, RD. Pengobatan Dermatofikosis. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
Dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Usu. 2008.
8. Kurniati & Cita Rosita SP. Etiopatogenesis Dermatofitosis (Etiopathogenesis Of
Dermatophytoses).Dept./SMF Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin FK
UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit &
Kelamin Vol. 20 No. 3. 2008.

Anda mungkin juga menyukai