Anda di halaman 1dari 11

IDENTIFIKASI Microsporum canisPADA KUCING LIAR YANG

MENGINFEKSI MANUSIA

(Studi di Dusun Ringin Pitu Jogoroto Jombang)

Erwin Saputra1Nafisah Refiana Putri2Sintia3Shalehatun Nisa4


Prodi D3 Teknologi Laboratorium Medik Universitas Borneo Lestari

Pendahuluan
Dermatofitosis atau yang lebih sering dikenal dengan ringworm adalah penyakit kulit
yang disebabkan oleh kapang dermatofita dan termasuk dalam genus dermatofita. Infeksi
tersebut dapat terjadi pada manusia dan pada semua spesies hewan peliharaan. Ada sejumlah
spesies dermatofita yang berbeda. Beberapa spesies dermatofita adalah spesies spesifik,
artinya mereka hanya akan menginfeksi satu spesies, sedangkan yang lain dapat menyebar di
antara spesies hewan yang berbeda, atau dari hewan ke manusia. Ada spesies jamur paling
umum yang dapat menyebabkan kurap pada hewan salah satunya adalah jamur Microsporum
canis. Terdapat ancaman penyakit dibalik kedekatan antara hewan kesayangan dengan
manusia, salah satunya adalah dermatofitosis yang merupakan penyakit zoonotik. Insidensi
penyakit dermatofitosis pada manusia memiliki angka prevalensi yang cukup tinggi di
Indonesia, pada tahun 2009-2011 diketahui insidensi penyakit yang disebabkan oleh kapang
berkisar 2,93- 27,6% (Pravitasari et al., 2019). Pasalnya penyakit infeksi yang biasa dialami
hewan menggemaskan tersebut ternyata bisa menular pada manusia. Diketahui penyakit
infeksi pada kucing ini dalam istilah medis disebut sebagai dermatophytosis atau ringworm.
Dimana peyakit tersebut disebabkan oleh jamur Microsporum Canis (M. Canis).
Jamur Microsporum canisadalah patogen, jamur aseksual dalam filum Ascomycota
yang menginfeksi lapisan atas kulit mati pada kucing peliharaan maupun kucing liar, dan
kadang-kadang anjing dan manusia. Spesies ini memiliki distribusi di seluruh dunia. Jamur
Microsporum canismerupakan salah satu genus penyebab dermatifitosis atau tinea yang
paling banyak menginfeksi kulit. Seperti hal nya Microsporum canis mampu memecahkan
keratin sehingga dapat hidup pada kulit dalam keadaan tidak infasif. Microsporum
canis merupakan penyebab tinea yang dapat menyebar ke anak-anak dari hewan domestik.
Spesies microsporum lainnya yang dapat ditemukan dari tanah maupun hewan
adalah Microsporum gypseum. 

Dermatofitosis merupakan salah satu penyakit yang dapat menular dari hewan ke
manusia, hal ini didukung dengan kondisi Indonesia yang secara geografis terletak di garis
khatulistiwa dengan kelembapan udara tinggi, menyebabkan kapang dan parasit dapat dengan
mudah menyebar dan berkembang biak hingga dapat menyebabkan penyakit kulit (Adzima et
al., 2013). Kejadian dermatofitosis oleh M. canis pada kucing dilaporkan lebih tinggi
dibanding pada anjing (Grøndalen et al., 2004). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 82%
dari 89 sampel kucing positif mengalami dermatofitosis yang disebabkan M. canis (Bernado
et al., 2005). Kasus ini pernah terjadi di Dusun Ringin Pitu Jogoroto Jombang. Berdasarkan
kasus tersebut terdapat populasi sebanyak 30 kucing, menggunakan 3 sampel kucing di
dapatkan hasil dengan 2 sampel negatif (tidak terinfeksi jamur Microsporum canis) dan 1
sampel positif (di temukan jamur Microsporum canis) pada pengamatan di bawah mikroskop
menggunakan perbesaran lensa objektif 40x.

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan observasi adanya infeksi M. canis pada
kucing penderita dermatitis. Penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan hubungan
pengetahuan, sikap, dan praktik pemilik kucing terhadap kejadian dermatofitosis pada kucing
peliharaannya. Dan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktik pemilik kucing mengenai
pelepasliaran kucing, praktik membersihkan tempat makan dan minum kucing, dan
praktik mencuci tangan sebelum berkontak dengan kucing memiliki hubungan terhadap
kejadian dermatofitosis pada kucing peliharaannya, sedangkan variabel lainnya tidak
berhubungan. Upaya promotif tentang dermatofitosis pada kucing perlu ditingkatkan, hal ini
bertujuan agar pengetahuan pemilik kucing mengenai dermatofitosis dapat meningkat.
Dukungan preventif dan kuratif yang berkualitas serta berkelanjutan pun diperlukan agar
dapat mengurangi kejadian dermatofitosis dan risiko penularannya kepada sesama kucing
maupun manusia.

Pembahasan
Masalah kesehatan yang dibahas pada kasus ini adalah identifikasi jamur
Microsporum canis pada kucing liar yang menginfeksi manusia, sebelumnya Microsporum
canis adalah infeksi jamur yang dapat menyerang stratum kulit kepala dan rambut kepala.
Microsporum canis merupakan salah satu genus yang dapat menyebabkan dermatofitisos atau
tinea yang paling banyak menginfeksi kulit kepala (Tinea capitis). Seperti halnya
dematofitosis lainnya, microsporum canis dapat memecah keratin sehingga dapat hidup pada
kulit dalam keadaan tidak infasif. Seperti keratinase, enzim proteinase dan elastase.
Microsporum canis adalah salah satu jenis jamur dermatofita yang sering disebut
sebagai jamur keratinofilik. Jamur dermatofita mempunyai kemampuan unik untuk
memanfaatkan dan mencerna keratinin yang berukuran besar dengan kapasitasnya.
Microsporum canis sebagaimana jamur dermatofita lainnya menghasilkan enzim keratinase.
Microsporum canis merupakan fungi yang umumnya hidup dan tumbuh pada hewan (kucing
dan anjing).
Microsporum canis memiliki ciri-ciri konidia yang besar, berdinding kasar,
multiseluler, berbentuk kumparan pada ujung-ujung hifa. Microsporum canis dapat
bereproduksi dengan cara seksual dan aseksual. Ciri terinfeksi jamur Microsporum canis
dimulai dimulai dengan koloni hifa atau cabang-cabangnya di dalam jaringan epidermis dan
menimbulkan reaksi peradangan. Reaksi radang pada dermatofitosis terjadi jika jamur dapat
melawan pertahanan tubuh spesifik dan non spesifik dari host. Bertahan dalam lingkungan
host, serta menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia host untuk dapat
berkembang biak Pertumbuhan jamur dengan pola radial di dalam stratum korneum
menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi disebut ringworm.
Seseorang juga bisa tertular ringworm ketika menyentuh barang-barang yang terpapar dari
bulu kucing yang terinfeksi. Jika infeksi jamur ini menular ke kulit manusia, akan memicu
gejala yang cukup mengganggu. Menurut penjelasan pada laman Mayo Clinic (13/9/2019),
ringworm sendiri merupakan ruam yang disebabkan oleh infeksi jamur. Biasanya ruam yang
muncul merah, gatal, berbentuk melingkar dengan kulit yang lebih jelas di tengah. Meski
disebut sebagai ringworm, namun dalam infeksi ini tidak ada paparan cacing sama sekali.
Adapun gejala dari infeksi jamur ini meliputi:

 Munculnya ruam berbentuk cincin bersisik, biasanya di bokong, badan, lengan, dan


kaki.
 Bisa terasa gatal.
 Pada ruma yang berbentuk cincin juga bisa muncul benjolan berwarna merah.
 Ruam yang muncul saling tumpang tindih.

Umumnya gejala ringworm tersebut bisa diatasi dengan obat antijamur. Namun jika infeksi
yang terjadi semakin parah dan obat yang digunakan tidak ampuh mengobati, baiknya kita
melakukan pemeriksaan ke dokter. Selain itu, jika kucing peliharaan kita mengalami infeksi
jamur, segera obati sebelum jamur tersebut menyebar ke seluruh tubuh kucing. Sehingga
pada akhirnya risiko penularan infeksi jamur pada kucing ini bisa dicegah. Jangan lupa juga
untuk menjaga kebersihan di rumah, seperti rutin membersihkan lantai, sofa, dan barang-
barang lain yang biasa kucing sentuh. Pastikan sirkulasi udara di dalam ruangan baik agar
tidak lembap. Sebab, tempat yang lembap akan membuat perkembangbiakan jamur semakin
meningkat.

Kurap tubuh atau tinea corporis adalah ruam melingkar yang disebabkan oleh infeksi
jamur dermatofita di sekujur tubuh. Penyebab Kurap disebabkan oleh infeksi jamur
menular bernama dermatofit yang hidup pada sel-sel lapisan luar kulit.
Penyebarannya adalah dengan cara berikut:

 Manusia ke manusia: kurap sering menyebar melalui kontak langsung dari kulit ke
kulit dengan orang yang terinfeksi.
 Hewan ke manusia: seseorang dapat tertular kurap dengan menyentuh hewan yang
terinfeksi. Kurap dapat menyebar saat membelai anjing, kucing atau sapi.
 Objek ke manusia: kurap dapat menyebar melalui kontak dengan benda atau
permukaan yang baru saja disentuh oleh orang atau hewan yang terinfeksi, seperti
pakaian, handuk, seprai, sisir, dan sebagainya. Baca juga: Punya Gejala Mirip, Apa
Beda Psoriasis dan Kurap? Dalam kasus yang jarang terjadi, kurap dapat menyebar ke
manusia melalui kontak dengan tanah yang terinfeksi. Pada kasus tersebut, infeksi
kemungkinan besar hanya akan terjadi jika kontak dengan tanah tersebut tergolong
pada jangka waktu lama.

Gejala Kurap pada tubuh terlihat seperti ruam berbentuk cincin atau melingkar dengan
tepi yang sedikit terangkat. Kulit di tengah ruam melingkar ini tampak sehat, tapi biasanya
terasa gatal dan akan menyebar selama infeksi. Pada infeksi yang lebih parah, cincin dapat
berkembang biak dan bergabung bersama. Penderita juga mungkin mengalami lecet dan luka
yang berisi nanah di dekat cincin. Diagnosis Dokter yang mencurigai seseorang dengan kurap
akan melakukan pemeriksaan fisik dan beberapa tes. Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan
kondisi kulit lain yang tidak disebabkan oleh jamur, seperti dermatitis atopik atau psoriasis.
Dokter mungkin akan mengambil sampel jaringan dari kulit untuk dibawa ke laboratorium
dan diuji (biopsi). Selain itu, laboratorium juga dapat melakukan tes kultur untuk melihat jika
terdapat pertumbuhan jamur. Perawatan Dalam menangani kurap atau tinea corporis, dokter
dapat meresepkan obat antijamur topikal. Pengobatan antijamur oral (melalui mulut) biasanya
diperlukan apabila tinea corporis berkembang di area yang ditumbuhi rambut, luas, atau gagal
dibersihkan dengan antijamur topikal. Selain itu, jaga kebersihan kulit dan pastikaan selalu
keringkan dengan menyeluruh. Baca juga: Awas Berbagi Handuk Saat Liburan Bisa Picu
Kurap Hingga Infeksi Paru Gunakan pakaian ringan yang longgar dan menyerap keringat.
Juga, hindari kontak dekat dengan individu yang terinfeksi dan berbagi peralatan mandi,
tidur, dan sebagainya.

Macam-Macam Dermatofitosis Bentuk-Bentuk gejala klinis Dermatofitosis.

a. Tinea Kapitis Adalah infeksi jamur pada kulit kepala biasanya disebabkan oleh
Trichophyton tonsurans atau Microsporum canis. T. tonsurans ditularkan melalui
kontak antara anak dengan anak dan mengakibatkan terbentuknya tempat-tempat
botak berbentuk oval. Rambut terputus dengan panjang yang berbeda-beda dan
permukaan kulit kepala bersisik. Microsporum canis biasanya ditularkan dari anak
kucing ke anak-anak dan dapat menimbulkan bercak-bercak radang purulent yang tak
berambut. Bercak yang tak berambut tersebut biasanya berkrusta dengan banyak
pustul dan dapat menimbulkan alopesia permanen. Setiap bercak tidak berambut pada
kulit kepala yang tampak bersisik dan berkrusta harus dicurigai 27 sebagai infeksi
jamur. Untuk memastikan diagnosis tinea kapitis, rambut perlu dicabut, dan diperiksa
dibawah mikroskop setelah diberikan kalium hidroksida, serta perlu dibiak.
b. Tinea Korporis Merupakan infeksi jamur pada kulit wajah, badan dan ekstremitas.
Seringkali timbul eritema dan pustula seperti cincin dengan sisik-sisik di tepinya.
Infeksi ini dapat diperoleh dari binatang yaitu jamur M. Canis dari Trichopyton
rubrum. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan mempergunakan kalium
hidroksida dan biakan jamur
c. Tinea Kruris Merupakan infeksi jamur pada lipat paha. Infeksi ini lebih sering dialami
pria dan disertai rasa gatal yang hebat. Lesi berbentuk anular atau berbentuk lengkung
dengan eritema perifer dan sisik yang seringkali meluas sampaike paha. Skrotum
biasanya tidak terkena, istilah yang juga lazim dipakai untuk kelainan ini adalah jock
itch.
d. Tinea pedis dan manum Tinea pedis dan manum mungkin merupakan infeksi jamur
yang paling sering terjadi. Trichopyton rubrum dapat menimbulkan bercak bersisik
disertai eritema pada telapak kaki dan tangan. Yang seringkali terserang adalah kedua
kaki dan satu tangan. T. mentagrophytes menimbulkan erupsi pustular, berkrusta,
meradang pada kaki. Tinea pedis, manum, dan kruris dapat dipastikan melalui
pemeriksaan mikroskopik kerokan kulit dengan menggunakan kalium hidroksida dan
biakan jamur.
e. Tinea unguium Infeksi jamur pada kuku, onikomikosis, disertai distrofi kuku. Terjadi
hyperkeratosis subungal dan pemisahan lempeng kuku dari dari jaringan kuku di
bawahnya. Diagnosis dapat ditegakkan dengan biakan jamur dan pemeriksaan
menggunakan kalium hidroksida. Infeksi yang sering terjadi ini sangat resisten
terhadap terapi jamur, dan sering kambuh kembali bila pengobatan dihentikan.
f. Tinea barbae Tinea barbae adalah infeksi dermatofita yang jarang terjadi dan sering
terkena pada daerah wajah dan leher. 37 Infeksi ini sering terjadi pada pria karena
menyerang daerah jenggot dan kumis namun pada wanita dan anak-anak didiagnosis
sebagai tinea facialis. 38 Gejala klinis yang khas menimbulkan plak, pustular yang
akhirnya menjadi abses menutupi permukaan kulit disertai rasa 30 gatal dan rambut
patah. Jenis peradangan yang paling umum biasanya disebabkan oleh spesies
Trichophyton dan microsporum.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan 30 sampel kucing yang didiagnosis menderita dermatitis.
Gejala klinis alopesia, eritema, papula, pustule dan bersisik digunakan sebagai dasar
pemilihan sampel kucing. Prosedur isolasi dan identifikasi merujuk pada Spakers et al. ,
(1993) dan Soedarmanto et al. (2014). Media yang digunakan untuk melakukan pemupukan
sampel kerokan kulit adalah Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA, Himedia, India) (65g/L)
ditambah cycloheximide Actidione 0,5 g/L, Sigma USA), chloramphenicol (250 mg/L),
gentamycin 40 mg/mL (0,65g/L), yeast extract (5g/L, Himedia India). Semua sampel
diinkubasi pada suhu 25-30ºC sampai 21 hari dan diamati setiap hari. Identifikasi terhadap
pertumbuhan kapang dermatofita dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis.
Pengamatan makroskopis meliputi morfologi koloni, warna, bentuk, ukuran dan bagian
belakang koloni. Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Lactophenol cotton
blue (Merck, Jerman). Semua data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif.
Metode ini menggunakan metode deskriptif yang dilaksanakan di RSUD Daya
Makassar dengan tujuan mengetahui karakteristik penderita dermatofitosis dimana sample
ditentukan dengan teknik total sampling dan pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan rekam medik. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan sediaan langsung kerokan
kulit atau kuku menggunakan mikroskop dan KOH 20%: tampak hifa panjang dan atau
artrospora. Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, Mycobioti): pada suhu
28oC selama 1–4 pekan (bila dihubungkan dengan pengobatan, culture tidak harus selalu
dikerjakan kecuali pada tinea unguium). Lampu Wood hanya berfluoresensi pada tinea
kapitis yang disebabkan oleh Microsposrum spp. (kecuali M. gypsium). Etika Penelitian Hal –
hal yang terkait dengan etika dengan penelitian ini adalah: a. Sebelum melakukan penelitian
maka peneliti akan memberikan surat pengantar yang diajukan kepada pihak terkait sebagai
permohonan izin untuk melakukan penelitian. b. Berusaha menjaga kerahasiaan identitas
pasien yang terdapat pada rekammedis sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa
dirugikan atas penelitian yang dilakukan.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif. Subjek penelitian adalah
seluruh pasien baru yang didiagnosis dermatofitosis selama periode tahun 2011-2013.
Pengambilan sampel diperoleh dengan cara “consecutive sampling”, yakni dipilih seluruh
rekam medis elektronik pasien baru yang didiagnosis dengan dermatofitosis. Variabel
penelitian terdiri dari jumlah kasus baru, diagnosis, umur, dan jenis kelamin, waktu
kunjungan, domisili, anamnesis, lamanya sakit, jenis pengobatan sebelumnya, efloresensi
lesi, pemeriksaan laboratorium penunjang, pemeriksaan kultur, penatalaksanaan, dan tindak
lanjut. Penelitian dilakukan di Divisi Mikologi URJ Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo.
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai dengan April 2016. Alat dan
bahan yang digunakan pada penelitian ini berupa data catatan rekam medik elektronik pasien.

Hasil Penelitian
Lesi lokal sering ditemukan pada kucing yang mengalami dermatofitosis pada daerah
badan, wajah, kaki, telinga, dan ekor. Perubahan kulit berupa kemerahan, alopesia, pustula,
papula, bersisik, dan crusty merupakan lesi dermatofitosis (Outerbridge, 2006). Sampel
kerokan kulit dikoleksi dari 30 kucing yang mengalami kombinasi gejala alopesia, eritema,
papula, pustula, bersisik, dan berkerak. Pemeriksaaan kucing yang mengalami dermatitis
dengan Wood’s lamp didapatkan 15 lesi berpendar (positif) dan 15 lesi lainnya tidak
berpendar (negatif). Interaksi antara metabolit jamur dengan Wood’s lamp menghasilkan
cahaya yang berpendar (Chermette et al., 2008). Beberapa hal seperti minyak, obat topikal,
penyakit yang menyebabkan adanya keratin, dan sabun dapat menghasilkan positif palsu.
Sebanyak 30-50% spesies M. canis berpendar ketika disinari dengan lampu sinar ultra ungu
(UV), dan sebagian besar spesies M. canis tidak berpendar dapat mengakibatkan terjadinya
negatif palsu. Metabolit fungi dapat rusak oleh iodin sehingga ketika dilakukan pemeriksaan
tidak berpendar (Hartmann dan Levy, 2011, Soedarmanto et al., 2014).
Gambar 1.Hasil pemupukan salah satu sampel
(K-16, hari ke-10) pada media Sabouraud’s
dextrose agar (SDA), tampak miselium
berbentuk seperti wool yang berwarna kuning pucat,
topografi datar, dengan tepi yang tidak
berwarna

Gambar 2. Struktur mikroskopik isolat M.


canis
pada perbesaran 10x40. (A) makrokonidia, (B)
mikrokondia, (C) hifa berseptat (pewarnaan
LPCB)
Gambar 3 Lesi M. canis pada bagian badan
kucing

Pengamatan secara makroskopis dan


mikroskopis dilakukan pada hasil pertumbuhan
pemupukan sampel kerokan kulit pada media
SDA (Soedarmanto et al., 2014). Sebanyak 17
isolat menunjukkan topografi datar dan
beberapa di antaranya sedikit melipat, bentuk
seperti wool dan berwarna kuning pucat, sisi
belakang koloni berwarna kuning terang sampai kecoklatan dan Sudarmanto I, et al Jurnal
Veteriner 209 tidak berwarna pada bagian tepinya. Gambaran tersebut serupa dengan laporan
(Soedarmanto et al. (2014) sehingga 17 isolat tersebut diduga sebagai M. canis. Gambar salah
satu koloni sampel yang diidentifikasi sebagai M. canis disajikan pada Gambar 1.
Untuk peneguhkan hasil pemeriksaan makroskopis, maka 17 isolat yang diduga
sebagai M. canis dilanjutkan periksaan secara mikroskopis. Pengamatan mikroskopis
ditujukan terutama untuk mengidentifikasi makrokonidia, mikrokonidia, dan hifa bersepta
yang panjang. Hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap 17 isolat tersebut memperlihatkan
makrokonidia yang besar dengan dinding tebal dan berisi 6-12 sel, mikrokonidia berbentuk
oval dengan ukuran kecil dan ditemukan sedikit di sepanjang hifa. Pada pewarnaan
Lactophenol Cotton Blue (LPCB), fungi M. canis memiliki makrokonidia yang besar dan
bulat serta hifa yang bersepta ganda dan panjang serta memiliki sel lebih dari enam
(Soedarmanto et al., 2014). Berdasar hasil pengamatan isolat secara makroskopis dan
mikroskopis, maka 17 dari 30 sampel (56,7%) kucing dermatitis didiagnosis dermatofitosis
akibat infeksi M. canis. Gambaran mikroskopik salah satu sampel yang merupakan M. canis
pada penelitian ini disajikan pada Gambar 2.
Kucing betina, kucing berusia di bawah empat bulan, dan kucing berambut panjang
mendominasi kucing penderita dermatofitosis akibat infeksi M. canis. Kucing dengan usia
muda memiliki risiko lebih tinggi terserang dermatofitosis karena sistem kekebalan tubuh
yang belum sempurna. Sel keratin lebih banyak pada rambut yang panjang daripada rambut
pendek sehingga M. canis lebih banyak ditemukan pada kucing berambut panjang daripada
berambut pendek (Hoskins, 2001). Pengamatan beberapa lesi terlihat adanya lesi yang
berbentuk fokal maupun multifokal, berwarna kemerahan pada bagian tepi dan berbentuk
sirkuler dengan diameter antara 2-5 mm. Warna kemerahan yang terjadi pada kulit
merupakan bentuk keradangan aktif yang terjadi pada kulit sebagai upaya mencegah adanya
penetrasi dermatofita pada bagian kulit. Proses peradangan akan menepi dan membentuk
central healing sehingga berbentuk seperti ringworm (Miller et al., 2013). Gambar bentukan
lesi M. canis yang terjadi pada kulit kucing disajikan pada Gambar 3.
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Daya Makassar, Pada bulan September 2017.
Data yang didapatkan adalah sebanyak 120 kasus. Namun setelah disaring berdasarkan
kriteria inklusi dan eksklusi, didapatkan 80 data penderita yang menjadi sampel penelitian.
Data diperoleh dari data sekunder melalui rekam medik pasien penderita dermatofitosis rawat
jalan di RSUD Daya Makassar periode januari - desember tahun 2016 untuk mengetahui
karakteristiknya berdasarkan variabel usia, jenis kelamin, lama pengobatan, lokasi lesi.
Adapun hasil penelitian, disajikan dalam bentuk tabel dan diagram sebagai berikut: 5.1
Distribusi penderita berdasarkan kelompok umur Tabel 5.1.1 Karakteristik penderita
dermatofitosis pasien rawat jalan berdasarkan kelompok umur Umur Penderita Frekuensi (n)
Presentase (%) Dewasa (> 18 th) 69 86,25 % Anak (< 18 th) 11 13,75 % Total 80 100 % 38
Gambar 5.1.1 Grafik karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan berdasarkan
kelompok umur Dari hasil penelitian melalui rekam medik pasien penderita dermatofitosis
berdasarkan kriteria usia dapat diketahui bahwa penderita dermatofitosis tertinggi pada
kelompok usia dewasa yaitu usia > 18 tahun dengan jumlah sebanyak 69 orang atau sebesar
86,25%. Penderita dermatofitosis pada usia anak yaitu < 18 tahun sebanyak 11 orang dengan
presentase 13,75%.
Hasil penelitian ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa tinea kruris
adalah dermatofitosis terbanyak di Indonesia selain tinea korporis karena timbulnya penyakit
ini berperan pada keadaan lembab dan panas yang menyebabkan perkembangan infeksi
jamur, faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini adalah iklim panas, lembab,
kebersihan lingkungan yang buruk, daerah pedesaan yang padat, pengeluaran keringat yang
berlebihan, trauma kulit, dan menggunakan pakaian yang ketat atau lembab. 32 Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian viter (2015) di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
bahwa klasifikasi dermatofitosis dengan jumlah terbanyak yaitu tinea kruris 36 kasus
(55,38%). Tinea kruris merupakan dermatofitosis pada sela paha, genitalia, daerah pubis,
perineum, dan perianal. Tinea kruris merupakan keadaan yang sering terjadi di seluruh dunia,
dan paling sering di daerah tropis. Keadaan lembab dan panas berperan pada timbulnya
penyakit.32 Hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang pada
tahun 2011 juga sesuai dimana tinea kruris merupakan dermatofitosis terbanyak (72%). Hasil
peneliatian Divisi Mikologi URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya
tahun 2011 sampai dengan 2013 tidak relevan dengan hasil penelitian ini karena pada
penelitian tersebut lokasi terbanyak adalah tinea korporis (51%) dan tinea kruris (41%)
berada diurutan kedua. Hal ini dapat disebabkan karena tinea korporis banyak 49 diderita
oleh semua umur, terutama lebih sering menyerang orang dewasa terutama pada orang yang
kurang mengerti kebersihan dan banyak bekerja ditempat panas, yang banyak berkeringat
serta kelembaban kulit yang lebih tinggi. 6.4 Terapi pengobatan Pada kasus dermatofitosis
berdasarkan terapi pengobatan.

Pemeriksaan laboratorium penyakit Dermatofitosis.


Kulit
 Ambil bahan secara aseptis
 Tetapkan area yang akan di ambil
 Sterilisasi dengan alkohol 70%
 Sterilkan skalpel tumpul dengan cara membakar pada api bunsen
 Kerok kulit di batas jaringan sehat & sakit
 Tampung kerokan kulit di wadah steril
 Buat sediaan KOH dan kultur
Contoh: Tinea korporis
Tanda panah: batas jaringan sehat dan sakit
Rambut
 Pengambilan bahan
 Secara aseptis
 Tetapkan area pengambilan bahan klinik
 Bersihkan dengan alkohol 70%
 Cabut rambut dengan pinset, tampung di wadah steril
 Kerok kulit, tampung dalam wadah steril
 Buat sediaan KOH & kultur
Contoh: Tinea kapitis
Cabut rambut dan kerok kulit

Kuku
 Ambil bahan secara aseptis
 Tetapkan area yang akan di ambil
 Sterilisasi dengan alkohol 70%
 Sterilkan skalpel tumpul dengan cara membakar pada api bunsen
 Potong kuku sependek mungkin, kerok nail bed
 Tampung dalam wadah setril
 Buat sediaan KOH & kultur

Pencegahan
Umumnya infeksi dermatofitosis pada kucing biasanya dapat menimbulkan gejala
lokal yang berupa lesi berbentuk melingkar pada bagian kulit dan terdapat kerontokan bulu
disekitar lesi. Lesi ini lebih sering ditemukan pada bagian tubuh seperti wajah, kaki, ekor, dan
telinga. Secara umum faktor yang mempengaruhi terinfeksi jamur Microsporum canis antara
lain lingkungan yang kotor, tempat tinggal hewan, dan kebersihan kandang hewan. Adapun
pengamatan yang dilakukan yaitu secara makroskopis, pengamatan makroskopis dilakukan
untuk melihat bentuk koloni jamur Microsporum canis yang ditanam pada media SDA.
Media SDA digunakan karena media ini sangat bagus untuk pertumbuhan jamur
Microsporum canis dan terdapat nutrisi yang dibutuhkan oleh jamur jenis ini. Pengamatan
secara makroskopis dapat melihat koloni yang berbentuk flat atau datar, menyebar, berwarna
putih hingga krem pada permukaan seperti kapas yang padat dapat menunjukkan alur radial.
Infeksi jamur pada kucing mungkin dapat menyebabkan rambut rontok, kemerahan,
bersisik, pengerasan kulit, dan pustula (bagian kulit yang menonjol). Beberapa infeksi jamur
juga dapat menyerang bagian tubuh lain selain kulit, hingga dapat berdampak pada paru-paru
dan sistem saraf. Kucing jamuran dapat menularkan virus jamur ke sesama kucing melalui
kontak fisik. Kucing jamuran juga menular ke manusia. Apabila melakukan kontak fisik
dengan kucing yang terinfeksi jamur. Oleh karena itu ketika ingin melihat atau mengatasi
kulit kucing yang terinfeksi jamur, kita harus kenakan sarung tahan terlebih dahulu. Lalu
untuk kucing yang sedang jamuran, sebaiknya dikarantina dalam ruangan terpisah agar tidak
menular ke orang-orang sekitar dalam rumah. Lalu untuk mencegah terjadinya kucing
jamuran, kita harus rajin menjaga kebersihan rumah dan kebersihan kucing.
Adapun gejala yang dapat dialami oleh manusia yang terinfeksi jamur ini, antara lain
terjadi ruam yang muncul merah, gatal, berbentuk melingkar dengan kulit yang lebih jelas di
tengah, munculnya ruam berbentuk cincin bersisik, biasanya di bokong, badan, lengan, dan
kaki, bisa terasa gatal, pada ruam yang berbentuk cincin juga bisa muncul benjolan berwarna
merah, dan ruam yang muncul saling tumpang tindih. Umumnya gejala yang disebabkan
oleh jamur ini bisa diatasi dengan obat ant ijamur. Namun jika infeksi yang terjadi semakin
parah dan obat yang digunakan tidak ampuh mengobati, baiknya kita melakukan pemeriksaan
ke dokter. Selain itu, jika kucing peliharaan kita mengalami infeksi jamur, segera obati
sebelum jamur tersebut menyebar ke seluruh tubuh kucing. Sehingga pada akhirnya risiko
penularan infeksi jamur pada kucing ini bisa dicegah.
Jangan lupa juga untuk menjaga kebersihan di rumah, seperti rutin membersihkan
lantai, sofa, dan barang-barang lain yang biasa kucing sentuh. Pastikan sirkulasi udara di
dalam ruangan baik agar tidak lembap. Sebab, tempat yang lembap akan membuat
perkembangbiakan jamur semakin meningkat. Masyarakat pun disarankan untuk lebih
memperhatikan kebersihan lingkungan kandang kucing agar terhindar dari spora jamur
maupun bakteri lain yang dapat menginfeksi pada tubuh kucing. Jadi sekalipun kucing liar,
kita harus bisa menjaga mereka dengan menjaga kebersihan lingkungan sekitar karena baik
buruknya, sedikit banyaknya akan berdampak kepada kehidupan hewan lain dan manusia.
Jika terinfeksi, mandilah yang rajin dan bersih, rajin cuci tangan dengan sabun dan
pendekkan kuku secara berkala, gunakan produk mandi yang bersifat non iritatif dan
hipoalergenik, gunakan juga pakaian yang bahannya lembut dan menyerap keringat, jangan
mengelupasi atau menggaruk korek yang gatal pada kulit, dan hindari hal-hal yang mungkin
menyebabkan alergi dan iritasi.
Untuk memastikan dermatofitosis, dokter akan melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang bila perlu dengan tes kerokan kulit untuk menemukan
jamurnya. Sedangkan penanganannya adalah dengan obat antijamur. Ada beberapa jenis
antijamur yang bisa digunakan, sebagian dijual bebas, sebagian lagi merupakanbobat resep
yang hanya boleh digunakan dibawah pengawasan dokter. Beberapa contoh antijamur yang
dijual bebas misalnya miconazole dan clotrimazole. Anda bisa bertanya langsung pada
apoteker mengenai mereknya ya. Pastikan menggunakan antijamur sesuai dengan cara
pemakaian yang ada di brosur kemasan.
Jika dalam 2 minggu keluhan dermatofitosis tidak juga membaik, semakin lebar, atau
semakin gatal, saya sarankan agar Anda memeriksakan diri ke dokter secara langsung supaya
bisa dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan penyebab keluhannya merupakan
jamur atau bukan. Selanjutnya dokter dapat memberikan Anda penanganan yang lebih tepat.
Beberapa tips yang bisa Anda lakukan:

 Jangan menggaruk bagian yang gatal


 Kompres dingin untuk membantu mengurangi gatal
 Gunakan baju yang lebih longgar
 Ganti baju bila berkeringat
 Jangan berbagi pakaian atau alat mandi dengan orang lain
 Lebih sering mengganti sprei dan handuk

Anda mungkin juga menyukai