Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara tropis yang merupakan salah
satu tempat yang memiliki berbagai macam sumber daya alam. Jamur
merupakan salah satu mikroorganisme yang dapat bertahan hidup serta
berkembangbiak di negara yang beriklim tropis. Jamur memiliki berbagai
macam jenis, termasuk jamur yang sifatnya menguntungkan dan juga jamur
yang sifatnya tidak menguntungkan atau merugikan makhluk hidup yang
ada di sekelilingnya. Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang
akan terganggu oleh jamur tersebut karena dapat menimbulkan berbagai
macam penyakit.
Jamur bisa hidup di mana saja seperti, udara, air, tempat yang
lembap, pakaian, bahkan pada tubuh manusia. Jamur termasuk golongan
mikroorganisme yang tidak dapat dilihat oleh kasat mata. Jamur dapat kita
lihat dengan bantuan alat-alat mikrobiologi seperti mikroskop. Oleh karena
itu, jamur tidak akan terlihat jika ia menempel pada pakaian. Jamur juga
bisa menempel pada makanan, sehingga jika seseorang memakan makanan
yang sudah terkontaminasi dengan jamur, jamur tersebut akan ikut masuk
ke dalam tubuh manusia sehingga menimbulkan berbagai macam penyakit,
seperti penyakit pada sistem pencernaan.
Masalah yang sering kita jumpai saat ini adalah penyakit jamur pada
kulit. Kulit merupakan lapisan pelindung terluar tubuh manusia. Kulit
termasuk sistem pertahanan tubuh manusia yang pertama dalam mencegah
masuknya anti gen masuk ke dalam tubuh. Pakaian yang telah
terkontaminasi oleh jamur, tentunya akan memberikan peluang besar bagi
mikroorganisme tersebut untuk berpindah tempat ke tubuh manusia yaitu
dengan menempel pada kulit. Jamur yang telah menempel di kulit, akan
berkembangbiak dan tentunya akan mengganggu pada jaringan-jaringan di
kulit. Jaringan yang telah terganggu akan ditandai dengan adanya bercak-
2

bercak pada kulit, inflamasi, hingga perubahan pada warna kulit. Selain
perubahan fisik, kulit yang telah terinfeksi oleh jamur akan terasa gatal dan
perih.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja macam-macam penyakit kulit karena jamur?
2. Seberapa jauh jamur dapat menginfeksi kulit?
3. Sejauh mana pemeriksaan terhadap penyakit kulit karena jamur?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui macam-macam penyakit kulit karena jamur.
2. Untuk mengetahui seberapa jauh jamur dapat menginfeksi kulit.
3. Untuk mengetahui sejauh mana pemeriksaan terhadap penyakit kulit
karena jamur.
D. Manfaat
Pembuatan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
kita tentang macam-macam penyakit jamur, termasuk penyebab, gelaja,
hingga pemeriksaan yang dapat dilakukan pada penderita penyakit kulit
karena jamur.
3

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Tinea Corporis (Kurap)


Tinea Corporis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh
jamur. Tinea Corporis sering dikenal sebagai penyakit kurap. Tinea korporis
atau kurap adalah infeksi dermatofita superfisial yang menyerang pada
glabrous skin (kulit yang tidak berambut) seperti muka, leher, badan,
lengan, tungkai dan gluteal (Saraswati, 2013).
B. Tinea Fasialis
Tinea fasialis adalah suatu dermatofitosis superfisial yang terbatas
pada kulit yang tidak berambut, yang terjadi pada wajah, memiliki
karakteristik sebagai plak eritema yang melingkar dengan batas yang jelas
(Suryantara, dkk. 2014).
C. Tinea Pedis (Kutu Air)
Tinea Pedis atau sering disebut kutu air adalah infeksi dermatofit
pada kaki, terutama di sela jari atau telapak kaki terutama yang memakai
kaus kaki dan sepatu yang tertutup dan penyebab Tinea Pedis yang serign
ditemukan adalah Trychopyton Rubrum (Miftahurohmah dan Risna, 2013).
D. Pitiriasis Versicolor (Panu)
Pitiriasis Versicolor merupakan salah satu penyakit yang disebabkan
oleh jamur. Ptiriasis versikolor disebabkan oleh Malasezia furfur, adalah
penyakit jamur kulit yang kronik dan asimtomatik ditandai oleh bercak
putih sampai coklat yang bersisik. Kelainan ini umumnya menyerang badan
dan kadang-kadang terlihat di ketiak, sela paha, tungkai atas, leher, muka,
dan kulit kepala (Siregar,1995).
E. Tinea scabies (Kudis)
Skabies (kudis) ialah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh
infestasi dan sensitisasi tungua sejenis kutu yang bernama Sarcoptes scabisi.
yang berada di dalam terowongan-terowongan di lapisan tanduk ( stratum
koreum) kulit manusia pada tempat-tempat predileksi (Hermawan, 2014).
4

BAB III

PEMBAHASAN

MACAM-MACAM PENYAKIT KULIT YANG DISEBABKAN OLEH


JAMUR

A. Tinea Corporis (Kurap)


1. Definisi
Tinea Corporis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh
jamur. Tinea Corporis sering dikenal sebagai penyakit kurap. Tinea
korporis atau kurap adalah infeksi dermatofita superfisial yang
menyerang pada glabrous skin (kulit yang tidak berambut) seperti
muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal (Saraswati, 2013).
2. Etiologi Patofisiologi
Trichophyton rubrum adalah salah satu dermatofita penyebab yang
paling umum menyebabkan tinea korporis. Dermatofita adalah
golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Dermatofita
termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi menjadi tiga genus, yaitu
Trichophyton spp, Microsporum spp, dan Epidermophyton spp.
Walaupun semua dermatofita bisa menyebabkan tinea korporis,
penyebab yang paling umum adalah Trichophyton Rubrum dan
Trichophyton Mentagrophytes.7 Tinea korporis terjadi pada laki-laki
dan perempuan, terjadi pada semua kelompok umur, tetapi angka
kejadian paling tinggi pada remaja. Pada tinea korporis terlihat reaksi
peradangan yang berbentuk seperti gelang eritema yang ditepinya
terlihat meninggi dan adanya scaling. Terapi topikal direkomendasikan
untuk suatu peradangan yang dilokalisir, dan terapi sistemik untuk tinea
korporis jika didapatkan adanya peradangan kulit yang luas akibat
penyakit immunosupresi (menekan respon imun) (Saraswati, 2013).
5

3. Gejala
Tinea korporis ditandai sebagai papul eritema (penonjolan di
permukaan kulit yang berwarna kemerahan) atau suatu rangkaian
vesikel. Gejala yang khas adanya central healing (penyembuhan yang
berada di bagian tengah lesi) dengan bagian tepi terlihat meninggi dan
biasanya lebih aktif. Gejala subyektifnya yaitu gatal terutama jika
berkeringat (Saraswati, 2013).
4. Pemeriksaan
Beberapa kasus membutuhkan pemeriksaan dengan lampu wood
yang mengeluarkan sinar UV dengan gelombang 3650 yang jika
didekatkan pada lesi akan timbul warna kehijauan. Pemeriksaan sediaan
langsung dengan KOH 10-20% bila positif memperlihatkan elemen
jamur berupa hifa panjang dan artrospora. Pemeriksaan dengan biakan
diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah
untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menanamkan bahan klinis pada media buatan. Biakan memberikan hasil
yang lebih lengkap, akan tetapi lebih sulit dikerjakan, biayanya lebih
mahal, hasil yang diperoleh dalam waktu lebih lama dan sensitivitasnya
kutrang ( 60%) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan
langsung (Saraswati, 2013).
5. Reaksi Imun
Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type Hypersensitivity
(DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan
dermatifita. Pada penderita yang belum pernah terinfeksi dermatofita
sebelumnya inflamasi menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin
test hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama
yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan
bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan
dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan
proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang
jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan barier
6

epidermal menjadi permaebel terhadap transferin dan sel-sel yang


bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh
(Saraswati, 2013).
B. Tinea Fasialis
1. Definisi
Tinea fasialis adalah suatu dermatofitosis superfisial yang terbatas
pada kulit yang tidak berambut, yang terjadi pada wajah, memiliki
karakteristik sebagai plak eritema yang melingkar dengan batas yang
jelas (Suryantara, dkk. 2014).
2. Etiologi Patofisiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan
dermatofitosis. Dermatofita terbagi dalam 3 genus yaitu: Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton. Belum banyak penelitian yang
menjelaskan jenis terbanyak dermatofita yang terdapat pada tinea
fasialis tapi ada beberapa sumber mengatakan di Asia, Trichophyton
mentagrophytes dan Trichophyto Rubrum merupakan penyebab
tersering. Berikut adalah faktor-faktor risiko timbulnya penyakit ini:
a. Kontak dengan pakaian, handuk, atau apapun yang suda
berkontak dengan penderita,
b. kontak kulit ke kulit dengan penderita atau hewan peliharaan
c. Umur 12 tahun ke bawah,
d. lebih sering menghabiskan waktu di tempat yang tertutup, dan
e. penggunaan obat-obatan glukokortikoid topikal dalam jangka
waktu yang lama. Patologi dari tinea ini juga masih belum begitu
jelas. Dikatakan bahwa dermatofit merilis beberapa enzim,
termasuk keratinases, yang memungkinkan mereka untuk
menyerang stratum korneum dari epidermis sehingga
menyebabkan kerusakan. Ada juga teori patogenesis yang
mengungkapkan adanya invasi epidermis oleh dermatofit
mengikuti pola biasa pada infeksi yang diawali dengan pelekatan
antara artrokonidia dan keratinosit yang diikuti dengan penetrasi
7

melalui sel dan antara sel serta perkembangan dari respon


penjamu (Suryantara, dkk. 2014).
3. Gejala
Penderita mengeluh gatal yang kadang-kadang meningkat waktu
berkeringat serta rasa terbakar memburuk setelah paparan sinar matahari
(fotosensitivitas). Namun, kadang-kadang penderita tinea fasialis dapat
memberikan gejala yang asimptomatis (Suryantara, dkk. 2014).
4. Pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan beberapa cara:
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya gambaran klinis, kelainan
yang dilihat dari Tinea fasialis dalam klinik merupakan lesi bulat atau
lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang
dengan vesikel dan papul di tepi.
a) Pemeriksaan dengan lampu Wood
Pemeriksaan dengan lampu Wood yang mengeluarkan sinar
ultraviolet dengan gelombang 3650 nm. Beberapa spesies dermatofit
tertentu yang berasal dari genus Microsporum menghasilkan
substansi yang dapat membuat lesi menjadi warna hijau ketika
disinari lampu Wood dalam ruangan yang gelap. Dermatofit yang
lain, seperti T. Schoenleinii memproduksi warna hijau pucat. Ketika
hasilnya positif, ini akan sangat berguna.
b) Pemeriksaan sediaan langsung
Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20% bila
perlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora. Pada
sediaan kulit yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar,
terbagi oleh sekat dan bercabang maupun spora berderet (artospora)
pada kelainan kulit lama dan atau sudah diobati.
c) Pemeriksaan dengan pembiakan
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies
8

jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis


pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini
adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Biakan memberikan hasil
lebih cukup lengkap, akan tetapi lebih sulit dikerjakan, lebih mahal
biayanya, hasil diperoleh dalam waktu lebih lama dan
sensitivitasnya kurang ( 60%) bila dibandingkan dengan cara
pemeriksaan sediaan langsung (Suryantara, dkk. 2014).
5. Reaksi Imun
Reaksi imunologik penyakit ini yaitu termasuk pada reaksi tipe IV.
Deteksi imun dan kemotaktik dari sel-sel inflamasi terjadi melalui
mekanisme yang umum. Beberapa jamur memproduksi faktor
kemotaktik yang memiliki berat molekul yang rendah, seperti yang
diproduksi oleh bakteri. Komplemen lainnya yang teraktivasi, membuat
komplemen yang tergantung oleh faktor kemotaktik. Keratinosit
mungkin dapat menginduksi kemotaktik dengan memproduksi IL-8
sebagai respon kepada antigen seperti trichophytin. Kandungan serum
dapat menghambat pertumbuhan dermatofit, sebagai contohnya antara
lain unsaturated transferrin dan asam lemak yang diproduksi oleh
glandula sebasea (derivat undecenoic acid) (Suryantara, dkk. 2014).
C. Pitiriasis Versicolor (Panu)
1. Definisi
Pitiriasis Versicolor merupakan salah satu penyakit yang disebabkan
oleh jamur. Ptiriasis versikolor disebabkan oleh Malasezia furfur, adalah
penyakit jamur kulit yang kronik dan asimtomatik ditandai oleh bercak
putih sampai coklat yang bersisik. Kelainan ini umumnya menyerang
badan dan kadang-kadang terlihat di ketiak, sela paha, tungkai atas,
leher, muka, dan kulit kepala (Siregar,1995).
2. Etiologi Patofisiologi
Pitiriasis versikolor disebabkan oleh malasezia furfur, adalah
penyakit jamur kulit yang kronik dan asimtomatik ditandai oleh bercak
putih sampai coklat yang bersisik. Kelainan ini umumnya menyerang
9

badan dan kadang-kadang terlihat di ketiak, sela paha, tungkai atas,


leher, muka, dan kulit kepala. Di Indonesia penyakit ini mempunyai
insiden yang tinggi (Siregar,1995).
3. Gejala
Gejala kilinis dari pada orang kulit berwarna, lesi yang terjadi
biasanya tampak sebagai bercak hipopigmentasi, tetapi pada yang
berkulit pucat maka lesi bisa berwarna kecoklatan ataupun kemerahan.
Di atas lesi terdapat sisik halus. Bentuk lesi tidak teratur dapat berbatas
tegas sampai difus dan ukuran lesi dapat milier, lentikuler, numuler
sampai plakat. Ada 2 mbentuk yang sering didapat (Siregar,1995).
1. Bentuk Makuler
Berupa bercak-bercak yang agak lebar dengan squama halus
diatasnya dengan tepi tidak meninggi.
2. Bentuk Folikuler
(Seperti tetesan air) sering timbul disekitar folikel rambut.
4. Pemeriksaan
Pemeriksaan pada penyakit ini bisa dilakukan dengan pemeriksaan
langsung dengan KOH 10% , pemeriksaan dengan sinar wood dapat
memberi perubahan warna pada seluruh daerah lesi sehingga batas lesi
lebih muah dilihat. Daerah yang terkena infeksi akan memperlihatkan
fluoresensi warna emas sampai orange (Siregar,1995).
5. Reaksi Imun
Pada kasus-kasus tertentu dapat timbul syok anafilaktik. Dapat
ditimbulkan oleh berbagai jenis makanan dan lateks. Ada dua fase
terjadinya respon imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi
dermatitis kontak alergik (Trihapsoro, 2003).
a) Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen.
Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum
peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak atau
pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 18-24 jam
10

kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atauendositosis


oleh sel LE (Langerhans Epidermal), untuk mengadakan ikatan
kovalen dengan protein karier yang berada di epidermis, menjadi
komplek hapten protein. Protein ini terletak pada membran sel
Langerhans dan berhubungan dengan produk gen HLA-DR (Human
Leukocyte Antigen-DR). Pada sel penyaji antigen (antigen
presenting cell). Kemudian sel LE menuju duktus Limfatikus dan ke
parakorteks Limfonodus regional dan terjadilah proses penyajian
antigen kepada molekul CD4+ (Cluster of Diferantiation 4+) dan
molekul CD3. CD4+berfungsi sebagai pengenal komplek HLADR
dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3 yang berkaitan dengan
protein heterodimerik Ti (CD3-Ti), merupakan pengenal antigen
yang lebih spesifik, misalnya untuk ion nikel saja atau ion kromium
saja. Kedua reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan sel
T. Pada saat ini telah terjadi pengenalan antigen (antigen
recognition). Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk
mengeluarkan IL-1 (interleukin-1) yang akan merangsang sel T
untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL- 2 akan mengakibatkan
proliferasi sel T sehingga terbentuk primed me mory T cells, yang
akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan
akan memasuki fase elisitasi bila kontak berikut dengan alergen
yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21 hari,
dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut
telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami
dermatitis kontak alergik (Trihapsoro, 2003).
b) Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan
keduadari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah
tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan
mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi Il-
2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1
11

dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-


1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan
limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan
mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin
sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat.
Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema,
edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses
peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa
mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan
sel, kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan
Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat
stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2R
sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel
mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak
degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek
merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan
beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel
T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan
peradangan (Trihapsoro, 2003).
D. Tinea Pedis (Kutu Air)
1. Definisi
Tinea Pedis atau sering disebut kutu air adalah infeksi dermatofit
pada kaki, terutama di sela jari atau telapak kaki terutama yang memakai
kaus kaki dan sepatu yang tertutup dan penyebab Tinea Pedis yang
serign ditemukan adalah Trychopyton Rubrum (Miftahurohmah dan
Risna, 2013).
2. Etiologi Patofisiologi
Tinea pedis disebut juga ATHLETES FOOT = Rng Worm of the
foot. Penyakit ini sering menyerang orang-orang dewasa yang banyak
bekerja ditempat basah seperti tukang cuci, pekerja-pekerja disawah,
12

atau orang-orang yang setiap hari harus memakai sepatu yang tertutup
seperti anggota tentara (Siregar,1995).
Penyebab utama dari penyakit ini adalah Trikofiton rubrum,
T.mentagofites dan Epidermofiton flokosum. Bentuk-bentuk tinea pedis
yaitu intertriginosa, hiperkeratosis, vesikular subakut.
Bentuk intertriginosa
Kelainan yang tampak berupa maserasi, skuamasi serta erosi
di celah-celah jari terutama jari IV dan V. Hal ini terjadi
disebabkan kelembaban di celah-celah jari tersebut membuat
jamur-jamur hidup lebih subur. Bila menahun dapat terjadi
fisura yang nyeri bila kena sentuh. Bila terjadi infeksi dapat
menimbulkan selulitis atau erisiplas disertai gejala-gejala umum
(Siregar,1995).
Bentuk hiperkeratosis
Disini yang lebih mjelas tampak ialah terjadi penebalan kulit
disertai sisik terutama pada telapak kaki, tepi kaki, dan
punggung kaki. Bila hiperkeratosisnya hebab dapat terjadi
fisura-fisura yang dalam bagian lateral telapak kaki
(Siregar,1995).
Bentuk vesikular subakut
Kelainan-kelainan yang timbul dimulai pada daerah sekitar
antartamjari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak
kaki. Tampak ada vesikel dan bula yang terletak agak dalam
dibawah kulit, disertai perasaan gatal yang hebat (Siregar,1995).
3. Gejala
Gejala dari penyakit ini biasanya terdapat rasa gatal pada daerah di
sela-sela jari kaki yang berskuama, terutama di antara jari ketiga dengan
keempat dan keempat dengan kelima, atau pada telapak kaki (Graham
dan Brown, 2006). Keluhan penderita bervariasi mulai dari tanpa
keluhan sampai mengeluh sangat gatal dan nyeri karena terjadinya
infeksi sekunder dan peradangan (Harahap,2000).
13

4. Pemeriksaan
Pemeriksaan dari penyakit tinea pedis ini yaitu dengan
menggunakan pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20%
(Harahap,2000).
5. Reaksi Imun
Pada penyakit tinea pedis terjadi reaksi imunologik tipe IV. Reaksi
ini melibatkan kinerja dari sel T yang akan menyerang anti gen atau
jamur tersebut. Pada saat itu terjadilah inflamasi pada kulit hingga
jamur tersebut menghilang, kemudian lesi pada kulit perlahan sembuh
(Saraswati, 2013).
E. Tinea scabies (kudis)
1. Definisi
Skabies (kudis) ialah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh
infestasi dan sensitisasi tungua sejenis kutu yang bernama Sarcoptes
scabisi. yang berada di dalam terowongan-terowongan di lapisan
tanduk ( stratum koreum) kulit manusia pada tempat-tempat predileksi
(Hermawan, 2014).
2. Etiologi dan Patologi
Sarkoptes adalah tungua atau kutu kecil, berbentuk bulat lonjong
konveks dibagian dorsal, pipih di bagian ventral, tidak bermata, yang
berukuran 0,2 - 0,25 mm, sedangkan yang betina 0,33 - 0,45mm.
Mempuryai 4 pasang kaki. Dua pasang terletak di depan dan dua pasang
terletak di belakang. Pasangan kaki yang pertama berakhir sebagai
tabung panjang masing-masing dengan sebuah alat pengisap yang
berbentuk bel dan dengan buku-buku.
Tungau jantanumumnya mati setelah kopulasi, sedangkan yang
betina sesudah kopulasi mulai menggali terowongan pada lapisan
tanduk kulit biasanya pada malam hari dan bergerak maju dengan
kecepatan kira-kira 2-3 mm sehari. Terowongan tersebut dapat
berbentuk lulus atau berkelok-kelok panjang beberapa cm dari luar
terlihat berwarna merah ke abu-abuan. Tungua betina dapat hidup di
14

dalam terowongan selama 4 s/d 5 minggu dan jam setelah kopulasi


mulai bertelur 2-5 butir sehari. Telur akan menetes dalam waktu +-3
hari menjadi larva yang berbentuknya sama dengan sarkoptes dewasa
kecuali hanya mempunyai 3 pasang kaki. Larva dalam waktu +-3 hari
menjadi nimfa, yang sesudah 3 hari kemudian berubah menjadi bentuk
dewasa yang dapat hidup di luar pada suhu kamar selama kurang lebih
7-14 hari.
Cara penularan yang paling sering adalah kontak langsung yang erat
termasuk secara seksual. Dapat pula melalui alat-alat seperti tempat
tidur, tempat-tempat duduk atau handuk dan pakaian yang dipakai oleh
penderita scabies. Penularan penyakit ini sangat erat hubungannya
dengan kebersiahan lingkungan dan perorangan.
Insidens penyakit ini biasanya menyangkut pada keadaan dimana
banyak orang tinggal berdesakan di tempat-tempat yang sempit atau
kurang bersih. Misalnya asrama-asrama, penjara-penjara, panti asuhan
dan lain-lain (hermawan). Penyebab Scarcoptes=( Acarus) scabiei var,
hominis, atau disebut pula tungau sarkoptes (Hermawan, 2014).
3. Gejala
Gejala utama adalah gatal terutama pada malam hari, gejala ini
sangat mendukung ke arah diagnosa apalagi bila terjadi di tempat
predileksi. Yang paling sering diserang pada sela-sela jari tangan, dapat
pula dibagian eksternor siku, lipatan ketiak daerah pusat dan perut
sekitar ikat pinggang, daerah genital dan bokong. Pada bayi-bayi oleh
karena kulitnya masih tipis, penyakit ini menyerang seluruh badan
termasuk seluruh badan termasuk telapak tangan dan kaki, muka serta
kulit (Hermawan, 2014).
4. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik
Skabies disebut the great immitator karena kelainan dapat
menyerupai penyakit yang lain. Lesi kulit polimorfik
menyerupai dermatitis dan reaksi alergi lainnya. Namun
15

demikian, sebagian kasus skabies didiagnosis dengan deskripsi


kelainan kulit di tempat predileksi.
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis pasti skabies adalah dengan identifikasi tungau
dan telur Sarcoptes scabiei dengan pemeriksaan
mikroskop.2 Sediaan dibuat dengan kerokan kulit pada lesi
dengan menggunakan skapel atau dengan biopsi yang dilakukan
secara superfisial. Kerokan dilakukan di ujung kunikulus yang
nampak papul atau vesikel. Hasil kerokan diletakkan di atas
gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup lalu periksa di
bawah mikroskop. Hasil pemeriksaan positif bila ditemukan
tungaumemiliki sensitifitas yang rendah karena tungau sulit
ditemukan. Tes tinta Burrow dilakukan untuk melihat kunikulus
yang dibentuk oleh tungau. Lesi dilapisi dengan tinta pena
kemudian hapus dengan alkohol. Terowongan akan terlihat
seperti garis tipis lurus atau berkelok. Terlihat lebih gelap akibat
tinta yang masuk ke dalam kunikulus.
5. Reaksi Imun
Kelainan berupa rasa gatal dan papul/papulo-vesikel merupakan
manifestasi proses imunologis. Pada kasus tinea scabies terjadi
hipersensitivitas tipe IV. Yang merupakan antigen adalah tubuh, secret
da ekstreta tungau; antibodi yang terbentuk akan menimbulkan reaksi
sesudah satu bulan (masa sensitisasi- masa inkubasi) pada infeksi
pertama, tetapi memerlukan waktu lebih singkat pada infeksi ulangan.
Faktor yang menentukan berat ringannya gejala tergantung jumlah
tungau yang berinfestasi, status imun pejamu serta cara dan frekuensi
mandi.
Pada penderita yang tidak diobati infestasi tungau akan mencapai
puncaknya sesudah 80-115 hari. Penderita yang mempunyai defek
imunologis sejak lahir atau didapat (pemberian imunosupresif, infeksi
16

virus HIV, infeksi bacterial berat, keadaan umum atau gizi buruk,
psikosis) akan memberikan gambaran yang berbeda (Boediardja,1989).
17

BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Jamur merupakan mikroorganisme yang memiliki sifat dapat
menguntungkan maupun merugikan manusia. Jamur yang merugikan
bisa mengakibatkan timbulnya penyakit pada salah satu tempat yang
dominan yaitu kulit. Penyakit kulit akibat jamur sangat bermacam-
macam, mulai dari yang biasa hingga yang berbahaya.
B. Saran
Penyakit kulit akibat jamur kini telah menjadi masalah yang sangat
mengganggu aktifitas penderitanya maupun dalam hal estetikanya.
Penyakit kulit akibat jamur harus segera ditangani melalui pemerkisaan
yang memadai hingga pengobatannya. Maka dari itu, tenaga medis
harus bisa lebih kompetentif dalam menangani kasus tersebut.
18

DAFTAR PUSTAKA

Boediaardja. 1989. Pendekatan Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Kulit dan


Kelamin pada Anak. Jakarta: FKUI.

Harahap, Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.

Hermawan, Danny A. 2014. Mengenal Penyakit Scabies. Forum Penelitian.

Miftahurohmah, dkk. 2013. Hubungan Kejadian Tinea Pedis (Kutu Air) dengan
Praktik Personal Hygiene pada Pemulung di TPA Tanjunggrejo Kudus.
Forum Penelitian, 1 (2) STIKES Cendekia Utama Kudus.

Saraswati, Yara Egyptha, dkk. 2013. Tinea Corporis. Forum Penelitian,


FKUNUD.

Siregar, R.S. 1995. Penyakit Jamur Kulit. Jakarta: EGC.

Suryantara, I Pt Agus, dkk. 2014. Diagnosis dan Tatalaksana Tinea Fasialis.


Forum Penelitian, FKUNUD.

Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di
RSUP Haji Adam Malik Medan. Forum Penelitian, FKUSU.

Anda mungkin juga menyukai