Anda di halaman 1dari 16

KOMPONEN DAN REGULASI SISTEM IMUN

DOSEN : DR. JAFRIATI JAZULI,S.SI.,M.SI

OLEH:

WAODE RIRI HASRIANI


NIM : A201801123
KELAS : D3

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


PROGRAM STUDI D-IV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. karena dengan Rahmat dan
Hidayah-Nyalah saya diberi ilmu dan pengetahuan untuk menuntut cita-cita saya.
Alhamdulillah pada kesempatan kali ini saya dapat menyelesaikan Makalah KAPITA
SELEKTA / IMUNOLOGI dengan judul KOMPONEN DAN REGULASI SISTEM IMUN
tepat pada waktunya.
Saya juga menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penyusunan Makalah ini. Khususnya kepada dosen Mata Kuliah saya ibu DR.
JAFRIATI JAZULI,S.SI.,M.SI yang telah membimbing saya dalam menyusun Makalah
ini. Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan mata kuliah
KAPITA SELEKTA / IMUNOLOGI,
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
dalam penyusunan Makalah KAPITA SELEKTA / IMUNOLOGI ini dari awal sampai
akhir.
Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kendari, 1 juni 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………..........................i
DAFTAR ISI……………………………………………………………............................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................5

1.3TujuanPenelitian......................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
2.1Pengertian Sejarah Imunologi……………….….....………..... ............6
2.2 Perlindungan Berlapis………………………………………...................…7
2.3 Sistem Imun Bawaan………...………………………………....................8
2.4. Sistem Imun Adaptif…………………………………..………...................9
2.5 Regulasi Fisiologis……………………………………………....................11
2.6 Gangguan Pada Imunitas..………………………………….................11
2.7 Evolusi Dan Mekanisme lainnya……………………………..............13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.............................................................................14
3.2 Saran.......................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..........................15
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem imun atau sistem kekebalan adalah sel-sel dan banyak struktur
biologis lainnya yang bertanggung jawab atas imunitas, yaitu pertahanan pada
organisme untuk melindungi tubuh dari pengaruh biologis luar dengan mengenali dan
membunuh patogen. Sementara itu, respons kolektif dan terkoordinasi dari sistem imun
tubuh terhadap pengenalan zat asing disebut respons imun. Agar dapat berfungsi
dengan baik, sistem ini akan mengidentifikasi berbagai macam pengaruh biologis luar
seperti dari infeksi, bakteri, virus sampai parasit, serta menghancurkan zat-zat asing
lain dan memusnahkan mereka dari sel dan jaringan organisme yang sehat agar tetap
berfungsi secara normal.
Manusia dan vertebrata berahang lainnya memiliki mekanisme
pertahanan yang kompleks, yang dapat dibagi menjadi sistem imun bawaan dan sistem
imun adaptif. Sistem imun bawaan merupakan bentuk pertahanan awal yang
melibatkan penghalang permukaan, reaksi peradangan, sistem komplemen, dan
komponen seluler. Sistem imun adaptif berkembang karena diaktifkan oleh sistem imun
bawaan dan memerlukan waktu untuk dapat mengerahkan respons pertahanan yang
lebih kuat dan spesifik. Imunitas adaptif (atau dapatan) membentuk memori imunologis
setelah respons awal terhadap patogen dan membuat perlindungan yang lebih
ditingatkan pada pertemuan dengan patogen yang sama berikutnya. Proses imunitas
dapatan ini menjadi dasar dari vaksinasi.
Gangguan pada sistem imun dapat berupa imunodefisiensi, penyakit
autoimun, penyakit inflamasi, dan kanker. Imunodefisiensi dapat terjadi ketika sistem
imun kurang aktif sehingga dapat menimbulkan infeksi berulang dan dapat mengancam
jiwa. Pada manusia, imunodefisiensi dapat disebabkan karena faktor genetik seperti
pada penyakit defisiensi imunitas kombinasi serta kondisi dapatan seperti sindrom
defisiensi imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus HIV. Sebaliknya,
penyakit autoimun menyebabkan sistem imun menjadi hiperaktif menyerang jaringan
normal seakan-akan jaringan tersebut merupakan benda asing.
1.2 Rumusan Masalah

1. Pengertian Sejarah Imunologi ?


2. Perlindungan Berlapis ?
3. Sistem Imun Bawaan ?
4. Sistem Imun Adaptif ?
5. Regulasi Fisiologis ?
6. Gangguan Pada Imunitas ?
7. Evolusi Dan Mekanisme Lainnya ?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari dibuatnya makalah tentang komponen dan regulasi sistem
imun ini yaitu agar para pembaca mendapat pengetahuan mengenai komponen
dan regulasi sistem imun.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sejarah Imunologi


Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi sistem
imun. Imunologi awalnya berasal dari ilmu mikrobiologi. Imunitas pertama kali diketahui
saat terjadi wabah Athena pada 430 SM. Thukidides mencatat bahwa orang yang
sembuh dari penyakit sebelumnya dapat bertahan tanpa terkena penyakit lagi.Lambat
laun, diciptakan istilah "immunity" yang diturunkan dari istilah Latin "immunitas" untuk
menggambarkan resistensi semacam itu. Pada abad ke-10, dokter Iran Al-Razi
merupakan orang pertama yang membedakan antara cacar (smallpox) dan campak
(measles) dan juga mencatat kemungkinan teori pertama tentang imunitas dapatan
(acquired immunity). Pada abad ke-11, dokter dan filsuf Ibnu Sina juga mengusulkan
teori lebih lanjut untuk imunitas dapatan.
Pada sekitar 1000 M, bangsa Tiongkok dilaporkan telah mempraktikkan
bentuk imunisasi ini dengan menghirup bubuk kering yang berasal dari kulit lesi cacar.
Pada awal abad ke-18 muncul minat baru pada imunitas dapatan melalui penggunaan
variolasi sebagai tindakan pencegahan, yaitu dengan memasukkan sebagian dari lesi
penderita cacar ke dalam tubuh orang yang sehat. Praktik variolasi juga makin umum
dilakukan Inggris pada tahun 1720-an karena usaha Mary Wortley Montagu, istri duta
besar Inggris untuk Konstantinopel (sekarang Istanbul), yang mengamati efek positifnya
dan melakukannya pada anak-anaknya. Pada tahun 1798 Edward Jenner
mempublikasikan hasil vaksinasinya yang pertama, menggunakan nanah dari penderita
cacar sapi (cowpox) dan disuntikkan ke seorang anak bernama James Phipps.
Pengamatan imunitas dapatan berikutnya diteliti oleh Louis Pasteur
pada tahun 1880 tentang vaksinasi dan pembuktian teori kuman penyakit.Teori tersebut
menyatakan bahwa penyakit disebabkan oleh mikroorganisme, dan teori ini merupakan
perlawanan dari teori penyakit saat itu, seperti teori miasma yang menyatakan penyakit
disebabkan oleh uap atau kabut beracun yang diyakini terdiri dari partikel-partikel dari
bahan pembusuk dan dapat diidentifikasi dengan baunya yang busuk. Robert Koch
membuktikan teori kuman ini pada 1891, untuk itu ia diberikan penghargaan Nobel
pada 1905. Ia membuktikan bahwa mikroorganisme merupakan penyebab dari penyakit
infeksi.Virus dikonfirmasi sebagai patogen manusia pada 1901 dengan penemuan virus
demam kuning oleh Walter Reed.
Imunologi mengalami perkembangan luar biasa pada akhir abad ke-
19 pada penelitian imunitas humoral dan imunitas diperantarai sel. Paul Ehrlich
mengusulkan teori rantai samping yang menjelaskan spesifisitas interaksi antigen-
antibodi. Kontribusinya dalam memahami imunitas humoral diakui dengan
penghargaan Nobel pada 1908, yang bersamaan dengan penghargaan untuk pendiri
imunologi seluler, Elie Metchnikoff.

2.2 Perlindungan Berlapis


Sistem imun tubuh melindungi organisme dari infeksi dengan
perlindungan berlapis yang semakin dalam semakin tinggi spesifisitasnya
(kekhususannya terhadap jenis infeksi). Pelindung fisik mencegah patogen seperti
bakteri dan virus memasuki tubuh. Jika patogen melewati pelindung tersebut, sistem
imun bawaan menyediakan perlindungan dengan segera dalam hitungan menit hingga
jam. Sistem imun bawaan ditemukan pada semua jenis tumbuhan dan hewan. Jika
patogen berhasil melewati respons bawaan, vertebrata memiliki lapisan perlindungan
berikutnya yaitu sistem imun adaptif yang diaktifkan oleh respons imun bawaan. Di sini,
sistem imun mengadaptasi respons tersebut selama infeksi untuk meningkatkan
pengenalan patogen tersebut. Respons ini lalu dipertahankan setelah patogen
dimusnahkan dalam wujud memori imunologis sehingga pada kemudian hari sistem
imun adaptif dapat melawan patogen yang sama dengan lebih cepat dan efektif.
Sistem imun bawaan dan sistem imun adaptif keduanya memiliki
komponen seluler dan humoral, dan masing-masing memberikan imunitas diperantarai
sel dan imunitas humoral. Imunitas diperantarai sel diperankan oleh sel-sel imun seperti
neutrofil, makrofag, sel NK, dan limfosit, sedangkan imunitas humoral diperankan oleh
komponen terlarut seperti antibodi dan protein komplemen. Antibodi adalah protein
yang merupakan produk dari sel B yang teraktivasi yang berperan dalam menetralkan
patogen dan menginisiasi proses imunologi yang lain seperti pengaktifan sistem
komplemen, pengaktifan pembunuhan sel NK, sel T sitotoksik, dan sel-sel efektor
lainnya.
2.3 Sisten Imun Bawaan
Mikroorganisme atau racun yang berhasil memasuki organisme akan
berhadapan dengan mekanisme sistem imun bawaan. Respons bawaan biasanya
dijalankan ketika mikrob teridentifikasi oleh reseptor pengenal pola (pattern recognition
receptor, PRR) yang mengenali komponen yang disebut pola molekuler terkait patogen
(pathogen-associated molecular pattern, PAMP), atau pola molekuler terkait kerusakan
(damage-associated molecular pattern, DAMP). Sistem ini tidak memberikan
perlindungan yang bertahan lama terhadap serangan patogen, sehingga diperlukan
sistem imun lain yaitu sistem imun adaptif. Sistem imun bawaan merupakan sistem
dominan pertahanan tubuh pada kebanyakan organisme.
 Penghalang permukaan
Beberapa penghalang melindungi organisme dari infeksi, termasuk
penghalang mekanis, kimiawi, dan biologis. Contoh penghalang mekanis yaitu kulit ari
tanaman pada daun, eksoskeleton serangga, kulit telur dan membran bagian luar dari
telur, serta kulit yang merupakan pertahanan awal terhadap infeksi. Namun, karena
organisme tidak dapat sepenuhnya tertutup sempurna dari lingkungan, sistem lainnya
diperlukan untuk melindungi tubuh pada bagian seperti paru-paru, usus, dan saluran
urogenital. Pada paru-paru, batuk dan bersin secara mekanis mengeluarkan patogen
dan iritan lainnya dari saluran pernapasan. 1298 Pengeluaran air mata dan urin juga
secara mekanis mengeluarkan patogen, sementara ingus dikeluarkan oleh saluran
pernapasan dan saluran pencernaan untuk menangkap mikroorganisme.
 Peradangan
Peradangan merupakan salah satu dari respons pertama sistem
imun terhadap infeksi. Gejala peradangan yaitu kemerahan, bengkak, dan nyeri yang
diakibatkan oleh peningkatan aliran darah ke jaringan. Peradangan dihasilkan oleh
senyawa-senyawa eikosanoid dan molekul sitokin, yang dilepaskan oleh sel yang
terinfeksi. Senyawa-senyawa eikosanoid, termasuk prostaglandin, menginduksi demam
dan pelebaran pembuluh darah, dan leukotrien yang menarik sel darah putih (leukosit).
 Sistem komplemen
Sistem komplemen merupakan kaskade biokimia (rangkaian reaksi
berurutan) yang akhirnya menyerang permukaan sel asing. Sistem komplemen terdiri
dari lebih dari 20 protein yang berbeda. Sistem ini dinamakan komplemen ("sesuatu
yang melengkapi") karena pertama kali kemampuannya dikenali untuk "melengkapi"
pembunuhan patogen oleh antibodi. Komplemen merupakan komponen humoral utama
dari respons imun bawaan. Banyak spesies memiliki sistem komplemen, termasuk
spesies bukan mamalia seperti tumbuhan, ikan, dan beberapa invertebrata.
 Komponen seluler
Leukosit (sel darah putih) bertindak layaknya organisme bersel tunggal
yang bebas dan merupakan pertahanan penting dalam sistem imun bawaan. Jenis-
jenis leukosit dalam sistem imun bawaan di antaranya fagosit (makrofag, neutrofil, dan
sel dendritik), sel limfoid bawaan, sel mast, eosinofil, basofil, dan sel NK.

2.4 Sistem Imun Adaptif


Sistem imun adaptif berevolusi pada vertebrata awal dan membuat
adanya respons imun yang lebih kuat serta terbentuknya memori imunologi, yaitu tiap
patogen "diingat" oleh pengenal antigen. Respons imun adaptif bersifat spesifik
terhadap antigen tertentu dan membutuhkan pengenalan antigen non-self tertentu
selama proses yang disebut presentasi antigen. Spesifisitas antigen memungkinkan
produksi respons yang disesuaikan pada patogen tertentu atau sel tertentu yang
terinfeksi patogen. Kemampuan tersebut dipelihara di tubuh oleh "sel memori". Sel-sel
memori ini akan segera memusnahkan dengan cepat patogen-patogen yang
menginfeksi sel kembali di kemudian hari.
 Imunitas diperantarai sel
Komponen sel utama pada sistem imun adaptif yaitu jenis leukosit
khusus yang disebut limfosit. Limfosit T (sel T) dan limfosit B (sel B) merupakan jenis
limfosit utama yang berasal dari sel punca hematopoietik pada sumsum tulang. Sel T
terlibat dalam respons imun diperantarai sel, sedangkan sel B terlibat dalam respons
imun humoral. Baik sel T dan sel B memiliki reseptor yang mengenali target spesifik.
Sel T mengenali target non-self seperti patogen, tetapi hanya jika antigen telah diolah
dan disajikan pada molekul kompleks histokompatibilitas utama (bahasa Inggris: major
histocompatibility complex, disingkat MHC). Sementara itu, reseptor antigen pada sel B,
yang merupakan suatu molekul antibodi pada permukaan, dapat mengenali semua
patogen tanpa perlu adanya pengolahan antigen. Tiap garis keturunan sel B memiliki
antibodi yang berbeda, sehingga kumpulan reseptor antigen sel B yang lengkap
mewakili semua antibodi yang dapat diproduksi oleh tubuh.
Awalnya, subtipe sel T dibagi menjadi dua yaitu sel T sitotoksik (sel T
pembunuh) dan sel T pembantu. Namun seiring pesatnya penelitian imunologi pada
dekade terakhir, banyak ditemukan jenis lain dari limfosit misalnya sel T gamma delta
(sel T γδ). Sel T sitotoksik hanya mengenali antigen yang dirangkaikan pada molekul
MHC kelas I, sementara sel T pembantu hanya mengenali antigen yang dirangkaikan
pada molekul MHC kelas II. Dua mekanisme presentasi antigen tersebut memunculkan
peran berbeda dua tipe sel T. Jenis lain sel T yang termasuk subtipe minor yaitu sel T
γδ, yang mengenali antigen yang tidak melekat pada molekul MHC.
 Sel T sitotoksik
Sel T sitotoksik (Inggris: cytotoxic T lymphocyte, CTL) atau sel T
pembunuh merupakan subkelompok dari sel T yang membunuh sel yang terinfeksi
virus (dan patogen lainnya), sel-sel yang rusak, atau sel yang tidak berfungsi dengan
baik.[63] Sel T sitotoksik diaktifkan ketika reseptor sel T melekat pada antigen spesifik
ini dalam sebuah kompleks dengan reseptor MHC kelas I dari sel lainnya. Pengenalan
MHC:antigen ini dibantu oleh koreseptor pada sel T yang disebut CD8. Sel T lalu
berkeliling ke seluruh tubuh untuk mencari sel yang menyajikan antigen ini pada
molekul MHC kelas I. Ketika sel T yang aktif berikatan dengan sel yang demikian, sel T
melepaskan protein sitotoksik (seperti perforin) yang dapat membentuk pori pada
membran plasma target, membuat ion, air, dan toksin masuk ke dalamnya. Hal ini
menyebabkan sel mengalami apoptosis. Sel T sitotoksik penting untuk mencegah
replikasi virus. Pengaktifan sel T membutuhkan sinyal pengaktifan antigen/MHC yang
sangat kuat dan sinyal pengaktifan tambahan yang disediakan oleh sel T pembantu.
 Sel T pembantu
Sel T pembantu (Inggris: T helper cell, Th) mengatur respons imun
bawaan dan respons imun adaptif, serta membantu menentukan jenis respons imun
pada patogen khusus. Sel tersebut tidak memiliki aktivitas sitotoksik dan tidak
membunuh sel yang terinfeksi atau membersihkan patogen secara langsung, tetapi
mereka mengontrol respons imun dengan mengarahkan sel lain untuk melakukan tugas
tersebut. Sel T pembantu mengekspresikan reseptor sel T yang mengenali antigen
terikat pada molekul MHC kelas II. MHC:antigen juga dikenali oleh protein CD4 yang
penting dalam pengaktifan sel T. Sel T pembantu memiliki ikatan yang lebih lemah
dengan MHC: antigen daripada sel T sitotoksik, sehingga pengaktifannya memerlukan
lebih banyak ikatan (sekitar 200-300), sementara sel T sitotoksik dapat diaktifkan
dengan satu ikatan molekul MHC:antigen dengan reseptor. Pengaktifan sel T pembantu
juga membutuhkan durasi pengikatan lebih lama dengan sel yang memiliki antigen. Sel
T pembantu yang telah aktif selanjutnya menyekresikan sitokin yang memengaruhi
aktivitas banyak jenis sel. Sinyal sitokin yang dihasilkan oleh sel T pembantu
memperbesar fungsi mikrobisidal dari makrofag dan aktivitas sel T sitotoksik.
 Imunitas humoral
Pada sistem imun adaptif, peran utama imunitas humoral dijalankan
oleh antibodi yang dihasilkan oleh sel B. Sel B mengidentifikasi patogen ketika antibodi
yang terikat pada permukaan sel B berikatan dengan antigen asing spesifik. Kompleks
antigen:antibodi ini ditelan oleh sel B kemudian antigen dipecah menjadi potongan
peptida (proteolisis). Selanjutnya sel B menyajikan peptida antigenik pada permukaan
molekul MHC kelas II. Kompleks MHC dan antigen ini menarik sel T pembantu yang
memiliki kesesuaian dengan antigen, yang selanjutnya melepaskan sitokin dan
mengaktifkan sel B. Sel B yang aktif berikutnya berdiferensiasi menjadi sel plasma
yang mengeluarkan jutaan antibodi yang mengenali antigen itu. Antibodi tersebut
diedarkan pada plasma darah dan limfatik, mengikat patogen dan menandainya untuk
dihancurkan oleh pengaktifan komplemen, atau untuk penghancuran oleh fagosit.
Antibodi juga dapat menetralkan toksin bakteri atau dengan mengganggu reseptor yang
digunakan virus dan bakteri untuk menginfeksi sel.

2.5 Regulasi Fisiologis


Sistem imun terlibat dalam banyak aspek regulasi fisiologis dalam tubuh.
Sistem imun berinteraksi secara intensif dengan sistem lain, seperti sistem endokrin
dan saraf . Sistem imun tubuh juga memainkan peran penting dalam perkembangan
serta dalam perbaikan jaringan dan regenerasi. Hormon, Vitamin D, Tidur dan istirahat,
Nutrisi dan diet, Perbaikan dan regenerasi.

2.6 Gangguan Pada Imunitas


Sistem imun merupakan struktur yang luar biasa efektif dalam hal
spesifisitas, indusibilitas, dan adaptasi. Namun, kegagalan pertahanan bisa juga terjadi
dan dibagi menjadi tiga kelompok besar: imunodefisiensi, autoimunitas, dan
hipersensitivitas.
 Imunodefisiensi
Imunodefisiensi terjadi ketika satu atau lebih komponen sistem imun
tidak aktif. Kemampuan sistem imun untuk merespons patogen berkurang pada anak-
anak dan orang tua, pada kasus orang tua disebabkan oleh imunosenesens. Di negara-
negara berkembang, penyebab melemahnya sistem imun yaitu obesitas,
penyalahgunaan alkohol, dan penggunaan obat. Namun, malnutrisi adalah penyebab
paling umum yang menyebabkan imunodefisiensi di negara berkembang. Diet dengan
protein yang tidak mencukupi dikaitkan dengan gangguan imunitas seluler, aktivitas
komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibodi IgA, dan produksi sitokin. Selain itu,
ketiadaan timus pada usia dini melalui mutasi genetik atau pengangkatan melalui
operasi mengakibatkan imunodefisiensi yang parah dan kerentanan tinggi terhadap
infek
 Autoimunitas
Autoimunitas adalah respons imun terlalu aktif termasuk fungsi imun
yang tidak berfungsi baik sehingga berakhir pada gangguan autoimun. Sistem imun
tidak mampu membedakan dengan tepat antara self dan non-self, sehingga dapat
menyerang bagian dari tubuh. Pada keadaan kondisi yang normal, banyak sel T dan
antibodi bereaksi dengan peptida self. Terdapat sel khusus (terletak di timus dan
sumsum tulang) yang menyajikan limfosit muda dengan antigen self yang dihasilkan
pada tubuh dan untuk membunuh sel yang dianggap antigen self, akhirnya mencegah
autoimunitas. Beberapa contoh penyakit autoimun yaitu artritis rematoid, diabetes
melitus tipe 1, penyakit Hashimoto, dan lupus eritematosus sistemik.
 Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan yang dapat
merusak jaringan tubuh sendiri. Hipersensitivitas terbagi menjadi empat kelas (Tipe I –
IV) berdasarkan mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif.
Hipersensitivitas tipe I atau reaksi segera atau reaksi anafilaksis sering dikaitkan
dengan alergi. Gejala dapat bervariasi dari ketidaknyamanan sampai kematian.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh IgE, yang memicu degranulasi sel mast dan
basofil saat IgE berikatan silang dengan antigen. Hipersensitivitas tipe II terjadi saat
antibodi mengikat antigen sel inang dan menandai mereka untuk penghancuran. Jenis
ini juga disebut hipersensitivitas sitotoksik, dan diperantarai oleh antibodi IgG dan IgM.
Kompleks imun (kompleks antara antigen, protein komplemen dan antibodi IgG dan
IgM) terkumpul pada berbagai jaringan yang memicu reaksi hipersensitivitas tipe III.
Hipersensitivitas tipe IV (dikenal juga sebagai hipersensitivitas diperantarai sel atau
hipersensitivitas jenis tertunda) biasanya membutuhkan waktu antara dua sampai tiga
hari untuk berkembang. Reaksi tipe IV ikut serta dalam berbagai penyakit autoimun dan
penyakit infeksi, tetapi juga dalam ikut serta dalam dermatitis kontak (misalnya
disebabkan oleh racun tumbuhan jelatang). Reaksi tersebut diperantarai oleh sel T,
monosit, dan makrofag.

2.7 Evolusi dan mekanisme lainnya


 Sistem imun adaptif dengan berbagai komponennya tampaknya muncul pada
vertebrata pertama, sementara invertebrata tidak menghasilkan limfosit atau
respons humoral berupa antibodi. Namun, banyak spesies yang memanfaatkan
mekanisme-mekanisme yang agaknya merupakan pendahulu imunitas pada
vertebrata. Sistem imun pun dimiliki oleh organisme yang paling sederhana,
misalnya bakteri menggunakan mekanisme pertahanan unik yang disebut sistem
modifikasi restriksi untuk melindungi diri dari patogen virus yang disebut
bakteriofag.
 Imunitas adaptif alternatif
Evolusi sistem imun adaptif terjadi pada nenek moyang vertebrata
berahang. Banyak molekul klasik pada sistem imun adaptif (seperti antibodi dan
reseptor sel T) hanya dimiliki vertebrata berahang. Namun, molekul berbeda yang
berasal dari limfosit ditemukan pada vertebrata tak berahang primitif, seperti ikan
lamprey dan remang. Hewan tersebut memiliki sejumlah molekul disebut reseptor
limfosit variabel, mirip reseptor antigen pada vertebrata berahang, yang dihasilkan dari
segelintir gen (satu atau dua). Molekul tersebut dipercaya berikatan pada patogen
dengan cara yang sama dengan antibodi dan dengan tingkat spesifisitas yang sama.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem imun atau sistem kekebalan adalah sel-sel dan banyak struktur
biologis lainnya yang bertanggung jawab atas imunitas, yaitu pertahanan pada
organisme untuk melindungi tubuh dari pengaruh biologis luar dengan mengenali dan
membunuh patogen. Sementara itu, respons kolektif dan terkoordinasi dari sistem imun
tubuh terhadap pengenalan zat asing disebut respons imun. Agar dapat berfungsi
dengan baik, sistem ini akan mengidentifikasi berbagai macam pengaruh biologis luar
seperti dari infeksi, bakteri, virus sampai parasit, serta menghancurkan zat-zat asing
lain dan memusnahkan mereka dari sel dan jaringan organisme yang sehat agar tetap
berfungsi secara normal. Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi
sistem imun. Imunologi awalnya berasal dari ilmu mikrobiologi. Imunitas pertama kali
diketahui saat terjadi wabah Athena pada 430 SM.

3.2 Saran
Saran sangat dibutuhkan untuk penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
sifatnya membangun agar dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi,
atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

O’Byrne KJ, Dalgleish AG (Aug 2001). Chronic immune activation and inflammation as
the cause of malignancy. British Journal of Cancer. 85 (4): 473-83.

Retief F, Cilliers L (1998). The Epidemic of Athens, 430-426 BC. S Afr Med J. 88 (1):
50-3.

Doherty, M; Robertson, M (2004-12). Some Early Trends in Immunology. Trends in


Immunology. 25 (12): 623-631.

Medzhitov R (Oct (2007). Recognition of Microorganisme and Activation of the Immune


Response. Nature. 449 (7164): 819-26.
Gambar dibawah ini adalah proses mengerjakan pembuatan tugas matakuliah kapita selekta.

Anda mungkin juga menyukai