Anda di halaman 1dari 8

Budidaya Perairan September 2013 Vol. 1 No.

3: 43 - 50

Identifikasi molekular bakteri patogen dan desain primer PCR

(Molecular identification of pathogenic bacteria and


PCR specific primer design)

Muh. Aris1), Sukenda2), Enang Harris2), M. Fatuhcri Sukadi3),


Munti Yuhana2)
1)
Dosen/Staf Pengajar di Program Studi Budidaya Perairan FPIK-UNKHAIR Ternate, Maluku Utara
2)
Dosen/Staf Pengajar di Departemen Budidaya Perairan FIKP- IPB, Bogor
3)
Peneliti di Pusat Riset Perikanan Budidaya (PRPB-DKP RI) Jakarta

Abstract

Management of healthy seaweed aquaculture and control of ice ice disease are
important component in seaweed production. To support the integrated prevention of ice ice
disease, information about genetic variation of bacterial pathogen and the availability of fast
and accurate detection are required. This study aimed to identify bacterial pathogen based on
gene sequence analysis 16S-rRNA, construction of specific PCR primer from gene sequent
analysis 16S-rRNA from bacteria that had the highest pathogenicity. Gene 16S rRNA of
bacteria that had the highest pathogenicity was amplificated with universal primer PCR
domain forward primer 63f (5’-CAG GCC TAA CAC ATG CAA GTC-3’) and reverse primer
1387r (5’-GGG CGG WGT GTA CAA GGC-3’). DNA Sequence obtained was compared to
data base European Bioinformatics Institute (EBI) BLASTN. Construction and feasibility
analysis of primer pair was done using primer 3 program. Two specific primer PCR were
successfully constructed namely aSEFM-F (5- CAGCCACACTGGAACTGAGA-3) and
aSEFM-R(5 TTAGCCGGTGCTTCTTCTGT -3). Both primer reacted optimum at 60°C and
produced 201 bp amplicon.
Keywords: pathogenicity, gene 16S-rRNA, PCR, primer, specific

PENDAHULUAN secara global maupun di wilayah


pengembangan produksi rumput laut di
Penyakit ice-ice dominan Indonesia. Beberapa hasil penelitian
menyerang rumput laut Kappaphycus menunjukkan bahwa penyebaran penyakit
alvarezii yang dibudidayakan dengan ice-ice disebabkan oleh serangan bakteri
gejala awal klinis yang ditimbulkan seperti patogen.
produksi lendir meningkat, permukaan Pengelolaan budidaya rumput laut
thallus kasar, thallus layu, terbentuknya yang sehat dan bebas penyakit ice-ice
bintik putih, dan pemutihan ujung thallus. merupakan komponen penting dalam
Serangan penyakit ice-ice yang lebih parah peningkatan produksi rumput laut,
dapat menyebakan thallus menjadi sehingga diperlukan teknik deteksi cepat
keropos dan akhirnya thallus yang dan akurat. Selama ini identifikasi dan
terinfeksi menjadi patah (rontok). deteksi bakteri patogen dilakukan
Penyebaran penyakit ice-ice pada pengamatan berdasarkan gejala klinis dan
lokasi budidaya rumput laut Kappaphycus riwayat kejadian penyakit di lokasi
alvarezii terjadi di seluruh pusat budidaya, serta karakteristik morfologi dan
pengembangan produksi rumput laut baik fisiologi. Walaupun metode ini sangat

43
Budidaya Perairan September 2013 Vol. 1 No. 3: 43 - 50

penting sebagai studi awal, namun cara ini berdasarkan hasil analisis sekuen gen 16S-
kurang dapat menentukan hubungan rRNA, mendesain primer PCR spesifik
filogenetis dan ekspresinya sangat dari sekuen gen 16S-rRNA dari bakteri
dipengaruhi oleh lingkungan (Suwanto yang memiliki tingkat patogenisitas
1994). Untuk mendukung pengendalian tertinggi. Penelitian ini diharapkan dapat
terpadu penyakit ice-ice pada budidaya menentukan strain bakteri patogen
rumput laut diperlukan informasi variasi penyebab penyakit ice-ice dan
genetik dari suatu bakteri patogen dan menghasilkan suatu primer spesifik PCR
penyediaan identifikasi dan deteksi secara untuk mendeteksi bakteri patogen
cepat, akurat dengan kepekaan tinggi. penyebab penyakit ice-ice pada rumput
Salah satu metode yang dapat laut.
digunakan untuk analisis deteksi bakteri
patogen dengan menggunakan teknik PCR. BAHAN DAN METODE
Teknik ini digunakan untuk menelaah Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri
profil DNA gen 16S-rRNA. Penggunaan secara Molekuler
16S-rRNA telah digunakan sebagai
parameter sistematik molekuler universal, Identifikasi isolat bakteri yang
representatif, dan praktis untuk memberikan tingkat patogenisitas tertinggi
mengkonstruksi kekerabatan filogenetik dilakukan berdasarkan hasil sekuensing
pada tingkat spesies. Salah satu faktor gen 16S-rRNA (Marchesi et al. 1998).
penting yang mempengaruhi kualitas Sekuensing gen 16S-rRNA terdiri dari
deteksi molekuler berbasis PCR ialah tahapan ekstraksi DNA, amplifikasi gen
pemilihan primer yang tepat (Rychlic 16S-rRNA dengan PCR (Suwanto 2002),
1995). Primer PCR merupakan dan sekuensing dengan mesin Sequenser.
oligonukleotida yang berperan sebagai Ekstraksi DNA
inisiasi amplifikasi molekul DNA.
Keberadaan primer PCR tersebut, maka Bakteri patogen yang mempunyai
gen target akan teramplifikasi sepanjang patogenisitas tertinggi ditumbuhkan dalam
reaksi PCR berlangsung. Analisis PCR media SWC Broth. Kultur diinkubasi
dengan primer spesifik merupakan langkah dalam shaker water bath pada suhu 28-
terbaik untuk kepentingan deteksi bakteri 29oC, 160 rpm selama 24 jam. Sel bakteri
patogen karena dapat menghasilkan dipanen dengan mengambil 1,5 ml
penentuan secara cepat keberadaan gen suspensi biakan bakteri lalu dimasukkan
target, cukup sensitif dan mudah ke dalam eppendorf dan disentrifugasi
digunakan dalam kegiatan rutin. dengan kecepatan 6000 rpm selama 5
Untuk merancang primer spesifik menit, selanjutnya supernatan dibuang.
tersebut diperlukan data sekuen gen yang Tahap ini diulang sebanyak tiga kali. Pellet
menyandikan protein sejenis dengan bakteri yang terbentuk diresuspensi
fragmen yang akan diamplifikasi melalui dengan 1 ml buffer TE 1X dan
PCR. Namun kajian spesifik kearah disentrifugasi 6000 rpm selama 2 menit.
analisis gen bakteri patogen dari thallus Setelah disentrifugasi supernatan yang ada
rumput laut yang terinfeksi penyakit ice- dibuang.
ice belum dilakukan. Berdasarkan hal Pellet yang tertinggal diresuspensi
tersebut di atas maka perlu dilakukan dengan 500 µl buffer TE 1X, selanjutnya
penelitian tentang pemanfaatan sekuen gen ditambahkan 100 µl SDS 10% dan 10 µl
16S rRNA untuk mendasain primer proteinase-K lalu dibolak balik perlahan-
spesifik PCR dalam deteksi cepat dan lahan hingga tercampur. Selanjutnya
akurat. ditambahkan 100 µl 5 M NaCl dan 100 µl
Kajian yang dilakukan bertujuan 10% CTAB/NaCl yang telah dihangatkan
untuk mengidentifikasi bakteri patogen terlebih dahulu (65 oC) selanjutnya

44
Budidaya Perairan September 2013 Vol. 1 No. 3: 43 - 50

diinkubasi selama 20 menit pada suhu 65 asetat EDTA (TAE):1 l dH20, 242 gr Tris-
o
C. Kemudian ditambahkan 500 µl basa, 37,2 gr Na2EDTA, 57,1 ml asam
campuran asetat glasial), dipanaskan dan setelah larut
phenol:chloroform:isoamylalcohol didinginkan sampai 50oC kemudian dituang
(25:24:1) lalu divortex hingga tercampur. pada cetakan gel. Wadah yang sudah berisi
Selanjutnya disentrifugasi selama 10 menit gel diberi buffer 1x TAE secukupnya
dengan kecepatan 10.000 rpm. kemudian memasukkan sampel hasil digesti
Cairan yang terbentuk yang berada pada sumur-sumur gel. Pada waktu
pada lapisan teratas dipindahkan ke dalam elektroforesis diberikan suatu marker atau
eppendorf yang lain lalu ditambahkan 0,6 penanda molekul DNA. Elektroforesis
volume isopropanol dingin. Tabung dilakukan pada kondisi 30-40 Volt dan 28 –
eppendorf dibolak balik secara perlahan 29 mA dan diakhiri setelah bromofenol
supaya tercampur selanjutnya selama 20 sampai tepi bawah gel.
menit disimpan pada suhu -20 oC.
Sekuensing dan Analisis Sekuen DNA
Kemudian disentrifugasi pada kecepatan
maksimal selama 5 menit pada suhu -4oC, Sekuensing dilakukan dengan
supernatan yang ada dibuang. Selanjutnya piranti Automated DNA Sequencer ABI
ditambahkan 1 ml etanol 70% dingin lalu PRISM 377 (Perkin Elmer Biosystem,
disentrifugasi lagi pada kecepatan USA). Cycle sequencing DNA template
maksimum selama 2 menit. Supernatan dilakukan menggunakan kit BigDye®
dibuang kembali, lalu disimpan pada suhu Ready Reaction Mix (Perkin Elmer
ruang hingga etanol menguap habis. Biosystem, USA). Campuran cycle
Sebelum disimpan DNA ditambahkan sequencing terdiri atas 1 µl (300-500 ng)
dengan elution buffer atau aquabidest steril DNA template, 3,2 pmol primer, 1 µl
serta dilakukan pengecekan dengan DMSO, 6 µl BigDye® Ready Reaction
elektroforesis. Mix, dan nuclease free water untuk
menggenapkan volume menjadi 20 µl.
Amplifikasi gen 16S-rRNA dengan PCR Proses cycle sequencing dilakukan pada
Primer yang digunakan adalah mesin sequencer dengan kondisi sebagai
primer universal untuk domain bakteri berikut: pre-PCR pada suhu 94oC selama 5
berupa forward primer 63f (5’-CAG GCC menit, denaturasi pada suhu 94oC selama
TAA CAC ATG CAA GTC-3’) dan 30 detik, annealing atau pelekatan primer
reverse primer 1387r (5’-GGG CGG WGT (50oC, 30 detik), elongasi atau
o
GTA CAA GGC-3’) (Marchesi et al. pemanjangan primer (72 C, 2 menit), dan
1998). Semua komponen reaksi dicampur post-PCR (72oC, 7 menit) dengan jumlah
ke dalam microtube dan dimasukkan ke siklus sebanyak 25 kali. Hasil cycle
dalam mesin PCR. Tahapan PCR terdiri sequencing tersebut selanjutnya
dari pre-denaturasi 94 oC, 2 menit; tahap dimurnikan dengan metode pengendapan
denaturasi 92 oC, 30 detik; tahap annealing etanol dan natrium asetat (Sambrook dan
55 oC, 30 detik, tahap elongasi 72 oC Russell 2001). Pada metode pemurnian ini
selama 1 menit. Proses PCR terdiri dari 30 campuran hasil cycle sequencing
siklus. Selanjutnya post PCR pada suhu 75 dimasukkan dalam tabung Eppendorf yang
o
C selama 20 menit dan tahap stop PCR berisi 50 µl 95% (v/v) etanol dan 2 µl 3M
pada suhu 4 oC. Hasil PCR disimpan pada natrium asetat pH 4.6 lalu divorteks.
suhu -20 oC atau langsung dielektriforesis Setelah diinkubasi pada suhu ruang selama
15 menit, campuran disentrifugasi selama
Elektroforesis
20 menit pada kecepatan 10000 rpm.
Gel elektroforesis disiapkan dengan Dengan hati-hati supernatan dibuang
0,8 % agarose dalam 1x buffer TAE (0,24 sampai habis menggunakan pipet mikro.
gr agarose dalam 30 ml 1xTAE) (50x tris- Pelet yang tertinggal dicuci dua kali

45
Budidaya Perairan September 2013 Vol. 1 No. 3: 43 - 50

dengan 70% (v/v) etanol. Untuk khusus) untuk daerah tersebut. Primer
menghilangkan sisa-sisa etanol, pelet biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan
divakum selama 10 menit. Pelet yang dirancang berdasarkan daerah konservatif
diperoleh selanjutnya dilarutkan dengan dalam genom tersebut. Makin panjang
loading buffer dan siap dilarikan pada gel primer, makin spesifik daerah yang
sekuensing. Sekuen DNA yang diperoleh diamplifikasi. Jika suatu kelompok
dibandingkan dengan sekuen data base organisme memang berkerabat dekat,
European Bioinformatics Institute (EBI) maka primer dapat digunakan untuk
BLASTIN 2.0 atau FASTA3 pada situs mengamplifikasi daerah tertentu yang
http://www.ebi.ac.uk. sama dalam genom kelompok tersebut.
Beberapa faktor seperti konsentrasi
Perancangan Primer Spesifik
DNA, sebagai contoh, ukuran panjang
Data sekuen bakteri spesifik primer, komposisi basa primer, konsentrasi
didapatkan dari isolat bakteri yang ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus
mempunyai tingkat patogenisitas tertinggi. dikontrol dengan hati-hati agar dapat
Terhadap hasil sekuen tersebut dilakukan diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan
perancangan primer. Perancangan dan baik. Keberhasilan teknik ini lebih
analisis kelayakan pasangan primer yang didasarkan kepada kesesuaian primer dan
diperoleh dilakukan dengan menggunakan efisiensi dan optimasi proses PCR. Primer
program Primer 3 pada situs yang tidak spesifik dapat menyebabkan
http://www.justbio.com. Primer hasil teramplifikasinya daerah lain dalam
rancangan dipesan ke perusahaan Research genom yang tidak dijadikan sasaran atau
Biolabs Singapura. sebaliknya tidak ada daerah genom yang
Optimalisasi Kondisi Suhu Annealing teramplifikasi. Optimasi PCR juga
PCR diperlukan untuk menghasilkan karakter
yang diinginkan. Optimasi ini menyangkut
Setelah oligonukleotida primer suhu annealing DNA dalam mesin PCR.
diperoleh, hal pertama yang dilakukan Suhu denaturasi yang rendah dapat
adalah menentukan kondisi optimum PCR menyebabkan belum terbukanya DNA utas
untuk primer spesifik khususnya terhadap ganda sehingga tidak dimungkinkan
suhu annealing. Suhu annealing yang diuji terjadinya polimerisasi DNA baru. Proses
adalah 54oC, 56 oC, 58 oC, 60oC, 62 oC penempelan primer pada utas DNA yang
sedangkan suhu reaksi lainnya mengikuti sudah terbuka memerlukan suhu optimum,
prosedur. sebab suhu yang terlalu tinggi dapat
Untuk penentuan kondisi optimum menyebabkan amplifikasi tidak terjadi atau
PCR tersebut, setiap reaksi PCR sebaliknya suhu yang terlalu rendah
digunakan sampel positif berupa primer menyebabkan primer menempel pada sisi
bakteri patogen, kontrol negatif berupa lain genom yang bukan sisi homolognya,
aquabides dan reaksi tanpa menggunakan akibatnya dapat teramplifikasi banyak
primer. Suhu reaksi PCR yang daerah tidak spesifik dalam genom
memperlihatkan pita yang jelas dan tersebut. Suhu penempelan (annealing) ini
spesifik pada ukuran 201 bp pada kontrol ditentukan berdasarkan primer yang
positif dan sampel, ditetapkan sebagai digunakan yang dipengaruhi oleh panjang
kondisi optimum PCR, dan digunakan dan komposisi primer. Suhu penempelan
untuk reaksi PCR selanjutnya. ini sebaiknya sekitar 5°C di bawah suhu
leleh. Secara umum suhu leleh (Tm)
dihitung dengan rumus Tm = 4(G+C) +
HASIL DAN PEMBAHASAN 2(A+T)°C (Rybicky and Purver 1996).
Amplifikasi ini membutuhkan Berikut ini disajikan contoh hasil
primer spesifik (sekuen oligonukelotida amplifikasi gen 16S-rRNA pada gel

46
Budidaya Perairan September 2013 Vol. 1 No. 3: 43 - 50

elektroforesis dari bakteri dengan primer ACACTGGAACTGAGACACGGTCCAGACTCC


domain bakteri forward 63f (5’-CAG GCC TACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCA
TAA CACATG CAA GTC) dan reverse CAATGGGCGCAAGCCTGATGCAGCCATGCC
1387r (5’-GGG CGG WGT GTA CAA
GCGTGTATGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAA
GGC) (Marchesi et al. 1998).
Pemilihan DNA ribosom untuk AGTACTTTCAGTCGTGAGGAAGGCGGTCGT
tujuan identifikasi organisme didasarkan TAATAGCGGCGTTGTTTGACGTTAGCGACA
pada: Secara fungsional dan evolusioner GAAGAAGCACCGGCTAACTCCGTGCCAGC
memiliki sifat homolog dari berbagai
AGCCGCGGTAATACGGAGGGTGCGAGCGT
organisme yang berbeda, molekul purba
dengan struktur dan sekuen nukelotida TAATCGGAATTACTGGGCGTAAAGCGCATG
sangat konservatif, sangat banyak di dalam CAGGTGGTTTGTTAAGTCAATGTGAAAGCC
sel, cukup besar untuk memungkinkan uji CGGGGCTCAACCTCGGAATAGCATTTGAAA
statistik perbedaan-perbedaannya satu
CTGGCAGACTAGAGTACTGTAGAGGGGGG
sama lain. Hasil elektroforesis gel
amplifikasi gen 16S-rRNA disajikan pada TAGAATTTCAGGTGTAGCGGTGAAATGCGT
Gambar 1. AAGATCTGAAGGAATACCGGTGGCGAAGG
M 1 2 3 4 5 6 CGGCCCCCTGGACAATACTGACCTCAATGC
7 8 9 10 11 GAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGAT
ACCTGGTAGTCCCCCGTAAACGATGTCTAC
TTGGAGAGCGGAGGTTGTGGCCTTGAGCCG
TGGCTTTCGGAGCTAACGCGTTAAGTAGAC
CGCCTGGGGAGTACGGTCGCAAGATTAAA
1500
ACTCAAATGAATTGACGGGGGCCCGCACA
AGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGATGC
AACGCGAAGAACCTTACCTACTCTTGACAT
CCAGAGAACTTTCCAGAGATGGATTGGTGC
CTTCGGGAACTCTGAGACAGGTGCTGCATG
Gambar 1 Hasil elektroforesis gel
amplifikasi gen 16S-rRNA. M: Marker 1 : GCTGTCGTCAGCTCGTGTTGTGAAATGTTG
PNG K, 2 : Vibrio alginolyticus PNGK 1, 3 : GGTTAAGTCCCGCAACGAGCGCAACCCTTA
PNGK 2, 4 : PNG K3, 5 : PNG H1, 6 : PNG
TCCTTGTTTGCCAGCGAGTAATGTCGGGAA
H2, 7 : PRB 4, 8 : PRB 5, 9 : PRB 6, 10 :
PRB7, 11 : Kontrol Negatif CTCCAGGGAGACTGCCGGTGATAAACCGG
AGGAAGGTGGGGACGACGTCAAGTCATCA
Sekuen Gen 16S-rRNA Sampel Bakteri TGGCCCTTACGAGTAGGGCTACACACGTGC
Vibrio alginolyticus PNGK 1 TACAATGGCGCATACAGAGGGCGGCCAAC
TTGCGAAAGTGAGCGAATCCCAAAAAGTG
GACCTTCGGGGACGATACGGCGTCGAGCG
CGTCGTAGTCCGGATTGGAGTCTGCAACTC
GCGGACGGGTGAGTAATGCCTAGGAAATT
GACTCCATGAAGTCGGAATCGCTAGTAATC
GCCCTGATGTGGGGGATAACCATTGGAAAC
GTGGATCAGAATGCCACGGGAAGCCC
GATGGCTAATACCGCATGATGCCTACGGGC
CAAAGAGGGGGACCTTCGGGCCTCTCGCGT Sekuensing merupakan salah satu
CAGGATATGCCTAGGTGGGATTAGCTAGTT cara untuk mengidentifikasi suatu gen.
Identitas suatu gen yang telah diketahui
GGTGAGGTAAGGGCTCACCAAGGCGACGA
sekuennya dapat ditentukan dengan
TCCCTAGCTGGTCTGAGAGGATGATCAGCC membandingkan dengan data sekuen yang

47
Budidaya Perairan September 2013 Vol. 1 No. 3: 43 - 50

terdapat pada Genbank. Menurut


Baxevanis dan Oullete (2001) diketahui OLIGO start len
ada tiga gene bank di seluruh dunia, yaitu tm gc% any 3' seq
LEFT PRIMER 233 20
European Bioinformatics Institute atau 60.02 55.00 3.00 1.00
EBI (http://www.ebi.ac.uk), National CAGCCACACTGGAACTGAGA
Centre for Biotechnology RIGHT PRIMER 433 20
Information/NCBI 60.02 50.00 4.00 0.00
TTAGCCGGTGCTTCTTCTGT
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov), dan DNA SEQUENCE SIZE: 1301
Data Bank of Japan atau DDBJ
(http://www.ddbj.nig.ac.jp). PRODUCT SIZE: 201, PAIR ANY COMPL:
Seluruh fragmen 1246 pasang 4.00, PAIR 3' COMPL: 3.00
basa dari hasil sekuen dengan primer
1
universal domain bakteri forward 63f dan GACCTTCGGGGACGATACGGCGTCGAGCGGCGGA
reverse 1387r. Hasil analisis sekuensing CGGGTGAGTAATGCCTAGGAAATTGC
gen melalui situs National Centre for
Biotechnology Information/NCBI BLAST- 61
CCTGATGTGGGGGATAACCATTGGAAACGATGGC
N 2.0 menunjukkan adanya kemiripan TAATACCGCATGATGCCTACGGGCCA
dengan bakteri Vibrio alginolyticus strain
CIFRI V-TSB1 (nomor aksesi 121
gb|JF784015.1|) dengan tingkat kemiripan AAGAGGGGGACCTTCGGGCCTCTCGCGTCAGGAT
99% dengan 1346 nukleotida. ATGCCTAGGTGGGATTAGCTAGTTGG

181
TGAGGTAAGGGCTCACCAAGGCGACGATCCCTAG
CTGGTCTGAGAGGATGATCAGCCACA

Desain Primer PCR >>>>>>>>


241
Primer-primer PCR dirancang CTGGAACTGAGACACGGTCCAGACTCCTACGGGA
menggunakan program Primer 3 pada GGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAAT
>>>>>>>>>>>>
situs http://www.justbio.com berdasarkan 301
sekuen DNA bakteri Vibrio alginolyticus GGGCGCAAGCCTGATGCAGCCATGCCGCGTGTAT
PNGK 1 (patogen) terhadap rumput laut GAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGTA
Kappaphycus alvarezii dengan
mempertimbangkan beberapa kondisi. 361
CTTTCAGTCGTGAGGAAGGCGGTCGTTAATAGCG
Perancangan primer yang baik harus GCGTTGTTTGACGTTAGCGACAGAAG
mempertimbangkan beberapa peraturan
tertentu, yakni memperlihatkan besarnya <<<<<<<
amplikon, panjang primer, titik leleh atau 421
AAGCACCGGCTAACTCCGTGCCAGCAGCCGCGGT
Tm, dan tidak membentuk struktur
AATACGGAGGGTGCGAGCGTTAATCG
sekunder seperti dimer, cross dimer, atau <<<<<<<<<<<<<
hairpin (Dieffenbach dan Dveksler 1995). 481
Dua primer yang berhasil dirdesain GAATTACTGGGCGTAAAGCGCATGCAGGTGGTTT
yaitu: aSEFM-F (5’- GTTAAGTCAATGTGAAAGCCCGGGGC
CAGCCACACTGGAACTGAGA -3’) 541
dan aSEFM-R (5’- TCAACCTCGGAATAGCATTTGAAACTGGCAGACT
TTAGCCGGTGCTTCTTCTGT -3’) AGAGTACTGTAGAGGGGGGTAGAATT
(Gambar 2). Primer aSEFM-F dan
aSEFM-R memiliki titik leleh 60,2°C, 601
TCAGGTGTAGCGGTGAAATGCGTAAGATCTGAAG
amplifikasi menggunakan primer aSEFM- GAATACCGGTGGCGAAGGCGGCCCCC
F dan aSEFM-R ini menghasilkan
amplikon berukuran 201 bp.

48
Budidaya Perairan September 2013 Vol. 1 No. 3: 43 - 50

661 sehingga tidak menimbulkan masalah saat


TGGACAATACTGACCTCAATGCGAAAGCGTGGGG PCR, seperti banyaknya pita-pita non
AGCAAACAGGATTAGATACCTGGTAG
spesifik.
721
TCCCCCGTAAACGATGTCTACTTGGAGAGCGGAG Kondisi Optimum PCR dengan Primer
GTTGTGGCCTTGAGCCGTGGCTTTCG
aSEFM-F dan aSEFM-R
781
GAGCTAACGCGTTAAGTAGACCGCCTGGGGAGTA Setelah oligonukleotida primer
CGGTCGCAAGATTAAAACTCAAATGA diperoleh maka hal utama yang dilakukan
adalah mengetahui kondisi optimum reaksi
841 PCR yang melibatkan primer tersebut.
ATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGT
GGTTTAATTCGATGCAACGCGAAGAA Setelah diuji beberapa kondisi suhu
annealing, diperoleh suhu annealing 60 oC
901 yang menghasilkan pita spesifik 201 bp
CCTTACCTACTCTTGACATCCAGAGAACTTTCCA secara jelas pada kontrol positif dan
GAGATGGATTGGTGCCTTCGGGAACT
sampel Vibrio alginolyticus PNGK 1
961 (Gambar 3). Oleh karena itu untuk reaksi
CTGAGACAGGTGCTGCATGGCTGTCGTCAGCTCG selanjutnya digunakan kondisi running
TGTTGTGAAATGTTGGGTTAAGTCCC PCR adalah: Pra denaturasi pada suhu 94
o
C selama 5 menit, denaturasi pada suhu
1021
GCAACGAGCGCAACCCTTATCCTTGTTTGCCAGC 94 oC selama 30 detik, annealing primer
GAGTAATGTCGGGAACTCCAGGGAGA pada suhu 60 oC selama 30 detik, sintesis
72 oC selama 2 menit, post PCR pada suhu
1081 72 oC selama 7 menit dan reaksi PCR
CTGCCGGTGATAAACCGGAGGAAGGTGGGGACGA dihentikan pada suhu 4 oC. Jumlah siklus
CGTCAAGTCATCATGGCCCTTACGAG
yang dilakukan sebanyak 25 kali.
1141
TAGGGCTACACACGTGCTACAATGGCGCATACAG
AGGGCGGCCAACTTGCGAAAGTGAGC

1201
GAATCCCAAAAAGTGCGTCGTAGTCCGGATTGGA 201
GTCTGCAACTCGACTCCATGAAGTCG b
1261
GAATCGCTAGTAATCGTGGATCAGAATGCCACGG
GAAGCCC

Gambar 2 Posisi primer aSEFM-F dan


aSEFM-R pada sekuen DNA bakteri Gambar 3 Hasil optimasi suhu annealing
Vibrio alginolyticus PNGK 1. reaksi PCR dengan primer spesifik pada
suhu 60 0C. M : Marker 100 bp, 1:
Analisis kelayakan primer Pseudomonas cepacia, 2: Pseudomonas
menggunakan program Oligocalculator diminuta, 3: Plesiomonas shigelloides 4:
Properties Flavobacterium menginosepticum 5-6 dan
(www.basic.nwu.edu/biotools/oligocal.ht 8: Vibrio spp, 7: Vibrio alginolyticus
ml) menunjukkan kedua primer tersebut PNGK 1 9 : Kontrol negatif.
memiliki suhu pelekatan yang sama, tidak
terdapat struktur jepit rambut (loop Secara garis besar PCR terdiri dari
hairpin) dan struktur dimer. Analisis tiga langkah yang dilakukan secara
primer perlu dilakukan untuk menguji bersamaan yaitu: (1) denaturasi awal, yaitu
validitas pasangan primer yang dipilih pemanasan awal pada suhu 95°C untuk

49
Budidaya Perairan September 2013 Vol. 1 No. 3: 43 - 50

mendenaturasi kompleks DNA secara DAFTAR PUSTAKA


komplit.(2) Penempelan primer (primer
annealing) pada temperature 55-72°C, (3) Suwanto A. 1994. Pulsed-field gel
Polimerisasi untai baru DNA oleh DNA electrophoresis: A revolution in
polimerase, yaitu secara normal dilakukan microbial genetic. Aspac. J. Mol.
pada temperatur 72°C (merupakan Biotechnol. 2:78-85.Dieffenbach
temperatur optimal Taq DNA polimerase). dan Dveksler 1995).
Jumlah siklus yang diperlukan oleh Rychlic W. 1995. Selection of primer for
sebagian besar PCR adalah 25-40 siklus polymerase chain reaction. Mol
(Manheim 1995). biotechnol 3:129-134.
Marchesi JR, Sato T, Weightman AJ,
KESIMPULAN Martin TA, Fry JC, Hiom SJ, Wade
Berdasarkan hasil analisis WG. 1998. Design and evaluation of
sekuensing dan BLAST-N diperoleh useful bacterium-specific PCR
susunan nukleotida dengan panjang 1301 primers that amplify genes coding
pasang basa dengan tingkat kemiripan for bacterial 16S rRNA. Appl
99% bakteri Vibrio alginolyticus strain Environ. Microbiol 64:795-9.
CIFRI V-TSB1 dan berhasil didesain dua Suwanto A. 2002. Complication of
primer spesifik PCR dari sekuen gen 16S- Practical Manual. Biotrop Training
rRNA Vibrio alginolyticus PNGK 1 yakni Course in Microbial Biodiversity.
aSEFM-F (5- Rybicki EP, Purves M. 1996. Enzyme-
TTAGCCGGTGCTTCTTCTGT -3) dan assisted immunoelectroblotting
aSEFM-R (5- (IEB or western blotting). Di
CAGCCACACTGGAACTGAGA -3). dalam: Coyne VE, James MD,
Kedua primer ini bereaksi optimum pada Reid SJ, Rybicki EP (ed)
suhu 60oC dengan menghasilkan amplikon Molecular Biology Techniques
berukuran 201 pasang basa. Manual. Ed ke-3. Cape Town:
Departemen of Microbiology
TERIMA KASIH University of Cape Town.
Teman-teman di Laboratorium
Kesehatan Ikan (LKI) dan Laboratorium
Bioteknologi Molekular Ikan Departemen
Budidaya Perairan (BDP) Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

50

Anda mungkin juga menyukai