Anda di halaman 1dari 25

JAMUR YANG BERSIFAT ZOONOSIS PADA MANUSIA DAN HEWAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Makalah Mikrobiologi Perairan


Disusun oleh :
Kelompok 2
Perikanan B
Ayu N F
Indah Nurwulan
Angga Nugraha
Pevi Nuryanti
Satrio Bagas
Novitasari S
Dea Hari Utari
Raka Setiawan Putra
Mochammad Fadhil
Ridwan Fadil Arif
Anggi Permana
Siti Aliyah
Santi Riyanti
Gungun Cahyadi

230110130079
230110130087
230110130088
230110130098
230110130107
230110130
230110130116
230110130118
230110130120
230110130134
230110130136
230110130144
230110130145
230110130151

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
JATINANGOR
2014

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Zoonosis merupakan penyakit hewan yang dapat menular ke manusia,
menimbulkan gangguan kesehatan, bahkan menyebabkan kematian. Sekurangkurangnya sejak abad 23 SM, pada zaman Babilonia, orang telah mulai menyadari
adanya penyakit zoonosis ini. Sejak saat itu mulai disadari pula bahwa
pengendalian penyakit ini dapat berhasil, bila dalam pelaksanaannya diarahkan
pada rantai penularan yang bukan saja pada lingkungan hewan dan habitatnya,
tetapi juga pada manusia, baik sebagai sasaran akhir maupun sasaran lanjutan.
Jenis penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia ini, untuk pertama
kali diberi istilah zoonosis oleh Virchow. Asal penyakit bisa dari hewan ke
manusia dan bisa pula dari manusia ke hewan. Penyakit yang menular dari hewan
ke manusia dikelompokkan sebagai penyakit anthropozoonosis dan sebaliknya
dari manusia ke hewan disebut zooanthroponosis. Karena pembatasan kedua
istilah tersebut sering tidak dapat dilakukan dengan tegas, istilah zoonosis tetap
digunakan, baik untuk penyakit yang menular dari hewan ke manusia, atau
sebaliknya yang menular dari manusia ke hewan.
Agen penyakit yang menyebabkan penyakit zoonosis dapat disebabkan oleh
berbagai mikroorganisme seperti virus, bakteria, rickkettsia, clamedia, protozoa,
dan sebagainya. Penyakit zoonosis dapat pula disebabkan oleh organisme yang
lebih tinggi lagi tingkatannya, misalnya parasit cacing, beberapa jenis jamur dan
oleh beberapa ektoparasit.
1.2 Tujuan
1. Untuk

dapat

mengetahui

etiologi

ringworm,

aspergillosis

dan

histoplasmosis
2. Untuk dapat mengetahui gejala klinis ringworm, aspergillosis dan
histoplasmosis pada manusia dan hewan
3. Untuk dapat mengetahui pengobatan ringworm, aspergillosis dan
histoplasmosis pada manusia dan hewan
4. Untuk dapat mengetahui pencegahan ringworm, aspergillosis dan
histoplasmosis pada manusia dan hewan

1.3 Manfaat
1. Dapat mengetahui etiologi ringworm, aspergillosis dan histoplasmosis
2. Dapat mengetahui gejala klinis ringworm, aspergillosis dan histoplasmosis
pada manusia dan hewan
3. Dapat mengetahui pengobatan ringworm, aspergillosis dan histoplasmosis
pada manusia dan hewan
4. Dapat mengetahui pencegahan ringworm, aspergillosis dan histoplasmosis
pada manusia dan hewan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Zoonosis

Definisi zoonosis menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health


Organization/WHO) adalah suatu penyakit yang secara alamiah dapat menular di
antara hewan vertebrata dan manusia. Penyakit pada hewan dapat ditularkan
langsung dan tidak langsung atau melaui produk hewan seperti daging, susu, dan
telur termasuk penyakit yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi makanan
(foodborne disease) dan penyakit yang disebabklan masuknya agen pathogen ke
dalam saluran pencernaan (food infection) serta food intoxination. Penyakit yang
tergolong dalam zoonosis terdapat lebih kurang 150 jenis dengan penyebaran
penyakit tersebar ke seluruh penjuru dunia dan yang sering ditemukan di
Indonesia seperti antraks, rabies, leptospirosis, brucellosis, toxoplasmosis,
tuberkulosis, salmonellosis, avian Influenza dan lain-lain.
2.2

Jamur Yang Menyebabkan Zoonosis Pada Hewan Dan Manusia

2.2.1. Ringworm
Jamur yang menyebabkan zoonosis pada manusia yang sangat terkenal adalah
jamur penyebab penyakit Ringworm.Ringworm adalah penyakit kulit yang
bersifat superficial, meliputi lapisan keratin kulit dan apediksnya (rambut, kuku,
dan sayap), yang disebabkan oleh golongan kapang (Soeharsono, 2002). Penetrasi
kapang pada lapisan kulit dapat menembus semua lapisan kulit, namun umumnya
terbatas pada stratum korneum. Menurut predileksinya pada manusia, ringworm
dibagi menjadi ringworm kulit kepala (tinea capitis), ringworm lipat paha (tinea
cruris), ringworm badan (tinea corporis), ringworm kuku (tinea unguium) dan
ringworm kaki (tinea pedis).
Meskipun menggunakan worm (cacing), penyakit ini tidak kaitannya sama
sekali dengan cacing, sedangkan untuk nama ring (cincin) dikaitkan dengan
bentuk perubahan pada kulit yang diserang berbentuk seperti lingkaran atau
cincin. Berhubung ringworm secara spesifik disebabkan oleh kelompok kapang
berbentuk miselium dan bersifat keratofilik, maka lebih banyak ahli memilih
istilah dermatofitosis dibandingkan dengan dermatomikosis yang meliputi semua
infeksi jamur pada kulit. Meskipun penyakit ini tidak menimbulkan penyakit yang
parah pada manusia, tetapi dari segi kecantikan akan sangat mengganggu,

terutama bila daerah yang terserang berada di sekitar wajah, dan dari segi
kenyamanan menimbulkan rasa gatal bagi penderitanya.
a.

Etiologi Ringworm
Etiologi

pencetusnya.

merupakan

studi

Dermatofitosis

mengenai

penyebab

disebabkan

oleh

penyakit
kapang

berserta
dari

genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Ketiga genus ini disebut


dermatofita yang termasuk ke dalam kelompok patogenik keratinofilik karena
ketiga genus ini memiliki kemampuan untuk mencerna komplek protein keratin
pada bagian epidermis, rambut/bulu, ataupun kuku.
Genus Microsporum dan Trichophyton bersifat patogen pada hewan dan
manusia, sedangkan untuk Epidermophyton bersifat patogen pada manusia.
Contoh beberapa spesies dari genus Microsporum yang menyebabkan penyakit
zoonotik, yaitu:
1. Microsporum canis,
2. Microsporum gallinae,
3. Microsporum gypseum,
4. Microsporum equinum,
5. Microsporum nanum
6. Microsporum persicolor.
Contoh untuk genus Trichophyton, yaitu:
1. Trichophyton equinum,
2. Trichophyton mentagrophytes,
3. Trichophyton simii,
4. Trichophyton verrucosum,
5. Trichophyton tonsurans,
6. Trichophyton rubrum,
7. Trichophyton violaceum.
Contoh untuk genus Epidermophyton, yaitu:
1. Epidermophyton floccosum
2. Epidermophyton stockdaleae

Dermatofita bersifat saprofit pada lapisan keratin hewan dan dapat


menginvasi pada jaringan epidermis dan lemak. Masa inkubasi dermatofitosis
adalah 2 3 minggu. Spora ringworm tahan lama dalam kandang dan bebas di
tempat-tempat hewan. Koloni kapang dapat hidup dalam koloni tinja yang
setengah kering. Kapang tetap virulen di luar tubuh misalnya di tanah, jerami,
kayu, terlebih jika ada bahan keratinnya. M. canis tetap hidup pada rambut yang
diletakkan pada suhu kamar selama 323 422 hari.
Kapang ini umumnya tidak dapat tumbuh lebih dalam dibawah jaringan
kulit, ini diduga karena adanya faktor penghambat yang berada dalam serum
darah atau cairan tubuh. Kapang hidup di permukaan tubuh yang mengalami
keratinisasi seperti tanduk dari kulit, rambut, dan kuku, tidak bersifat menyebar
dan tidak dapat hidup dalam jaringan yang masih hidup. Demikian pula tidak
dapat hidup dalam jaringan yang mengalami peradangan yang berat.

Gambar 1. Microsporum canis (Macabredaisy, 2009)

Gambar 2. Epidermophyton floccosum (Wikipedia, 2009)

Gambar 3. Microsporum gypseum (National Geographic, 1997)

Taksonomi

Microsporum

Trichophyton

Epidermophyton

Kingdom

Fungi

Fungi

Fungi

Divisi

Ascomycota

Ascomycota

Ascomycota

Class

Eurotiomycota

Eurotiomycota

Eurotiomycota

Order

Onygenales

Onygenales

Onygenales

Family

Arthrodermataceae

Arthrodermataceae

Arthrodermataceae

Genus

Microsporum

Trichophyton

Epidermophyton

Spesies

Microsporum sp.

Trichophyton sp.

Epidermophyton sp.

Tabel 1. Taksonomi kapang penyebab ringworm (Wikipedia, 2010)


b.

Penyebaran
Berdasarkan habitatnya, kapang penyebab ringworm dikelompokkan

menjadi: kapang geofilik (di tanah), zoofilik (pada hewan), dan anthropofilik
(pada manusia). Ketiga kelompok jenis kapang ini dapat menular antar hewan,
antar manusia, dari tanah ke manusia, dan dari hewan ke manusia ataupun
sebaliknya.
Penularan penyakit dapat terjadi secara langsung yaitu infeksi penyakit
melalui kontak dengan arthrospora (spora aseksual dari hifa pada fase parasit) atau
konidia (spora seksual atau aseksual pada fase bebas hidup di lingkungan). Infeksi
umumnya dimulai dari rambut yang tumbuh atau pada permukaan kulit.

Dermatofita tidak berkembang pada rambut yang tua, karena nutrisi esensial yang
diperlukan untuk perkembangannya sudah tidak ada atau sangat sedikit sekali.
Hifa tersebar di rambut dan keratin kulit, akhirnya infeksi arthrospora
berkembang.
Penularan penyakit ini dapat melalui kontak langsung ataupun tidak langsung
antara hewan penderita dengan hewan sehat meskipun persentuhan tersebut tidak
selalu menimbulkan penyakit. Kemungkin hal ini disebabkan karena adanya
persaingan antara kapang itu sendiri dengan organisme yang sudah menetap lebih
dahulu pada kulit.
Perkembangan penyakit tergantung kepada interaksi antara induk semang
dengan kapang tersebut, sehingga perubahan pada kulit tidak selalu berbentuk
cincin atau lingkaran. Terutama jika diikuti dengan infeksi sekunder. Penularan
dari hewan ke manusia atau sebaliknya juga kadang kadang terjadi terutama
oleh M. canis. Peralatan untuk perawatan hewan, sadel dan pakaian kuda sering
juga sebagai penyebab penular penyakit.
Penularan secara tidak langsung dapat terjadi melalui manajemen
pemeliharaan, hewan pengerat misalnya rodensia, dan serangga misalnya caplak.
Penularan dermatofita seperti M. nanum dan M. gypseum umumnya diperoleh
secara langsung dari tanah daripada dari inang yang lain. Kapang dapat bertahan
lama di lingkungan, pada hewan carrier, furniture, karpet, dan debu. Selain itu
juga kapang dapat ditemukan pada bulu hewan atau lingkungan sekalipun hewan
tersebut tidak menunjukkan gejala. Penularan dermatofita zoofilik dapat terjadi
antar hewan yang terinfeksi dengan manusia. Sedangkan untuk dermatofita
anthropofilik antara manusia yang telah terinfeksi ke hewan jarang terjadi.

c. Gejala Klinik Yang Disebabkan


Pada Hewan
Ringworm pada anjing dan kucing menimbulkan lesi pada kulit cukup
spesifik, yaitu berbentuk bulat dengan pinggiran berwarna merah yang dapat

melus dengan cepat dan dapat mencapai diameter 1- 4 cm. biasanya dijumpai pada
telinga, daerah muka terutama di sekitar moncong, perut bagian bawah dan kaki.
Ditemukan pula bentuk yang dikenal dengan erythematous plaque, pada bentuk
ini kulit sedikit terangkat dan menimbulkan keropeng dan di bawah keropeng ini
sering terjadi infeksi bacteria. Plaque semacam ini disebut kerion dan dapat lepas
sendiri. Bulu yang terserang mudah patah, sehingga akan tampak sebagai bulu
yang menempel pendek pada kulit. Anjing umumnya mengalami lesi yang lebih
parah daripada kucing.
Ringworm pada kuda, lesi umumnya kering, menonjol (terangkat), bersisik,
terutama terdapat pada daerah pelana, tali pelana, dan quarter belakang. Lesi ini
dapat berlanjut menjadi tukak (ulcus) yang disertai eksudat purulen, sehingga
menyebabkan sejumlah rambut bertaut.
Ringworm umumnya terjadi pada sapi muda dengan morbiditas mencapai 40
%. Apabila sapi tersebut ditempatkan pada kandang terbatas dengan jumlah
populasi yang banyak (overcrowded), maka kesempatan penularan secara kontak
akan sangat besar. Lesi diawali dengan lesi berbentuk bulat, agak bersisik disertai
alopesia, dan biasanya menyebar. Lesi-lesi yang berdekatan dapat menyatu dan
ditutupi dengan kerak tebal yang menempel dengan kuat pada lapisan kulit di
bawahnya. Apabila kerak ini dilepas akan keluar darah dan meninggalkan bekas
berwarna merah. Penyembuhan spontan dapat terjadi pada sapi. Bekas lesi
Nampak kering, mengelupas, dan alopesia. Ringworm pada sapi umumnya
berkaitan dengan masalah kebersihan kandang dan kebersihan dari sapi itu sendiri
yang tidak terjaga dengan baik.

Gambar 4. Ringworm pada kucing


Manusia
Manusia dapat tertular melalui kontak secara langsung maupun tidak
langsung terutama dengan hewan yang telah terinfeksi. Kepekaan seseorang
terhadap ringworm akan berbeda-beda. Sebagai contoh, apabila dalam satu
keluarga mempunyai kontak langsung dengan hewan yang tertular ringworm,
belum tentu semua anggota keluarga akan ikut tertular. Suasana panas dengan
kulit yang lembab atau basah akan sangat mendukung terjadinya penularan.
Manusia yang telah tertular ringworm akan mengalami kegatalan di sekitar
tempat kapang tersebut berada. Infeksi kapang ini umumnya menyerang jaringan
keratin seperti rambut, kuku dan lapisan kulit luar, kapang ini biasanya berhenti
pertumbuhannya jika berkontak dengan sel hidup atau daerah yang mengalami
peradangan.
Tempat tumbuhnya umumnya pada tangan, kaki, leher, namun dapat juga
terjadi di bagian tubuh yang lainnya terutama yang bersifat lembab. Ringworm
dapat terjadi pada kulit kepala yang berambut dan menimbulkan kebotakan
bebentuk lingkaran, dari segi kecantikan atau keindahan, kebotakan ini tentu akan
sangat mengganggu. Perubahan pada kulit biasanya ditandai dengan peradangan
yang paling parah berada di tepi, dengan warna kemerahan berbentu lingkaran
dengan diameter 2 3 cm (jumlahnya bisa lebih dari satu) dan terkadang
melepuh. Akibat dari efek gatal ini, maka manusia yang terserang cenderung akan
menggaruk bagian tersebut. Apabila kulit yang digaruk telah lecet, maka akan
terjadi infeksi ikutan oleh bakteri. Umumnya dermatofita mati di bagian tengah
dan meninggalkan bentuk sirkuler.
d.

Pencegahan dan Pengendalian


Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga kesehatan hewan

dan kebersihan kulit hewan serta dilakukannya vaksinasi. Hewan yang positif
terserang ringworm sebaiknya diisolasi untuk mengurangi kesempatan kontak
dengan manusia ataupun hewan yang lainnya, kecuali yang ditugaskan untuk
merawat hewan tersebut. Peralatan yang digunakan untuk merawat hewan,

misalnya sikat dan tali direndam dalam air panas atau diganti dengan yang baru
apabila hewan telah sembuh.
Ringworm jenis tertentu bisa sembuh dengan sendirinya akan tetapi
kebanyakan perlu diobati dengan bahan kimia. Pengobatan dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu dengan olesan atau dimasukkan ke dalam mulut. Secara
umum, pengobatan dapat menggunakan obat-obat yang mengandung lemak,
yodium, sulfa, atau asam salisilat. Untuk perubahan kulit yang masih baru dapat
menggunakan asam boraks 2 5%, kalium permanganate 1:5000. Untuk lukaluka menahun, kulit tebal, hiperpigmentasi, dan keropeng dapat digunakan
carbowaks yang mengandung zat antikapang. Selain itu, obat lain yang bisa
digunakan adalah asam benzoate 6% dan resorcinol 1 10%. Disamping obat
olesan diatas bisa juga menggunakan griseofulvin dengan hasil yang cukup
memuaskan. (Arifin dkk, 2010).

2.2.2. Aspergillosis
Penyakit yang disebabkan oleh genus Aspergillus disebut Aspergillosis.
Manifestasi Aspergillosis pada hewan meliputi mikotik pneumonia, guttural pouch
mycosis, rhinitis kronis, penyakit sistemik, penyakit kulit, alergi, aborsi,
gastrointestinal Aspergillosis, mastitis, dan keratomikosis, yang umumnya
menyerang unggas. Secara komparatif kasus klinis dari aspergilosis tidakbiasa dan

bersifat sporadik (Quinn, 2002).


a.

Etiologi
Penyakit

ini

pada

unggas

biasanya

disebabkan

oleh Aspergillus

fumigatus dan Aspergillus flavus. Organisme lain yang sering ditemukan sebagai
penyebab Aspergillosis antara lain A. terrus, A. glaucus, A. nidulans, A. niger, A.
amstelodami, dan A. nigrescens. Aspergillus fumigatus danAspergillus flavus tidak
memiliki stadium seksual sehingga digolongkan pada famili Moniciliaceae
(Tabbu, 2002).
Bentuk-bentuk Aspergillosis :
1. Aspergillosis pulmonum : ditemukan pada puyuh, kalkun, ayam, dan penguin.
2. Aspergillosis sistemik : ditemukan pada kalkun dan ayam.
3. Aspergillosis bentuk kulit (dermal) : jarang ditemukan, terkadang ditemukan
pada merpati dan ayam. Bentuk ini ditandai dengan dermatitis dan granulomatosa.
4. Aspergillosis bentuk tulang (osteomikosis) : ditemukan pada ayam yang
ditandai adanya infeksi Aspergillosis sp. pada tulang punggung dan dapat
mengakibatkan paralisis
5. Aspergillosis bentuk mata : ditemukan pada ayam dan kalkun. Bentuk ini
dapat bersifat unilateral dan lesi terutama pada konjungtiva dan permukaan luar
mata yang ditandai adanya eksudat kaseus yang membentuk eksudatt kaseus atau
pembentukan plaque di bawah membrana niktitan. Kontak antara permukaan
konjungtiva dengan spora jamur dari lingkungan menimbulkan keratitis (radang
kornea) dan infeksi bagian superficial mata.

Gambar 5.Aspergillus fumigatus

Faktor-faktor pendukung timbulnya asperegilosis adalah keadaan kandang


dengan ventialasi yang kurang memadahi, kandang berdebu, kandang dengan
kelembaban tinggi dan temperature relative tinggi (>25OC), kadar ammonia tinggi,
liter basah dan lembab, pakan lembab dan berjamur, penyakit imunosupresif,
pencemaran pada inkubator dan temperatur pemanas yang rendah pada saat
pemeliharaan DOC (Tabbu. 2002).
b.

Patogenesis
Aspergillosis memperlihatkan gejala patologis sebagai berikut : terdapat lesi

pada paru-paru berupa noduli kaseus kecil berwarna kekuningan dengan diameter
1 mm. Lesi disertai plaque yang terdiri atas eksudat kaseus berwarna kuning
mengumpul pada daerah koloni jamur. Noduli kaseus terdiri dari eksudat radang
dan jaringan jamur. Pada kasus yang melanjut, plaque semakin banyak dan
membentuk agregat.
Perubahan makroskopik : lesi stadium awal sangat menciri dengan timbulnya
timbunan limfosit, makrofag, dan beberapa giant cells. Pada stadium selanjutnya
akan terlihat lesi yang menjadi granuloma terdiri dari daerah nekrosis sentral
menganduung heterofil dan dikelilingi makrofag, giant cells, limfosit, dan
sejumlah jaringan ikat. Lesi pada otak terdiri dari abses dengan bagian yang sama
namun pada daerah nekrosis ditemukan hifa, pada chamber dan retina ditemukan
heterofil, makrofag, hancuran sel, dan hifa (Tabbu, 2002).
c.

Penularan
Penularan aspergilosis adalah dengan cara menghirup spora dalam jumlah

yang banyak.Aspergillosis juga ditularkan melalui udara, kandang atau alas


kandang tercemar. Dilaporkan bahwa alas kandang sering menjadi sumber konidia
Aspergillus. Penularan lewat udara di dalam mesin tetas pernah dilaporkan.
Penularan melalui telur dapat terjadi, secara percobaan telur-telur yang
diinkubasi dengan suspense jelly petroleum mengandung konidia A. fumigates dan
infeksi meningkat apabila telur diinkubasi dalam incubator dicemari dengan
konidia A. fumigates dan dalam waktu 8 hari inkubasi telah terjadi penetrasi jamur
melalui kulit telur. Penyakit ini dapat juga ditularkan melalui telur,

karena Aspergillus fumigatus dapat tumbuh di bagian dalam telur dan dapat
menurunkan daya tetas telur. Anak ayam yang menetas dari telur tersebut berisiko
terkena aspergilosis (Tabbu, 2002).
d.

Gejala Klinis

Pada hewan
Masa inkubasi sekitar 4-10 hari, dan proses penyakit sekitar 2 hingga beberapa
minggu. Bentuk-bentuk penyakit aspergillosis :
1. Kronis
Aspergillosis kronis memperlihatkan gejala berikut ini : kehilangan nafsu makan,
lesu, sulit bernafas, emasiasi, sianosis (kepala dan jengger berwarna kebiruan) dan
dapat berlanjut dengan kematian. Sering ditemukan gangguan saraf pada kalkun.
Aspergillosis dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada ayam dan
menyebabkan morbiditas-mortalitas yang rendah. Aspergillosis kronis biasanya
menyerang ayam dewasa.
2. Akut
Aspergillosis akut memperlihatkan gejala berikiut ini : dyspnea, peningkatan
frekuensi pernafasan, kehilangan nafsu makan, mengantuk, terjadi paralisis dan
kejang yang disebabkan oleh toksin dari Aspergillus sp pada otak. Pada stadium
akhir penyakit terjadi diare. Dari hidung dan mukosa mata keluar cairan berlendir.
Beberapa unggas dalam waktu 24 jam menunjukkan gejala konvulsi dan tortikolis
yang terjadi pada beberapa jenis unggas seperti ayam, kalkun dan angsa. Ayam
yang terinfeksi berat biasanya akan mati dalam waktu 2-4 minggu. Pada ayam
muda aspergillosis menyebabkan morbiditas-mortalitas tinggi (Tabbu, 2002).
Pada manusia
Aspergillosis secara sendirinya muncul pada pasien yang mengalami
kelemahan akibat penyakit kronis (seperti diabetes,kanker,tuberculosis mycosis
yang dalam) dan penyakit-penyakit sistem immun seperti akibat pemberian
antibiotika,antimetabolit dan kortikosteroid yang berkepanjangan. Pekerja yang
terpapar oleh material yang terkontaminasi oleh spora fungi dalam waktu yang
lama

(biji-bijian.rumput kering,sutra,wool

dan

yang

lainnya)

merupakan

kelompok yang beresiko tinggi untuk terkena penyakit. Dua bentuk klinis dari
penyakit dibedakan atas : bentuk lokalisasi dan bentuk invasif. Aspergilosis sangat
esensial menginfeksi saluran pernafasan. Fungi dapat menyebabkan terjadinya
bronchopneumonia, dengan gejala umum yang sangat komplek. Periode
inkubasinya masih belum diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan dalam
beberapa minggu. Dalam bentuk invasif, infeksi dapat mengaburkan dan
mempengaruhi beberapa organ terutama di dalam organ thyroid, otak dan
myokardium. Fungi juga umumnya berkoloni pada sinus paranasal, dan dalam
kantung mata. Bentuk lainnya adalah fungus ball atau aspergiloma, yang biasanya
terjadi bilamana fungi berkoloni didalam lubang pernafasan yang disebabkan oleh
adanya penyakit lain yang ada (bronchitis, bronchiestasis, tuberculosis). Bentuk
ini relatif tidak ganas, namun kadang - kadang dapat menimbulkan terjadinya
hemoptysis.

Allergic

aspergilosis

disebabkan

karena

adanya

reaksi

hipersensitivitas akibat inhalasi conidia dari fungi.


e.

Diagnosa
Pemeriksaan dapat dilakuakan dengan penempatan noduli gerusan pada

KOH 20% dan ditutup deck glass, dan dipanaskan dan dilihat dalam mikroskop.
Diamati kemungkinan terdapat hifa yang akan tercat biru dengan pewarnaan
tertentu. Isolasi jamur dapat dilakukan dengan kultur dalam SDA (Sobourauds
Dextrose Agar).
Pemeriksaan serologis kurang efektif. ELISA dapat dilakukan untuk
mengetahui

adanya

fumigatus dan Aspergillus

antibodi

spesifik

flavus.

Diferensial

terhadap

Aspergillus

diagnosisnya

adalah

daktilariosis. Dengan AGP jamur dapat dibedakan berdasarkan garis presipitasi


yang

dihasilkan. Aspergillus

fumigates menghasilkan

garis

presipitasi

sedangkan A. flavus tidak menghasilkan garis presipitasi (Tabbu, 2002).


f.

Pengobatan
Obat yang efektif dan ekonomis untuk memberantas Aspergilosis pada

unggas belum ada. Pemberian fungistat (mikostatin, mold curb, Na dan Ca


propionate, Gentian violet) bersama pakan dengan/tanpa larutan 0,05% CuSO4

dalam air minum untuk menghambat pertumbuhan jamur dapat dilakukan dalam
flok yang terinfeksi (Tabbu, 2000).
Untuk menghilangkan sumber infeksi, maka litter dapat disemprot dengan
antiseptic, antifungal yang efektif atau dengan desinfektan yang mengandung
minyak untuk mengurangi debu dan menekan aliran udara yang mengandung
spora. Pada kasus berat, litter harus diganti dengan litter yang baru sebelum
pengobatan dilakukan. Selain itu perlu juga dilakukan revitalisasi jaringan dengan
pemberian multivitamin. (Tabbu, 2000).
g.

Pencegahan
Pengananan biologis yang ketat dan pelaksanaan aspek manajemen lainnya

secara optimal diperlukan untuk menghilangkan faktor pendukung/sumber infeksi


arpergillosis. Kualitas litter dan pakan supaya dijaga secara ketat, terutama
terhadap kelembaban dan pencemaran oleh jamur.
Kandang dan perlengkapannya (tempat pakan, tempat minum), gudang
penyimpanan pakan/bahan bakupakan, dan litter supaya disanitasi/didesinfeksi
dengan bahan anti jamur seperti CuSO4. Larutan CuSO4 bersifat korosif untuk
logam sehingga pemberiannya harus menggunakan bahan plastik atau gelas.
Bahan yang terbuat dari logam disemprot dengan larutan Amphotericin B dan
Nystatin.
Pemeriksaan laboratorium terhadap kemungkinan adanya infeksi jamur harus
rutin dilakukan pada peralatan dan lingkungan inkubator. Sanitasi telur perlu juga
dilakukan untuk mencegah pencemaran oleh Aspergillus sp.(Tabbu, 2000;
McMullin, 2004).

2.2.3. Etiologi Histoplasma capsulatum


Histoplasma capsulatum, merupakan fungi dimorphic yakni berbentuk ragi
pada fase parasitic dan dalam fase saprofit berkembang menjadi filamentous
mycelium yang selanjutnya akan menghasilkan macroconidia dan microconidia.
Bentuk ragi dapat ditumbuhkan dilaboratorium dengan menumbuhkan fungi
dalam media yang diperkaya dengan unsure-unsur untuk pertumbuhannya pada
suhu 37C.
Dua jenis agen yang diketahui adalah : H. capsulatum var capsulatum dan H.
capsulatum var duboisii. Keduanya dibedakan pada fase mycelia dimana dalam
jaringan yang terinfeksi sel bentuk ragi dari var duboisii memiliki ukuran lebih
besar (7-15 micron) daripada var capsulatum (2-5 micron). Reaksi jaringan yang
dihasilkan oleh keduanya juga berbeda.
a. Kejadian Penyakit
Kejadian pada Manusia
Penyakit pada manusia biasanya terjadi secara sporadic ataupun merupakan
suatu wabah epidemic. Daerah-daerah yang
Amerika Latin.Pada

manusia

gambaran

dianggap endemic adalah


secara

radiografi

menunjukkan terjadinya pengapuran paru-paru (sekitar 25%) pada pasien


yang memperlihatkan reaksi histopolasmin positif. Disisi lain sekitar 90% dari
jumlah pasien yang menunjukkan reaksi positif terhadap uji hipersensitifitas
histoplasma pada kulit , namun penampakannya secara klinis terlihat sehat.
Kejadian pada Hewan
Benyak spesies yang bisa terinfeksi baik hewan peliharaan maupun hewan
liar sangat peka terhadap infeksi jamur ini. Hewan yang paling sering terinfeksi
adalah sapi, domba, dan kuda di daerha endemic. Anjing merupakan satu-satunya
hewan yang sering menunjukkan tanda klinis.

b. Gelaja Klinis
Gejala pada Hewan
Anjing merupakan spesies yang sering menunjukan tanda-tanda klinis tetapi
seperti pada manusia,sebagian besar infeksi pada anjing bersifat asimptomatik.
Bentuk respiratori yang utama adalah adanya encapsulation dan pengapuran.
Dalam beberapa kasus,anjing biasanya kehilangan berat badan dan diare yang
lama,ascites dan batuk kronis, hepatosplenomegaly dan lymphadenopathy. H
capsulatum pernah juga diisolasi dari bagian intestinal dan beberapa organ dari
kelelawar. Reaktor yang sangat tinggi di daerah endemik,ditemukan pada
beberapa spesies hewan peliharaan diantaranya : sapi, kuda dan domba, serta agen
dapat diisolasi dari limfonodus dari anjing dan kucing,dari rodensia liar
(Proechimys

guyanensis).

Burung

tidak

peka

terhadap

histoplasmosis,

kemungkinan karena temperatur tubuh unggas yang tinggi sehingga fungi tidak
bisa tumbuh.
Gejala pada Manusia
Umumnya bersifat asimptomatik, masa inkubasinya beerkisar antara 5-18hari.
Ada tiga bentuk klinis pada manusia, yaitu :
1. Paru-paru akut , lebih sering terjadi , menyerupai influenza dan menimbulkan
gejala-gejala demam yang dapat berlangsung dari 1 hari sampai beberapa minggu.
Dapat juga terlihat erythema nodosum dan multiform, difusi yang meluas, dan
arthralgia.
2. Kronis , Nampak seperti tuberculosis pada paru yang menimbulkan rongga
atau lobang.
3. Akut , pada tahap ini terlihat adanya ulcerasi dari mukosa dan
hepatosplenomegaly, di mana bentuk ini umumnya terlihat pada orang dewasa,
apabila tidak segera ditangani akan menimbulkan kematian.
Infeksi akibat H. capsulatum var duboisii lebih sering menimbulkan lesi pada
kulit, jaringan subkutan dan pada tulang.
Dignosis

Diagnosis dapat dilakukan dengan pengujian laboratorium imunofluorescent,


uji tuberculin dan uji serology (uji complement fiksasi, precipitasi dan latex
aglutinasi).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Zoonosis merupakan penyakit yang dapat menular dari manusia ke hewan,
maupun dari hewan menular ke manusia. Masalah ini merupakan masalah yang
perlu diketahui sehingga bisa diatasi maupun ditanggulangi. Salah satu agen
penyebabnya adalah jamur.
Penyakit zoonosis karena jamur yang biasa terjadi meliputi ringworm,
aspergillosis dan histoplasmosis. Jamur penyebab penyakit ini dapat menyebar di
lingkungan (tanah), makanan maupun di tubuh hewan. Penyakit ini umumnya
timbul karena tumbuhnya jamur pada kulit atau permukaan tubuh ataupun karena
adanya toksin yang dihasilkan jamur.
3.2 Saran
Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga kesehatan hewan
dan kebersihan kulit hewan serta dilakukannya vaksinasi. Hewan yang positif
terserang ringworm sebaiknya diisolasi untuk mengurangi kesempatan kontak
dengan manusia ataupun hewan yang lainnya, kecuali yang ditugaskan untuk
merawat hewan tersebut. Peralatan yang digunakan untuk merawat hewan,
misalnya sikat dan tali direndam dalam air panas atau diganti dengan yang baru
apabila hewan telah sembuh.
Ringworm jenis tertentu bisa sembuh dengan sendirinya akan tetapi
kebanyakan perlu diobati dengan bahan kimia. Pengobatan dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu dengan olesan atau dimasukkan ke dalam mulut. Secara
umum, pengobatan dapat menggunakan obat-obat yang mengandung lemak,
yodium, sulfa, atau asam salisilat. Untuk perubahan kulit yang masih baru dapat
menggunakan asam boraks 2 5%, kalium permanganate 1:5000. Untuk lukaluka menahun, kulit tebal, hiperpigmentasi, dan keropeng dapat digunakan

carbowaks yang mengandung zat antikapang. Selain itu, obat lain yang bisa
digunakan adalah asam benzoate 6% dan resorcinol 1 10%. Disamping obat
olesan diatas bisa juga menggunakan griseofulvin dengan hasil yang cukup
memuaskan. (Arifin dkk, 2010).
Pengananan biologis yang ketat dan pelaksanaan aspek manajemen lainnya
secara optimal diperlukan untuk menghilangkan faktor pendukung/sumber infeksi
arpergillosis. Kualitas litter dan pakan supaya dijaga secara ketat, terutama
terhadap kelembaban dan pencemaran oleh jamur.
Kandang dan perlengkapannya (tempat pakan, tempat minum), gudang
penyimpanan pakan/bahan bakupakan, dan litter supaya disanitasi/didesinfeksi
dengan bahan anti jamur seperti CuSO4. Larutan CuSO4 bersifat korosif untuk
logam sehingga pemberiannya harus menggunakan bahan plastik atau gelas.
Bahan yang terbuat dari logam disemprot dengan larutan Amphotericin B dan
Nystatin.
Pemeriksaan laboratorium terhadap kemungkinan adanya infeksi jamur harus
rutin dilakukan pada peralatan dan lingkungan inkubator. Sanitasi telur perlu juga
dilakukan untuk mencegah pencemaran oleh Aspergillus sp.(Tabbu, 2000;
McMullin, 2004).
Pencegahan Histoplasma capsulatum dapat dilakukan dengan penurunan
keterpaparan manusia dari debu dengan cara melakukan penyemprotan larutan
formalin ke lantai saat membersihkan keranjang ayam atau tempat lainnya yang
terkontaminasi misalnya pada tanah. Penggunaan masker juga disarankan.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin., Setyo Budi., Rizki Hidayat., Dermawan., Roby. 2010. Booklet Beberapa Penyakit
Zoonosa. Bogor : FKH IPB.
Brahmono,Kusmariah.2010.Dermatofitosis.
http://repository.iu.ac.id/contents/koreksi/11/b0a157bb565a006345c721fb514f8e4
5a80b5542.pdf Diakses pada tanggal 05 November 2014 pukul 15:04
EwingJr.2010.FungalNailInfection. http:///.wrongdiagnosis.com/phil/images/0579.jpg
Huitlacoche.

2007.

Riddled

with

Ringworm. http://blog.mycology.cornell.edu/wp-

content/uploads/2007/10/ringworm-on-heife.jpg
Macabredaisy.2009. FelineDermatophytosis. http://macabredaisy.blogspot.com/2009/04/f
eline-dermatophytosis.html
Mayo

Clinic.

2009. Ringworm. http://riversideonline.com/health_reference/Disease-

conditions/DS00892.cfm
NationalGeographic.1997.RingwormFungus.http://photography.nationalgeographic.com/
photography/enlarge/ringworm-fungus_pod_image.html
Quinn, P. J. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. UK: Blackwell
Science
Soeharsono. 2002. Zoonosis, Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Soeharsono. 2007. Penyakit Zoonotik pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Suardana, I.W., R.R. Soejoeno. 2005. Buku Ajar Zoonosis. Denpasar : Universitas
Udayana

Tabbu, Charles Rangga. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 1.


Yogyakarta : Kanisius
Waluyo,Neno.2006.Ringworm:PenyebabBulu
Rontok. http://kucingkita.com/images.articles/ringface.jpg
Wikipedia.2009. Epidermophytonfloccosum. http://en.wikipedia.org/wiki/Epidermophyto
n-floccosum
Wikipedia. 2010. Dermatophytosis. http://en.wikopedia.org/wiki/Ringworm
Zumagirl.2010.Ringworm,CauseandCures.http://zumasrescueranch.files.wordpress.com/2
010/01/ringworm-horse1.jpg

Anda mungkin juga menyukai