Disusun Oleh :
Sulkarnaen (220300924)
FAKULTAS ILMU-ILMU
ILMU KESEHATAN
YOGYAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ular merupakan satwa liar yang mempunyai habitat terdekat dengan manusia.
Binatang ini masih dapat ditemukan di pohon-pohon yang berada di halaman
rumah, di pekarangan, sawah, saluran air, bahkan terkadang masuk ke
kediaman warga. Ular sendiri termasuk dalam reptilia atau hewan melata yang
merupakan hewan ektotermik atau berdarah dingin. Itu berarti, ular tidak dapat
memproduksi panas tubuhnya sendiri sehingga harus mengandalkan pada
panas lingkungan sekitarnya agar bisa beraktivitas. Hal inilah, salah satu
faktor yang menyebabkan banyak ular berada di daerah tempat tinggal
manusia. Konfrontasi manusia dengan ular terhitung sering terjadi, terutama di
negara yang memiliki banyak populasi yang tidak terkonsentrasi di wilayah
perkotaan. Konfrontasi ini sering berakhir dengan salah satu pihak yang
celaka, entah pihak manusia karena digigit atau dibelit, entah pihak ular.
Banyak ular yang dibunuh karena warga menggeneralisasi semua ular
berbahaya, atau sekedar karena mitos yang melekat padanya. Data World
Health Organization gigitan ular di dunia memakan korban hingga 4,5 juta
orang di setiap tahunnya. Jumlah tersebut mengakibatkan luka serius.
Distribusi keracunan dan kematian akibat gigitan ular di dunia
bevariasi, rendah pada dataran Eropa, Australia, Amerika bagian Utara.
Dan anga kejadian tinggi di Sub Afrika Sahara, Asia utara, dan South East
Asia. Data yang dikumpulkan, estimasi gigitan ular 135.000 kasus per
tahun dan angka kematian sebesar 5-10 persen. Data yang terlapor dan
ditangani di UGD ±15.000 kasus pertahun dan yang dikonsultasikan ke
RECS Indonesia kurang lebih 750 kasus pertahun. Sehingga angka ini
sama dengan angka HIV/AIDS 191.000 pertahun dan kematian lebih tinggi
dari wabah ebola (Luman dan Endang, 2018). Di negara-negara tropis, di
mana kelimpahan reptilia baik dari segi spesies dan jumlah paling banyak,
gigitan ular berbisa menjadi masalah yang terselubung. Setiap tahun,
diperkirakan lebih dari tiga ratus ribu orang tergigit oleh ular dan lebih dari
seratus ribu orang meninggal tiap tahun karena tergigit ular, sebagian besar
korbannya berasal dari Asia Selatan, Asia Tenggara, dan sub-Sahara Afrika,
tempat di mana pemukiman padat penduduk dikombinasikan dengan
keberadaan jenis ular berbisa dan ketidaktahuan warga menangani gigitan
ular, ditambah terkadang akses yang kurang memadai ke rumah sakit. Gigitan
ular merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi di negara
tropis dan subtropis. Pada tahun 2009, WHO memasukkan gigitan ular dalam
daftar neglected tropical disease dan sampai sekarang tetap sebagai masalah
kesehatan masyarakat global. Mayoritas penduduk Indonesia bekerja di bidang
pertanian dianggap sebagai populasi berisiko tinggi untuk terkena gigitan ular.
Di Indonesia tidak ada laporan epidemiologi nasional yang tersedia
disebabkan oleh sistem pelaporan yang kurang akurat. Data epidemiologi
kasus gigitan ular hanya dari laporan rumah sakit. Hanya ada 42 kasus gigitan
ular yang diobati pada antara tahun 2004 dan 2009. Wanita lebih jarang digigit
ular dibandingkan pria, kecuali pekerjaan didominasi oleh wanita. Anak-anak
dan dewasa muda merupakan puncak usia yang sering digigit ular. (Suryati et
al., 2018). Gigitan ular dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lokal,
nekrosis sel perdarahan dalam, hilangnya fungsi dari otot, pembengkakan,
tekanan darah turun, kerusakan pada kornea, iritasi dan bengkak. pada daerah
uvea, dan pecahnya sel darah merah. Dalam penanganan gigitan ular
diperlukan tatalaksana yang cepat dan dipastikan penyebab gigitan apakah
disebabkan ular berbisa. Identifikasi jenis gigitan dan gejala akibat gigitan
berguna dalam penegakan diagnosis maupun terapi untuk menghindari
kecacatan dan keadaan yang mengancam jiwa.(Pratama, 2017). Ular berbisa
dapat dijumpai di seluruh belahan dunia, kecuali pada beberapa pulau,
lingkungan dingin, dan terletak tinggi dari permukaan laut. Gigitan ular
berbisa dan kematian yang diakibatkan merupakan masalah kesehatan publik
yang penting pada daerah pedesaan. Populasi pada daerah ini memiliki
morbiditas dan mortalitas yang tinggi karena akses pelayanan kesehatan yang
buruk, yang seringkali suboptimal dan pada beberapa keadaan, kelangkaan
antivenom, yang merupakan satu-satunya pengobatan spesifik.(Medikanto et
al., 2017).
B. Perumusan Masalah
1. Definisi gigitan ular
2. Manifestasi gigitan ular
3. Patofisiologi
4. Pemeriksaan penunjang
5. Penatalaksanaan
C. Tujuan Penulisan
Tujuan umum :
1. Memahami definisi gigitan ular
2. Mengetahui manifestasi gigitan ular
3. Mengetahui patofisiologi gigitan ular
4. Mengetahui pemeriksaan penunjang
5. Mengetahui penatalaksanaan gigitan ular
Tujuan Khusus :
Manfaat praktis ;
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gigitan ular menjadi masalah kesehatan yang serius di Asia Tenggara
terutama di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan aktivitas agrikultur
masyarakat Indonesia yang tinggi sehingga berisiko juga untuk terkena
gigitan ular. Penanganan yang tepat dan cepat dapat mengurangi risiko
kematian pada pasien gigitan ular. Untuk itu dibutuhkan program kontrol
dan pedoman manajemen gigitan ular yang baik untuk menjamin
menunjang penatalaksanaan yang tepat, aman, dan efektif sehingga dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat gigitan ular di
Indonesia.
Gigitan ular (snake bite) adalah penyakit akibat lingkungan dan pekerjaan
yang sering dan umum dijumpai, khususnya di daerah rural negara-negara
tropis. Bisa ular merupakana toksin yang kaya akan protein dan peptida
yang memiliki spesifisitas yang luas pada reseptor-reseptor jaringan
sehingga menjadi tantangan sendiri di dunia medis terutama dalam
membuat obat-obatan. Walaupun angka pasti mortalitas dan morbiditas
gigitan ular masih belum diketahui, sekitar ratusan sampai ribuan pasien
diketahui terkena bisa ular dan 10 dari 1000 meninggal karena gigitan ular
setiap tahunnya
B. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang dapat di temukan pada pemeriksaaan fisik antara
lain:
Vital sign:
1. Denyut nadi mengalami perubahan
2. Tekanan darah saat duduk dan berdiri untuk melihat adanya
postural drop.
3. Kulit dan membran mukosa: ptekie
4. Purpura, ekimosis, dan pendarahan konjungtiva.
5. Sulcus gingivalis
6. Sistemik spontan
7. Hidung: epistaksis
8. Abdomen: nyeri tekan abdomen sebagai tanda pendarahan
intrabdomen atau retroperitoneal
9. Neurologis: lateralisasi, paralisis flaksi otot. Gejala berupa nyeri
seluruh tubuh dan warna urin yang gelap merupakan indikasi kuat
terjadinya rhabdomyolisis. Pada kasus gigitan ular yang terjadi
pada ibu hamil dapat terjadi abortus, kelahiran prematur, dan
pendarahan antepartum/postpartum yang ditandai dengan
pendarahan vaginal. Identifikasi spesies ular harus dilakukan guna
meningkatkan efektivitas penanganan medis, apabila
memungkinkan ular dibawa atau didokumentasikan untuk
diidentifikasi oleh ahli dibidang tersebut, namun bila tidak
memungkinkan informasi terkait ciri khas ular yang menggigit
dapat diambil dari keterangan pasien.
C. Patofisiologi
Umumnya ular beracun, racunnya bersifat menggumpalkan dan menyebar
dalam pembuluh darah mengakibatkan disseminated intravascular
coagulation (DIC), layuh (paralysis), dan turunnya tekanan pada sistem
kardiovaskuler (cardiovascular depressio). Penampakan yang lain ialah
gangguan penghantaran (konduksi), trombositopenia, gagal ginjal dan
perdarahan di dalam tengkorak (intra kranial). Beku darah (koagulopati)
ditandai pembersihan darah (defibrinasi) yang berkaitan dengan jumlah
trombosit, dalam rentang waktu yang ada. Di samping itu racun dapat
mengubah protrombin menjadi trombin. Tekanan di sistem kardiovaskuler
menyebabkan DIC atau tekanan di otot jantung. Nerotoksin menyebabkan
gejala saraf setelah keracunan, gejala yang ditunjukkan antara lain adanya
layuh (paralisis) pernapasan oleh hambatan acetylcholine receptor di ujung
saraf motor pascasinaptik (postsynaptic motor nerve ending).
Kemungkinan terjadi kejang gagau (konvulsi) disertai ada atau tidaknya
keracunan otot (myotoxicity)
D. Pemeriksaan Penunjang
Whole Blood Clotting Test (20WBCT) adalah tes yang memerlukan
perlengkapan sederhana seperti tabung gelas, botol atau tabung suntik
yang baru, bersih, kering. Hasil positif (non-pembekuan) menunjukkan
koagulopati konsumsi parah dan kebutuhan untuk pengobatan anti bisa
ular segera. Akan tetapi, perlengkapan yang salah dan pembersihan alat
dengan deterjen atau cairan pencuci dapat menghasilkan false negative. 19
Tes laboratorium yang lebih sensitif dari pembekuan darah adalah
International Normalized Ratio (INR) berdasarkan waktu protrombin (PT)
(> atau = 1,2 tidak normal), waktu activated partial thromboplastin time
(aPPT), antigen terkait fibrin (ogen) (produk degradasi fibrin - FDP) atau
D-dimer.
Tes laboratorium lainnya yang dapat dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan darah rutin berupa hemoglobin/hematokrit, hitung
trombosit, dan hitung sel darah putih dapat dijadikan indikasi dari
spesies ular yang menggigit (contoh: peningkatan
hemoglobin/hematokrit pada gigitan ular Russell’s viper,
trombositopenia pada gigitan ular viper dan australasian elapids)
2. Pemeriksaan Apusan Darah Tepi (ADT) dapat ditemukan sel darah
merah terfragmentasi (“sel helm”, schistosit) yang menandakan
hemolisis mikroangiopati
3. Pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal juga dapat dijadikan
indikasi dari spesies ular yang menggigit (contoh: kreatinin plasma,
urea/nitrogen urea darah dan konsentrasi kalium meningkat pada
cedera ginjal akut pada gigitan ular Russell's viper, nosed-nosed pit-
viper, Aminotransferase dan enzim otot yang meningkat
menunjukkan kerusakan otot lokal dan umum pada gigitan ular laut,
beberapa kraits, beberapa Australasia Elapidae dan gigitan ular
Russell's viper dan hiponatremia pada gigitan ular kraits.
4. Pemeriksaan urin: tes dipstick untuk darah, hemoglobin atau
myoglobin dan proteinuria. Mikroskopis untuk mendeteksi eritrosit
dan silinder sel darah merah, menunjukkan perdarahan glomerulus,
eosinofilia menunjukkan nefritis interstitial akut.
E. Penatalaksanaan
Pemberian anti bisa ular dilakukan sesegera mungkin jika pasien
memenuhi indikasi, hal ini dikarenakan anti bisa ular memiliki harga yang
relatif mahal dan ketersediaannya terbatas.
Anti bisa ular diberikan melalui intravena jika memungkinkan, baik secara
slow IV push injection (maksimum 2 ml/menit) atau infus IV yang
diencerkan dengan 5 ml cairan isotonis per kg berat badan selama 30-60
menit. Di Indonesia, dosis yang dianjurkan yaitu 2 vial SABU (10 ml)
diencerkan dalam 100 ml Normal Saline 0.9% kemudian drip 60-80 tetes
per menit, dapat diulang setiap 6-8 jam. Dianjurkan tersedia epinefrin
untuk penanganan reaksi anafilaktik akibat administrasi anti bisa ular.
Pemberian secara intramuskular tidak direkomendasikan kecuali jika akses
intravena tidak memungkinkan. Setelah pemberian pertama, observasi
keadaan umum, perdarahan sistemik, serta gejala neurotoksik.
Pengulangan dosis awal dapat dilakukan jika ada gangguan koagulasi
persisten setelah 6 jam atau terdapat perdarahan setelah 1-2 jam serta
timbul deteriorasi neurotoksik atau kardiovaskular setelah 1 jam terutama
pada kasus keracunan neurotoksik yang disebabkan gigitan kobra.
Sebelumnya pasien diberikan atropine sulfat (0.6 mg untuk dewasa;
50µg/kg untuk anak-anak) secara IV kemudian diikuti neostigmine
bromide atau methylsulphate (prostigmin) secara IM dengan dosis 0.02
mg/kg untuk dewasa, 0.04 mg/kg untuk anak-anak.
Kemudian pasien diobservasi selama 30-60 menit ke depan. Jika
responnya baik, maka maintain dengan neostigmine methylsulphate 0.5-
2.5 mg setiap 1-3 jam hingga 10 mg/24 jam untuk dewasa dan 0.01-0.05
mg/kg tiap 2-4 jam untuk anak-anak, injeksi IV atau subkutan bersamaan
dengan atropine.10 Hipotensi dan syok dapat terjadi akibat hypovolemia.
Pengukuran dengan tensi dapat dilakukan pada posisi supinasi atau duduk.
Selain itu, dapat dilakukan passive leg raising test untuk menilai respon
cairan. Terapi dengan kristaloid harus diobservasi (tekanan JVP, laju
napas, dan krepitasi), pada pasien yang mengalami peningkatan
permeabilitas kapiler dapat diberikan vasokonstriktor seperti dopamin.
Selain itu, evaluasi adanya tandatanda gagal ginjal akut seperti oligouri,
peningkatan kreatinin serum, dan sindrom uremia. Pada pasien oligouri
dapat dilakukan fluid challenge atau furosemide test. Dialisis dapat
dilakukan jika terjadi tanda-tanda uremia (ensefalopati, perikarditis),
overload cairan yang tidak merespon dengan diuretik, asidosis
simptomatik, dan nilai ureum >130 mg/dl atau kreatinin >4 mg. Sebelum
pulang dari rumah sakit, lakukan diskusi dengan pasien atau keluarga
pasien mengenai implikasi terjadinya gigitan ular dan proses
penyembuhan, rehabilitasi dengan latihan untuk mengembalikan fungsi
tungkai yang terkena gigitan, kontrol rutin setiap 1-2 minggu untuk
melihat kemajuan penyembuhan, dan pemberian nasihat serta edukasi
untuk mencegah terjadinya gigitan ular yang dapat dibagikan ke keluarga
atau kerabat terdekat.
BAB III
PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEPERAWATAN
Pasien mengatakan kaki kiri nyeri setelah terkena gigitan ular terihat di punggung kaki kiri, kaki kiri
terlihat membengkak, pada jari I-II kaki kiri terlihat membiru, terdapat luka insisikurang lebih 2cm,
terlihat ada perdarahan, pasien mengatakan mual, muntah, nafsu makan berkurang, pusing.
IV. Riwayat Kesehatan yang lalu
Pasien mengatakan tidak ada riwayat penyakit di masa lalu.
VI. GENOGRAM
VII. Pola Kesehatan Klien Saat Ini
1. Pemeliharaan dan Persepsi Kesehatan
Pasien mengatakan apabila ada keluarga yang sakit maka dibawa ke pelayanan kesehatan
terdekat.
2. Nutrisi dan Cairan
• Nutrisi
a. Frekuensi makan : 3x sehari
b. Berat Badan / Tinggi Badan : 48kg
c. BB dalam 1 bulan terakhir : menurun 46 Kg,
Alasan tidak nafsu makan
d. Jenismakanan : Nasi, sayur dan telur
e. Makananyang disukai : Telur
f. Makananpantang : Tidak ada alergi dan pantangan makanan
g. Nafsu makan :[ ] baik
[√] kurang, alasan mual
h. Masalah pencernaan : [√] mual
[√] muntah
i. Riwayatoperasi/trauma gastrointestinal: Tidak ada riwayat operasi
j. Diit RS : Diit Tktp
[√] ½ porsi
• Cairan, elektrolit dan asam basa
a. Frekuensi minum : 3-4 gelas / hari
b. Turgor kulit
: kembali kurang dari 2 detik
c. Support IV Line
: Ya / , Jenis: RL Dosis 500 (20tpm)
3. Aktivitas dan latihan
Aktivitas
a. Pekerjaan : : Petani
b. Olahraga rutin :………………Frekuensi: ………………..
:-
c. Alat Bantu : -
d. Terapi :-
b. Frekuensi : Kadang-kadang
c. Kapan terjadinya : Melakukan aktivitas berat
d. Faktor yang memperberat : Melakukan aktivitas berat
5. Tidur dan istirahat
e. Lama tidur : 8 jam Tidur siang: Ya
f. Kesulitan tidur di RS: Tidak
h. Alasan :-
i. Kesulitan tidur : [-] menjelang tidur
[-] mudah/sering terbangun
[-] merasa tidak segar saat bangun
6. Eliminasi
• Eliminasi fekal/bowel
j. Frekuensi : 3 hari 1x tidak ada penggunaan pencahar
k. Waktu : pagi
l. Warna : Kecoklatan tidak ada darah, konsistensi lunak
m. Ggn. Eliminasi bowel : [-] Konstipasi
[-] Diare
[-] Inkontinensia bowel
n. Kebutuhan pemenuhan ADL Bowel : Dg Bantuan
• Eliminasi urin
a. Frekuensi : 4-6 kali tidak ada penggunaan pencahar
b. Warna : Kuning, tidak ada darah
c. Ggn. Eliminasi bladder : [ -] nyeri saat BAK
[ -] burning sensation
[ -] bladder terasa penuh setelah BAK
[ -] inkontinensia bladder
d. Riwayat dahulu : [ ] penyakit ginjal
[ ] batu ginjal
[ ] injury / trauma
e. Penggunaan kateter : Ya
f. Kebutuhan pemenuhan ADL bladder : Tergantung
l. Dada :
Jantung
Inspeksi :
bentuk
dada
simetris
o. Genitalia
Terdapat pembesaran di testis
Anus dan rektum
Tidak ada kelainan
p. Neurologi (nervus I-XII)
N1 (Olfaktori) : Pasien dapat mencium bau
N2 (Optik) : Penglihatan normal
N3 (Okulomotor) : Mata bergerak, berkedip, fokus pada objek
NIV (Troklear) : Mata bergerak ke bawah, keatas
N V (Trigeminal) : Dapat mengerutkan wajah, lidah bergerak
N I (Abdusen) : Mata dapat bergerak ke atas, kesamping, kedepan, kebawah
N VII (Fasialis) : Ekspresi wajah ada, mampu merasakan makanan
N VIII (Vestibulochochlear) : Mampu mendengarkan suara
N IX (Glossoaringeal) : Mampu merasakan dan menelan makanan
N X (Saraf Fagus) :
NXI (Aksesori Tulang Belakang) : Mampu bergerak kepala, leher, dan bahu
NXII ( Hipoglosus) : Lidah mampu bergerak
DataLaboratorium
Hari/Tanggal : 3/10/2022
No Jenis Pemeriksaan Nilai Lab Nilai Normal Interpretasi
1. Hematologi
Hemoglobin 5.1 g/dl 13.2-17.3
Leukosit 11.9 3,8-10,6
Hematokrit 1,7 4,40-5,90
Trombosit 8 150-400
Chc 37g/dl 32-36
Netrofil 92,20 50-70
Limfosit 2,20 25-40
Eosinofil 0,00 2.00,4,00
TLC 0,26 1.00-3,70
Kimia Klinik
Ureum 131,9 10-50
Kreatinin 1,46mg/dL 0,62-1,10
Elektrolit kimia
Chlorida 109,0 mmol/L 95,0-105,0
IX. Hasil Pemeriksaan diagnostik lain : -
X. Pengobatan :
Terapi yg diberikan :
No. Nama Obat Dosis Kegunaan
1. Infus RL 500cc Mempertahankan
hidrasi
Td : 86/52mmhg
N : 100x/mnt
RR : 18x/mnt
S : 36,8 C
3. 3/10/2022 Ds : Neuropati perifer Gangguan integritas kulit
Pasien mngeluh nyeri
Do :
Warna kulit kemerahan
Jempol kaki kiri hitam
Terdapat pedarahan di kaki kiri
Terpasang kateter urine
Terpasang infus RL 500cc
Td : 86/52mmhg
N : 100x/mnt
RR : 18x/mnt
S : 36,8 C
XII. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Perencanaan
No. TTD
Keperawatan NOC NIC
1. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan tindakan keperawata seama 3x8 jam , Manajemen nyeri (I.08238)
pencedera fisiologis diharapkan masalah nyeri akut dapat teratasi dengan Identifikasi lokasi, frekuensi, kualitas, dan
kriteria hasil : skala nyeri
Tingkat nyeri ( L.08065) Berikan tekhnik non farmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
indikator aw ak Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
Keluhan nyeri 3 4 nyeri (suhu, pencahayaan,kebisingan)
Fasilitasi istirahat dan tidur
Frekuensi nadi 3 4 Ajarkan tekhnik non farmakologi untuk
meredakan nyeri
Pola nafas 3 4 Kolaborasi pemberian obat
Ket :
1. Memburuk
2. Cukup memburuk
3. Sedang
4. Cukup membaik
5. Membaik
Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan keperawata seama 3x8 jam , Manajemen jalan nafas (I.01011)
efektif b.d kecemasa diharapkan masalah pola nafas tidak efektid dapat Monitor pola nafas (frekuensi)
n teratasi dengan kriteria hasil : Monitor bunyi nafas tambahan
Pola Napas (L.01004) Posisikan semi fowler/fowler
Berikan minum hangat
indikator aw ak Berikan oksigen
Dispnea 3 4 Kolaborasi pemberian obat
Frekuensi nafas 3 4
Ket :
1.Memburuk
2. Cukup memburuk
3. Sedang
4. Cukup membaik
5. Membaik
3. Gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan keperawata selama 3x8 jam Perawatan luka ( (I.14564) :
kulit b.d neuropati , diharapkan masalah integritas kulit efektif dapat Monitor tanda tanda infeksi
perifer teratasi dengan kriteria hasil : Lepaskan balutan dan plester secara
Integritas kulit dan jaringan ( L.14125) : perlahan
Cukur rambut di area sekitar luka
Indikator aw ak Bersihkan dengan cairan NaCI
Kerusakan jaringan 3 4 Bersihkan jaringan nekrotik
Berikan salep jika perlu
Kerusakan lapisan kulit 3 4 Pasang balutan luka
Pertahankan teknik steril saat perawatan
luka
Ket : Ganti balutan sesuai kebutuhan
1.Memburuk Berikan suplemen vitamin
2. Cukup memburuk Kolaborasi pemberian antibiotik
3. Sedang
4. Cukup membaik
5. Membaik
XIV. IMPLEMENTASI
Nama pasien: Tn T Ruang : HCU
No. RM : 00581xx
1. 3/10/2022 09.15 Mngientifikasi lokasi, frekuensi, kualitas, dan S : Pasien masih mengeluh
skala nyeri nyeri
Meberikan tekhnik non farmakologi untuk P : Gigitn ular
mengurangi rasa nyeri (tarik nafas dalam) Q : Ditusuk
Mengontrol lingkungan yang memperberat rasa R : Kaki kiri
nyeri (suhu, pencahayaan,kebisingan) S:5
MEnganjurkan istirahat dan tidur T : Hiang timbul
Mengajarkan tekhnik non farmakologi untuk
meredakan nyeri O:
Terpasang i nfus RL
500cc
Terpasang kateter
Pasien tampak meringis
kesakitan
Td : 86/52mmhg
N : 100x/mnt
RR : 18x/mnt
S : 36,8 C
A : Nyeri akut belum teratasi
P : Lanjutkan interensi
12.00 Pantau pola nafas pasien (frekuensi) S : Pasien mengatakan masih
Cek bunyi nafas tambahan sesak
Memberikan posisi semi fowler O:
Memberrikan minum air hangat Terpasang i nfus RL
Memberikan oksigen Nasal Kanul 3lpm 500cc
Terpasang kateter
Pasien masih tampak
sesak
Td : 86/52mmhg
N : 100x/mnt
RR : 17x/mnt
S : 36,8 C
A : Pola napas tidak efektif
belum teratasi
P : Lanjutkan interensi
07.30
Monitor tanda tanda infeksi S : Pasien mengatakan nyeri di
Meepaskan balutan dan plester secara perlahan kaki kiri
Membeersihkan dengan cairan NaCI O:
Memberrsihkan jaringan nekrotik Terdapat luka insisi di
Pasang balutan luka kaki kiri ±2
Pertahankan teknik steril saat perawatan luka Terdapat darah
Ganti balutan sesuai kebutuhan Warna kuit kehitaman
Terpasang i nfus RL
500cc
Terpasang kateter
Pasien tampak meringis
kesakitan
Td : 86/52mmhg
N : 100x/mnt
RR : 18x/mnt
S : 36,8 C
A : Gangguan integritas kuit
belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
4/10/2022 12.00 Mngientifikasi lokasi, frekuensi, kualitas, dan S : Pasien masih mengeluh
skala nyeri nyeri
Meberikan tekhnik non farmakologi untuk P : Gigitn ular
mengurangi rasa nyeri (tarik nafas dalam) Q : Ditusuk
Mengontrol lingkungan yang memperberat rasa R : Kaki kiri
nyeri (suhu, pencahayaan,kebisingan) S:5
Menganjurkan istirahat dan tidur T : Hiang timbul
Mengajarkan tekhnik non farmakologi untuk
meredakan nyeri O:
Memberikan obat keterolac 3mg mealui injeksi Terpasang i nfus RL
iv, Metilpredmisolon 125 mg 500cc
Terpasang kateter
Pasien tampak meringis
kesakitan
Td : 90/70mmhg
N : 110x/mnt
RR : 17x/mnt
S : 36,7 C
A : Nyeri akut belum teratasi
P : Lanjutkan interensi
09.15 S : Pasien mengatakan sesak
Pantau pola nafas pasien (frekuensi) sedikit berkurang
Cek bunyi nafas tambahan O:
Memberikan posisi semi fowler Terpasang i nfus RL
Memberrikan minum air hangat 500cc
Memberikan oksigen Nasal Kanul 3lpm Terpasang kateter
Td : 90/70mmhg
N : 110x/mnt
RR : 17x/mnt
S : 36,7 C
O:
Terpasang i nfus RL 500cc
Terpasang kateter
Pasien tampak meringis kesakitan
Td : 90/70mmhg
N : 110x/mnt
RR : 17x/mnt
S : 36,7 C
A : Nyeri akut belum teratasi
P : Lanjutkan interensi
09.15 S : Pasien mengatakan sesak sedikit berkurang
O:
Terpasang i nfus RL 500cc
Terpasang kateter
Td : 90/70mmhg
N : 110x/mnt
RR : 17x/mnt
S : 36,7 C
Kesimpulan :
Gigitan ular adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa. Bisa ular
merupakan kumpulan terutama protein yang memunyai efek fisiologik yang luas. Bisa ular
mempengaruhi sistem multiorgan, terutama neurologi, kardiovaskular, dan sistem pernafasan.
Saran :
Diharapkan dengan asuhan keperawatan gigitan ular dapat bermanfaat bagi kami, serta kami
menyadari bahwa asuhan keperawatan yang kami buat ini masih jauh dari kesempurnaan.
Sehingga saran, dan kritik yang sifatnya membangun sangat kami butuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dafa MH, Suyanto S. Kasus Gigitan Ular Berbisa di Indonesia Case. J Pengabdi Masy
MIPA dan Pendidik MIPA. 2021;5(1):47–52.
2. Cindy Nurul Afni A, Nasrul Sani F. Pertolongan Pertama Dan Penilaian Keparahan
Envenomasi Pada Pasien Gigitan Ular. J Kesehat Kusuma Husada. 2020;91–8.
3. Wintoko R, Prameswari NP. Manajemen Gigitan Ular. JK unila. 2020;4(1):49.
4. PPNI DPP SDKI TIM POKJA,. (2017 AGUSTUS) cetakan III,. Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia,. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia
5. PPNI DPP SLKI TIM POKJA,. (2019 Januari) cetakan III,. Standar Luaran
Keperawatan Indonesia,. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia
6. PPNI DPP SIKI TIM POKJA,. (2018 September) cetakan II,. Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia,. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia