Anda di halaman 1dari 5

Gigitan Ular

Veronica Agrippina Franesta 102018019

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 06 Jakarta 11510. Telepon: (021)5694-2051

Email: veronica.2018fk019@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Kasus gigitan oleh ular termasuk kasus kegawatan yang sering dijumpai di Unit Gawat Darurat,
terutama yang berada di area persawahan, hutan, perkebunan, dan rawa. Gigitan ular dapat
disebabkan oleh ular berbisa maupun tidak berbisa. Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah
kasus gigitan ular di Indonesia. Menurut WHO, diperkirakan terdapat 421 ribu kasus gigitan
ular, dengan 20 ribu kematian terjadi di Asia Selatan, AsiaTenggara dan Sub Sahara Afrika
setiap tahunnya. Kasus gigitan ular memerlukan penatalaksanaan yang cepat dan
komprehensif, sehingga dapat meminimalkan kemungkinan kecacatan dan kematian.

Kata kunci: gigitan ular

Abstract

Snake-bite is an important medical emergency case and caused of many hospital admission
especially in the rural area, forests, plantations and swamps. Snake bites can be caused by
venomous or non-venomous snakes. Despite its importance, there have been fewer proper data
of snake-bite incidence in Indonesia. World Health Organization estimate that at least 421,000
envenomings and 20,000 deaths from snakebites occur each year, especially in South and South
East Asia and sub-Saharan Africa. Snake bite cases require rapid and comprehensive
management, so as to minimize the possibility of disability and death.

Keywords: snake bites


Pendahuluan

Kasus gigitan oleh ular termasuk kasus kegawatan yang sering dijumpai di Unit Gawat
Darurat terutama yang berada di area persawahan, hutan, perkebunan, dan rawa. Tidak ada data
yang pasti mengenai jumlah kasus gigitan ular di Indonesia. Menurut WHO, diperkirakan
terdapat 421 ribu kasus gigitan ular, dengan 20 ribu kematian terjadi di Asia Selatan,
AsiaTenggara dan Sub Sahara Afrika setiap tahunnya.1,2

Angka morbiditas dan mortalitas gigitan ular bergantung dari jenis spesies ular, jumlah
dan jenis bisa yang masuk ke dalam tubuh, dan ketersediaan serum anti bias ular. Bisa ular
beracun dapat menyebabkan kecacatan maupun kematian. Gigitan ular dapat menjadi keadaan
yang mengancam jiwa jika tidak mendapat pertolongan dengan baik.

ISI

a. Jenis Ular
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular
dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ciri-ciri ular tidak berbisa adalah
bentuk kepala segiempat panjang, gigi taring kecil, dan bekas gigitan: luka halus berbentuk
lengkungan. Ciri-ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, dua gigi taring besar di rahang
atas, dan bekas gigitan: dua luka gigitan utama akibat gigi taring.1

Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut
terdapat saluran untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau
intramuskular. Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan untuk pertahanan diri. Bisa ular dihasilkan oleh kelenjar
parotid yang terletak di bagian bawah kepala belakang mata. Efek toksik bisa ular pada saat
menggigit mangsanya bergantung dari spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi
mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya
serangan yang terjadi.1
b. Jenis Bisa
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bias
hemotoksik, yaitu bisa yang dapat mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bias
neurotoksik, yaitu bisa yang dapat mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bias
sitotoksik,yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.

c. Gejala Klinis
Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit
dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain
adalah tanda taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan
kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan.1 Secara
laboratoris, dapat ditemukan kelainan seperti anemia karena hemolysis intravaskular,
trombositopenia, hematuria, hipofibrinogenemia, peningkatan kadar DDimer.1 Bisa ular terdiri
dari 90% protein. Protein pada bisa ular terdiri dari enzim, toksin non-enzimatik polipeptida,
dan protein non toksin (nerve growth factor).

d. Identifikasi Luka
Diagnosis
Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan identifikasi ular yang
menggigit dan adanya manifestasi klinis. Ular yang menggigit sebaiknya dibawa dalam
keadaan hidup atau mati, baik sebagian atau seluruh tubuh ular. Perlu juga dibedakan apakah
gigitan berasal dari ular yang tidak berbisa atau binatang lain, dari pemeriksaan fisik pada luka
gigitan yang ditinggalkan. Bila tidak dapat mengidentifikasi ular yang menggigit, manifetasi
klinis menjadi hal yang utama dalam menegakkan diagnosis.3

Penanganan
A. Antibisa
Jika didapatkan gejala sistemik atau lokal yang hebat (pembengkakan pada lebih dari
setengah ekstremitas atau nekrosis berat) berikan antibisa jika tersedia.

a. Siapkan epinefrin SK atau IM bila syok dan difenhidramin IM untuk mengatasi reaksi
alergi yang terjadi setelah pemberian antibisa ular (lihat di bawah).
b. Berikan antibisa polivalen. Ikuti langkah yang diberikan dalam brosur antibisa. Dosis
yang diberikan pada anak sama dengan dosis pada orang dewasa.
o Larutkan antibisa 2-3 kali volume garam normal berikan secara intravena
selama 1 jam. Berikan lebih perlahan pada awalnya dan awasi kemung-kinan
terjadi reaksi anafilaksis atau efek samping yang serius
c. Jika gatal atau timbul urtikaria, gelisah, demam, batuk atau kesulitan bernapas,
hentikan pemberian antibisa dan berikan epinefrin 0.01 ml/kg larutan 1/1000 atau 0.1
ml/kg 1/10.000 SK. Difenhidramin 1.25 mg/kgBB/kali IM, bisa diberikan sampai 4
kali perhari (maksimal 50 mg/kali atau 300 mg/hari). Bila anak stabil, mulai kembali
berikan antibisa perlahan melalui infus.
d. Tambahan antibisa harus diberikan setelah 6 jam jika terjadi gangguan pembekuan
darah berulang, atau setelah 1-2 jam, jika pasien terus mengalami perdarahan atau
menunjukkan tanda yang memburuk dari efek neurotoksik atau kardiovaskular.

B. Pertolongan pertama
a. Lakukan pembebatan pada ekstremitas proksimal jejas gigitan untuk mengurangi
penjalaran dan penyerapan bisa. Jika gigitan kemungkinan berasal dari ular dengan
bisa neurotoksik, balut dengan ketat pada ekstremitas yang tergigit dari jari-jari atau
ibu jari hingga proksimal tempat gigitan.
b. Bersihkan luka
c. Jika terdapat salah satu tanda di atas, bawa anak segera ke rumah sakit yang memiliki
antibisa ular. Jika ular telah dimatikan, bawa bangkai ular tersebut bersama anak ke
rumah sakit tersebut
d. Hindari membuat irisan pada luka atau menggunakan torniket.4
Daftar Pustaka
1. Warrell DA. Snake bite. Lancet. Review. 2010; 2375(9708):77-88
2. Warrell DA. Guidelines for the management of snake bites. World Health Organization;
2010.
3. Gold BS, Dart RC, Barish RA. Bites of venomous snakes. N Engl J Med, 2002;
347:347-56. (https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/viewFile/918/851)
Diakses 9/3/2018 10:04 PM
4. Hospital Care for Children (http://www.ichrc.org/16-gigitan-ular) Diakses 9/3/2018
10:15 PM
5. Snyder CC, Mayer TA. Animal, snake, and insect bite. Dalam: Matlak ME, Nixon GW,
Walker ML, penyunting. Emergency management of pediatric trauma. Edisi ke-1.
Philadelphia: WB Saunders Company. 1985. h. 466-83.
(https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/viewFile/918/851)
Diakses 9/3/2018 10:40 PM
6. Thomas L, Tyburn B, Bucher B, Pecout F, Ketterle J, Rieux D, dkk. Prevention of
thromboses in human patients with bothrops and anceolatus envenoming in martinique:
Failure of anticoagulants and efficacy of a monospecific antivenom. Am J Trop Med
Hyg 1995; 52:419-26.
(https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/viewFile/918/851)
Diakses 9/3/2018 10:30 PM

Anda mungkin juga menyukai