Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN EBN

KELOMPOK 2A

Interventions For The Management Of Snakebite Envenoming

An Overview Of Systematic Reviews

Disusun oleh: Kelompok 2A

Agustina Dwi Rahmawati (18/427090/KU/20695)

Aizizha Syeilla Noverlis (18/429877/KU/20854)

Anisah Kurniawati (18/423812/KU/20452)

Fitria Endang Pratiwi (18/423822/KU/20462)

Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan

Universitas Gadjah Mada


2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gigitan ular dapat menjadi masalah kegawatdaruratan medis yang dapat
mengancam hidup manusia, bisa ular mampu mengganggu fungsi pernapasan,
menyebabkan gangguan perdarahan, fungsi ginjal, serta merusak jaringan lokal yang
menyebabkan terjadinya disabilitas permanen dan amputasi. Menurut WHO, sekitar
5,4 juta orang mengalami gigitan ular setiap tahunnya, dan 2,7 juta diantaranya adalah
gigitan ular berbisa. Sekitar 81.000 hingga 138.000 orang meninggal setiap tahunnya
akibat gigitan ular, dan tiga kali banyaknya amputasi dan disabilitas permanen
disebabkan oleh gigitan ular tiap tahunnya.
Kasus gigitan ular menjadi penyakit tropis yang terabaikan. Jumlah akurat
kasus gigitan ular di dunia sulit diketahui akibat kesalahan pelaporan yang terjadi.
Meskipun langka, beberapa negara telah melakukan studi untuk mengidentifikasi
insidensi, morbiditas dan mortalitas kasus gigitan ular. Asia Tenggara adalah wilayah
yang paling terdampak karena kepadatan populasinya yang tinggi, besarnya aktivitas
agrikultural, dan banyaknya jenis ular berbisa serta kurangnya program kontrol yang
dibuat.
Berdasarkan karakteristik korban di Asia Tenggara, petani merupakan korban
terbanyak yang diikuti oleh pelajar dan ibu rumah tangga, dengan tingkat mortalitas
0,5% hingga 58%. Indonesia adalah salah satu negara tropis terbesar yang memiliki
kasus gigitan ular yang cukup tinggi. Terlebih jumlah masyarakat yang bekerja di
bidang agrikultur cukup banyak, yang dikategorikan sebagai populasi berisiko tinggi.
Di Indonesia, estimasi kasus gigitan ular pada tahun 2007 sebanyak 12.739-214.883
dengan 2000 - 11.581 kematian. Ketepatan laporan tersebut juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti penanganan tradisional, kasus terjadi daerah pedesaan
sehingga tidak mampu mencapai rumah sakit.
Kasus kematian akibat gigitan ular di Indonesia masih tinggi, bahkan terus
meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2017, gigitan ular menewaskan 35
orang di Indonesia, pada 2018 meningkat menjadi 47 korban, dan pada 2019 menjadi
54 korban jiwa. Selama pandemi, awal Januari 2020 sampai Januari 2021, terjadi
sekitar 627 kasus gigitan ular di Indonesia dengan korban meninggal dunia mencapai
62 orang. Faktor yang berkontribusi pada mortalitas gigitan ular adalah masalah
pemilihan dan dosis anti bisa ular, keterlambatan penanganan, kematian saat
perjalanan ke fasilitas kesehatan, obstruksi jalan napas, kegagalan mempertahankan
ventilasi, kegagalan mengatasi hipovolemia, komplikasi infeksi, serta kegagalan
mengobservasi perburukan di rumah sakit.

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui langkah-langkah pertolongan pertama pada orang yang
tergigit ular.
2. Untuk mengetahui intervensi yang dapat dilakukan pada orang yang tergigit
ular.
3. Untuk mengetahui efektifitas, keamanan, dan pencegahan efek samping SAV.
C. MANFAAT
1. Memahami langkah-langkah pertolongan pada orang yang tergigit ular.
2. Memahami intervensi yang dapat dilakukan pada orang yang tergigit ular.
3. Memahami tentang efektifitas, keamanan, dan pencegahan efek samping SAV.

BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Definisi
Gigitan ular merupakan masalah kegawatdaruratan medis yang dapat mengancam
hidup manusia. Bisa ular mampu mengganggu fungsi pernapasan, menyebabkan
gangguan perdarahan, fungsi ginjal, serta merusak jaringan lokal yang menyebabkan
terjadinya disabilitas permanen dan amputasi. Gigitan ular sering terjadi di negara tropis
dan subtropic, dan dikategorikan WHO sebagai “Neglected Tropical Disease” atau
Penyakit Tropis Terabaikan.

Gigitan ular terjadi karena konfrontasi manusia dengan ular, umumnya terjadi
pada musim penghujan ketika telur-telur ular menetas atau ketika induk-induk ular
mencari tempat bersarang yang terkadang akhirnya berada di dekat tempat tinggal
manusia. Ular merupakan satwa liar yang mempunyai habitat terdekat dengan manusia.
Binatang ini masih dapat ditemukan di pohon-pohon yang berada di halaman rumah, di
pekarangan, sawah, saluran air, bahkan terkadang masuk ke kediaman warga. Ular
sendiri termasuk dalam reptilia atau hewan melata yang merupakan hewan ektotermik
atau berdarah dingin. Itu berarti, ular tidak dapat memproduksi panas tubuhnya sendiri
sehingga harus mengandalkan pada panas lingkungan sekitarnya agar bisa beraktivitas.
Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan banyak ular berada di daerah tempat
tinggal manusia.

Ular yang berkonfrontasi dan menggigit manusia kebanyakan berasal dari famili
Elapidae, dan sebagian dari Viperidae, dan dapat disebabkan karena keteledoran
pemelihara ular ataupun murni kecelakaan. Genus ular terbanyak yang menggigit adalah
Naja atau kobra. Terdapat tiga famili ular berbisa yang berada di Asia Tenggara, yaitu
Elapidae, Viperidae dan Colubridae.

1. Elapidae
Memiliki taring depan yang pendek (proteroglyph), famili ini termasuk kobra, king
kobra, kraits, dan coral snakes. Elapidae memiliki bentuk tubuh yang panjang, kurus,
warna uniform dengan sisik halus yang simetris pada bagian dorsal kepalanya. Contoh
spesies ular dari famili ini adalah Bungarus candidus (ular weling), Naja sputatrix dan
Naja sumatrana (ular kobra). Bungarus candidus atau ular weling adalah jenis ular
yang menggigit di malam hari karena bersifat nokturnal. Bisa ular weling memiliki
efek neurotoksik yang letal. Sedangkan untuk spesies Naja atau ular kobra dikenal
atas kemampuannya untuk menyemprotkan bisa dari jarak satu meter atau lebih dari
musuh dan menyebabkan venom ophtalmia. Ular kobra dapat menaikkan bagian
depan tubuhnya dan memipihkan lehernya untuk membentuk hood.
2. Viperidae
Memiliki taring panjang (solenoglyph) yang normalnya terlipat datar ke rahang atas,
dan akan muncul saat menyerang. Viperidae cenderung memiliki tubuh yang pendek,
tebal, dengan sisik kecil yang kasar pada bagian dorsum kepala. Contoh spesies ular
dari famili ini adalah Daboia siamensis (ular bandotan puspa), Cyrptelytrops
albolabris (ular hijau), dan Calloselasma rhodostoma (ular tanah). Spesies Daboia
siamensis atau ular bandotan puspa memiliki habitat di daerah agrikultur, cenderung
bergerak pasif, dan memiliki sifat nokturnal Ular bandotan puspa dan ular tanah
merupakan spesies yang tidak agresif namun dapat menyerang bila merasa terancam.
3. Colubridae
Spesies yang penting secara medis dari famili Colubridae adalah Rhabdophis
subminiatus yang dapat menyebabkan gangguan anti-hemostatis dan gagal ginjal akut.
Beberapa spesies juga terbukti menyebabkan local envenoming seperti Boiga
dendropilia (ular mangrove) dan Enhydris plumbea (ular sawah).

B. Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein. Jumlah
bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia ular. Bisa
ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur. Melalui mikroskop
elektron, dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein yang dapat menimbulkan
kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah, sehingga menyebabkan
kerusakan membran plasma. Komponen peptida bisa ular dapat berikatan dengan
reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin adalah
sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat bisa ular.

Ular berbisa yang menggigit melakukan envenomasi (gigitan yang


menginjeksikan bisa atau racun), bisa ular melewati kelenjar bisa melalui sebuah duktus
menuju taring ular, dan akhirnya menuju mangsanya. Enzim yang terdapat pada bisa ular
misalnya Larginine esterase menyebabkan pelepasan bradykinin, sehingga menimbulkan
rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat
yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan berbagai variasi
nekrosis jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel
darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan dari jaringan ikat. Amino
acid esterase menyebabkan terjadinya KID (Koagulasi Intravaskuler Dicemenata). Pada
kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen, gangguan fungsi
bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas.

Bisa ular menyebar dalam tubuh melalui saluran kapiler dan limfatik superfisial.
Aliran dari bisa ular di dalam tubuh, tergantung dari dalamnya taring ular tersebut masuk
ke dalam jaringan tubuh. Efek lokal pada luka gigitan ular berbisa adalah terjadinya
pembengkakan yang cepat dan nyeri. Bisa ular dari famili Crotalidae/Viperidae bersifat
sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan, kebocoran vaskular dan terjadi
koagulopati. Bisa ular dari famili Elapidae dan Hydrophidae terutama bersifat sangat
neurotoksik, dan mempunyai dampak seperti kurare yang memblok neurotransmiter pada
neuromuscular junction.

C. Tanda dan Gejala


Gigitan oleh Viperidae/ Crotalidae seringkali menimbulkan gejala pada tempat
gigitan berupa nyeri dan bengkak yang dapat terjadi dalam beberapa menit, bisa akan
menjalar ke proksimal, selanjutnya terjadi edem dan ekimosis. Pada kasus berat dapat
timbul bula dan jaringan nekrotik, serta gejala sistemik berupa mual, muntah, kelemahan
otot, gatal sekitar wajah dan kejang. Korban jarang mengalami syok, edem generalisata
atau aritmia jantung, tetapi perdarahan sering terjadi.
Korban gigitan ular Viperidae dapat mengalami koagulopati, dengan terdapat
beberapa kelainan komponen koagulopati (misalnya hipofibrinogenemia dan
trombositopenia). Gigitan akibat Elapidae biasanya tidak menimbulkan nyeri hebat.
Namun tidak adanya gejala lokal atau minimal, bukan berarti gejala yang lebih serius
tidak akan terjadi. Gejala yang serius lebih jarang terjadi dan biasanya gejala
berkembang dalam 12 jam, bisa yang bersifat neurotoksik, mulai dari perasaan
mengantuk sampai kelumpuhan nervus kranialis, kelemahan otot dan kematian karena
gagal napas.

Derajat berat kasus gigitan ular berbisa umumnya dibagi dalam 4 skala, yaitu
derajat 1 (minor) = tidak ada gejala, derajat 2 (moderate) = gejala lokal, derajat 3
(severe) = gejala berkembang ke daerah regional, derajat 4 (major) = gejala sistemik.
Berikut adalah tabel skor dari derajat beratnya kasus gigitan ular berbisa dari famili
Crotalidae dan famili Elapidae.

Famili Crotalidae Famili Elapidae


Derajat Tanda Gejala Derajat Tanda Gejala
1 (minor) Terdapat tanda bekas 0 (none) Riwayat digigit ular,
gigitan/ taring, tidak ada pembengkakan lokal
edem, tidak nyeri, tidak dengan tanda guratan,
ada gejala sistemik, tidak tidak ada gangguan
ada koagulopati. neurologis.
2 (moderate) Terdapat tanda bekas 1 (moderate) Derajat 0 ditambah, gejala
gigitan/taring, edem neurologis atau, disertai
local, tidak ada gejala eforia, mual, muntah,
sistemik, tidak ada parestesia, ptosis,
koagulopati kelemahan otot, paralisis,
sesak.
3 (severe) Terdapat tanda bekas 2 (severe) Gejala pada derajat 1
gigitan, edem regional (2 ditambah paralisis otot
segmen dari ekstremitas), pernapasan dalam 36 jam
nyeri yang tidak teratasi pertama.
oleh analgesik, tidak ada
tanda sistemik, teradapat
tanda koagulopati.
4 (major) Terdapat tanda bekas
gigitan, edem yang luas
terdapat tanda sistemik
(muntah, sakit kepala,
nyeri pada perut dan
dada, syok), trombosis
sistemik.

D. Penanganan dan Pemeriksaan

1. Pertolongan Pertama
Pertolongan pertama dilakukan segera setelah gigitan ular dan sebelum pasien
sampai di rumah sakit atau klinik, dapat dilakukan oleh korban maupun orang lain
dengan prosedur yang sesuai. Pertolongan pertama yang direkomendasikan adalah
upaya menenangkan korban, melakukan imobilisasi seluruh tubuh korban dengan
membaringkannya dalam recovery position¸ dan melakukan imobilisasi pada
tangan/kaki yang terkena gigitan baik menggunakan sling, splint, maupun metode
pressure bandage immobilization (PBI). Selain itu, transportasi secepat mungkin
korban menuju ke fasilitas kesehatan terdekat dan apabila memungkinkan bersama
dengan ular yang menggigit, karena akan sangat berpengaruh terhadap hasil akhir dari
penanganan medis korban. Usaha pertolongan pertama yang tradisional dan populer
di masyarakat seperti membuat insisi lokal “tattooing” pada area gigitan ular,
menghisap bisa dari luka gigitan, memasangkan tourniquet ketat pada tangan/kaki
yang terkena gigitan ular, menggunakan herbal-herbal tertentu, dan lain-lain tidak
direkomendasikan karena berpotensi untuk membahayakan korban maupun penolong.

2. Penanganan di Rumah Sakit


Gigitan ular merupakan suatu kegawatdaruratan medis, sehingga riwayat,
tanda dan gejala pasien harus didapatkan secepat mungkin agar penatalaksanaan yang
sesuai dapat dilakukan. Pasien harus ditenangkan terlebih dahulu untuk mengurangi
tingkat kecemasannya, penanganan awal berupa primary survey yang
direkomendasikan oleh panduan Advance Trauma Life Support dengan
mempertahankan Airway, Breathing, dan Circulation serta memperhatikan tanda
hemodinamik dan gejala penyebaran bisa ular. Pemberian profilaksis tetanus,
antibiotik, dan analgesic selain NSAID dapat diberikan mengingat terdapat resiko
pendarahan.
Peniliaian klinis secara detail dan identifikasi spesies:
a. Anamnesis
Terdapat 4 pertanyaan awal yang sangat baik untuk digunakan:
 Dimana (di bagian tubuh) Anda yang digigit? Tunjukkan tempatnya.
 Kapan Anda digigit? Dan apa yang sedang Anda kerjakan ketika digigit?
 Seperti apa bentuk ular yang menggigit Anda? Apakah ada yang
memotretnya?
 Bagaimana perasaan Anda saat ini? Tanda dan gejala yang ditimbulkan dari
penyebaran bisa ular sangat beragam, namun pada umumnya gejala awal yang
ditimbulkan adalah muntah, penurunan kesadaran, pingsan, pendarahan dari
bekas gigitan dan reaksi anafilaksis.
b. Pemeriksaan fisik
Dapat dimulai dari area gigitan, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik secara
umum dan spesifik. Pada area gigitan ular dapat ditemukan pembengkakan, nyeri
tekan palpasi, tanda drainase limfonodi, ekimosis, dan tanda-tanda awal nekrosis
(melepuh, perubahan warna, dan bau pembusukan). Manifestasi klinis yang dapat
di temukan pada pemeriksaaan fisik antara lain:
 Tanda-tanda vital: denyut nadi dan perbedaan tekanan darah saat duduk dan
berdiri untuk melihat adanya postural drop.
 Kulit dan membran mukosa: ptekie, purpura, ekimosis, dan pendarahan
konjungtiva.
 Sulcus gingivalis: tanda perdarahan sistemik spontan
 Hidung: epistaksis
 Abdomen: nyeri tekan abdomen sebagai tanda pendarahan intrabdomen atau
retroperitoneal
 Neurologis: lateralisasi, paralisis flaksid otot
 Gejala berupa nyeri seluruh tubuh dan warna urin yang gelap merupakan
indikasi kuat terjadinya rhabdomyolisis.
 Pada kasus gigitan ular yang terjadi pada ibu hamil dapat terjadi abortus,
kelahiran prematur, dan pendarahan antepartum/postpartum yang ditandai
dengan pendarahan vaginal.

Identifikasi spesies ular harus dilakukan guna meningkatkan efektivitas


penanganan medis, apabila memungkinkan ular dibawa atau didokumentasikan untuk
diidentifikasi oleh ahli dibidang tersebut, namun bila tidak memungkinkan informasi
terkait ciri khas ular yang menggigit dapat diambil dari keterangan pasien.

3. Pemeriksaan enunjang dan Uji Laboratorium

Minute Whole Blood Clotting Test (20WBCT) adalah tes yang memerlukan
perlengkapan sederhana seperti tabung gelas, botol atau tabung suntik yang baru,
bersih, kering. Hasil positif (non-pembekuan) menunjukkan koagulopati parah dan
kebutuhan untuk pengobatan anti bisa ular segera. Tes laboratorium yang lebih
sensitif dari pembekuan darah adalah International Normalized Ratio (INR)
berdasarkan waktu protrombin (PT) (> atau = 1,2 tidak normal), waktu activated
partial thromboplastin time (aPPT), antigen terkait fibrin (ogen) (produk degradasi
fibrin - FDP) atau D-dimer.

Tes laboratorium lainnya yang dapat dilakukan yaitu:


 Pemeriksaan darah rutin berupa hemoglobin/hematokrit, hitung trombosit, dan
hitung sel darah putih dapat dijadikan indikasi dari spesies ular yang menggigit
(contoh: peningkatan hemoglobin/hematokrit pada gigitan ular Russell’s viper,
trombositopenia pada gigitan ular viper dan australasian elapids)
 Pemeriksaan Apusan Darah Tepi (ADT) dapat ditemukan sel darah merah
terfragmentasi (“sel helm”, schistosit) yang menandakan hemolisis
mikroangiopati
 Pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal juga dapat dijadikan indikasi dari
spesies ular yang menggigit (contoh: kreatinin plasma, urea/nitrogen urea darah
dan konsentrasi kalium meningkat pada cedera ginjal akut pada gigitan ular
Russell's viper, nosed-nosed pit-viper, Aminotransferase dan enzim otot yang
meningkat menunjukkan kerusakan otot lokal dan umum pada gigitan ular laut,
beberapa kraits, beberapa Australasia Elapidae dan gigitan ular Russell's viper
dan hiponatremia pada gigitan ular kraits.
 Pemeriksaan urin: tes dipstick untuk darah, hemoglobin atau myoglobin dan
proteinuria. Mikroskopis untuk mendeteksi eritrosit dan silinder sel darah merah,
menunjukkan perdarahan glomerulus, eosinofilia menunjukkan nefritis interstitial
akut.

4. Anti Bisa Ular


Pemberian anti bisa ular dilakukan sesegera mungkin jika pasien memenuhi
indikasi, hal ini dikarenakan anti bisa ular memiliki harga yang relatif mahal dan
ketersediaannya terbatas. Di Indonesia, anti bisa ular polyvalent diproduksi oleh
Biofarma untuk menangani bisa neurotoksik Naja sputatix, Bungarus fasciatus dan
Calloselasma rhodostoma.

Indikasi pemberian anti bisa ular:


a. Keracunan Sistemik
 Gangguan hemostasis: perdarahan spontan sistemik yang jauh dari lokasi
gigitan, koagulopati (20 WBCT positif), atau INR>1.2 atau PT>4-5 detik
lebih.
 Panjang dari nilai kontrol laboratorium, atau trombositopenia (<100x10 9
/liter).
 Gejala neurotoksik: ptosis, oftalmoplegia, paralisis, dan lain-lain.
 Gangguan kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia, EKG abnormal.
 Gagal ginjal akut: oligouria/anuria, peningkatan kreatinin/urea.
 Hemoglobin/myoglobin-uria: urin cokelat gelap, dipstick, temuan hemolisis
intravaskuler atau rhabdomiolisis.
b. Keracunan Lokal
 Pembengkakan lokal lebih dari setengah tungkai yang tergigit (tanpa
tourniquet) dalam 48 jam atau pembengkakan setelah gigitan pada jari.
 Pembengkakan yang meluas: misalnya bengkak pada ankle dalam beberapa
jam setelah gigitan di kaki.
 Pembengkakan limfonodi pada daerah gigitan.
Anti bisa ular diberikan melalui intravena jika memungkinkan, baik secara
slow IV push injection (maksimum 2 ml/menit) atau infus IV yang diencerkan dengan
5 ml cairan isotonis per kg berat badan selama 30-60 menit. Di Indonesia, dosis yang
dianjurkan yaitu 2 vial SABU (10 ml) diencerkan dalam 100 ml Normal Saline 0.9%
kemudian drip 60-80 tetes per menit, dapat diulang setiap 6-8 jam. Dianjurkan
tersedia epinefrin untuk penanganan reaksi anafilaktik akibat administrasi anti bisa
ular. Pemberian secara intramuskular tidak direkomendasikan kecuali jika akses
intravena tidak memungkinkan. Setelah pemberian pertama, observasi keadaan
umum, perdarahan sistemik, serta gejala neurotoksik. Pengulangan dosis awal dapat
dilakukan jika ada gangguan koagulasi persisten setelah 6 jam atau terdapat
perdarahan setelah 1-2 jam serta timbul deteriorasi neurotoksik atau kardiovaskular
setelah 1 jam.

5. Terapi Tambahan
Pemberian kolinesterase dianjurkan terutama pada kasus keracunan
neurotoksik yang disebabkan gigitan kobra. Sebelumnya pasien diberikan atropine
sulfat (0.6 mg untuk dewasa; 50µg/kg untuk anak-anak) secara IV kemudian diikuti
neostigmine bromide atau methylsulphate (prostigmin) secara IM dengan dosis 0.02
mg/kg untuk dewasa, 0.04 mg/kg untuk anak-anak. Kemudian pasien diobservasi
selama 30-60 menit ke depan. Jika responnya baik, maka maintain dengan
neostigmine methylsulphate 0.5-2.5 mg setiap 1-3 jam hingga 10 mg/24 jam untuk
dewasa dan 0.01-0.05 mg/kg tiap 2-4 jam untuk anak-anak, injeksi IV atau subkutan
bersamaan dengan atropine.

Hipotensi dan syok dapat terjadi akibat hypovolemia. Pengukuran dengan


tensi dapat dilakukan pada posisi supinasi atau duduk. Selain itu, dapat dilakukan
passive leg raising test untuk menilai respon cairan. Terapi dengan kristaloid harus
diobservasi (tekanan JVP, laju napas, dan krepitasi), pada pasien yang mengalami
peningkatan permeabilitas kapiler dapat diberikan vasokonstriktor seperti dopamin.
Selain itu, evaluasi adanya tanda-tanda gagal ginjal akut seperti oligouri, peningkatan
kreatinin serum, dan sindrom uremia. Pada pasien oligouri dapat dilakukan fluid
challenge atau furosemide test. Dialisis dapat dilakukan jika terjadi tanda-tanda
uremia (ensefalopati, perikarditis), overload cairan yang tidak merespon dengan
diuretik, asidosis simptomatik, dan nilai ureum >130 mg/dl atau kreatinin >4 mg.
6. Manajemen Luka Gigitan Ular

Pada bagian tubuh yang digigit dapat terbentuk bulla yang besar dan tegang
yang membutuhkan aspirasi jika terancam ruptur. Abses harus dibersihkan, surgical
debridement diindikasikan untuk menghilangkan risiko sepsis Risal anaerobik. Agar
tidak terjadi infeksi pada luka gigitan, pasien dapat diberikan antibiotik spektrum luas
seperti gentamisin dan benzylpenisilin, amoxicillin atau cefalosporin dan gentamisin.
Deteksi dini terhadap sindrom kompartemen juga penting, observasi adanya tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakompartemen seperti pembengkakan disertai nyeri
hebat yang immobile dan dingin. Anti bisa ular harus segera diberikan karena dapat
menurunkan tekanan dan myonekrosis. Fasiotomi hanya diindikasikan jika tidak ada
perbaikan setelah pemberian anti bisa ular.

7. Penilaian Pulang

Sebelum pulang dari rumah sakit, lakukan diskusi dengan pasien atau keluarga
pasien mengenai implikasi terjadinya gigitan ular dan proses penyembuhan,
rehabilitasi dengan latihan untuk mengembalikan fungsi tungkai yang terkena gigitan,
kontrol rutin setiap 1-2 minggu untuk melihat kemajuan penyembuhan, dan
pemberian nasihat serta edukasi untuk mencegah terjadinya gigitan ular yang dapat
dibagikan ke keluarga atau kerabat terdekat.

BAB III

PENCARIAN LITERATURE
3.1.Kasus
Seorang satpam meninggal akibat digigit ular pada Selasa, 21 Agustus 2019.
Satpam tersebut berniat untuk menangkap seekor ular ats laporan warga sekitar. Saat
berusaha menangkap ular, satpam tersebut digigit dibagian jari kelingking. Satpam
tersebut berusaha melakukan pertolongan pertama dengan menghisap bisa ular
menggunakan mulut. Usaha tersebut gagal dan satpam dilarikan ke rumah sakit.
Nyawa satpam tersebut tidak tertolong dan dinyatakan meninggal dunia.

3.2.Proses Pencarian Artikel


a. Pertanyaan klinis.
“Bagaimana pertolongan pertama pada korban yang tergigit dan terkena bisa
ular?”
b. Strategi pencarian artikel.
P: envenomation
I: first aid
C:-
O: effectiveness

Kata kunci: ((envenomation*) and (first aid*) and (effectiveness))


c. Hasil pencarian artikel.
Gambar 1 Flow Chart Pencarian Artikel

3.3.Identitas Artikel
Judul Interventions for the management of snakebite envenoming: An
overview of systematic reviews
Penulis Bhaumik, S; Beri, D; Lassi, Z. S; Jagnoor, J
Tahun terbit 2020
Nama jurnal PLOS NEGLECTED TROPICAL DISEASE
DOI https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0008727
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1.Pembahasan Artikel
1. Latar belakang.
Gigitan ular adalah penyakit tropis terabaikan yang menyebabkan 120.000
kematian setiap tahun. Gigitan ular sebagian besar terjadi pada masyarakat
pedesaan dan suku di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika. Envenomation
gigitan ular memiliki banyak manifestasi klinis karena beragamnya bisa ular.
Pengelolaan pertolongan pertama, efek lokal, efek sistemik, dan pengelolaan
komplikasi sangat penting untuk mencegah kecacatan. Berbagai jenis snake anti
venom (SAV) merupakan intervensi khusus yang dapat diberikan. Pada tahun
2019, WHO telah membuat strategi komprehensif untuk mengurangi kematian
akibat racun ular. Bukti ilmiah dibutuhkan untuk menentukan tindakan yang harus
dilakukan.
2. Metode dan analisis.
Metode yang digunakan adalah Overview Systematic Review tanpa
membandingkan keefektifan setiap intervensi.
Kriteria inklusi:
- Desain penelitian: systematic review.
- Populasi: systematic review yang menyertakan penelitian tentang pasien
yang dirawat karena gigitan ular tanpa melihat spesies ular, jenis kelamin
pasien, dan usia pasien.
- Intervensi: segala jenis tindakan medis, bedah, komplementer, dan
alternatif.
- Outcomes primer: kematian, early adverse reaction (EAR), late adverse
reactions (LAR) terhadap SAV, komplikasi, proporsi luka yang sembuh,
dan kesehatan mental.
- Outcomes sekunder: durasi rawat inap, kualitas hidup, biaya, kondisi luka,
kematian dan kecacatan.
a. Metode pencarian dan identifikasi.
Database yang digunakan: vid MEDLINE(R), Global Health,
EMBASE, Cochrane Database of Systematic Reviews, Database of
Abstracts of Reviews of Effects, Cochrane Clinical Answers, Cochrane
Central Register of Controlled Trials, Cochrane Methodology Register,
Health Technology Assessment, NHS Economic Evaluation Database, APA
PsycInfo, CINAHL by EBSCO-Host, and the Campbell Library.
b. Seleksi.
Pada tahap awal, kedua penulis melakukan screening judul dan abstrak
secara independen untuk menentukan artikel yang akan digunakan dan
tidak. Ketidaksepakatan diselesaikan dengan consensus.
c. Ekstraksi dan manajemen data.
Dua penulis mengekstraksi data secara independen ke dalam lembar
ekstraksi data.
d. Sintesis.
Hasil systematic review disintesis secara naratif tanpa menambahkan
analsisi kuantitatif. Sistesis dikelompokkan berdasarkan jenis intervensi.
e. Penilaian kualitas metodologi systematic review secara independen oleh
dua penulis dengan kriteria AMSTAR-2
3. Hasil.
Pencarian artikel mendapatkan 13 artikel dengan karakteristik sebagai berikut:
- 1 sistematyc review melihat secara komprehensif semua intervensi
pertolongan pertama gigitan ular untuk orang awam.
- 6 systematic review tentang efektivitas dan keamanan berbagai jenis SAV.
- 2 systematic review tentang pencegahan efek samping SAV.
- 1 sytematic review tentang intervensi lain (intervensi bedah pada gigitan
crotaline)
4. Sintesis hasil.
a. Pertolongan pertama gigitan ular
Tourniquet.
- Tidak ada perbedaan yang signifikan antara korban yang dipasang
tourniquet dengan kejadian kematian dan disabilitas.
- Tidak ada perbedaan signifikan antara korban yang dipasang tourniquet
dengan kejadian gagal ginjal akut, gagal napas, dan gangguan multi organ.
- Tidak ada perbedaan signifikan antara korban yang dipasang tourniquet
dengan lama rawat inap.
- Tidak ada perbedaan signifikan antara korban yang dipasang tourniquet
dengan kejadian nekrosis jaringan.
- Peningkatan pembekakan lokal akibat penggunaan tourniquet.
Insisi luka.
- Tidak ada perbedaan signifikan antara insisi luka dan kejadian kematian
atau kecacatan.
- Tidak ada perbedaan signifikan antara insisi luka dengan kejadian
sindroma hemoragik.
- Terdapat peningkatan yang signifikan pembekakan lokal pada korban
yang dilakukan insisi.
- Terdapat penurunan yang signifikan durasi rawat inap pada korban yang
diinsisi.
Menghisap luka gigitan.
- Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara menghisap luka gigitan
dengan lama rawat inap, kematian, dan kecacatan.
Pengobatan dengan snake stone.
- Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara penggunaan snake stone
dengan lama rawat inap, kematian, dan kecacatan.
Obat dan ramuan tradisional.
- Ramuan oles tradisional meningkatkan kematian atau kecacatan paa
korban gigitan ular.
- Peningkatan secara signifikan kemungkinan kematian dan kecacatan pada
pasien yang meminum ramuan tradisional.
b. Efektifitas dan keamanan SAV.
- Crotalidae polyvalent immune fab (FabAV). Empat dari 47 anak
mengalami efek samping. Tiga anak mengalami EAR dan 1 LAR. Tidak
ada pasien yang mengalami perdarahan sistemik.
- FabAV memiliki risiko 8% hipersensitivitas pada racun ular crotaline.
- SAV menurunkan 75% kematian akibat racun ular.
- ETPlus lebih efektif dari pada EchiTabG, namun lebih kurang aman
terhadap racun echis ocellatus.
- Inosepr-Pan African mampu mengembalikan koagulabilitas darah dalam
24 jam.
- Fav-Afrique tidak mengakibatkan efek samping dan kematian.
- SAIMR Echis tidak mengakibatkan kematian dan mampu mengembalikan
hematologis dengan cepat.
- ASNA Antivenom tidak efektff dalam memulihkan koagulopati darah dan
menyebabkan banyak alergi.
- Dosis (rendah = 20-220ml dan tinggi = 40-550ml).
Tidak ada pebedaan yang signifikan antara pemberian dosis rendan
atau dosis tinggi dengan angka kematian, komplikasi neurologis, gagal
ginjal akut, dan pendarahan. Gatal, urtikaria, dan eritema terjadi pada 8
dari 60 pasien dosis rendah dan 30 pasien dosis tinggi. Pasien dosis rendah
memiliki lama rawat inap yang lebih sedikit dan pengehmatan
pengeluaran.
c. Pencegahan efek samping SAV.
Profilakis untuk mencegah EAR:
- Adrenalin: pasien yang menerima adrenalin mengalami EAR yang lebih
rendah terhadap SAV.
- Steroid: tidak ada perbedaan kejadian EAR pada pasien yang menerima
hidrokortison dan placebo.
- Antihistamin: tidak ada perbedaan kejadian EAR pada pasien yang
menerima prometazin dan placebo.
- Steroid dan antihistamin: tidak dapat dibuktikan karena kekurangan data
dan masalah kualitas data.
d. Intervensi lain
- Eksisi jaringan didekat gigitan crotaline spp dan perendaman dengan air
es memberikan hasil yang lebih buruk.
- Fasiotomi profilaksis tidak memberikan hasil yang lebih baik untuk
mencegah sindroma kompartemen.
- Fasiotomi terapeutik pada pengobatan sindroma kompartemen
menurunkan myonekrosis. Fasiotomi diberikan saat terapi antivenom
gagal memperbaiki perfusi jaringan.
4.2.Kekuatan Artikel
a. Artikel berisi mengenai berbagai cara penanganan gigitan ular mulai dari
pertolongan pertama, pemberian antivenom, pencegahan efek samping
antivenom, dan terapi pembedahan.
b. Artikel memaparkan dengan jelas setiap systematic review yang dianalisis satu
per satu.
c. Overview systemaic review memungkinkan pembaca mendapatkan banyak
informasi dari berbagai penelitian dengan hanya membaca 1 artikel.
4.3.Kelemahan Artikel
a. Berdasarkan hasil AMSTAR-2 yang terdapat didalam artikel, dua belas dari
13 artikel yang dianalisis memiliki nilai kepercayaan sangat rendah. Hanya 1
artikel yang memiliki kualitas tinggi yaitu SAV tidak mengakibatkan
kelumpuhan neuromuscular.
b. Beberapa intervensi yang dibahas tidak menyajikan bukti yang berkualitas.
c. Penulis artikel tidak melakukan pembandingan antara 1 intervensi dengan
intervensi yang lain.
d. Penulis artikel tidak menyajikan kesimpulan dari hasil sintesis yang telah
dilakukan.
4.4.Penerapan di Indonesia
a. Tidak semua pertolongan pertama pada gigutan ular yang disampikan didalam
artikel dapat diterapkan di Indonesia. Pengikatan diatas luka gigitan dapat
mencegah penyebaran bisa luka melalui pembuluh darah, namun tidak
dianjurkan (RSUP Dr. Kariadi, 2021). Pengikatan yang terlalu kencang dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan. Pengeluaran bisa dengan menghisap
menggunakan mulut tidak dianjurkan karena berisiko penyebaran bisa melalui
saluran pencernaan (RSUP Dr. Kariadi, 2021). Pemberian olesan obat
tradisional juga tidak disarankan karena berisiko menimbulkan infeksi (RSUP
Dr. Kariadi, 2021). Imobilisasi pada area gigutan dapat dilakukan untuk
mengurangi peredaran darah di area lokasi gigitan (RSUP Dr. Kariadi, 2021).
Segera membawa korban ke fasilitas pelayanan kesehatan merupakan cara
terbaik.
b. Injeksi antivenom merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi bisa ular.
Setiap ular memiliki karakteristik yang berbeda dan setiap antivenom juga
memiliki karakteristik yang berbeda. Antivenom yang disebutkan didalam
article mungkin akan cocok digunakan sesuai dengan kondisi dan lokasi
penelitian. Di Indonesia, antivenom yang tersedia adalah serum anti bisa ular
(SABU) polivalen dengan dosis sesuai derajat venomisasi (RSUP Dr. Kariadi,
2021).
c. Fasiotomi pada pasien gigitan ular sebaiknya ditunda hingga abnormalitas
hemostasis terkoreksi (Jaya & Panji, 2016)

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Memastikan perawatan yang aman dan efektif yang dapat menurunkan
beban gigitan ular membutuhkan pelaksanaan review sistemik berkualitas
tinggi. Kurangnya review sistemik berkualitas tinggi menghambat
pengembangan pedoman, karena menginformasikan penelitian utama tentang
gigitan ular merupakan hal prioritas.

DAFTAR PUSTAKA

Bhaumik, S., Beri, D., Lassi, Z. S., & Jagnoor, J. (2020). Interventions for The Management
of Snakebite Evenoming: An Overview of Systematic Reviews. PLOS Neglected
Tropical Disease, 14(10).
Jaya, A., & Panji, I. (2016). Tata Laksana Gigitan Ular yang Disertai Sindrom Kompartemen
di ruang Terapi Intensif. MEDICINA, 50(2), 188-193.

RSUP Dr. Kariadi. (2021). Penanganan Gigitan Ular. Retrieved from


https://www.rskariadi.co.id/news/225/PENANGANAN-GIGITAN-ULAR/Artikel

Dafa, M. H., & Suyanto, S. (2021). Kasus Gigitan Ular Berbisa di Indonesia. J. Pengabdian
Masyarakat MIPA dan Pendidikan MIPA, 5(1), 47-52. Retrieved September 6, 2021,
from https://journal.uny.ac.id/index.php/jpmmp/article/view/29343/pdf

Hifumi, T., Sakai, A., Kondo, Y., Yamamoto, A., Morine, N., Ato, M., . . . Kuroda, Y.
(2015). Venomous Snake Bites: Clinical Diagnosis and Treatment. Journal of
Intensive Care, 3(16), 1-9. doi:10.1186/s40560-015-0081-8

Niasari, N., & Latief, A. (2016). Gigitan Ular Berbisa. Sari Pediatri, 5(3), 92-98. Retrieved
September 6, 2021

Wintoko, R., & Prameswari, N. P. (2020). Manajemen Gigitan Ular. JK Unila, 4(1), 45-52.
Retrieved September 6, 2021, from
http://repository.lppm.unila.ac.id/25346/1/Management%20gigitan%20Ular%20juke
%202020.pdf

WHO. Guidelines for Management of Snake-bites, 2nd Edition. World Health Organization,
2016.
World Health Organization. Factsheet of snakebite envenoming [internet]. Geneva: Word
Health Organization. 2019.

Alirol E, Sharma SK, Bawaskar HS, Kuch U, Chappuis F. Snakebite in south asia: a review.
PLoS Negl Trop Dis. 2010; 4(1): e603.

Ariaratnam CA, Sheriff MH, Theakston RD, Warrell DA. Distinctive epidemiology and
clinical features of common krait (Bungarus caeruleus) bites in Sri Lanka. Am J Trop
Med Hyg. 2008; 79: 458-462.
Adiwinata R, Nelwan EJ. Snakebite in Indonesia. Acta Med Indones. 2015; 47(4): 358-365.

Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N. The global burden of snakebite: a literature


analysis and modelling based on regional estimates of envenoming and deaths. PLoS
Med. 2008; 5(11): e218.

Warrell DA. Snakebite. Lancet. 2010; 375(9708): 77-88.

Guiterrez JM, Theakston RDG, Warrell DA. Confronting the neglected problem of snakebite
envenoming: the need for a global partnership. PLoS Med. 2006;3(6): e150.

Anda mungkin juga menyukai