**Pembimbing
SNAKE BITE
BAGIAN BEDAH
UNIVERSITAS JAMBI
2019
LEMBAR PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSION
SNAKE BITE
Oleh:
G1A218098
PENDAHULUAN
Gigitan ular merupakan salah satu kegawatdaruratan medis dan penyakit akibat
okupasi yang sering diabaikan oleh tenaga medis, paramedis maupun pemangku
kebijakan kesehatan sehingga sangat terbatas untuk dipelajari karena sistem
pelaporan yang lemah. Ular golongan Viperidae sering ditemukan di wilayah Asia
Tenggara memiliki bisa dengan kandungan hematotoksin dengan mekanisme aktivasi
faktor koagulasi, trombositopenia, hiperfibrinolisis, dan koagulasi intravaskular luas.1
Ular berbisa dapat ditemukan hampir di seluruh dunia (termasuk di lautan),
kecuali pada beberapa pulau, lingkungan yang beku dan pada tempat dengan
ketinggian ekstrim. Kasus kematian maupun keracunan akibat gigitan ular,
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Di beberapa lokasi,
penderita gigitan ular mengalami morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi karena
akses terhadap pelayanan kesehatan yang buruk, suboptimal dan pada waktu tertentu
mengalami kesulitan dalam persediaan anti-bisa yang merupakan satu-satunya terapi
spesifik.1
Ditemukan jumlah yang cukup besar penderita yang selamat setelah gigitan ular
dengan disabilitas secara fisik yang besar karena nekrosis jaringan dan disabilitas
secara psikis juga memperberat keadaaan. Efeknya cukup besar tetapi gigitan ular
belum mendapatkan perhatian oleh tenaga kesehatan maupun pemangku kebijakan
kesehatan sehingga dapat dikategorikan sebagai penyakit tropis yang terabaikan.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Snake Bite
Gigitan ular atau snake bite dapat disebabkan ular berbisa dan ular tidak berbisa.
Gigitan ular yang berbisa mempunyai akibat yang beragam mulai dari luka yang
sederhana sampai dengan ancaman nyawa dan menyebabkan kematian. Gigitan ular
lebih umum terjadi di wilayah tropis dan di daerah dimana pekerjaan utamanya
adalah petani.2
2.1.1. Epidemiologi
Diperkirakan setidaknya 421.000 kasus envenomasi (injeksi bisa terhadap korban
melalui sengatan/ gigitan oleh hewan berbisa) dan 20.000 kematian timbul setiap
tahunnya di seluruh dunia akibat gigitan ular. Sebagian besar perkiraan kejadian
gigitan ular dijumpai di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Sub-Sahara Afrika,
Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Kasus gigitan ular yang bervariasi secara
geografik dan musiman, terutama pada daerah pedesaan tropikal dimana pelaporan
dan pendataan masih kurang, dan sifat pengobatan yang masih dibagi kepada
pengobatan tradisional yang kadang lebih dipilih dibandingkan pengobatan Barat,
berkontribusi terhadap kesulitan untuk mempelajari epidemiologi gigitan ular.3
WHO (World Health Organitation) menyebutkan sebanyak 5 juta orang setiap
tahun digigit ular berbisa sehingga mengakibatkan sampai 2,5 juta orang keracunan,
sedikitnya 100.000 orang meninggal, dan sebanyak tiga kali lipat amputasi serta cacat
permanen lain.3
Laki-laki umumnya lebih sering terkena dibanding perempuan, kecuali pada
tempat pekerjaan yang didominasi perempuan seperti perkebunan kopi dan teh. Usia
puncak terkena adalah usia anak dan dewasa muda dengan puncak case fatality pada
usia dewasa muda dan tua. Pada wanita hamil gigitan ular dapat berisiko pada janin
dan ibu karena efek perdarahan dan aborsi. Gigitan ular paling banyak bertempat di
tungkai bawah dan pergelangan kaki para pekerja.1
2.1.2 Klasifikasi Ular Berbisa
WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional Asia
tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara (Elapidae,
Viperidae, dan Colubridae) :1
1. Elapidae: memiliki taring yang relatif pendek pada bagian depan. Contoh
yang termasuk famili ini adalah kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan
ular laut. Elapidae berbentuk relatif panjang, tipis dan memiliki warna yang
relatif sama dengan sisik lebar dan halus pada bagian dorsal kepala. Beberapa
spesies kobra dapat mengeluarkan taringnya dari jarak 1 meter atau lebih ke
arah yang dianggap berbahaya1
2. Vipiridae: memiliki taring yang panjang yang secara normal terlipat pada
rahang atas, namun dapat muncul ketika ular akan menyerang. Viperidae
memiliki tubuh pendek, namun tebal dengan sisik kecil dan kasar di bagian
dorsal kepala yang membentuk pola warna pada seluruh bagian dorsal tubuh.1
Gambar 2.2. Salah satu yang termasuk famili Viperidae.
Berdasarkan 3 famili diatas, ular yang memiliki pola dan corak yang sesuai dengan
yang menggigit pasien 2 termasuk dalam vipiridae, subfamili crotalinae dengan nama
latin Calloselasma rhodostoma1.
Gambar 2.4. Calloselasma rhodostoma
Manifestasi lokal
Setelah gigitan ular berlangsung 6–30 menit, daerah luka terasa nyeri yang
menyebar dan teraba lunak, dan berkembang memerah. Kemudian tampak
membusung (oedema), bengkak dan membentuk gelembung (bullae) dan secara cepat
memenuhi tubuh. Lidah terasa pedas dan kaku, mulut dan batok kepala serta sekitar
luka gigitan tidak berasa (paresthesias). Di sekitar luka gigitan pembuluhan
(vaskularisasi) terhenti dan terjadi kematian jaringan (nekrosis) sebagai permulaan
kelemayuh (gangren). Akibat gigitan ular bisa terjadi infeksi oleh Pseudomonas
aeruginosa, Bacteriodes fragilis,Clostridium dan Proteus yang berbentuk
kelompokan (kolonisasi) di tempat bekas gigitan ular.4
Manifestasi sistemik
Beberapa spesies ular bergantung pada perubahan patofisiologis racun, seperti:
kobra dan krait, berpengaruh meracuni saraf (nerotoksik). Ular berbisa (viper) seperti
ular laut mengakibatkan perdarahan dan meracuni otot (miotoksik). Peracun saraf
(nerotoksik) hasil tubokurarine berupa hambatan di persaraf-ototan (neuro-muskular),
sehingga terjadi layuhan menggelambir (paralisis flasid). Kelayuhan (paralisis)
meluas dengan menyerang otot palatum, dagu, lidah, pangkal tenggorok (laring),
leher dan otot telan. Umumnya otot dikendalikan oleh saraf otak, pupil beraksi
(reaktif) menyempit hingga detik akhir. Otot dada lebih lama bertahan dengan nyeri
sekat rongga badan (diagfragma), sehinga terjadi kelayuhan (paralisis) sampai detik
akhir.4
2.1.4 Patofisiologi
Komposisi bisa ular 90% adalah protein. Setiap bisa ular dapat mengandung lebih
dari 100 protein yang berbeda: enzim (80-90% pada viperidae dan 25-70% pada
elapidae), polipeptida toksin non-enzim dan protein non-toksin seperti nerve growth
factor. Bisa ular mengandung enzim hidrolase, hialuronidase dan aktivator maupun
penghambat proses fisiologis seperti kiniogenase. Kebanyakan venom mengandungl-
amino acid oxidase, phosphomono-dan diesterases, 5’-nucleotidase, DNAase, NAD-
nucleosidase, phos-pholipase A2 and peptidases2. Selain protein, komponen lain
yang dapat ditemuk-an dalam bisa ular adalah lemak, polisakarida, riboflavin,
histamin dan serotonin.1
1. Zinc Metalloproteinase Haemorrhagins: memiliki efek menghancurkan
endotel vasku-lar, menyebabkan perdarahan.1
2. Enzim prokoagulan: Bisa ular Vipiridae dan beberapa Elapidae dan Clubridae
memiliki protease serin dan enzim prokoagulan lain yang memiliki struktur
seperti trombin yang mengaktivasi faktor X, protrombin dan faktor pembekuan
lain. Enzim ini menstimulasi pembekuan darah dengan pembentukan fibrin pada
aliran darah. Secara paradoks, proses ini berujung pada ketidak-mampuan darah
berkoagulasi karena banyak fibrin yang dihasilkan langsung diurai oleh plasmin
tubuh dan kadang-kadang dalam 30 menit dari gigitan, kadar faktor pembekuan
sangat menurun (koagulopati konsumtif) menyebabkan darah tidak akan
membeku. Beberapa bisa ular juga memiliki faktor antihemostatik. Bisa Uar
Viper Russel memiliki toksin yang mengaktivasi faktor V, X, IX dan XII,
fibrinolisi, Protein C, agregasi trombosit, antikoagulasi dan perdarahan.1
3. Phospolipase A2 (lechitinase): merupakan enzim yang banyak dipelajari pada
bisa ular. Enzim ini menghancurkan mitokondria, sel darah merah, leukosit,
trombosit, akhiran serabut saraf, otot lurik, endotel vaskular dan membran lain.
Enzim ini menghasilkan aktivitas neuro-toksin presinaptik, efek sedasi seperti
opiat yang akan menyebabkan pelepasan histamin dan zat antikoagulan.1
4. Asetilkolinesterase: ditemukan pada bisa Elapidae, enzim ini tidak memberikan
efek neuro-toksitas.1
5. Hialuronidase: memberikan efek penyebaran bisa pada jaringan. Enzim ini
termasuk enzim proteolitik (metaloproteinase, endopeptidase atau hidrolase) dan
sitotoksin polipeptida (kardiotoksin) yang akan meningkatkan permeabilitas
vaskular yang berakibat edema, pembentukan bula dan nekrosis tempat gigitan.1
Gambar 2.5. Perbandingan ular berbisa dan tidak berbisa di Amerika Serikat
Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila
dijumpai keadaan berikut : 6
1. Ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa.
2. Ekstensi awal yang cepat dari pembengkakan lokal daerah gigitan.
3. Pembesaran awal kelenjar getah bening lokal, menandakan penyebaran bisa di
sistem limfatik.
4. Simptom sistemik awal.
5. Perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi).
6. Adanya urine berwarna coklat-gelap.
2.1.6 Tatalaksana
Prinsip pertolongan pertama terhadap gigitan ular adalah menghindarkan
penyebaran bisa dan yang kedua adalah mencegah terjadinya infeksi pada bagian
yang digigit. Dulu pernah dikenal cara perawatan ala John Wayne yaitu “iris, isap dan
muntahkan” (slice, suck and spit) atau tindakan insisi, penghisapan dengan mulut dan
dimuntahkan sebagai upaya untuk mengeluarkan bisa dan mencegah penyebaran bisa
ke seluruh tubuh .2
Insisi atau eksisi pada daerah luka gigitan ular dapat merusak urat syaraf dan
pembuluh darah. Adanya luka gigitan ular terbuka juga menimbulkan resiko
peradangan yang salah satu tandanya adalah pembengkakan. Namun kenyataan di
lapangan, beberapa kasus gigitan ular masih dilakukan tindakan insisi.2
Tindakan yang dikerjakan untuk menolong penderita yang digigit ular berbisa
adalah dengan mengusahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh
lubang bekas masuknya taring ular sepanjang dan sedalam ½ cm, kemudian
lakukan penghisapan mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat dihisap
dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan akan
dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan
berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak 2 ½ cm dari
lubang gigitan, sampai kedalaman fasia otot.2
Pemberian antibisa ular harus sesegera mungkin diberikan. Antibisa ular dapat
berefek setelah beberapa hari atau jika terdapat abnormalitas hemostasis, dalam 2
minggu atau lebih. Dapat disarankan agar antibisa ular tetap diberikan selama
terdapat gangguan hemostasis. Antibisa ular masih kontroversi dalam hal efeknya
terdapat nekrosis, namun beberapa bukti dapat me-nunjukkan bahwa antibisa ular
dapat mengurangi nekrosis jika langsung diberikan dalam beberapa jam pertama
setelah gigitan.1
Dalam pemberian antibisa ular, perlu selalu disiapkan epinefrin untuk terapi
emergensi apabila terjadi reaksi alergi terhadap antibisa ular.
BAB III
KESIMPULAN
Gigitan ular merupakan salah satu kegawatdaruratan medis dan penyakit akibat
okupasi yang sering diabaikan oleh tenaga medis, paramedis maupun pemangku
kebijakan kesehatan sehingga sangat terbatas untuk dipelajari karena sistem
pelaporan yang lemah. Ular golongan Viperidae sering ditemukan di wilayah Asia
Tenggara memiliki bisa dengan kandungan hematotoksin dengan mekanisme aktivasi
faktor koagulasi, trombositopenia, hiperfibrinolisis, dan koagulasi intravaskular luas.1
Gigitan ular atau snake bite dapat disebabkan ular berbisa dan ular tidak berbisa.
Gigitan ular yang berbisa mempunyai akibat yang beragam mulai dari luka yang
sederhana sampai dengan ancaman nyawa dan menyebabkan kematian. Gigitan ular
lebih umum terjadi di wilayah tropis dan di daerah dimana pekerjaan utamanya
adalah petani.2
WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional Asia
tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara (Elapidae,
Viperidae, dan Colubridae)
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara
yang menghambat respon pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Efek toksik bisa ular saat menggigit
tergantung spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan:
apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit, serta banyaknya serangan yang
terjadi.
Prinsip pertolongan pertama terhadap gigitan ular adalah menghindarkan
penyebaran bisa dan yang kedua adalah mencegah terjadinya infeksi pada bagian
yang digigit. Dulu pernah dikenal cara perawatan ala John Wayne yaitu “iris, isap dan
muntahkan” (slice, suck and spit) atau tindakan insisi, penghisapan dengan mulut dan
dimuntahkan sebagai upaya untuk mengeluarkan bisa dan mencegah penyebaran bisa
ke seluruh tubuh .2
DAFTAR PUSTAKA
1. Medikanto AR, Lothar, Sri S. Viperidae snake bite. 2017;2(2):361-72.
2. Cholifah TH, Athanasia BA. Kecepatan penurunan pembengkakan luka snake
bite dengan insisi dan non insisi.2010. 3
3. Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK,
Pathmeswaran A, Premaratna R, et al. (2009) The global burden of snakebite:
A literature analysis and modelling based on regional estimates of
envenoming and deaths. PLoS Med 5(11):218.
4. Prihatini, Trisnaningsih, Munchdor. Penyebaran gumpalan dalam pembuluh
darah (Disseminated intravascular coagulation caused by venom snake bite)
akibat racun gigitan ular. Indonesian journal of dlinical pathalogy and medical
laboratory.2007;14(1):37-41.
5. Gold BS, Dart RC & Barish RA. (2002) Bites of venomous snake. N Engl J
Med 347(5):347-356.
6. Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A & Pal J. (2008)
Emergency treatment of a snake bite: Pearls from literature. J Emer Trauma
Shock 1(2):97-105.