Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA Tn. C DENGAN DIAGNOSA GIGITAN ULAR

DEPARTEMEN PROFESIONAL EMERGENCY

Oleh :

MOHAMAD ROBIETH ALHADY WAFA


40220020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2020
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA Tn. C DENGAN DIAGNOSA GIGITAN ULAR

DEPARTEMEN PROFESIONAL EMERGENCY

Nama Mahasiswa : Mohamad Robieth Alhady Wafa


NIM : 40220020
Nama Institusi : Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri

Kediri, 17 April 2021

Mengetahui,

Dosen Pembimbing Kaprodi

……………………………….…..…... ………………………..………………

NIK. NIK.
LAPORAN PENDAHULUHAN

A. DEFINISI
Gigitan ular (snake bite) adalah penyakit akibat lingkungan dan pekerjaan
yang sering dan umum dijumpai, khususnya di daerah rural negara-negara
tropis. Bisa ular merupakan toksin yang kaya akan protein dan peptida yang
memiliki spesifisitas yang luas pada reseptor-reseptor jaringan sehingga
menjadi tantangan sendiri di dunia medis terutama dalam membuat obat-
obatan. Walaupun angka pasti mortalitas dan morbiditas gigitan ular masih
belum diketahui, sekitar ratusan sampai ribuan pasien diketahui terkena bisa
ular dan 10 dari 1000 meninggal karena gigitan ular setiap tahunnya (Warrell,
2010).
Efek utama dari gigitan ular menyerang sistem saraf, ginjal, jantung, proses
pembekuan darah, endotel vaskular dan efek lokalis gigitan ular. Kebanyakan
korban gigitan ular mencari pengobatan tradisional, hanya kasus berat yang
akhirnya mencari pertolongan medis (Ludhiana, 2012). Hampir sebagian besar
metode pengobatan tradisional yang ada menyebabkan bahaya yang lebih besar
dibandingkan manfaat (WHO, 2016).
Upaya preventif ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
mengenai pentingnya penggunaan alas kaki yang benar dan mengurangi risiko
kontak dengan ular. Penatalaksanaan utama pada gigitan ular (snake bite)
adalah menggunakan anti bisa ular (Warrell, 2010).

B. KLASIFIKASI
Gigitan ular berbisa diklasifikan beberapa derajat, antara lain:
1. Derajat 0
Dengan tanda-tanda tidak keracunan, hanya ada bekas taring dan gigitan
ular, nyeri minimal dan terdapat edema dan eritema kurang dari 1 inci dalam
12 jam, pada umumnya gejala sistemik yang lain tidak ada.
2. Derajat I
Terjadi keracunan minimal, terdapat bekas taring dan gigitan, terasa sangat
nyeri dan edema serta eritema seluas 1-5 inci dalam 12 jam, tidak ada gejala
sistemik.
3. Derajat II
Terjadi keracunan tingkat sedang terdapat bekas taring dan gigitan, terasa
sangat nyeri dan edema serta eritemayang terjadi meluas antara 6-12 inci
dalam 12 jam. Kadang- kadang dijumpai gejala sistemik seperti mual,
gejalaneurotoksi, syok, pembesaran kelenjar getah beningregional.
4. Derajat III
Terdapat gejala keracunan yang hebat, bekas taring dan gigitan, terasa
sangat nyeri, edema dan eritema yang terjadi luasnya lebih dari 12 inci
dalam 12 jam. Juga terdapat gejala sistemik seperti hipotensi, petekhiae, dan
ekimosis serta syok.
5. Derajat IV
Gejala keracunan sangat berat, terdapat bekas taring dan gigitan yang
multiple, terdapat edema dan lokal pada bagian distal ekstremitas dan gejala
sistemik berupa gagal ginjal, koma sputum berdarah

C. ETIOLOGI
Karena gigitan ular yang berbisa, yang terdapat 3 famili ular yang berbisa,
yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan
perubahan local, seperti edema dan pendarahan. Banyak bisa yang
menimbulkan perubahan local, tetapi tetap dilokasi pada anggota badan yang
tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan
dalam waktu 8 jam. Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada 2 macam :
1. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan
menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel
darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada
selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
2. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan- jaringan sel saraf
sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan- jaringan sel saraf tersebut
mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan
hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi
susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti
saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah
melalui pembuluh limphe.

D. PATOFISIOLOGI
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di
bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang
atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis
bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan
pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang
hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat
memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan. Bisa
biasanya berupa cairan.
Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan penghancurnya.
Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah di identifikasi pada bisa
pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensia untuk
kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah
perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek
lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan
interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya
berupa kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat
sekunder terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan
minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat menyebabkan
pemburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan
oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan
gangguan ginjal (Daley, Brian James MD, 2010).
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala awal terdiri dari satu atau lebih tanda bekas gigitan ular,rasa
terbakar, nyeri ringan, dan pembengkakan local yang progresif. Bila timbul
parestesi, gatal, dan mati rasa perioral, atau fasikulasi otot fasial, berarti
envenomasi yang bermakna sudah terjadi. Bahaya gigitan ular racun pelarut
darah adakalanya timbul setelah satu atau dua hari, yaitu timbulnya gejala-
gejala hemorrhage (pendarahan) pada selaput tipis atau lender pada rongga
mulut, gusi, bibir, pada selaput lendir hidung, tenggorokan atau dapat juga
pada pori-pori kulit seluruh tubuh. Pendarahan alat dalam tubuh dapat kita lihat
pada air kencing (urine) atau hematuria, yaitu pendarahan melalui saluran
kencing. Pendarahan pada alat saluran pencernaan seperti usus dan lambung
dapat keluar melalui pelepasan (anus).
Gejala hemorrhage biasanya disertai keluhan pusing-pusing kepala,
menggigil, banyak keluar keringat, rasa haus, badan terasa lemah, denyut nadi
kecil dan lemah, pernapasan pendek, dan akhirnya mati.

F. PENATALAKSANAAN
1. Pertolongan pertama, jangan menunda pengiriman ke rumah sakit.
Apabila penanganan medis tersedia dalam beberapa jam, satu-satunya
tindakan di lapangan adalah immobilisasi pasien dan pengiriman
secepatnya. Jika penanganan lebih dari 3-4 jam dan jika envenomasi sudah
pasti, melakukan pemasangan torniket limfatik dengan segera dan insisi dan
penghisapan dalam 30 menit sesudah gigitan, immobilisasi, dan pengiriman
secepatnya, lebih baik pada suatu usungan, merupakan tindakan yang paling
berguna. Bila memungkinkan, pertahankan posisi ekstremitas setinggi
jantung. Jika dapat dikerjakan dengan aman, bunuhlah ular tersebut untuk
identifikasi.
2. Lakukan evaluasi klinis lengkap dan pesanlah untuk pemeriksaan
laboratorium dasar, hitung sel darah lengkap, penentuan golongan darah dan
uji silang, waktu protombin, waktu tromboplastin parsial, hitung trombosit,
urinalisis, dan penentuan kadar gula darah, BUN, dan elektrolit. Untuk
gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah
merah, waktu pembekuan, dan waktu retraksi bekuan.
3. Derajat envenomasi harus dinilai dan observasi 6 jam untuk menghindari
penilaian keliru dan envenomasi yang berat.
4. Mulai larutan salin IV pada semua pasien; berikan oksigen, dan tangani
syok jika ada.
5. Pertahankan posisi ekstremitas setinggi jantung; torniket di lepas hanya bila 
syok sudah diatasi dan anti bisa diberikan.
6. Beberapa sumber menganjurkan eksplorsi bedah dini untuk menentukan
kedalaman dan jumlah jaringan yang rusak, sesuai dengan jenis ular yang
menggigit apakah berbisa atau tidak.

G. KOMPLIKASI

1. Efek Lokalis Bisa Ular


Bisa ular akan menyebabkan bengkak dan memar karena peningkatan
permeabilitas vaskular akibat endopeptidase, metaloproteinase hemorrhagin,
toksin polipeptida, fosfolipase, dan pelepasan autocoid endogen seperti
histamin, serotonin, dan sitokin. Nekrosis jaringan lokal disebabkan oleh
miotoksin dan sitotoksin, serta iskemia akibat trombosis. Nekrosis juga
dapat terjadi akibat kompresi pembuluh darah dengan metode pemakaian
torniquet yang terlalu ketat, atau karena pembengkakan otot pada
kompartemen fasia (WHO, 2016).

2. Hipotensi Dan Syok


Kebocoran plasma atau darah pada tungkai yang digigit, atau perdarahan
masif gastrointestinal dapat menyebabkan hipovolemia. Vasodilatasi dan
efek langsung ke miokardium dapat menyebabkan hipotensi. Pada beberapa
kasus, efek langsung pada miokardium dapat terdeteksi di perubahan
elektrokardografi (WHO, 2016).

3. Perdarahan Dan Gangguan Pembekuan Darah


Enzim prokoagulan menstimulasi pembekuan darah dengan membentuk
fibrin di aliran darah, namum proses ini juga mengakibatkan gangguan
koagulasi karena bekuan fibrin akan segera didegradasi oleh sistem plasmin
fibrinolitik tubuh. Dalam 30 menit setelah gigitan, faktor pembekuan akan
sangat kurang  (consumption coagulopathy) sehingga darah akan sangat
sulit membeku (WHO, 2016).

4. Aktivasi Komplemen
Beberapa racun elapid dan colubroid mengaktifkan jalur komplemen
alternatif sedangkan jenis viperid mengaktifkan jalur komplemen klasik
yang berefek pada platelet, sistem pembekuan darah dan mediator plasma
lainnya (WHO, 2016).

5. Neurotoksisitas Dan Miotoksisitas


Polipeptida neurotoksin dan PLA2 pada bisa ular dapat menyebabkan
paralisis dengan menghambat transmisi di taut neuromuskular presinaptik.
Pasien dengan paralisis otot bulbar dapat meninggal karena obstruksi jalan
napas atas atau aspirasi, namun penyebab kematian tersering adalah paralisis
respiratorik akibat kelemahan otot pernapasan (WHO, 2016).

6. Gagal Ginjal Akut


Penyebab tersering  gagal ginjal akut adalah nekrosis tubular akut. Namun,
glomerulonefritis proliferatif, nefritis interstitial, mesangiolisis toksik
dengan aglutinasi platelet, deposisi fibrin, perubahan iskemin dan kerusakan
tubulus distal yang ditemukan dapat menimbulkan efek langsung
nefrotoksik akibat metaloprotease bisa ular (WHO, 2016).

7. Peningkatan Permeabilitas Kapiler Sistemik


Metaloprotease dari racun dari spesies Viperid dapat menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler sistemik yang dapat mengakibatkan
edema pulmonal, efusi serosa, edema konjungtiva, periorbital, fasial, dan
retina, pembengkakan parotis bilateral, albuminuria, dan hemokonsentrasi
(WHO, 2016).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien darah rutin, GDS, LED
(tidak ada kelainan). Pada kasus gigitan ular berbisa, walaupun pada awalnya
gejala yang timbul ringan harus tetap dilakukan skrining untuk menyingkirkan
komplikasi pada sistem lain (WHO, 2005).
Pemeriksaan laboratorium biasanya menunjukkan peningkatan jumlah
neutrofil, limfopenia, koagulopati dengan PT dan PTT memanjang, serta
penurunan jumlah fibrinogen. Kadar kreatinin kinase serum normal pada hari
pertama dan kedua setelah perawatan. Mioglobin plasma dan kadar kreatinin
mempunyai korelasi yang kuat (Djunaedi, 2014).
I. WOC
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif
2. Risiko infeksi
3. Defisit perawatan diri

K. FOKUS PENGKAJIAN
1. Pengkajian
a) Anamnesa
1) Biodata
Keseluruhan identitas klien meliputi nama, nama penanggung jawab, alamat,
tanggal masuk rumah sakit , tanggal pengkajian dll.
2) Keluhan Utama
Adanya Mual, muntah, nyeri, merah dan odem pada daerah gigitan, nyeri disertai
demam, gatal-gatal , sesak nafas
3) Riwayat penyakit sekarang
Klien Mual, muntah, Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa
otot (malnutrisi).
4) Riwayat Penyakit yang lalu
Apakah pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya ..
5) Riwayat psikososial spiritual
Adanya kecemasan dengan kondisi kehamilannya yang sekarang, bagaimana
kegiatan social dan Spiritual.
b) Pemeriksaan Fisik
Sistem Keadaan umum : Lemah.
Kesadaran : composmentis
GCS : 456
TTV : TD: Normal / hipertensi (n: 120/80 mmHg).
Suhu : 36,5 o C- 37,5 o C
Nadi : 80-120 x/mnt
RR : Normal / meningkat (n: 30-60 x/mnt).
1) Kepala dan leher
Inspeksi : Ekspansi wajah menyeringai, rileks
Mata : Simetris / tidak, pupil isokhor, skelara pink, konjunctiva tdk anemis
Hidung : Terdapat mukus / tidak, pernafasan cuping hidung.
Telinga : Simetris, terdapat mukus / tidak,.
Bibir : mukosa bibir lembab,tidak ada stomatitis.
Palpasi : Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan limfe pada leher.
2) Dada
Inspeksi : Simetris, tidak terdapat tarikan otot bantu pernafasan, adanya odem,
Palpasi : Denyutan jantung teraba cepat,badan terasa panas,nyeri tekan (-)
Perkusi : Jantung: Dullness
Auskultasi: Suara nafas normal.
3) Abdomen
Inspeksi : adanya odem, lesi
Palpasi     : nyeri tekan pada addomen, pembesaran hepar
Perkusi     : tympani
Auskultasi: Terdengar bising usus. (n= 5-12x/menit)
4) Ekstremitas
Atas : simetris, tidak ada odem, adanya luka
Bawah : simetris, tidak ada odem, adanya luka
c) Data lain yang sering muncul
1) Aktivitas
Pasien melakukan aktivitas mandiri, aktivitas dibantu keluarga.
2) Eliminasi
Dikaji warna, konsistensi, bau, adanya diare.
3) Makanan dan cairan
Klien Mual, muntah, Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa
otot (malnutrisi).
4) Istirahat dan Tidur
Klien mengalami gangguan tidur karena nyeri karena gigitan, malaise, sakit
kepala, pusing, pingsan dll.
5) Kebersihan Diri
Kebersihan klien selama di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Daley, Brian James MD. 2010. Snake Bite : patophysiology.

Djunaedi D. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014. hlm. 1085-93.

Ludhiana, GS. Snake Envenomation. Medicine Update Vol 22, 2012; p. 733-6.

Warrell, DA.Snake bite. Seminar, Vol 375, January 2 2010; p. 78-85.

WHO. Guidelines for Management of Snake-bites, 2nd Edition. World Health Organization,
2016.

World Health Organization. WHO guidelines for the production control and regulation of
snake antivenom immunoglobulins Jenewa: World Health Organization; 2005.

Anda mungkin juga menyukai