Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Tinjauan Teori Gigitan Ular


1.1.1 Pengertian
Gigitan ular adalah sebuah penyakit lingkungan yang diakibatkan oleh sebuah
gigitan ular yang sangat berbisa yang bisa menimbulkan kematian pada semua
makhluk hidup atau manusia. Dikarenakan ular yang berbisa kaya akan racun peptide
dan protein yang dapat mematikan reseptor jaringan pada daerah yang tergigit
tersebut (D.A. Warrell, 2010).
Gigitan ular merupakan suatu luka yang ditimbulkan oleh gigitan ular yang
berasal dari dua buah taringnya yang sangat tajam dan berbisa. Gigitan ular sering
terjadi umumnya di bagian tangan dan kaki manusia, jika salah dalam mengantisipasi
gigitan ular dapat mengancam jiwa dan menimbulkan kematian (Bawaskar, 2015).

1.1.2 Manifestasi Klinis


Penelitian Gilang dan Oktafany (2017), menjelaskan tanda dan gejala
pada gigitan ular dapat di bagi kedalam 4 skala berdasarkan derajat berat pada
sebuah gigitan ular berbisa yaitu:
1. Derajat 1 = tidak ada gejala (minor)
Terdapat sebuah tanda bekas gigitan/taring, tidak terdapat adanya edem, tidak
terasa nyeri, tidak ada koagulopati, serta tidak didapati gejala sistemik.
2. Derajat 2 = gejala lokal (moderate)
Terdapat sebuah tanda bekas gigitan/taring, serta edem lokal, tidak disertai
gejala sistemik dan koagulopati.
3. Derajat 3 = gejala berkembang pada daerah regional (severe)
Terdapat sebuah tanda bekas gigitan/taring, disertai edem regional 2 segmen
dari ekstremitas, terdapat nyeri yang tidak dapat diatasi dengan obat
analgesik, tidak ada gejala sistemik dan koagulopati.
4. Derajat 4 = gejala sistemik (major)
Terdapat sebuah tanda bekas gigitan/taring, disertai edem yang cukup luas
dan terdapat tanda sistemik (mual, muntah, pusing, nyeri kepala, sakit pada
perut, dan dada syok), serta trombosis sistemik.

Pada umumnya gigitan ular ini terjadi pada derajat 2 (moderate) dan derajat 4
(major). Pada derajat 2 = gejala lokal (moderate) biasanya terjadi pada luka bekas
gigitan ular berbisa berubah warna menjadi kemerahan, bengkak, terdapat
pendarahan, terasa seperti terbakar, nyeri, ekimosis dan kesemutan. Sedangkan di
derajat 4 = gejala sistemik (major) ini yang harus diwaspadai antara lain seperti
gangguan pengelihatan (kabur atau buram), gejala neurologis (sakit kepala, pusing),
gejala pada kardiovaskuler (berdetak kencang atau keras, hipotensi), gejala sistem
pencernaan (terasa mual-mual, muntah-muntah), dan gejala lainnya yang muncul
seperti kelemahan otot, hipersallivasi, serta demam.

1.1.3 Dampak atau efek gigitan ular


Gambaran klinis pada penelitian Setiati dkk, (2014) menjelaskan gigitan
ular berbisa yang tergolong dari jenis-jenis ular atau spesies ular. Beberapa
spesies ular yang memiliki dampak gigitan yang sangat berbahaya dan fatal jika
terlambat dalam mendapatkan penanganan medis yaitu:
1. Gigitan dari Famili Elapidae
Gigitan dari keluarga Elapidae dapat menyebabkan efek lokal yang
timbul seperti sakit ringan serta tidak adanya pembengkakan dan
kerusakan pada daerah dekat gigitan ular. Pada jenis ular kobra asia dan
afrika memberikan gambaran sakit yang sangat berat jika terkena gigitan
ular tersebut, semburan ular kobra dapat berdampak sangat fatal jika
mengenai mata akan menimbulkan efek seperti rasa sakit yang
berdenyut, bengkak pada sekitar area mulut kemudian mengalami
kekakuan pada kelopak mata. Setelah gejala lokal muncul selanjutnya
akan di ikuti oleh gejala sistemik yang muncul setelah 15 menit dari
gigitan ular yang menimbulkan dampak seperti paralisis pada urat- urat
di wajah, lidah, bibir dan tenggorokan sehingga korban gigitan ular
tersebut sulit untuk berbicara, sulit menelan, kelopak mata menurun,
pandangan mata kabur, mati rasa pada daerah sekitar mulut,sakit
kepala,mual muntah dan mengalami kelemasan otot. Selanjutnya korban
gigitan ular dapat mengalami paralisis otot pernafasan yang dapat
menyebabkan sulit untuk bernafas, mengalami nyeri abdomen yang
sangat hebat, penurunan tekanan darah, denyut nadi terasa melambat
dan dapat menimbulkan penurunan kesadaran. Kondisi terburuk korban
keracunan bisa ular ini akan mengalami gejala neurotoksik dan
mengalami kematian.
2. Gigitan dari Famili Viperidae
Gigitan ular dari keluarga Viperidae dapat menimbulkan efek lokal dalam
kurun waktu 15 menit setelah gigitan yang menimbulkan bengkak dan rasa
sakit pada daerah dekat gigitan, kemudian menyebar keseluruh anggota
badan. Setelah itu berlanjut pada gejala sistemik yang akan timbul dalam
waktu 5 menit dan bisa juga setalah beberapa jam dari gigitan yang
berdampak seperti diare, berkeringat, muntah, perdarahan pada bekas gigitan
ular, terdapat darah dalam muntahan, tinja, urin dan hidung mengeluarkan
darah. Perdarahan yang terjadi di akibatkan dari kegagalan dari faal dalam hal
membekukan darah, kemudian di keesokan harinya korban akan mengalami
kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, mengalami memar, melepuh dan edema
paru disertai dengan tekanan darah menurun kemudian denyut nadi
meningkat. Keracunan berat dengan bisa ular dari keluarga viperidae dapat di
lihat dari timbulnya bengkak di lutut dan siku dalam kurun waktu 2 jam dan
bisa juga di tandai dengan perdarahan yang sangat hebat pada korban gigitan.
3. Gigitan dari Famili Hydropidae
Gejala yang dapat terjadi dari gigitan ular ini yaitu lidah terasa menebal,
berkeringat banyak, muntah dan mengalami sakit kepala. Selanjutnya setelah
setengah jam dari gigitan korban mengalami paralisis otot, kelemahan otot
ekstraokular, mengalami nyeri seluruh anggota badan, mengalami kaku,
mengalami spasme pada otot, ptosis, dilatasi pada pupil, mioglobulinuria
dengan ditandai dengan urin berwarna coklat gelap, mengalami kerusakan
pada ginjal dan keadaan terburuk mengalami henti jantung.
4. Gigitan dari Famili Rattlesnake dan Crotalidae
Gejala lokal yang berdampak dari efek gigitan ular ini di tandai dengan
adanya tanda bekas gigitan, mengalami nyeri pada bekas luka gigitan,
ekimiosis. Gejala selanjutnya dintandai dengan adanya hipotensi (penurunan
tekanan darah), trombositopenia dan anemia merupakan tanda-tanda yang
sangat penting pada gejala ini untuk mendapatkan penanganan selanjutnya.
5. Gigitan dari Famili Coral snake
Gejala yang akan di alami oleh korban dari gigitan keluarga coral snake
merupakan penebalan kulit atau merasa kebal (mati rasa) pada area gigitan.
Sehingga korban harus segera mendapat penanganan medis jika terlambat
maka akan mengalami resiko cranial nerve palsies, paralisis saluran
pernafasan dan kondisi terburuk akan menyebabkan kematian.

1.1.4 Penatalaksanaan pada gigitan ular


Adapun penatalaksanaan korban gigitan ular di Instalasi Gawat Darurat
menurut (Setyohadi dkk, 2011) yaitu
1. Mengidentifikasi ular yang menggigit korban bisa dengan foto atau
saksi yang melihat kronologi kejadian gigitan ular, apabila mungkin ular
yang mengigit kroban bisa di bawa ke IGD yang berguna untuk di
identifikasi lebih lanjut.
2. Kemudian apabila korban tidak mengetahui jenis ular yang mengigit
maka korban harus di rawat inap yang berguna untuk mengobservasi
ketat keadaan korban gigitan ular. Tindakan yang dilakukan di IGD
yang pertama yaitu melakukan imobilisasi dengan pembidaian dan
menggunakan elastic bandage (tidak dianjur untuk menggunakan
tensocrepe).
3. Setelah itu bebaskan jalan nafas korban dan patenkan jalan nafas
korban, terutama pada gigitan ular dengan kandungan bisa neurotoxin
yang dapat menimbulkan dampak paralisis.
4. Kemudian mengambil sampel darah korban guna untuk dilakukan untuk
pemeriksaan darah lengkap, meliputi pemeriksaan faal hemostasis (PPT,
PPT, INR dan 20 menit whole blood clotting time ) tiap 6 jam sekali.
5. Selanjutnya melakukan pemeriksaan EKG yang berguna untuk melihat
adanya kelainan fungsi jantung, beri tanda jika terdapat luas
pembengkakan jaringan tiap 2 jam. Untuk indikasi pemberian serum
anti bisa ular (SABU) meliputi pemeriksaan coagulopathy, trombopeni,
INR> 1.2, non-clotting 20 menit WBCT, neurotoxin (ptosis, paralysis),
hipotensi, edema berat (lebih dari setengah ekstrimitas yang tergigit),
hemoglobinuria dan terdapat limfadenitis di sistem limfatik regional
bekas dari gigitan ular. Sedangkan untuk terapi suportifnya sendiri
seperti cairan, neostigmin atropin, hingga penggunaan ventilator di
khususkan untuk korban yang mengalami gagal nafas.

1.1.5 Manajemen Gigitan Ular


Jurnal Wintoko (2020) menjelaskan manajemen gigitan ular sebagai
berikut:
1. Pertolongan Pertama
Pertolongan pertama dilakukan segera setelah gigitan ular dan
sebelum pasien sampai di rumah sakit atau klinik, dapat dilakukan oleh
korban maupun orang lain dengan prosedur yang sesuai. Pertolongan
pertama yang direkomendasikan adalah upaya menenangkan korban,
melakukan imobilisasi seluruh tubuh korban dengan membaringkannya
dalam recovery position¸ dan melakukan imobilisasi pada tangan/kaki
yang terkena gigitan baik menggunakan sling, splint, maupun metode
pressure bandage immobilization (PBI). Selain itu, transportasi secepat
mungkin korban menuju ke fasilitas kesehatan terdekat dan apabila
memungkinkan bersama dengan ular yang menggigit, karena akan
sangat berpengaruh terhadap hasil akhir dari penanganan medis korban.
Usaha pertolongan pertama yang tradisional dan populer di
masyarakat seperti membuat insisi lokal “tattooing” pada area gigitan
ular, menghisap bisa dari luka gigitan, memasangkan tourniquet ketat
pada tangan/kaki yang terkena gigitan ular, menggunakan herbal-herbal
tertentu, dan lainlain tidak direkomendasikan karena berpotensi untuk
membahayakan korban maupun penolong.
2. Penanganan di Rumah Sakit
Gigitan ular merupakan suatu kegawatdaruratan medis, sehingga
riwayat, tanda dan gejala pasien harus didapatkan secepat mungkin agar
penatalaksanaan yang sesuai dapat dilakukan. Pasien harus ditenangkan
terlebih dahulu untuk mengurangi tingkat kecemasannya, penanganan
awal berupa primary survey yang direkomendasikan oleh panduan
Advance Trauma Life Support dengan mempertahankan Airway,
Breathing, dan Circulation serta memperhatikan tanda hemodinamik
dan gejala penyebaran bisa ular. Pemberian profilaksis tetanus,
antibiotik, dan analgesic selain NSAID dapat diberikan mengingat
terdapat resiko pendarahan.
3. Pemeriksaan penunjang dan uji laboratorium
20 Minute Whole Blood Clotting Test (20WBCT) adalah tes
yang memerlukan perlengkapan sederhana seperti tabung gelas, botol
atau tabung suntik yang baru, bersih, kering. Hasil positif (non-
pembekuan) menunjukkan koagulopati konsumsi parah dan kebutuhan
untuk pengobatan anti bisa ular segera. Akan tetapi, perlengkapan yang
salah dan pembersihan alat dengan deterjen atau cairan pencuci dapat
menghasilkan false negative.
Tes laboratorium yang lebih sensitif dari pembekuan darah
adalah International Normalized Ratio (INR) berdasarkan waktu
protrombin (PT) (> atau = 1,2 tidak normal), waktu activated partial
thromboplastin time (aPPT), antigen terkait fibrin (ogen) (produk
degradasi fibrin - FDP) atau D-dimer.
Tes laboratorium lainnya yang dapat dilakukan yaitu:
a. Pemeriksaan darah rutin berupa hemoglobin/hematokrit, hitung
trombosit, dan hitung sel darah putih dapat dijadikan indikasi dari
spesies ular yang menggigit (contoh: peningkatan
hemoglobin/hematokrit pada gigitan ular Russell’s viper,
trombositopenia pada gigitan ular viper dan australasian elapids)
b. Pemeriksaan Apusan Darah Tepi (ADT) dapat ditemukan sel darah
merah terfragmentasi (“sel helm”, schistosit) yang menandakan
hemolisis mikroangiopati
c. Pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal juga dapat dijadikan
indikasi dari spesies ular yang menggigit (contoh: kreatinin plasma,
urea/nitrogen urea darah dan konsentrasi kalium meningkat pada
cedera ginjal akut pada gigitan ular Russell's viper, nosed-nosed pit-
viper, Aminotransferase dan enzim otot yang meningkat
menunjukkan kerusakan otot lokal dan umum pada gigitan ular laut,
beberapa kraits, beberapa Australasia Elapidae dan gigitan ular
Russell's viper dan hiponatremia pada gigitan ular kraits.
d. Pemeriksaan urin: tes dipstick untuk darah, hemoglobin atau
myoglobin dan proteinuria. Mikroskopis untuk mendeteksi eritrosit
dan silinder sel darah merah, menunjukkan perdarahan glomerulus,
eosinofilia menunjukkan nefritis interstitial akut.
4. Anti Bisa Ular
Pemberian anti bisa ular dilakukan sesegera mungkin jika pasien
memenuhi indikasi, hal ini dikarenakan anti bisa ular memiliki harga
yang relatif mahal dan ketersediaannya terbatas. Di Indonesia, anti bisa
ular polyvalent diproduksi oleh Biofarma untuk menangani bisa
neurotoksik Naja sputatix, Bungarus fasciatus dan Calloselasma
rhodostoma. Indikasi pemberian anti bisa ular:
a. Keracunan Sistemik
 Gangguan hemostasis : perdarahan spontan sistemik yang jauh
dari lokasi gigitan, koagulopati (20 WBCT positif), atau
INR>1.2 atau PT>4-5 detik lebih.
 Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia, paralisis, dan lain-
lain.
 Gangguan kardiovaskular : hipotensi, syok, aritmia, EKG
abnormal.
 Gagal ginjal akut : oligouria/anuria, peningkatan kreatinin/urea
 Hemoglobin/myoglobin-uria : urin cokelat gelap, dipstick,
temuan hemolisis intravaskuler atau rhabdomiolisis.
b. Keracunan Lokal
 Pembengkakan lokal lebih dari setengah tungkai yang tergigit
(tanpa tourniquet) dalam 48 jam atau pembengkakan setelah
gigitan pada jari.
 Pembengkakan yang meluas : misalnya bengkak pada ankle
dalam beberapa jam setelah gigitan di kaki.
 Pembengkakan limfonodi pada daerah gigitan.
Anti bisa ular diberikan melalui intravena jika memungkinkan,
baik secara slow IV push injection (maksimum 2 ml/menit) atau infus
IV yang diencerkan dengan 5 ml cairan isotonis per kg berat badan
selama 30-60 menit. Di Indonesia, dosis yang dianjurkan yaitu 2 vial
SABU (10 ml) diencerkan dalam 100 ml Normal Saline 0.9% kemudian
drip 60-80 tetes per menit, dapat diulang setiap 6-8 jam. Dianjurkan
tersedia epinefrin untuk penanganan reaksi anafilaktik akibat
administrasi anti bisa ular. Pemberian secara intramuskular tidak
direkomendasikan kecuali jika akses intravena tidak memungkinkan.
Setelah pemberian pertama, observasi keadaan umum, perdarahan
sistemik, serta gejala neurotoksik. Pengulangan dosis awal dapat
dilakukan jika ada gangguan koagulasi persisten setelah 6 jam atau
terdapat perdarahan setelah 1-2 jam serta timbul deteriorasi neurotoksik
atau kardiovaskular setelah 1 jam.
5. Terapi Tambahan
Pemberian kolinesterase dianjurkan terutama pada kasus keracunan
neurotoksik yang disebabkan gigitan kobra. Sebelumnya pasien
diberikan atropine sulfat (0.6 mg untuk dewasa; 50µg/kg untuk anak-
anak) secara IV kemudian diikuti neostigmine bromide atau
methylsulphate (prostigmin) secara IM dengan dosis 0.02 mg/kg untuk
dewasa, 0.04 mg/kg untuk anak-anak.
6. Manajemen Luka Gigitan Ular
Pada bagian tubuh yang digigit dapat terbentuk bulla yang besar
dan tegang yang membutuhkan aspirasi jika terancam ruptur. Abses
harus dibersihkan, surgical debridement diindikasikan untuk
menghilangkan risiko sepsis anaerobik. Agar tidak terjadi infeksi pada
luka gigitan, pasien dapat diberikan antibiotik spektrum luas seperti
gentamisin dan benzylpenisilin, amoxicillin atau cefalosporin dan
gentamisin. Deteksi dini terhadap sindrom kompartemen juga penting,
observasi adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakompartemen
seperti pembengkakan disertai nyeri hebat yang immobile dan dingin.
Anti bisa ular harus segera diberikan karena dapat menurunkan tekanan
dan myonekrosis. Fasiotomi hanya diindikasikan jika tidak ada
perbaikan setelah pemberian anti bisa ular.
1.1.6 Komplikasi
1. Syok hipovolemik
2. Edema paru
3. Gagal napas
4. Kematian
1.1.7 Pathway
1.2 Tinjauan Asuhan Keperawatan
1.2.1 Pengkajian
1. Anamnesis
Terdapat 4 pertanyaan awal yang sangat baik untuk digunakan:
a. Dimana (di bagian tubuh) Anda yang digigit? Tunjukkan tempatnya.
b. Kapan Anda digigit? Dan apa yang sedang Anda kerjakan ketika digigit?
c. Seperti apa bentuk ular yang menggigit Anda? Apakah ada yang
memotretnya?
d. Bagaimana perasaan Anda saat ini?
Tanda dan gejala yang ditimbulkan dari penyebaran bisa ular sangat
beragam, namun pada umumnya gejala awal yang ditimbulkan adalah
muntah, penurunan kesadaran, pingsan, pendarahan dari bekas gigitan dan
reaksi anafilaksis (WHO, 2016).
2. Pemeriksaan fisik
Dapat dimulai dari area gigitan, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik
secara umum dan spesifik. Pada area gigitan ular dapat ditemukan
pembengkakan, nyeri tekan palpasi, tanda drainase limfonodi, ekimosis, dan
tanda-tanda awal nekrosis (melepuh, perubahan warna, dan bau pembusukan).
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada pemeriksaaan fisik
antara lain:
a. Vital sign: denyut nadi dan perbedaan tekanan darah saat duduk dan
berdiri untuk melihat adanya postural drop.
b. Kulit dan membran mukosa: ptekie, purpura, ekimosis, dan pendarahan
konjungtiva.
c. Sulcus gingivalis: tanda perdarahan sistemik spontan
d. Hidung: epistaksis
e. Abdomen: nyeri tekan abdomen sebagai tanda pendarahan intrabdomen
atau retroperitoneal
f. Neurologis: lateralisasi, paralisis flaksid otot
g. Gejala berupa nyeri seluruh tubuh dan warna urin yang gelap merupakan
indikasi kuat terjadinya rhabdomyolisis.
h. Pada kasus gigitan ular yang terjadi pada ibu hamil dapat terjadi abortus,
kelahiran prematur, dan pendarahan antepartum/postpartum yang
ditandai dengan pendarahan vaginal.
Identifikasi spesies ular harus dilakukan guna meningkatkan efektivitas
penanganan medis, apabila memungkinkan ular dibawa atau
didokumentasikan untuk diidentifikasi oleh ahli dibidang tersebut, namun
bila tidak memungkinkan informasi terkait ciri khas ular yang menggigit
dapat diambil dari keterangan pasien.

1.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan Pertukaran gas
2. Bersihan jalan napas
3. Pola napas tidak efektif
4. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan kurang terpapar informasi
5. Risiko Infeksi
6. Intoleransi aktivitas
1.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan
1. Gangguan Pertukaran Gas
SDKI
Gangguan Pertukaran Gas D.0003
Kategori: Fisiologis
Subkategori: Respirasi
Definisi
Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan/atau eleminasi karbondioksida
pada membran alveolus -kapiler.
Penyebab
Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
Perubahan membran alveolus-kapiler
Gejala dan Tanda
Mayor Objejktif
Subjektif CO2 meningkat/menurun
1. Dispnea O2 menurun
Takikardia
Arteri meningkat/menurun
Bunyi napas tambahan
Gejala dan Tanda
Minor Objektif
Subjektif 1.
Pusing 2.
Penglihatan kabur 3.
4.
5.
regular/ireguler, dangkal,dalam)
6.
7.
Kondisi Klinik Terkait
1. Penyakit paru obstruksi (PPOK)
2. Gagal jantung kongestif
3. Asma
4. Pneumonia
5. Tuberkolosis paru
6. Penyakit membran hialin
7. Asfiksia
8. Persistent pulmonary hypertension of newborn (PPHN)
9. Prematuritas
10. Infeksi saluran napas

SLKI
Pertukaran Gas L01003
Definisi
Oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolus-kapiler
dalam batas normal.
Ekspektasi Membaik
Kriteria Hasil
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
Menurun Meningka
t
Tingkat 1 2 3 4 5
Kesadaran
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
Menurun Meningka
t
Dispnea 1 2 3 4 5
Bunyi 1 2 3 4 5
napas
tambahan
Pusing 1 2 3 4 5
Penglihatan 1 2 3 4 5
kabur
Diaforesis 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Napas 1 2 3 4 5
cuping
hidung
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
Menurun Meningka
t
PCO2 1 2 3 4 5
PO2 1 2 3 4 5
Takikardi 1 2 3 4 5
a
pH arteri 1 2 3 4 5
Sianosis 1 2 3 4 5
Pola napas 1 2 3 4 5
Warna 1 2 3 4 5
kulit

SIKI
Pemantauan Respirasi I.01014
Definisi
Mengumpulkan dan menganalisis data untuk memastikan kepatenan jalan
napas dan keefektifan pertukaran gas.
Tindakan
Observasi
-Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
-Monitor pola napas (seperti bradypnea, takipnea, hiperventilasi, kussmul,
Cheyne-Stokes, Biot, ataksisk)
-Monitor kemampuan batuk efektif
-Monitor adanya produksi sputum
-Monitor adanya sumbatan jalan napas
-Palpasi kesimetrisan ekpansi paru
-Auskultasi bunyi napas
-Monitor nilai AGD
-Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
-Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
-Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
-Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Terapi Oksigen I.01026


Definisi
Memberikan tambahan oksigen untuk mencegah dan mengatasi kondisi
kekurangan oksigen jaringan.
Tindakan
Observasi
- Monitor kecepatan aliran oksigen
-Monitor posisi alat terapi oksigen
-Monitor aliran oksigen secara periodik dan pastikan fraksi yang diberikan
cukup
-Monitor efektifitas terapi oksigen (mis, oksimeter, Analisa gas darah), jika
perlu
-Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan
-Monitor tanda-tanda hipoventilasi
-Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan etelektasi
-Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
-Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen
Terapeutik
-Bersihkan secret pada mulut, hidung dan trakea, jika perlu
-Pertahankan kepatenan jalan napas
-Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
-Berikan oksigen tambahan, jika perlu
-Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi
-Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan tingkat mobilitas pasien
Edukasi
- Ajarkan pasien dan keluarga cara mennggunakan oksigen di rumah
Kolaborasi
- Kolaborasi penentuan dosis oksigen
-Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan/atau tidur.

2. Bersihan Jalan Nafas tidak efektif


SDKI
Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
D.0149
Kategori: Fisioogis
Subkategori: Respirasi
Definisi: ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas
untuk mempertahankan jalan nafas tetap paten
Penyebab:
fisiologis
1. Spasmen jalan nafas
2. Hipersekresi jalan nafas
3. Diafungsi neuromuskelar
4. Benda asing dalam jalan nafas
5. Adanya jalan nafas buatan
6. Sekresi yang tertahan
7. Hiperplasia dinding jalan nafas
8. Proses infeksi
9. Respon alergi
10. Efek agen farmakologis (mis. anastesi)
Situasional
1. Merokok aktif
2. Merokok pasif
3. Terpajan polutan
Gejala dan tanda mayor:
Subjektif (tidak tersedia)
Objektif
1. Batuk tidak efektif
2. Tidak mampu batuk
3. Sputum berlebih
4. Mengi, wheezing dan atau ronkhi kering
5. Mekonium di jalan napas (pada neonatus)
Gejala dan tanda minor:
Subjektif
1. Dyspnea
2. Sulit bicara
3. Ortopnea
Objektif:
1. gelisah
2. sianosis
3. bunyi nafas menurun
4. frekuensi nafas berubah
5. pola nafas berubah
Kondisi Klinis Terkait
1. gullian barre syndrome
2. sklerosis multiple
3. myasthenia gravis
4. prosedur diagnostik (mis, bronkoskopi, transesophageal echocardiography
(TEE))
5. depresi sistem saraf pusat
6. Cedera kepala
7. Stroke
8. Kuadriplegia
9. Sindrom aspirasi meconium
10. Infeksi saluran napas
SLKI
BERSIHAN JALAN NAPAS L.01001
Definisi: kemampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas untuk
mempertahankan jalan nafas tetap paten
Ekspektasi: meningkat
Kriteria hasil
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
memburuk membaik
Batuk efektif 1 2 3 4 5
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
memburuk membaik
Produksi 1 2 3 4 5
sputum
Mengi 1 2 3 4 5
Wheezing 1 2 3 4 5
Mekonium 1 2 3 4 5
(pada
neonatus)
Dispnea 1 2 3 4 5
Ortopnea 1 2 3 4 5
Sulit bicara 1 2 3 4 5
Sianosis 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Memburu Cukup Sedang Cukup Membaik
k memburuk membaik
Frekuensi nafas 1 2 3 4 5
Pola nafas 1 2 3 4 5
SIKI
MANAJEMEN JALAN NAPAS I.01011
Definisi
Mengidentifikasi dan mengelola kepatenan jalan napas.
Tindakan
Observasi
1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalamam, usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tlit dan chi-lift (jaw-
thrust jika curiga trauma servikal)
2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
7. Keluarkan sumbantan benda padat dengan forsep McGill
8. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu.

3. Pola Nafas Tidak efektif


SDKI
Pola Napas Tidak Efektif D.0005
Kategori : Fisiologis
Subkategori : Respirasi
Definisi
Inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat
Penyebab
1. Depresi pusat pernapasan
2. Hambatan upaya napas (mis. nyeri saat bernapas, kelemahan otot
pernapasan)
3. Deformitas dinding dada
4. Deformitas tulang dada
5. Gangguan neuromuskular
6. Gangguan neurologis (mis. elektroensefalogram (EEG) positif, cedera
kepala, gangguan kejang)
7. Imaturitas neurologis
8. Penurunan energy
9. Obesitas
10. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
11. Sindrom hipoventilasi
12. Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5 ke atas)
13. Cedera pada medula spinalis
14. Efek agen farmakologis
15. Kecemasan
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif Objektif
1. Dispnea 1. Penggunaan otot bantu
pernapasan
2. Fase ekspirasi memanjang
3. Pola nafas abnormal (mis.
takipnea, bradipnea,
hiperventilasi, kussmaul,
chyne-stokes)
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif Objektif
1. Ortopnea 1. Pernapasan pursed-lip
2. Pernapasan cuping hidung
3. Diameter thoraks anterior-
posterior meningkat
4. Ventilasi semenit menurun
5. Kapasitas vital menurun
6. Tekanan ekspirasi menurun
7. Tekanan inspirasi menurun
8. Ekskursi dada berubah
Kondisi Klinis Terkait
1. Stroke
2. Depresi system saraf pusat
3. Gullian barre syndrome
4. Multiple sclerosis
5. Myasthenia gravis
6. Cedera kepala
7. Kuadriplegia
8. Intoksikasi alcohol
SLKI
Pola Napas L01004
Definisi
Inspirasi dan/atau ekpirasi yang memberikan ventilasi adekuat.
Ekspektasi Membaik
Kriteria Hasil
Menuru Cukup Sedan Cukup Meningkat
n g
Menurun Meningka
t
Ventilasi 1 2 3 4 5
semenit
Kapasitas vital 1 2 3 4 5
Diameter thoraks 1 2 3 4 5
anterior-
posterior
Tekanan 1 2 3 4 5
ekspirasi
Tekanan 1 2 3 4 5
inspirasi
Menuru Cukup Sedan Cukup Meningkat
n g
Menurun Meningka
t
Dispnea 1 2 3 4 5
Pengunaan otot 1 2 3 4 5
bantu napas
Pemanjangan 1 2 3 4 5
fase ekspirasi
Oertopnea 1 2 3 4 5
Pernapasan 1 2 3 4 5
purses-tip
Pernapasan 1 2 3 4 5
cupinng hidung
Menuru Cukup Sedan Cukup Meningkat
n g
Menurun Meningka
t
Frekuensi 1 2 3 4 5
napas
Kedalaman 1 2 3 4 5
napas
Ekskursi dada 1 2 3 4 5

Status Neurologis L.06053


Definisi
Kemampuan system saraf perifer dan pusat untuk menerima, mengolah, dan
merespon stimulus internal dan eksternal.
Ekspektasi Membaik
Kriteria Hasil
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
Meningka
Menurun
t
Tingkat 1 2 3 4 5
kesadaran
Reaksi pupil 1 2 3 4 5
Orientasi 1 2 3 4 5
kognitif
Status kognitif 1 2 3 4 5
Kontrol 1 2 3 4 5
motoric pusat
Fungsi 1 2 3 4 5
sensorik
kranial
Fungsi 1 2 3 4 5
sensorik
spinal
Fungsi 1 2 3 4 5
motoric
kranial
Fungsi 1 2 3 4 5
motoric spinal
Fungsi 1 2 3 4 5
otonom
Komunikasi 1 2 3 4 5
Cukup Cukup
Meningkat Sedang Menurun
Meningkat Menurun
Sakit kepala 1 2 3 4 5
Frekuensi 1 2 3 4 5
kejang
Hipertermia 1 2 3 4 5
Diaforesisi 1 2 3 4 5
Pucat 1 2 3 4 5
Kongesti 1 2 3 4 5
konjungtiva
Kongesti nasal 1 2 3 4 5
Parastesia 1 2 3 4 5
Sensasi logam 1 2 3 4 5
di mulut
Sindrom 1 2 3 4 5
Horner
Pandangan 1 2 3 4 5
kabur
Penile 1 2 3 4 5
erection
Cukup Cukup
Memburuk Sedang Membaik
Memburuk Membaik
Tekanan darah 1 2 3 4 5
sistolik
Frekuensi nadi 1 2 3 4 5
Ukuran pupil 1 2 3 4 5
Gerakan mata 1 2 3 4 5
Pola napas 1 2 3 4 5
Pola istirahat 1 2 3 4 5
tidur
Frekuensi 1 2 3 4 5
napas
Denyut 1 2 3 4 5
jantung apical
Denyut nadi 1 2 3 4 5
radialis
Reflex 1 2 3 4 5
pilomotorik
SIKI
Manajemen Jalan Napas 1.01011
Definisi
Mengidentifikasi dan mengelola kepatenan jalan napas.
Tindakan
Observasi
1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
4. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
trust jika curiga trauma servikal)
5. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
6. Berikan minum hangat
7. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
8. Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
9. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
10. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
11. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
12. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
13. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
14. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu

4. Perfusi perifer tidak efektif


SDKI
PERFUSI PERIFER TIDAK EFEKTIF D.0009
Kategori: Fisiologis
Subkategori: Sirkulasi
Definisi
Penurunan sirkulasi darah pada level kapiler yang dapat mengaggu metabolisme
tubuh.
Penyebab
1. Hiperglikemia
2. Penurunan konsentrasi hemoglobin
3. Peningkatan tekanan darah
4. Kekurangan volume cairan
5. Penurunan aliran arteri dan/atau vena
6. Kurang terpapar informasi tentang factor pemberat (mis. Merokok, gaya
hidup monoton, trauma, obesitas, asupan garam, imobilitas)
7. Kurang terpapar informasi tentang proses penyakit (mis. Diabetes melitus,
hiperlipidemia)
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif Objejktif
(Tidak tersedia) 1. Pengisian kapiler >3 detik
2. Nadi perifer menurun atau tidak teraba
3. Akral teraba dingin
4. Warna kulit pucat
5. Turgor kulit menurun
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif Objektif
1. Parastesia 1. Edema
2. Nyeri ekstermitas 2. Penyembuhan luka lambat
(klaudikasi intermiten) 3. Indeks ankle-brachial <0.90
4. Bruit femoral

Kondisi Klinik Terkait


1. Tromboflebitis
2. Diabetes melitus
3. Anemia
4. Gagal jantung kongestif
5. Kelainan jantung kongenital
6. Thrombosis arteri
7. Varises
8. Thrombosis vena dalam
9. Sindrom kompartemen
SLKI
PERFUSI PERIFER L. 02011
Definisi:
Keadekuatan aliran dardah pembuluh darah distal untuk menunjang fungsi jaringan.
Ekspektasi: Meningkat
Kriteria hasil
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
menurun meningkat

Denyut nadi perifer 1 2 3 4 5


Penyembuhan luka 1 2 3 4 5
Sensasi 1 2 3 4 5
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
meningkat menurun
Warna kulit pucat 1 2 3 4 5
Edema perifer 1 2 3 4 5
Nyeri ekstremitas 1 2 3 4 5
Parastesia 1 2 3 4 5
Kelemahan otot 1 2 3 4 5
Kram otot 1 2 3 4 5
Bruit femoralis 1 2 3 4 5
Nekrosis 1 2 3 4 5
Memburuk Cukup Sedang Cukup baik Membaik
memburuk
Pengisian kapiler 1 2 3 4 5
Akral 1 2 3 4 5
Turgor kulit 1 2 3 4 5
Tekanan darah 1 2 3 4 5
sistolik
Tekanan darah 1 2 3 4 5
diastolik
Tekanan arteri rata- 1 2 3 4 5
rata
Indeks ankle rata- 1 2 3 4 5
rata
SIKI
MANAJEMEN SENSASI PERIFER
I.06195
Definisi :
Mengidentifikasi dan mengelola ketidaknyamanan pada perubahan sensasi perifer
Tindakan :
Obervasi :
1. Identifikasi penyebab perubahan sensasi
2. Identifikasi penggunaan alat pengikat, prosthesis, sepatu, dan pakaian
3. Periksa perbedaan sensai tajam atau tumpul
4. Periksa perbedaan sensai panas atau dingin
5. Periksa kemampuan mengidentifikasi lokasi dan tekstur benda
6. Monitor terjadinya parestesia, jika perlu
7. Monitor perubahan kulit
8. Monitor adanya tromboflebitis vena
Terapeutik ;
1. Hindari pemakaian benda-benda yang berlebihan suhunya (terlalu panas
atau dingin)
Edukasi :
1. Anjurkan penggunaan thermometer untuk menguji suhu air
2. Anjurkan penggunaan sarung tangan termal saat memasak
3. Anjurkan memakai sepatu lembut dan bertumit rendah
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu
2. Kkolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu

EDUKASI PROSES PENYAKIT


I.12444
Definisi :
Memberikan informasi tentang mekanisme munculnya penyakit dan menimbulkan
tanda dan gejala yang menganggu kesehatan tubuh pasien.
Tindakan :
Obervasi :
1. Identifikasi kesiapan dan kemapuan menerima informasi
Terapeutik ;
1. Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
2. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
3. Berikan kesempatan untik bertanya
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab dan factor risiko penyakit
2. Jelaskan proses patofisiologis munculnya penyakit
3. Jelaskan tanda dan gejala yang ditimbulkan oleh penyakit
4. Jelaskan kemungkinan terjadinya komplikasi
5. Ajarkan cara meredakan atau mengatasi gejala yang dirasakan
6. Ajarkan cara meminimalkan efek samping dari intervensi atau pengobatan
7. Informasikan kondisi pasien saat ini
8. Anjurkan melapor jika merasakan tanda dan gejala memberat atau tidak
biasa
DAFTAR PUSTAKA
Bawaskar, H, dan Bawaskar, P. 2015. Snake Bite Poisoning. Journal of Mahatma
Gandhi Institute of Medical Sciences, 20(1), 5. https://doi.org/10.4103/0971-
9903.151717
Gilang, Y. P., dan Oktafany. 2017. Gigitan Ular pada Regio
Manus
Sinistra. J Medula Unila, 7(1), 33.
Setiati, S., dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi VI).
Jakarta
pusat: Interna Publishing.
Setyohadi, B., dkk. 2011. Kegawat Daruratan Penyakit Dalam
(Edisi 2).
Jakarta pusat: Interna Publishing.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi
1. Jakarta : PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPN
Warrell, D. a. 2005. Guidelines for the Clinical Management of
Snake-
Bites in the south-East Asia Region. World Health Organization,
Regional Office for South East Asia, New Delhi, 1–77.
https://doi.org/10.4103/0971- 9903.151717
Wintoko, R., & Prameswari, N. P. (2020). Manajemen Gigitan Ular. Jurnal
Kedokteran Universitas Lampung, 4(1), 45-52.
World Health Organization. 2016. Guideline for management of snakebites. 2nd
Edition. India: WHO.

Anda mungkin juga menyukai