Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1.1. DEFINISI SNAKE BITE

Bisa ular adalah kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek fisiologik yang
luas atau bervariasi. Yang mempengaruhi sistem multiorgan, terutama neurologik,
kardiovaskuler sistem pernapasan. (Suzanne Smaltzer dan Brenda G. Bare, 2001: 2490)
Gigitan ular atau snake bite dapat disebabkan ular berbisa dan ular tidak berbisa.
Gigitan ular yang berbisa mempunyai akibat yang beragam mulai dari luka yang sederhana
sampai dengan ancaman nyawa dan menyebabkan kematian (BC&TLS, 2008).

Gigitan ular merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi di negara tropis dan
subtropis. Pada tahun 2009, WHO memasukkan gigitan ular dalam daftar neglected tropical
disease dan sampai sekarang tetap sebagai masalah kesehatan masyarakat global.

2.1.2 EPIDEMIOLOGI SNAKE BITE


WHO (World Health Organitation) menyebutkan sebanyak 5 juta orang setiap tahun
digigit ular berbisa sehingga mengakibatkan sampai 2,5 juta orang keracunan, sedikitnya
100.000 orang meninggal, dan sebanyak tiga kali lipat amputasi serta cacat permanen lain
(Bataviase, 2010). Gigitan ular lebih umum terjadi di wilayah tropis dan di daerah dimana
pekerjaan utamanya adalah petani.
Orang-orang yang digigit ular karena memegang atau bahkan menyerang ular merupakan
penyebab yang signifikan di Amerika Serikat. Diperkirakan ada 45.000 gigitan ular per tahun
di Amerika Serikat, terbanyak pada musim panas, sekitar 8000 orang digigit ular berbisa. Di
Amerika Serikat, 76% korban adalah laki-laki kulit putih. Studi nasional di negara tersebut
melaporkan angka perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 9:1, dengan 50%
korban berada pada rentang usia 18-28 tahun. 96% gigitan berlokasi pada ekstremitas, dengan
56% pada lengan (Andimarlinasyam, 2009).
Data tentang kejadian gigitan ular berbisa di Indonesia belum diketahui secara pasti,
tetapi pernah dilaporkan dari pulau Komodo di Nusa Tenggara terdapat angka kematian 20
orang per tahun yang disebabkan gigitan ular berbisa (Gunawan, 2009). Di bagian Emergensi
RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung dalam kurun waktu 1996-1998 dilaporkan sejumlah 180
kasus gigitan ular berbisa. Sementara di RSUD dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2004
dilaporkan sejumlah 36 kasus gigitan ular berbisa. Estimasi global menunjukkan sekitar
30.000-40.000 kematian akibat gigitan ular (Sudoyo, 2010).

2.1.3 ETIOLOGI SNAKE BITE


Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan Viperidae. Bisa
ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan pendarahan. Banyak bisa yang
menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi pada anggota badan yang tergigit.
Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam.
Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
1. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut
(hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya
perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
2. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka
gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda
kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan
peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan
susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh
tubuh, ialah melalui pembuluh limfe.
3. Bisa ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan maemotoksin.
Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan
sel-sel otot.
4. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
5. Bisa ular yang bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya
kardiovaskuler.
6. Bisa ular yang bersifat cytolitik
Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat gigitan.
7. Enzim-enzim
Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa.
2.1.4. KLASIFIKASI SNAKE BITE
A. Berdasarkan Derajat Gigitan Ular

Derajat 0: Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam, Pembengkakan minimal, diameter
1 cm

Derajat I: Bekas gigitan 2 taring, Bengkak dengan diameter 1 – 5 cm, Tidak ada tanda-
tanda sistemik sampai 12 jam

Derajat II: Sama dengan derajat I, Petechie, echimosis, Nyeri hebat dalam 12 jam
Derajat III: Sama dengan derajat I dan II, Syok dan distres nafas / petechie, echimosis
seluruh tubuh

Derajat IV: Sangat cepat memburuk, Pengelolaan Dan Penanganan

2.1.5 TANDA DAN GEJALA SNAKE BITE

Tanda dan gejala khusus pada gigitan family ular :

1. Gigitan Elapidae, Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang,
ular cabai, coral snakes, mambas, kraits), cirinya: Semburan kobra pada mata dapat
menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar
mulut. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.

15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10 jam muncul paralisis urat-urat
di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah menelan, otot lemas,
kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di
sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24 jam.

2. Gigitan Viperidae/Crotalidae Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo,
cirinya: Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak
di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan. Gejala sistemik muncul
setelah 50 menit atau setelah beberapa jam. Keracunan berat ditandai dengan
pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan
hebat.

3. Gigitan Hydropiidae Misalnya, ular laut, cirinya: Segera timbul sakit kepala, lidah terasa
tebal, berkeringat, dan muntah. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul
kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot,
mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk
diagnosis), ginjal rusak, henti jantung.

4. Gigitan Crotalidae Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya: Gejala
lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di daerah gigitan,
semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae antivenin. Anemia, hipotensi,
trombositopeni.

Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori:
1. Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa sakit
dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat berdarah dan
melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar sisi gigitan
luka.

2. Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat
menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen. Korban
dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka yang lama.
Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan kematian.

3. Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada sistem saraf.
Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat menghentikan otot-otot
pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat
menderita masalah visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan kesemutan.

4. Kematian otot, bisa dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa elapid
Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa area tubuh.
Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba menyaring
protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.

5. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata korban,
menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada mata.

2.1.6 PATOFISIOLOGI
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut
menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai system. Seperti, sistem
neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan.
Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang
berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada saluran
pernapasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat
mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan dapat mengakibatkan syok
hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas.
2.1.7 PEMERIKSAAN FISIK

a) Pantau Kesadaran
b) Nilai Keadaan Umum Klien
c) Pantau tanda tanda vital
d) Aktivitas dan Istirahat
Gejala: Malaise.
e) Sirkulasi
Tanda: Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama hasil curah
jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer hiperdinamik),
lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
f) Integritas Ego
Gejala: Perubahan status kesehatan.
Tanda: Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal,
menarik diri.
g) Eliminasi
Gejala: Diare.
h) Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah.
Tanda: Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot (malnutrisi).
i) Neorosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.

j) Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/pruritus umum.
k) Pernapasan
Tanda: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.
Gejala: Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal, kadang
subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama sembuh.
l) Seksualitas
Gejala: Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.
m) Integumen
Tanda: Daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar, kulit teraba hangat.
n) Penyuluhan
Gejala: Masalah kesehatan kronis/melemahkan, misal: hati, ginjal, sakit jantung,
kanker, DM, keadaan klien sudah  membaik.
2.1.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel darah lengkap,
penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, hitung
trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula darah, BUN dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat,
lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu pembekuan dan waktu retraksi
bekuan.

2.1.10 PENATALAKSANAAN

1. Prinsip penanganan pada korban gigitan ular:


a. Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular.
b. Menetralkan bisa.
c. Mengobati komplikasi.
2. Pertolongan pertama :
Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari
pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya lakukan prinsip RIGT, yaitu:
 R: Reassure: Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban, kepanikan
akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat menyebar ke
tubuh. Terkadang pasien pingsan/panik karena kaget.
 Immobilisation: Jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak berjalan
atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang, lakukan tehnik
balut tekan (pressure-immoblisation) pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki)
lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan)
 G: Get: Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
 T:  Tell the Doctor: Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul  ada korban.
3. Primary survey : Nilai tingkat kesadaran, Lakukan penilaian ABC : A – airway : kaji
apakah ada muntah, perdarahan. B – breathing: kaji kemampuan bernafas akibat
kelumpuhan otot-otot pernafasan. C – circulation : nilai denyut nadi dan perdarahan pada
bekas patukan, Hematuria, Hematemesis /hemoptysis

Intervensi primer, Bebaskan jalan nafas bila ada sumbatan, suction kalau perlu, Beri O2,
bila perlu Intubasi, Kontrol perdarahan, toniquet dengan pita lebar untuk mencegah aliran
getah bening (Pita dilepaskan bila anti bisa telah diberikan). Bila tidak ada anti bisa,
transportasi secepatnya ke tempat diberikannya anti bisa. Pasang infus

Catatan : tidak dianjurkan memasang tourniquet untuk arteriel dan insisi luka

4. Secondary survey dan Penanganan Lanjutan : Penting menentukan diagnosa patukan ular
berbisa, Bila ragu, observasi 24 jam. Kalau gejala keracunan bisa nyata, perlu pemberian
anti bisa, Kolaborasi pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri
atas protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di
Indonesia, antibisa sbersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa
ular. Serum anti bisa ini hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal yang
luas . Bila alergi serum kuda : Adrenalin 0,5 mg/SC, ABU IV pelan-pelan.

Bila tanda-tanda laringospasme, bronchospasme, urtikaria hypotensi : adrenalin 0,5


mg/IM, hydrokortison 100 mg/IV. Anti bisa diulang pemberiannya bila gejala-gejala tak
menghilang atau berkurang. Jangan terlambat dalam pemberian ABU, karena manfaat
akan berkurang.

5. Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan):


 Balut tekan pada kaki:
a) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
b) Keringkan sekitar luka gigitan.
c) Gunakan pembalut elastis.
d) Jaga luka lebih rendah dari jantung.
e) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik ke atas.
f) Biarkan jari kaki jangan dibalut.
g) Jangan melepas celana atau baju korban.
h) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai menghambat
aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang tetap pink).
i) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
 Balut tekan pada tangan:
a) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut).
b) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.
c) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan.
d) Pasang papan sebagai fiksasi.
e) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.

6. Penatalaksanaan selanjutnya:
a) Insisi luka pada 1 jam pertama setelah digigit akan mengurangi toksin 50%.
b) IVFD RL 16-20 tpm.
c) Penisillin Prokain (PP) 1 juta unit pagi dan sore.
d) ATS profilaksis 1500 iu.
e) ABU 2 flacon dalam NaCl diberikan per drip dalam waktu 30 – 40 menit.
f) Heparin 20.000 unit per 24 jam.
g) Monitor diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2 flacon ABU
lagi. ABU maksimal diberikan 300 cc (1 flacon = 10 cc).
h) Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau hipotensi berikan
adrenalin 0,5 mg IM, hidrokortisone 100 mg IV.
i) Kalau perlu dilakukan hemodialise.
j) Bila diathese hemorhagi membaik, transfusi komponen.
k) Observasi pasien minimal 1 x 24 jam
7. Pemberian ABU
Tabel. Pemberian ABU sesuai derajat parrish

Derajat Parrish Pemberian ABU


0-1 Tidak perlu
2 5-20 cc (1-2 ampul)
3-4 40-100 cc (4-10 ampul)
Tabel. Klasifikasi derajat parrish
Derajat
Ciri
Parrish
0 1.    Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam pasca gigitan.
2.    Pembengkakan minimal, diameter 1 cm
I 1.    Bekas gigitan 2 taring
2.    Bengkak dengan diameter 1-5 cm.
3.    Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
II 1.    Sama dengan derajat I
2.    Petechie, echimosis
3.    Nyeri hebat dalam 12 jam
III 1.    Sama dengan derajat I dan II
2.    Syok dan distress napas, echimosis seluruh tubuh
IV Sangat cepat memburuk.

2.1.11 KOMPLIKASI

1. Syok hipovolemik
2. Edema paru
3. Kematian
4. Gagal napas
2.2 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
2.2.1 PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1) Kaji identitas klien
2) Pantau Kesadaran
3) Nilai keadaan umum klien
4) pantau tanda tanda vital.
5) Sirkulasi
Tanda: Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama hasil curah
jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer hiperdinamik),
lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
6) Integritas Ego
Gejala: Perubahan status kesehatan.
Tanda: Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal,
menarik diri.
7) Eliminasi
Gejala: Diare.
8) Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah.
Tanda: Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot (malnutrisi).
9) Neorosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
10) Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/pruritus umum.
11) Pernapasan
Tanda: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.
Gejala: Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal, kadang
subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama sembuh.
12) Seksualitas
Gejala: Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.
13) Integumen
Tanda: Daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar, kulit teraba hangat.
14) Penyuluhan
Gejala: Masalah kesehatan kronis/melemahkan, misal: hati, ginjal, sakit jantung,
kanker, DM, keadaan klien sudah  membaik.

2.2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury (biologi, kimia, fisik,psikologis)

3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit, dehidrasi,


efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi
temperatur, proses infeksi.
4. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur
isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.

5. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk


mengatasinfeksi, jaringan traumatik luka.

2.2.3 PERENCANAAN ASUHAN KEPERAWATAN

NO Diagnosa Keperawatan TUJUAN/NOC NIC

1 Bersihan jalan nafas tidak efektif 4. Respiratory status: Airway Suction


Ventilation
Definisi : ketidak mampuan 1. pastikan
membersihkan sekresi atau 5. respiratory status : Air kebutuhan oral
obstruksi dari saluran pernafasan way patency /tracheal
untuk mempertahankan suctioning
6. aspiration control
kebersihan jalan nafas
2. auskultasi suara
kreteria hasil:
Batasan Karakteristik : nafas sebelum dan
1. mendemonstrasikan sesudah suctioning
1. dispneu
batuk efektif dan suara
3. informasikan pada
2. cyanosis nafas yang bersih, tidak
keluarga dan klien
ada sianosis dan
3. kelainan suara nafas (reles, tentang suctioning
dyspneu (mampu
wheezing)
mengeluarkan sputum, 4. minta klien untuk
4. kesulitan berbicara mampu bernafas dengan nafas dalam
mudah) sebelum dilakukan
5. batuk tidak efektif
suction
2. menunjukkan jalan
6. mata melebar
nafas yang paten (klien 5. berikan O2 dengan
7. gelisah tidak merasa tercekik, menggunakan
irama nafas dan nasal untuk
8. produksi sputum
frekwensi nafas dalam memfasilitasi
9. perubahan frekwensi dan rentang normal, tidak suksion
irama nafas ada suara nafas nasotrakeal
faktor-faktor lain yang abnormal) 6. gunakan alat yang
berhubungan : steril setiap
3. mampu
melakukan
1. lingkungan : merokok, mengidentifikasi dan
tindakan
menghirup asap rokok, mencegah faktor yang
perokok pasif, infeksi dapat menghambat jalan 7. anjurkan pasien
nafas untuk istirahat dan
2. fisiologis : disfungsi
nafas dalam
neuromuscular, hiperplasia
setelah kateter di
dinding bronkus, alergi
keluarkan dari
jalan nafas, asma
nasotrakeal
3. obstruksi jalan nafas :
8. monitor status
spasme jalan nafas, sekresi
oksigen pasien
tertahan, banyak mucus,
adanya jalan nafas buatan, 9. ajarkan keluarga
sekresi bronkus, adanya cara menggunakan
eksudat di alveolus, suction
adanya benda asing di
10. hentikan suction
jalan nafas
dan berikan
oksigen apabila
menunjukkan
bradikardi,
peningkatan
saturasi O2

airway managemen

1. buka jalan nafas,


gunakan teknik
chin, lift atau jaw
trust bila perlu

2. posisikan pasien
untuk
memaksimalkan
ventilasi

3. identifikasi pasien
perlunya
pemasangan alat
jalan nafas buatan

4. pasang mayo bila


perlu

5. lakukan fisioterapi
dada

6. keluarkan lendir
dengan batuk atau
suction

7. auskultasi suara
nafas awasi adanya
suara nafas
tambahan

8. lakukan suction
pada mayo

9. berikan
bronkodilator bila
perlu

10. berikan pelembab


udara kassa basah
nacl lembab

11. atur intake untuk


optimalkan
keseimbangan

12. monitor respirasi


dan status O2

2 Nyeri 1. pain level Pain managemen

Definisi : sensori yang tidak 2. pain control 1. lakukan


menyenangkan dan pengalaman pengkajian nyeri
3. comfort level
emosional yang muncul secara secara
aktual atau potensial kerusakan kreteria hasil komperhensif
jaringan atau menggambarkan termasuk lokasi,
1. mampu mengontrol
adanya kerusakan. karakteristik,
nyeri (tahu penyebab
durasi, frekwensi,
Batasan karakteristik : nyeri, mampu
kualitas dan faktor
menggunakan teknik
1. laporan secara verbal atau presipitasi
non farmakologi untuk
non verbal
mengurangi nyeri) 2. observasi reaksi
2. fakta dari observasi nonverbal dari
2. melaporkan bahwa nyeri
ketidaknyamanan
3. gerakan melindungi berkurang dengan
menggunakan 3. gunakan teknik
4. tingkah laku berhati-hati
manajemen nyeri komunikasi
5. gangguan tidur terapeutik untuk
3. mampu mengenali nyeri
mengetahui
6. gelisah, perubahan tekanan (skala nyeri, intensitas,
pengalaman nyeri
darah, frekwensi dan tanda
pasien
nyeri)
7. perubahan dalam nafsu
4. kaji kultur yang
makan 4. menyatakan rasa
mempengaruhi
nyaman setelah nyeri
faktor yang berhubungan : nyeri pasien
berkurang
agen injury (biologi, kimia, 5. evaluasi
fisik,psikologis) 5. tanda vital dalam pengalaman nyeri
rentang batas normal masa lampau

(Td: 110/60- 6. kurangi faktor


120/80mmhg, RR: 18- presipitasi nyeri
24x/menit, N: 60-
7. pilih dan lakukan
80x/menit, S: 36-37,5oC
penanganan nyeri
(non farmakologi,
dan farmakologi)

8. ajarkan tentang
teknik non
farmakologi

9. berikan analgesik
untuk mengurangi
nyeri

10. kolaborasi dengan


dokter jika keluhan
dan tindakan nyeri
tidak berhasil

analgesik administration

1. tentukan lokasi,
karakteristik,
kualitas, dan
derajat nyeri
sebelum
pemberian obat

2. cek instruksi
dokter tentang
jenis obat, dosis,
dan frekwensi

3. cek riwayat alergi

4. pilih analgesik
yang di perlukan
untuk kombinasi
dari analgesik
lebih dari satu

5. tentukan
anallgesik
tergantung tipe dan
beratnya nyeri

6. tentukan analgesik
pilihan rute, dosis,

7. pilih rute pemerian


secara IV,IM
untuk pengobatan
secara teratur

8. monitor vital sign


sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik pertama
kali

9. berikan analgesik
tepat waktu
terutama saat nyeri
hebat
10. evaluasi efektifitas
analgesik, tanda
dan gejala (efek
samping)

3 Hipertermia Thermoregulation Fever treatment

Definisi : suhu tubuh naik diatas Kreteria hasil: 1. monitor suhu


rentang normal sesering mungkin
1. suhu tubuh dalam
Batasan karakteristik: rentang normal (36- 2. monitor iwl
37oC)
1. kenaikan suhu tubuh diatas 3. monitor warna dan
rentang normal 2. Nadi dan RR dalam suhu tubuh
rentang normal (N: 60-
2. serangan atau konvulsi 4. monitor tekanan
80x/menit, RR: 18-
(kejang) darah, nadi, dan
24x/menit)
RR
3. kulit kemerahan
3. tidak ada perubahan
5. monitor penurunan
4. perubahan RR warna kulit dan tidak
kesadaran
ada pusing , merasa
5. takikardi
nyaman 6. monitor WBC, Hb,
6. saat disentuh teraba hangat dan HCT

faktor yang berhubungan: 7. monitor intake dan


out put
1. penyakit/trauma
8. berikan antipiretik
2. peningkatan metabolisme
9. berikan
3. aktivitas yang berlebih
pengobatan untuk
4. pengaruh mengatasi demam
medikasi/anastesi
10. selimuti pasien
5. terpapar dilingkungan
11. berikan cairan
yang panas
6. dehidrasi intravena

7. pakaian yang tidak tepat 12. kompres pasien


pada lipatan paha
dan aksila

13. tingkatkan
sirkulasi udara

14. berikan
pengobatan untuk
mencegah
mengigil

temperatur regulation

1. monitor suhu tiap


2 jam

2. monitor tekanan
darah, nadi dan RR

3. monitor warna
kulit dan suhu
kulit

4. tingkatkan intake
cairan dan nutrisi

5. berikan antipiretik
bila perlu

4 Ansietas berhubungan dengan Anxiety control Anxiety reduction


kurang pengetahuan dan (penurun kecemasan)
Coping
hospitalisasi
1. gunakan
Kreteria Hasil:
Definisi: pendekatan yang
Perasaan gelisah yang tidak jelas 1. klien mampu menenangkan
dari ketidaknyamanan atau mengidentifikasi dan
2. jelaskan semua
ketakutan disertai respon mengungkapkan gejala
tentang prosedur
autonom. cemas
dan apa yang
Di tandai dengan ; 2. mengidentifikasi, dirasakan selama
mengungkapkan, dan prosedur
1. gelisah
menunjukkan teknik
3. temani pasien
2. insomnia untuk mengontrol cemas
untuk memberikan
3. resah 3. vital sign dalam batas keamanan dan
normal mengurangi takut
4. ketakutan
4. postur tubuh, ekspresi 4. dorong keluarga
5. sedih
wajah, bahasa tubuh, untuk menemani
6. fokus pada diri dan tingkat aktivitas
5. dengarkan dengan
menunjukkan
7. kekhawatiran penuh perhatian
berkurangnya
8. cemas kecemasan 6. bantu pasien dalam
mengenal situasi
yang menimbulkan
kecemasan

7. dorong pasien
untuk
mengungkapkan
perasaan,
ketakutan dan
persepsi

8. instruksikan pasien
untuk
menggunakan
teknik relaksasi

9. berikan obat untuk


mengurangi
tingkat kecemasan

5 Resiko infeksi 1. immune status Infection control (kontrol


infeksi)
Definisi : peningkatan resiko 2. knowledge :infection
masuknya organisme patogen control 1. bersihkan
lingkungan setelah
Faktor-faktor resiko: 3. risk control
dipakai pasien lain
1. prosedur infasif Kreteria hasil :
2. pertahankan teknik
2. kurang pengetahuan untuk 1. klien bebas dari tanda isolasi
menghindari patogen gejala infeksi
3. batasi pengunjung
3. trauma 2. mendeskripsikan proses bila perlu
penularan penyakit,
4. kerusakan jaringan dan 4. instruksikan bagi
faktor yang
peningkatan paparan pengunjung
mempengaruhi
lingkungan patogen mencuci tangan
penularan serta
saat berkunjung
5. malnutrisi penatalaksanaannya
5. gungakan sabun
6. imunosupresi 3. menunjukkan
anti mikroba saat
kemampuan untuk
7. tidak adekuat pertahanan mencuci tangan
mencegah timbulnya
sekunder (penurunan Hb,
infeksi 6. cuci tangan
leukopenia, penekanan
sebelum dan
respon inflamasi) 4. jumlah leukosit dalam
sesudah
batas normal
8. tidak adekuat pertahanan melakukan
tubuh primer (kulit tidak 5. menunjukkan perilaku tindakan
utuh, trauma jaringan, hidup sehat keperawatan
penurunan kerja silia,
7. gunakan baju dan
penurunan sekresi PH
9. penyakit kronik sarung tangan
sebagai pelindung

8. pertahankan teknik
aseptik saat
pemasangan alat

infection protection
(proteksi terhadap infeksi)

1. monitor tanda dan


gejala infeksi
sistemik dan lokal

2. monitor hitung
granulosit, WBC

3. monitor
kerentanan
terhadap penyakit
menular

4. pertahankan teknik
asepsis pada
pasien yang
beresiko

5. pertahankan teknik
isolasi jika perlu

6. berikan perawatan
kulit pada area
epidema

7. inspeksi kulit dan


membran
mukosaterhadap
kemerahan

8. inspeksi kondisi
luka/insisi bedah

9. instruksikan pasien
minum antibiotik
sesuai dengan
resep

10. ajarkan pasien


untuk mencegah
infeksi

2.2.4 IMPLEMENTASI KEPERAWATAN


Implementasi keperawatan adalah melaksanakan intervensi keperawatan. Implementasi
merupakan komponen dari proses keperawatan yaitu kategori dari perilaku keperawatan
dimana tindakan yang diperlukan dari asuhan keperawatan yang dilakukan dan diseleaikan.
Implementasi harus sesuai dengan apa yang dibuat pada intervensi keperawatan

2.2.5 EVALUASI
Evaluasi dibuat dengan melihat perkembangan pasien selama diberikan asuhan keperawatan
sesuai diagnose pasien dan tujuan evaluasi dibuat menggunakan SOAP

Anda mungkin juga menyukai