Anda di halaman 1dari 15

Tita Sulastri

Profesi Ners

LAPORAN PENDAHULUAN GIGITAN ULAR & CARDIAC ARREST


(KEP.GAWAT DARURAT / NERS)

A. Konsep Gigitan Ular


1. Pengertian
Gigitan ular adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh gigitan ular
berbisa. Bisa ular adalah kumpulan dari terutama protein yang mempunyai
efek fisiologik yang luas atau bervariasi. Yang mempengaruhi sistem
multiorgan, terutama neurologik, kardiovaskuler dan pernapasan (Suzanne
Smaltzer dan Brenda G. Bare, 2001 : 2490).

Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang
ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik,
sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular
(merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk
menghasikan zat – zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan
substansi cepat lambat (Sudoyo, 2006).

2. Klasifikasi Gigitan Ular


Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya
dari kira – kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang
berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi
manusia. (de Jong, 1998). Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies
ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan
morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli
utama yaitu:
a. Famili Elipadae, terdiri dari :
1) Najabungarus (king cobra), berwarna coklat hijau dan terdapat di
Sumatra dan Jawa.
2) Najatripudrat Sputatrix (cobra hitam, ular sendok) panjangnya
sekitar 1,5 meter terdapat di Sumatra dan Jawa.
3) Najabungarus Candida (ular sendok berkaca mata) sangat
berbahaya dan terdapat di India.
b. Famili Viperidae, terdiri dari : Ancistrodon Rodostom (ular tanah),
Lacheis Graninius (ular hijau pohon), Micrurus Fulvius (ular batu
koral).
c. Famili Hidropidae meupakan ular laut yang mempunyai ekor pipeh
seperti dayung biasanya berkepala kecil.
d. Familli Colubridae, misalnya ular pohon.

Ciri – Ciri Ular Berbisa

Gigitan ular dapat diklasifikasikan beberapa derajat, antara lain :


a. Derajat 0
Tidak ada keracunan, hanya ada bekas taring dan gigitan ular, nyeri
minimal dan terdapat edema dan eritema kurang dari 1 inci dalam 12
jam, pada umunya gejala sistemik yang lain tidak ada.
b. Derajat I
Terjadi keracunan menimal, terdapat bekas taring dan gigitan, terasa
sangat nyeri dan edema serta eritema seluas 1- inci dalam 12 jam, tidak
ada gejala sistemik.
c. Derajat II
Terjadi keracunan tingkat sedang terdapat bekas taring dan gigitan,
terdapat sangat nyeri dan edema serta eritema yang terjadi meluas
antara 6-12 inci dalam 12 jam. Kadang-kadang dijumpai gejala
sistemik seperti mual, gejala neurotoksi, syok, pembesaran kelenjar
getah bening regional.
d. Derajat III
Terdapat gejala keracunan yang hebat, bekas taring dan gigitan, terasa
sangat nyeri, edema dan eritema yang terjadi luasnya lebih dari 12 inci
dalam 12 jam. Juga terdapat gejala sistemik seperti hipotensi,
petekhiae, dan ekimosis serta syok.
e. Derajat IV
Gejala keracunan sangat berat, terdapat bekas taring dan gigitan yang
multiple, terdapat edema dan local pada bagian distal ekstremitas dan
gejala sistemik berupa gagal ginjal, koma sputum berdarah.

3. Etiologi
Karena gigitan ular yang berbisa, terdapat 3 famili ular yang berbisa
yaitu : Elipidae, Viperidae dan Hidrophidae. Bisa ular dapat menyebabkan
perubahan lokal seperti edema dan perdarahan. Banyak bisa yang
menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi pada anggota badan
yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elipidae tidak terdapat lagi
dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam.
Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
a. Bisa Ular Yang Bersifat Racun Terhadap Darah (Hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan
jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah),
sehingga sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan
keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan
timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lendir) pada mulut, hidung,
tenggorokan dan lain-lain.
b. Bisa Ular Yang Bersifat Saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel
saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan
tampak kebiru-biruan dan hitam (Nekrotis). Penyebaran peracunan
selanjutnya mempengaruhi susunan saraf dengan jalan melumpuhkan
susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran
bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limpa.
c. Bisa Ular Yang Bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan
maemotoksin. Myoglobinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan
hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
d. Bisa Ular Yang Bersifat Kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot
jantung.
e. Bisa Ular Yang Bersifat Cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardiovaskuler.
f. Bisa Ular Yang Bersifat Cytolitik
Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan
pada tempat gigitan.
g. Enzim-Enzim
Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa.
(Deddyrin. 2009. Intoxicasi).

4. Manifestasi Klinik
Menurut (Sudoyo, 2006), Secara umum akan timbul gejala lokal dan
gejala sistemik pada semua gigitan ular.
a. Gejala Lokal: bekas gigitan, edema, nyeri tekan pada luka gigitan,
ekimosis (kulit kegelapan karena darah yang terperangkap dijaringan
bawah kulit).
b. Gejala Sistemik : hipotensi, otot melemah, berkeringat, mengigil,
mual, hipersalivasi (ludah bertambah banyak), muntah, nyeri kepala,
pandangan kabur. Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala
khusus gigitan ular berbisa yaitu terjadi oedem (pembengkakan) pada
tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat),
paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness
(denyutan).

Tanda dan gejala khusus pada gigitan family ular :


a. Gigitan Elapidae (misal: ular cobra, ular weling, ular welang, ular
sendok, ular anang, ular cabai, coral snakes, mambas, kraits), cirinya:
1) Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang
berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan
kerusakan pada lapisan luar mata.
2) Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3) Setelah digigit ular: 15 menit muncul gejala sistemik dan 10 jam
kemudian dalam bentuk paralisis dari urat – urat di wajah, bibir,
lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara,
kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala,
kulit dingin, muntah, pandangan kabur dan mati rasa di sekitar
mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga
lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi
lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi
dan berlangsung hebat.
4) Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala –
gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
b. Gigitan Viperidae (misal:ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo),
cirinya:
1) Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa
bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke
seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan.
2) Efek sistemik muncul dalam 50 menit atau setelah beberapa jam
berupa muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas
gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring ular), hidung
berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi
akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya
akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan
ginjal, edema paru, kadang – kadang tekanan darah rendah dan
nadi cepat.
3) Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan
lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c. Gigitan Hydropidae (misal: ular laut), cirinya:
1) Gejala local yang muncul berupa sakit kepala, lidah terasa tebal,
berkeringat dan muntah
2) Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan
nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot,
kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis,
mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap
(gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung.
d. Gigitan Rattlesnake dan Colubridae (misalnya: ular tanah, ular hijau,
ular bandotan puspo), cirinya:
1) Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan,
ekimosis, nyeri di daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya
pemberian polivalen crotalidae antivenin.
2) Anemia, hipotensi, trombositipeni

Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa
kategori:
a. Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra
menimbulkan rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat
membengkak hebat dan dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa
ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka.
b. Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid
Australia dapat menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak
atau organ-organ abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan
atau berdarah spontan dari mulut atau luka yang lama. Perdarahan
yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan kematian.
c. Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung
pada sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama
secara cepat menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian
sebelum mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat menderita
masalah visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan kesemutan.
d. Kematian otot, bisa dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan
beberapa elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan
kematian otot di beberapa area tubuh. Debris dari sel otot yang mati
dapat menyumbat ginjal, yang mencoba menyaring protein. Hal ini
dapat menyebabkan gagal ginjal.
e. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat
mengenai mata korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan
kebutaan sementara pada mata.
(Deddyrin. 2009. Intoxicasi).

5. Patofisiologi
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada
dibawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di
rahang atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake
besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati
sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran
mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa,
yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang
dikeluarkan. Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa
menyalurkan bahan-bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan
arginin ester hidrolase telah di identifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal
dari bisa ular merupakan penanda potensia untuk kerusakan sistemik dari
fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal,
koagulopati biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa
edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstitial di
paru-paru. Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek
akhirnya berupa kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam
laktat sekunder terhadap perubahan status volume dan membutuhkan
peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat
menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat
disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh
myoglobinuria dan gangguan ginjal (Daley, Brian James MD, 2010).

6. Pathway

7. Komplikasi
a. Syok Hipovolemik
b. Edema paru
c. Kematian
d. Gagal napas

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium Darah :
1) 20 Minute Whole Bloot Clotting Test : pemerikasaan sensitif untuk
mendeteksi gangguan koagulasi darah. Darah vena dimasukkan
kedalam botol kaca murni yang belum pernah di gunakan,
didiamkan selama 20 menit, jika darah tidak membeku berarti
terjadi gangguan koagulasi darah akibat bisa ular.
2) Pemeriksaan koagulasi darah lainnya: Prothrombin time, Activated
Partial Thromboplastin Time, International Normalized Ratio dapat
memanjang. Produk degradasi fibrinogen seperti D-dimer dapat
meningkat.
3) Pemeriksaan darah lainnya meliputi leukosit, trombosit,
Hemoglobin, hematokrit dan hitung jenis leukosit. Faal Hemostasis
Cross Match, Serum elektrolit, Faal ginjal
4) Pemeriksaan Darah Kimia : ureum, kreatinin, serum meningkat
pada gagal ginjal akut.
5) Anlisis Gas Darah : menunjukkan gagal nafas pada neurotosisitas
dan aseidemia akibat asidosis metabolik atau respiratorik.
b. Pemeriksaan Urinalis : untuk mendeteksi myoglubinuria (hematuria,
gilkosuria, proteinuria).
c. Pemeriksaan Radiologi :
1) Rontgen thoraks : mendeteksi edema pulmonal, perdarahan paru,
red cell casts, efusi pleura, pneumonia sekunder.
2) USG : menilai area lokalis ada tidaknya thrombosis vena,
mendeteksi efusi pleura dan pericardial, mendeteksi perdarahan
pada rongga-rongga tubuh (intraabdominal, intratorakal,
retroperitoneal).
3) ECG (Electrocardiogram) : perubahan dan abnormalitas EKG
termasuk takiaritmia, bradikardia, perubahan segmen ST, blok AV
dan tanda hiperkalemia.
4) Echokardiografi : mendeteksi penurunan fraksi ejeksi pada pasien
dengan hipotensi dan syok.

9. Penatalaksanaan
a. Prinsip Pengganan Pada Korban Gigitan Ular
1) Menghalangi atau memperlambat absorbsi bisa ular.
2) Menetralkan bisa ular yang masuk kedalam sirkulasi darah
3) Mengobati atau mengatasi efek lokal dan sistemik. (Sudoyo, 2006).
b. Pertolongan pertama, pastikan dan sekitar aman dan ular telah pergi
secara pertolongan medis jangan tinggalkan korban selanjutnya
lakukan prinsip RIGT yaitu:
1) R (Reassure) : yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istrihatkan
korban dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan, kepanikan
akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih
cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien pingsan/ panik karena
kaget.
2) I (Immobilisation) : jangan menggerakan korban, untuk tidak
berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis
tidak datang, lakukan tehnik balut tekan (pressure immobilisation)
pada daerah sekitar gigitan (tanggan atau kaki) lihat prossure
immobilisation (balut tekan), tujuannya adalah untuk menahan
aliran limfe, bukan menahan aliran arteri atau vena.
Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan):
a) Balut tekan pada kaki:
(1) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
(2) Keringkan sekitar luka gigitan.
(3) Gunakan pembalut elastis.
(4) Jaga luka lebih rendah dari jantung.
(5) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah
pangkal jari kaki naik ke atas.
(6) Biarkan jari kaki jangan dibalut.
(7) Jangan melepas celana atau baju korban.
(8) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun
jangan sampai menghambat aliran darah (dapat dilihat
dengan warna jari kaki yang tetap pink).
(9) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
b) Balut tekan pada tangan:
(1) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak
dibalut)
(2) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.
(3) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan.
(4) Pasang papan sebagai fiksasi.
(5) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.
3) G (Get) : bawah korban kerumah sakit sesegera dan seaman
mungkin.
4) T (Tell to Doctor) : informasikan ke dokter tanda dan gejala yang
muncul pada korban.
c. Penatalaksanaan Selanjutnya di Rumah Sakit :
1) Di bawah ke Emergency Room, dan melakukan ABC
(penatalaksanaan Airway, Breathing dan Circulation).
2) Berikan pertolongan pertama pada luka gigitan (verban ketat dan
luas di atas luka, imobilisasi (dengan bidai bila perlu).
3) Insisi luka pada 1 jam pertama setelah digigit akan mengurangi
toksin 50%
4) Pada penatalaksanaan sirkulasi, berikan IVFD RL 16-20 tpm.
5) Sampel (5-10 ml) darah untuk pemeriksaan : waktu protrombin,
APTT, INR, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin,
BUN, elektrolit (terutama K). Periksa waktu pembekuan darah,
jika > 10 menit, maka menunjukkan kemungkinan adanya
koagulopati.
6) Penisillin prokain (PP) 1 juta unit pagi dan sore
7) Berikan SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang
dikebalkan), pivalen 1 ml berisi :
a) 10-50LD50 bisa Ankystrodon
b) 25-50LD50 bisa Bungarus
c) 25-51LD50 bisa Nayasputarix .
8) Teknik pemberian : 2 vial @ 5ml intravena dalam 500 ml NaCl
0,9% atau Dextrose 5% dengan kecapatan 30-40 tetes/menit.
SABU maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak
dianjurkan.
9) Heparin 20.000 unit per 24 jam
10) Monitor diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik,
tambah 2 flacon SABU lagi. SABU maksimal diberikan 300 cc (1
flacon = 10 cc).
11) Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau
hipotensi berikan adrenalin 0,5 mg/IM, hydrocortisone 100 mg IV.
12) Kalau perlu dilakukan hemodialise.
13) Bila diathese hemorhagi membaik, transfusi komponen
14) Observasi pasien minimal 1 x 24 jam.

Catatan: Jika terjadi syok anafilatik karena SABU, SABU harus


dimasukkan secara cepat sambil diberi adrenalin.

d. Pemberian SABU (Serum Anti Bisa Ular)


Pedoman Pemberian SABU sesuai derajat parrish, Schwartz dan Way
(Depkes, 2001).

B. Konsep Cardiac Arrest


1. Pengertian
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan
penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa
diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak
(American Heart Association, 2010). Jameson, dkk (2005), menyatakan
bahwa cardiac arrest adalah penghentian sirkulasi normal darah akibat
kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
2. Etiologi
Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan
mempunyai risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:
a. Ada jejas di jantung akibat dari serangan jantung terdahulu.
b. Penebalan otot jantung (Cardiomyopathy).
c. Seseorang yang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung. d)
Kelistrikan jantung yang tidak normal.
d. Pembuluh darah yang tidak normal.
e. Penyalahgunaan obat.

3. Tanda-Tanda Cardiac Arrest


Tanda- tanda cardiac arrest menurut Diklat Ambulans Gawat Darurat 118
(2010) yaitu:
a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara
/tepukan di pundak ataupun cubitan.
b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika
jalan pernafasan dibuka.
c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).

4. Proses Terjadinya Cardiac Arrest


Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia:
fibrilasi ventrikel (VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa
nadi (PEA), dan asistol (Diklat Ambulans Gawat Darurat 118, 2010).
a. Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian
mendadak, pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi
kontraksinya, jantung hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini
tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC shock atau
defibrilasi.
b. Takhikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena
adanya gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat
adanya gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan
menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan memendek, akibatnya
pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung
akan menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan
terapi dengan medika mentosa lebih diutamakan. Pada kasus VT
dengan gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa
nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan
CPR adalah pilihan utama.
c. Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak
menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi
tidak adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak
teraba. Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera
dilakukan.
d. Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada
jantung, dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis
lurus. Pada kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah
CPR.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizaberth. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Krisanty, P., et al. (2009) Ed. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : CV.
Trans Info Media , 103-105

Muslihah. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yokyakarta: NuhaMedika.

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai