Anda di halaman 1dari 13

VULNUS MORSUM SARPENTIS

Epidemiologi
Luka akibat gigitan ular dapat berasal dari gigitan ular tidak berbisa maupun gigitan ular
berbisa. Di seluruh dunia setiap tahunnya ditemukan ribuan orang yang meninggal dunia akibat
gigitan ular berbisa. Di Amerika Serikat ditemukan 8000 kasus gigitan ular berbisa per tahunnya
dengan 98% gigitan tejadi di daerah ekstremitas dan 70% disebabkan oleh Rattlesnake. Di
bagian emergensi RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung dalam kurun waktu 1996-1998 dilaporkan
sejumlah 180 kasus gigitan ular berbisa. Sementara di RSUD dr. Saiful Anwar Malang dalam
kurun waktu satu tahun (2004) dilaporkan sejumlah 36 kasus gigitan ular berbisa. Kepada semua
kasus gigitan ular tersebut diberikan terapi antiveom dan menunjukkan hasil yang baik kecuali
pada satu kasus yang dibawa ke rumah sakit sudah dalam keadaan koma dan apnoe. Hal ini
sejalan dengan laporan Auerbach (2005) bahwa angka kematian ditemukan kurang dari 1% pada
kasus gigitan ular berbisa yang diberi terapi antivenom. Estimasi global menunjukkan sekitar
30.000-40.000 kematian akibat gigitan ular berbisa.
Jenis-Jenis Ular Berbisa
Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira kira
ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya
beberapa yang berbahaya bagi manusia. 4
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya
sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4
familli utama yaitu:
1.
2.
3.
4.

Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai
Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo
Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
Familli Colubridae, misalnya ular pohon
Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai

rambu rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:
Ciri ciri ular tidak berbisa:
1. Bentuk kepala segi empat panjang
2. Gigi taring kecil
3. Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung

Ciri ciri ular berbisa:


1. Kepala segi tiga
2. Dua gigi taring besar di rahang atas
3. Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di
Indonesia adalah jenis ular :
1. Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular
tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan
kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
2. Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular
laut.
Neurotoksin pascasinaps seperti -bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor
asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti -bungarotoxin,
crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin
pada neuromuscular junction. Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi
rabdomiolisin sistemik sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat
gigitan.

Gambar 3.1 Bekas gigitan ular (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular berbisa
dengan bekas taring.
Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein. Jumlah bisa,
efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia ular. Bisa ular bersifat
stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur.2
Secara mikroskop elektron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein yang dapat
menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah, sehingga menyebabkan
kerusakan membran plasma.2
Komponen peptida bisa ular dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada pada
tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin adalah sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat
bisa ular. Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya Larginine esterase menyebabkan
pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta
seringkali menimbulkan keluarnya keringat yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease
akan menimbulkan berbagai variasi nekrosis jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi
hidrolisis dari membran sel darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan dari
jaringan ikat. Amino acid esterase menyebabkan terjadi KID.
Pada kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen, gangguan
fungsi bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas. Bisa ular dari famili Crotalidae/Viperidae
bersifat sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan, kebocoran vaskular dan terjadi
koagulopati. Komponen dari bisa ular jenis ini mempunyai dampak hampir pada semua sistem
organ.2
Bisa ular dari famili Elapidae dan Hydrophidae terutama bersifat sangat neurotoksik, dan
mempunyai dampak seperti kurare yang memblok neurotransmiter pada neuromuscular junction.
Aliran dari bisa ular di dalam tubuh, tergantung dari dalamnya taring ular tersebut masuk ke
dalam jaringan tubuh.2
Manifestasi Klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis.
Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebesar luka, edema,

eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di
peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot
jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut.
Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala
dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan
muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya
terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan
bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara.4
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang
terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut : 5
1. Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24 jam)
2. Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi,
muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
3. Gejala khusus gigitan ular berbisa :
a. Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi,
hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri,
koagulasi intravaskular diseminata (KID).
b. Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi,
paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma.
c. Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma.
d. Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor,
paresthesia, paralysis pulselesness).
Menurut Schwartz, gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri
Udem/ Eritem
Tanda sistemik
0
0
+
+/<3cm/12>
0
I
+/+
+
3-12 cm/12 jam
0
II
+
+
+++
>12-25 cm/12 jam +

III

++

+++

>25 cm/12 jam

IV

+++

+++

>ekstrimitas

Neurotoksik,
Mual, pusing, syok
++
Syok,
petekia,
ekimosis
++
Gangguan
faal
ginjal,
Koma, perdarahan

Tabel 3.1 Klasifikasi gigitan ular


Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :
1. Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat
penyakit sebelumnya.
2. Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.
Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular, yaitu : 3
1. Gigitan Elapidae
a.

Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan,
sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari
Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan
kulit yang rusak dekat gigitan melebar.

b.

Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada
kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.

c.

Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk
paralisis dari urat urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan
sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit
dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi
paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun,
denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan
berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala
gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.

2. Gigitan Viperidae

a.

Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat
gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat
gigitan

b.

Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah,
berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat
taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi
akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar,
melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang kadang
tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan
di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

3. Gigitan Hidropiidae
a.

Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat dan muntah

b.

Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan
ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting
untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung

4. Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae


a.

Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah
gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli
valen crotalidae antivenin

b.

Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting

5. Gigitan Coral Snake


Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius
antivenin).
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu perdarahan,
waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar, golongan
darah dan uji cocok silang
2. Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
3. EKG

4. Foto dada
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :
1.

Scorpion Sting

2.

Sengatan serangga

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
1.

Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular

2.

Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah

3.

Mengatasi efek lokal dan sistemik


Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya

taring ular sepanjang dan sedalam cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis. Bila tidak
tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa
yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi
jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak cm dari
lubang gigitan, sampai kedalaman fasia otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa
centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan tekanan
yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan
dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam
pertama masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan
dengan es.
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau intra
arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari darah
kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan
darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahaya bisa lebih besar dari
pada bahaya syok anafilaksis.

Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian vasopresor untuk
menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem
pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang
respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila
terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom
kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan
bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit. Bila
ragu ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena kadang
efek keracunan bisa timbul lambat. Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan
khusus, kecuali pencagahan infeksi. 4,7
3.7.1 Tindakan Pelaksanaan
1.

Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan
adalah
a.

Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan

b.

Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol

c.

Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah
proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan
lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe,
bukan menahan aliran vena atau ateri.

2. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:
a.

Penatalaksanaan jalan napas

b.

Penatalaksanaan fungsi pernapasan

c.

Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid

d.

Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi
(dengan bidai)

e.

Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen


dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu
pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati

f.

Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection

Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahkan), polivalen 1 ml berisi:

g.
i.

10-50 LD50 bisa Ankystrodon

ii.

25-50 LD50 bisa Bungarus

iii.

25-50 LD50 bisa Naya Sputarix

iv.

Fenol 0.25% v/v

Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 100 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5%
dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak
dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian
luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way3,4,6

Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU

Derajat II: 3-4 vial SABU

Derajat III: 5-15 vial SABU

Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

Derajat Beratnya
evenomasi

Taring atau Ukuran


zona
gigi
edema/ eritemato
kulit (cm)
0
Tidak ada
+
<2
I
Minimal
+
2-15
II
Sedang
+
15-30
III
Berat
+
>30
IV
Berat
+
<>
Tabel 3.2 Pedoman terapi SABU menurut Luck

Gejala
sistemik

Jumlah vial
venom

+
++
+++

0
5
10
15
15

Pedoman terapi SABU menurut Luck


1.

Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit

2.

Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom


a.

Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah
tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam
berikutnya, dst.

b.

Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka


monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya.
Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang.
Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi
minimal 2 minggu setelah gigitan

3. Terapi suportif lainnya pada keadaan :


a.

Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)

b.

Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K,
tranfusi trombosit

c.

Hipotensi: beri infus cairan kristaloid

d.

Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat

e.

Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan

f.

Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi

g.

Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas


atropin

h.

Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan

i.

Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat
obatan narkotik depresan

4. Terapi profilaksis
a.

Pemberian antibiotika spektrum luas. Kuman terbanyak yang dijumpai adalah


P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis

b.

Beri toksoid tetanus

c.

3.7.2

Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi

Fasciotomy
Tujuan dari terapi sindrom kompartemen dalah mengurangi defisit fungsi neurogis

dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah local, biasanya dengan bedah dekompresi.
Tindakan nonoperatif tertentu mungkin bias berhasil seperti menghilangkan selubung eksternal.
Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan operasi dekompresi perlu dipertimbangkan.
Indikasi mutlak untuk operasi dekompresi sulit untuk ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom
kompartemen memiliki individualitas yang berpengaruh pada cara untuk menindakinya.
Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, terapi kompartemen sindrom sederhana yaitu fasciotomi
kompartemen yang terlibat. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun
beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi
neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi. Penanganan sindroma kompartemen
meliputi :
1. Terapi Medikal/non operatif.
Pemilihan secara medical terapi digunakan apabila masih menduga suatu sindroma kompartemen, yaitu :
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal,
elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan
sindroma kompartemen.
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat mengurangi tekanan
kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal
dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
2. Terapi operatif untuk sindroma kompartemen apabila tekanan intrakompartemen lebih dari
30mmHg memerlukan tindakan yang cepat dan segera dilakukan fasciotomi. Tujuannya untuk menurunkan
tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Apabila tekanannya kurang dari 30mmHg, tungkai dapat diobservasi
dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya, kalau keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik
yang berulang-ulang dilanjutkan hingga bahaya telah terlewati. Kalau tidak ada perbaikan,
atau kalau

tekanan

kompartemen

meningkat,

fasiotomi

harus

segera

dilakukan.

Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Ada dua teknik dalam fasciotomi yaitu

teknik insisi tunggal dan insisiganda. Tidak ada keuntungan yang utama dari kedua teknik ini. Insisi ganda pada
tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi
tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal.
Pada tungkai bawah, fasiotomi dapat berarti membuka ke empat kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi
satu segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot,dapat dilakukan debridemen,
kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit ( tanpa regangan ), atau dilakukan pencangkokan kulit Terapi
untuk sindrom kompartemen akut maupun kronik biasanya adalah operasi. Insisi panjang dibuat pada fascia
untuk menghilangkan tekanan yang meningkat di dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan
pembalut steril) dan ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat nekrosis otot, dapat
dilakukan debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan ), atau skin graft mungkin
diperlukan untuk menutup luka ini.
Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi antara lain:
1. Adanya tanda-tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat
2. Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi (pasien koma, pasien dengan
masalah psikiatrik, dan dibawah pengaruh narkotik) dengan tekanan jaringan lebih dari 30mmHg pada
pasien yang diharapkan memiliki tekanan jaringan yang normal. Bila ada indikasi, operasi dekompresi harus
segera dilakukan karena penundaan akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan
intrakompartemen sebagaimana terjadinya komplikasi. Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi
sindrom kompartemen. Kerusakan nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi
intrakompartemen. Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen, pengukuran tekanan dan
konsultasi yang diperlukan harus segera dilakukan secepatnya. Beberapa teknik telah diterapkan untuk
operasi dekompresi untuk semua sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa
torniket untuk mencegah terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan operator juga dapat
memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan didekompresi. Setiap yang berpotensi
membatasi ruang, termasuk kulit,dibuka di sepanjang daerah kompartemen, semua kelompok otot
harus lunak pada palpasi setelah prosedur selesai. Debridemant otot harus seminimal mungkin selama
operasi dekompresi kecuali terdapat otot yang telah nekrosis.

Prognosis

Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang berat, sehingga
perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala. Ekstremitas atau bagian tubuh
yang mengalami nekrosis pada umumnya akan mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya
pada kasus-kasus tertentu memerlukan skin graft.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Egmansjoer.arif.2000.kapita selekta kedokteran edisi 3.jakrta :EGC
2. Nelson. 1999.ilmu kesehatan anak.edisi 14. Jakarta : EGC
3. Purwadianto A, Sampurna B. Retensio urin, dalam : Kedaruratan medi pedoman
penatalaksanaan praktis Ed revisi, binarupa aksara, jakarta,2013
4. Sumiardi. Bedah minor.1995. hipocrates :jakarta
5. Anonim. Bedah minor availabe at www.bedahminor.com
6. Supriadi.edi. luka gigitan availble at www.edisupriadi5.blogspot.com
Suprayanto. Luka available at www.drsuprayanto.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai