Anda di halaman 1dari 3

Jenis – jenis ular berbisa

Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira – kira
ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini
hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. (de Jong, 1998)
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar
250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4
familli utama yaitu:
 Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai
 Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo
 Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
 Familli Colubridae, misalnya ular pohon

Ciri – ciri ular tidak berbisa:


 Bentuk kepala segi empat panjang
 Gigi taring kecil
 Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
Ciri – ciri ular berbisa:
 Kepala segi tiga
 Dua gigi taring besar di rahang atas
 Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di
Indonesia adalah jenis ular :
 Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular
tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan
kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
 Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra,
ular laut.
Neurotoksin pascasinaps seperti α-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor
asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti β-bungarotoxin,
crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan
asetilkolin pada neuromuscular junction.
Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara
spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.

Patofisiologi
Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini
disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm pada
ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati
setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung
untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun
yang dikeluarkan.
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease,
colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa.
Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim
diantaranya adalah

(1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan
menghancurkan mukopolisakarida;

(2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis
pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot; dan

(3)enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin
dan menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik (Warrell,2005).

 Gejala klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan
hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding
sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat
terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena
efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah,
bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular
welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa
jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan
ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti
nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan
bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong,
1998)
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang
terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):
 Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit – 24
jam)
 Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual,
hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
 Gejala khusus gigitan ular berbisa :
o Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak,
gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe,
hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID)
o Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis
oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma
o Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
o Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P (pain, pallor,
paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006)

Anda mungkin juga menyukai