Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Ular adalah salah satu binatang reptilia yang tersebar luas di seluruh benua baik spesies yang
berbisa ( berbahaya ) maupun spesies yang tidak berbisa ( tidak berbahaya ). Ular yang
berbisa menghasilkan bisa untuk melemahkan musuh atau mangsanya serta sebagai alat
untuk mempertahankan diri. Racun / bisa ular akan diinjeksikan pada tubuh mangsanya
melalui gigitan bila merasa terancam, ketakutan atau merasa terusik atau jika ular ingin
melumpuhkan mangsanya.1
Bisa ular merupakan hasil sekresi kelenjar mulut khusus yang menyerupai kelenjar
saliva pada hewan vertebrata, hal ini bisa dikatakan bisa ular merupakan modifikasi dari
saliva ini. Setiap spesies ular menghasilkan komponen dan kandungan bahan toksik atau non
toksik yang berbeda beda. Tetapi jika ular tersebut memiliki kekerabatan maka komponen
penyusun bisanya akan mirip. Umumnya setiap jenis ular berbisa mengandung hemoragin,
kardiotoksin, dan neurotoksin dengan kadar yang berbeda beda. 1
Korban gigitan ular terutama adalah petani, pekerja perkebunan, nelayan, pawang
ular, pemburu, dan penangkap ular. Kebanyakan gigitan ular terjadi ketika orang tidak
mengenakan alas kaki atau hanya memakai sandal dan menginjak ular secara tidak sengaja.
Gigitan ular juga dapat terjadi pada penghuni rumah, ketika ular memasuki rumah untuk
mencari mangsa berupa ular lain, cicak, katak, atau tikus. 1,2
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara
yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan,
penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia.
Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan
keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan
hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan
subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan akibat gigitan ular maka untuk dapat
menambah pengetahuan masyarakat kami menyampaikan informasi mengenai bahaya dan
pertolongan terhadap gigitan ular berbisa. 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jenis-jenis Ular Berbisa
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar
250 spesies. Berdasarkan morfologi taringnya,ular dapat diklasifikasikan kedalam 4 famili
utama yaitu : 1,2,3

Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular cabai
Famili crotalidae/Viperidae misalnya ular tanah, ular hijau, dan ular bendotan puspo
Famili Hydrophidae misalnya ular laut
Famili Colubridae misalnya ular pohon
Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae,

Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa
contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus
candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah). 1,2,3
Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang
atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada
Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi
mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata. Beberapa
contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma
rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris). 1,2,3
Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa spesies ular
tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa ular berbisa dapat
dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa
terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil,
dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring. 1,3
Ciri-ciri ular tidak berbisa:
1. Bentuk kepala segiempat panjang
2. Gigi taring kecil
3. Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan
Ciri-ciri ular berbisa:
1. Bentuk kepala segitiga
2. Dua gigi taring besar di rahang atas
3. Bekas gigitan: dua luka gigitan utama akibat gigi taring

Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa
hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa
neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik, yaitu
bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan. Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit
menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang
diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi
kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai
spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan
tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal,
pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi
lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae). 1,2,3
Susunan kimia dari bisa ular sangat kompleks sekitar 90 % tersusun atas protein yang
sebagian besar adalah enzim serta mengandung polipeptida, Enzim utama bisa ular antara
lain proteolitik , hialurinidase, asam amino oksidase, kolinesterase, fosfolipase A,
ribonuklease, deoksiribonuklease, fosfomonoeterase, fosfodiesterase, nukleotidase, ATPase
dan DPNase. 1
Protein penyusun bisa ular jika di suntikkan dan masuk ke aliran darah akan
mempengaruhi sistem kardiovaskuler, sirkulasi, respirasi, syaraf. Untuk mengatasi gigitan
ular berbisa maka digunakan antibisa ular yang di suntikkan langsung ke pembuluh vena.
Antibisa ular adalah serum atau antibodi yang diproduksi untuk menetralisir efek sari infeksi
bisa ular tersebut. Serum ini diperoleh dengan cara menginjeksikan bisa ular yang telah
dilemahkan ke dalam tubuh kuda. Ada 2 jenis Racun ular, yaitu1,2,3
1. Neurotoksin : Dapat melumpuhkan sistim saraf pusat, melumpuhkan jantung dan
sarah pernafasan. Racun jenis ini dimiliki oleh ular Kobra, ular Mamba, ular Laut,
Krait, Ular Karang.
2. Hemotoksin: Dapat menyerang sistim sirkulasi darah dan sistim otot dan dapat
menyebabkan kerusakan jaringan, gangrene, kelumpuhan permanen kemapuan
bergerak otot. Racun jenis ini dihasilkan oleh keluarga ular Viperidae misalnya Rattle
Snake, Coppe head, dan Cotton mouth.
Sampai saat ini dikenal sekitar 20 jenis enzim yang beracun. Umumnya ular berbisa memiliki
6 sampai 12 jenis enzim dalam bisanya. Masing masing berfungsi khusus, misalnya untuk
mencerna mangsa, sedangkan enzim yang lain untuk melumpuhkan mangsa.
Beberapa jenis enzim yang dimiliki ular berbisa: 1

Cholinesterase : Neurotoksin dan dapat melumpuhkan mangsa

Amino Acid Oxidase : Berfungsi mencerna mangsa dan memicu peran enzim lainnya.

Hyaluronidase : Berfungsi untuk mempermudah penyerapan enzim lain kejaringan


korban.

Proteinase: Berfungsi untuk mencerna, mengahancurkan jaringan tubuh korban.

Adenosin Triphospatase : Diduga neurotoksin yang bekerja sentral dan menyebabkan


korban mengalami syok dan melumpuhkan mangsa.

Phospodiesterase : Bekerja dengan cara mengganggu fungsi jantung dan menurunkan


tekanan darah dengan cepat.

2.2 Gambaran Klinis


Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi
dan meberikan gejela lokal dan sitemik sebagai berikut : 1,2,3
1. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena
darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit).
2. Gejala sistemik: hipotensi, otot melemah, berkeringat, menggigil, mual, hipersalivasi
(ludah bertambah banyak), muntah, nyeri kepala, pandangan kabur
3. Gejala khusus gigitan ular berbisa :

Hematotoksik : perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritonium,


otak, gusi, hematemesis, dan melena, perdarahan kulit(petekie, ekimosis),

hemoptoe, hematuria, koagulasi intravaskular diseminata (KID)


Neurotoksik : hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernafasan, ptosis,

oftalmoplegi, paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang dan koma


Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung
Sindrom kompartemen : edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor,

pulselessnes, paralisis, parestesia)


Menurut Schwartz (Depkes,2001), gigitan ular dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 3
Deraja
t
0
I
II

Venerasi

Luka

Nyeri

Edema/Eritema

0
+/+

+
+
+

+/+++

<3 cm / 12jam
3-12 cm / 12jam
> 12-25 cm / 12 jam

III

+++

> 25 cm / 12 jam

IV

+++

+++

> ektrimitas

Sistemik
0
0
+
Neurotoksik,
mual, pusing, syok
++
Petekie, syok,
echimosis,
+++

Gagal jantung
akut, koma,
perdarahan.
Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular berbisa : 1,3
Gigitan Elapidae (misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular
cabai, coral snakes, mambas, kraits)
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada
kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3. Setelah digigit ular
a. 15 menit: muncul gejala sistemik setelah digigit ular
b. 10 jam: paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar
bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit
dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya
dapat terjadi paralisis otot leher dan anggota badan, peralisis otot pernafasan
hingga lambat dan sukar bernafas, tekanan darah menurun, denyut nadi
lambat, dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen sering kali terjadi dan
berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul
gejala-gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
Gigitan Viperidae / Crotalidae (ular: ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo):
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di
dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah,
diare, kolik, perdarahan pada bekas gigitan ular (lubang dan luka yang dibuat oleh
luka gigi taring), berkeringat, hudung berdarah, darah dalam darah, urin dan tinja.
Perdarahan terjadi akibat gangguan faal pembekuan darah. Beberapa harinya akan
timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edem paru,
kadang-kadang tekanan darah rendah, dan denyut nadi cepat.
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2
jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hydropiidae (misalnya: ular laut):
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang ditandai

dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti
jantung.
Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae (misalnya: ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)
1. Gejala lokal: ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di
daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae antivenin.
2. Anemia, hipotensi, trombositopeni merupakan tanda penting.
2.3 Pemeriksaan Penunjang 3

Pemeriksaan darah, Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu


perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APTT, D-dimer,

golongan darah dan uji cocok silang


Pemeriksaan urin : hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobinuria),
EKG
Foto dada

2.4 Penatalaksaan 1,2,3


Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah :

Menghalangi/memperlambat absorpsi bisa ular


Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasidarah
Mengatasi efek lokal dan sitemik.

Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah:


1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular
sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri
atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk
menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari
komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi
gejala dini yang membahayakan. Kemudian segera bawa korban ke tempat perawatan
medis.
Metode pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas;
diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap gigitan, imobilisasi ( membuat tidak
bergerak ) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan
kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat
meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening;
pertimbangkan pressure - immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan

terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan
pendarahan lokal.
Penatalaksanaan Sebelum dibawa ke rumah sakit:

Diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan

Bila belum tersedia antibisa, ikatlah 2 ujung yang terkena gigitan. Tindakan ini
kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit paska gigitan.

Kesimpulannya, tindakan pertama pada gigitan ular:

Luka dicuci dengan air bersih atau dengan larutan kalium permanganat untuk
menghilangkan atau menetralisir bisa ular yang belum terabsorpsi.

Insisi atau eksisi luka tidak dianjurkan, kecuali apabila gigitan ular baru terjadi
beberapa menit sebelumnya. Insisi luka yang dilakukan dalam keadaan tergesagesa atau dilakukan oleh orang yang tidak berpengalaman justru seing merusak
jaringan dibawah kulit dan akan meninggalkan luka parut yang cukup besar.

Anggota badan yang digigit secepatnya diikat untuk menghambat penyebaran


racun.

Lakukan kemudian imobilisasi anggota badan yang digigit dengan cara


memasang bidai karena gerakan otot dapat mempercepat penyebaran racun.

Penderita dilarang untuk bergerak dan apabila perlu dapat diberikan analgetika
atau sedativa.

Penderita secepatnya harus dibawa ke dokter atau rumah sakit yang terdekat
untuk menerima perawatan selanjutnya.

2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan
senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah
peningkatan penyerapan bisa.
3. Pengobatan gigitan ular Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai
pengelolaan gigitan ular. Metode penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga
menghambat peredaran darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan
tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit, pemberian antihistamin dan
kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:

Pemberian

tindakan

penatalaksanaan

jalan

pendukung
nafas;

berupa

stabilisasi

penatalaksanaan

yang

fungsi

meliputi
pernafasan;

penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila


kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock, shock perdarahan,
kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat
terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta
kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal

Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.

Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis


dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian
tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat
dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang
terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu.
Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah
dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.

Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah mendapatkan toksoid


maka diberikan satu dosis toksoid tetanus

Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular

Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat


mati/panik

Pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein,
maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di
Indonesia, antibisa bersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap
beberapa bisa ular. Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat
kerusakan jaringan lokal yang luas

Beri SABU ( Serum Anti Bisa Ular ) polivalen 1 ml berisi:


1.
2.
3.
4.

10 - 50 LD50 bisa Ankystrodon


25-50 LD50 bisa Bungarus
25-50 LD50 bisa Naya sputarix
Fenol 0,25%

Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.
Gejala venomisasi sistemik
-

Gangguan hemostasis: perdarahan sistemik spontan (klinis), koagulopati (20 WBC


time atau tes laboratorium lain seperti waktu protrombin) atau trombositopenia (<100
x 109/L atau 100000/cu mm)

Tanda neurotoksik: ptosis, ophtalmoplegia eksternal, paralisis, dll. (klinis)


Abnormalitas kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia jantung (klinis), abnormalitas

EKG.
Acute Kidney Injury/renal failure: oliguria/anuria (klinis), peningkatan kreatinin/urea

darah (laboratorium).
Haemoglobin/myoglobinuria: urine berwarna gelap kecoklatan (klinis), urine dipstick,
bukti hemolisis intravascular lainnya atau rhabdomiolisis menyeluruh (nyeri otot,

hiperkalemia) (klinis, laboratorium).


Bukti laboratorium lain yang menunjang adanya venomisasi sistemik.pat (

Gejala venomisasi local


-

Pembengkakan local meliputi lebih dari setengah daerah gigitan (tanpa adanya bukti
penggunaan torniket) dalam 48 jam setelah gigitan. Bengkak akibat gigitan pada jari

(kaki dan terutama tangan).


Penyebaran bengkak dengan cepat (misalnya melebihi pergelangan tangan atau

pergelangan kaki dalam beberpa jam setelah gigitan pada tangan atau kaki).
Pembengkakan kelenjar getah bening yang mengaliri daerah yang tergigit.

Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes,2001)

Derajat 0-I : tidak diberikan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat

meningkaat maka diberikan SABU.


Derajat II : 3-4 vial SABU
Derajat III : 5-15 vial SABU
Derajat IV : berikan penambahan 6-8 vial SABU

Teknik Pemberian: 2 vial @ 5 ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9 % atau Dextrose 5%
dengan kecepatan 40-80 tetes per menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Informasikan pada
pasien mengenai kemungkinan efek samping yang tertunda, terutama serum sickness
(demam, rash, arthralgias).
Kontraindikasi Serum antibisa
Tidak ada kontraindikasi absolut pada terapi anti bisa ular untuk envenoming sistemik yang
nyata; terapi diperlukan dan biasanya digunakan untuk menyelamatkan jiwa.
Efek Samping Serum Antibisa.
1. Reaksi anafilaktik; jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dapat segera atau dalam
waktu beberapa jam sesudah suntikan.
2. Serum sickness; dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan berupa demam, gatal-gatal,
eksantema, sesak napas dan gejala alergi lainnya.
3. Demam disertai menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum secara
intravena.

4. Rasa nyeri pada tempat suntikan; yang biasanya timbul pada penyuntikan serum
dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam.
Interaksi
1. Dengan Obat Lain : Belum ada interaksi signifikan yang dilaporkan.
2. Dengan Makanan : Pengaruh
1. Terhadap Kehamilan : Tidak ada data mengenai penggunaan anti bisa ular pada
kehamilan. Keuntungan penggunaan terhadap ibu dan bayi melebihi kemungkian
risiko penggunaan serum anti bisa ular.
2. Terhadap Ibu Menyusui : Tidak ada data. Keuntungan pengunaan terhadap ibu
melebihi kemungkinan risiko pada bayi.
3. Terhadap Anak-anak : Anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap
envenoming yang parah karena massa tubuh yang lebih kecil dan kemungkinan
aktivitas fisik yang lebih besar. Anak-anak membutuhkan dosis yang sama dengan
dewasa, dan tidak boleh diberikan dosis anak berdasarkan berat badan (pediatric
weight-adjusted dose);disebabkan hal ini dapat menimbulkan perkiraan dosis yang
lebih rendah. Jumlah serum anti bisa ular yang diperlukan tergantung dari jumlah bisa
ular yang perlu dinetralisasi bukan berat badan pasien
4. Terhadap Hasil Laboratorium : Parameter Monitoring
Monitor efek dari serum anti bisa ular baik secara klinis maupun laboratorium. Monitor efek
samping setelah administrasi serum anti bisa ular. Monitoring yang diperlukan dapat berbeda
tergantung dari jenis ular yang menggigit. Bila ragu-ragu mengenai jenis ular yang
menggigit, monitor coagulopathy, flaccid paralysis, myolysis dan fungsi ginjal.
Bentuk Sediaan
Vial 5 ml, Tiap ml Sediaan Dapat Menetralisasi :

10-15 LD50 Bisa Ular Tanah (Ankystrodon Rhodostoma)

25-50 LD50 Bisa Ular Belang (Bungarus Fasciatus)

25-50 LD50 Bisa ular kobra (Naja Sputatrix), dan mengandung fenol 0.25% v/v

Anti bisa ular harus diberikan secepatnya setelah gejala atau tanda diatas ditemukan. Anti
bisa ular akan menetralkan efek bisa ular walaupun gigitan ular sudah terjadi beberapa hari
yang lalu atau pada kasus kelainan hemostatik, anti bisa ular masih dapat diberikan walaupun

sudah terjadi lebih dari 2 minggu. Tetapi beberapa bukti klinis menyebutkan bahwa anti bisa
ular efektif jika diberikan dalam beberapa jam setelah digigit ular.
Lebih dari 10% pasien mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap anti bisa ular, reaksinya
dapat trejadi secara cepat (dalam beberapa jam) atau lambat (5 hari atau lebih). Resiko reaksi
tergantung dosis yang diberikan, kecuali pada kasus yang jarang, terjadi sensitisasi (Ig Emediated type I hypersensitivity) oleh serum hewan sebelumnya, contohnya : Ig-tetanus, Igrabies.
Reaksi Anafilaksis
Terjadi dalam 10-180 menit setelah pemberian anti bisa ular, gejalanya gatal, urtikaria, batuk
kering, demam, mual, muntah, diare dan takikardi. Sebagian kecil pasien akan mengalami
reaksi anafilaksis yang berat seperti hipotensi, bronkospasme dan angioedema.
Reaksi Pyrogenik (endotoksin)
Terjadi dalam 1-2 jam setelah pengobatan, gejalanya berupa demam, vasodilatasi dan
penurunan tekanan darah. Reaksi ini disebabkan kontaminasi pirogen selama proses dipabrik.
Reaksi Lambat
Terjadi dalam 1-12 hari setelah pengobatan, gejala klinisnya berupa demam, mual, muntah,
diare, gatal, urtikaria berulang, atralgia, mialgia, limpadenopati, proteinuria dengan nephritis
kompleks imun, dan encephalopati (jarang).
Reaksi anafilaksis dan pyrogen anti bisa ular
Epineprin (adrenalin) diberikan intra muskular (lateral paha atas) dengan dosis awal 0,5mg
untuk dewasa dan 0,01mg/kgBB untuk anak-anak. Adrenalin harus segera diberikan setelah
muncul gejala, dosis dapat diulang setiap 5-10 menit jika kondisi tidak membaik.
Pengobatan tambahan berupa antihistamin, anti-H1 blocker seperti klorphenamin maleat
(dewasa 10mg, anak-anak 0,2mg/kgBB IV dalam beberapa menit) harus diberikan dengan
hidrokortison (dewasa 100mg, anak-anak 2mg/kgBB). Pada reaksi pirogen dapat diberikan
anti piretik (contohnya parasetamol oral atau supp). Cairan intravena harus diberikan untuk
mengatasi hipovolemia.
Reaksi lambat (serum sickness)
Anti histamin oral diberikan selama 5 hari, jika tidak ada respon dalam 24-48 jam berikan
prednisolon selama 5 hari.
Dosis : chlorphenamine : dewasa 2mg/6 jam, anak-anak 0,25mg/kg/hari
Prednisolone : dewasa 5mg/6 jam, anak-anak 0,7mg/kg/hari
Pedoman terapi SABU menurut Luck 3
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit

Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian antivenom.


- Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan
darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah
-

pada 1 dan 3 jam berikutnya dan seterusnya.


Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun)
maka monitor ketat diteruskan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor
perbaikannya. Monitor dilanjutkan hingga 2 x 24 jam untuk mendeteksi
kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan

Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan.


Terapi suportif lainnya pada keadaan :
- Gangguan koagulasi berat : beri plasma fresh-frozen (anti-venim)
- Perdarahan : beri trasnfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen,
-

vitamin K, transfusi trombosit.


Hipotensi : beri infus cairan kristaloid
Rabdomiolisis : beri cairan dan natrium bikarbonat
Monitor pembengkakan lokal setiap jam dengan ukuran lilitan lengan atau

anggota badan
Sindrom kompartemen : lakukan fasciotomi
Gangguan neurotoksik : beri neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan

sulfas atropin
Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan

obat-obatan narkotik depresan.


Terapi profilaksis :
- Pemberian antibiotik spektrum luas, kuman terbanyak yang dijumpai adalah P.
Aerogenosa, Proteus sp, Clostridium sp, B. Fragilis
-

Beri tetatus toksoid


Pemberian serum anti tetanus sesuai indikasi.

Deraja
t

Beratnya
Evenomisasi

Taring
atau gigi

0
I
II
III
IV

Tidak ada
Minimal
Sedang
Berat
Berat

+
+
+
+
+

Ukuran Zona
edema/ eritematosa
kulit (cm)
<2
2-15
15-30
>30
<2

Gejala
sistemik

Jumlah vial
venom

+
++
+++

0
5
10
15
15

BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama

: PK

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 45 Tahun

Alamat

: Rendang, Karangasem

Bangsa

: Indonesia

Suku

: Bali

Agama

: Hindu

Pekerjaan

: Petani

Status

: Menikah

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Kaki bengkak digigit ular
III. ANAMNESIS KHUSUS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang sadar mengeluhkan kaki bengkak oleh karena digigit ular sejak 20
menit sebelum datang ke puskesmas. Pasien sedang bekerja di ladang dan tiba-tiba digigit
ular. Luka digigit tepatnya pada punggung kaki kanan. Pasien tidak langsung membawa
ke puskesmas karena hanya merasakan nyeri dan panas pada kakinya. Kira-kira 10 menit
setelahnya, kaki mulai membengkak dan terasa bertambah nyeri. Karena itu, pasien
langsung segera dibawa ke puskesmas. Perdarahan pada luka tersebut disangkal oleh
pasien.
Kondisi umum pasien juga dikatakan biasa saja, tidak sempat pingsan, pusing,
mengalami kelemahan pada anggota tubuh. Sesak disangkal oleh pasien. Keluhan lain
seperti berkeringat, pandangan kabur,mual, muntah,dan kejang disangkal oleh pasien.
Pasien mengatakan digigit ular berwarna hijau yang biasa ada di ladang. Ukuran
ular tidak terlalu besar dan panjang. Pasien tidak mampu menjelaskan secara pasti dari
ukuran ular tersebut.

Riwayat Penyakit Sebelumnya


Pasien mengatakan ini baru pertama kali digigit ular. Riwayat penyakit kencing
manis, tekanan darah tinggi, sakit ginjal, sakit jantung, dan kelainan saraf sebelumnya
disangkal oleh pasien.
Riwayat Pengobatan
Pasien melakukan bebat tekan pada kaki sebelah atas dengan menggunakan kain.
Dikatakan bebat tekan tersebut baru dilakukan kurang lebih 15 menit sebelum dibawa ke
puskesmas. Pasien tidak ada memberikan obat-obatan maupun daun-daunan pada luka
tersebut. Pasien juga menyangkal membersihkan luka gigitan tersebut dengan air. Pasien
mengatakan masih menggunakan kakinya untuk berjalan kaki.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit kencing manis, tekanan darah tinggi, sakit ginjal, sakit jantung,
dan kelainan saraf dikeluarga disangkal oleh pasien.
Riwayat Pribadi dan Sosial
Saat ini keseharian pasien bekerja sebagai petani di ladang. Pasien memiliki
kebiasaan minum alkohol, dikatakan minum tidak terlalu. Pasien mengatakan memiliki
kebiasaan merokok hingga sekarang.
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Kesan sakit

: ringan

Kesadaran

: kompos mentis

Tensi

: 110/palpasi mmHg

Nadi

: 72 x/menit

Respirasi

: 20 x/menit

Suhu badan

: 36,50C

Status General
Mata

: anemia -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

THT

: kesan tenang

Thorak
Cor Inspeksi
Palpasi

: iktus cordis tidak terlihat


Iktus cordis

: teraba

Lokalisasi

: ICS VI 2 cm lateral MCL S

Perkusi

Auskultasi

Irama

: teratur

Getaran /thrill

: tidak ada

Batas kanan

: 2 cm lateral PSL D

Batas kiri

: 2 cm lateral MCL S

Batas atas

: ICS II

Batas bawah

: ICS V

: S1S2 tunggal reguler murmur (-)

Po Inspeksi

: gerak pernafasan simetris statis dan dinamis

Palpasi

: VF N/N

Perkusi

: sonor/sonor

Auskultasi

: ves +/+, ronki -/-, wheezing -/-

Abdomen Inspeksi

: distensi (-), denyut epigastrial (-)

Auskultasi

: Bising Usus (+) normal

Palpasi

: Hepar
Lien

: tidak teraba, nyeri tekan (-)


: tidak teraba

Balottement : -/Nyeri tekan ulu hati (-)


Perkusi

: Traube space +

Ekstremitas: Hangat +/+


+/+

Edema -/-/-

Tenaga 5555/5555
5555/5555
Status Lokalis :
Regio Pedis Dextra : Edem (+) 15 cm hingga atas maleolus, hiperemi (+), perdarahan (-)
Nyeri tekan (+), petekie (-), ekimosis (-)
Bekas gigitan / fang marks (-) tidak terlihat jelas

V. DIAGNOSIS
Snake Bite Dorsum Pedis Dextra derajat II (Schwartz)

VI. PENATALAKSANAAN
-

Imobilisasi , lepas bebat tekan, rawat luka dengan NaCl


Injeksi dexametasone + Dipenhidramin 1 ampul IM
Rujuk ke RSUD klungkung SABU (-)
Monitoring : Vital sign dan Keluhan

BAB IV
PEMBAHASAN
Ular merupakan salah satu hewan reptilia yang ada. Hewan ini memiliki habitat di alam liar
seperti hutan, sawah, dan pepohonan. Ular merupakan hewan karnivora yang biasanya
memburu mangsanya dengan menggunakan bisa atau belitannya yang kuat. Ular ada yang
memiliki bisa kuat ada pula yang tidak berbisa. Ular biasanya aktif pada pagi ataupun sore
hari untuk mencari mangsanya. Umumnya ular menggigit jika saat sedang merasa terancam
atau terganggu.
Petani, pekerja perkebunan, nelayan, pawang ular, pemburu, dan penangkap ular
merupakan korban dari gigtan ular ini. Kebanyakan gigitan ular terjadi ketika orang tidak
mengenakan alas kaki atau hanya memakai sandal dan menginjak ular secara tidak sengaja.
Gigitan ular juga dapat terjadi pada penghuni rumah ataupun pada anak-anak, ketika ular
memasuki rumah untuk mencari mangsa berupa ular lain, cicak, katak, atau tikus.
Penderita dengan inisial PK, jenis kelamin laki-laki, usia 45 tahun beralamat di
Rendang, bekerja sebagai petani, datang ke puskesmas dengan keluhan kaki bengkak setelah
digigit ular. Melihat dari identitas pasien, kita dapat lihat bahwa pekerjaan pasien sebagai
petani merupakan risiko tinggi berhadapan dengan ular, apalagi jika tidak berhati-hati bisa
tergigit. Sesuai dengan teori bahwa petani, pekerja perkebunan, nelayan, pawang ular,
pemburu, dan penangkap ular merupakan korban tersering dari gigtan ular.
Pasien datang dengan kaki bengkak sejak 20 menit sebelum datang ke puskesmas.
Awalnya, kaki hanya dirasakan nyeri dan setelah 10 menit kaki mulai membengkak dan
terasa bertambah nyeri. Gejala lokal gigitan ular dapat terjadi seperti edema, nyeri tekan pada
luka gigitan,dan ekimosis biasanya terjadi cepat setelah tergigit atau rata-rata 15 menit hingga
24 jam. Gejala khusus yang bersifat lokal seperti perdarahan pada bekas gigitan, sindrom
kompartmen tidak ditemukan pada pasien ini.
Kondisi umum pasien juga dikatakan biasa saja, tidak sempat pingsan, pusing,
mengalami kelemahan pada anggota tubuh. Sesak disangkal oleh pasien. Keluhan lain seperti
berkeringat, pandangan kabur,mual, muntah,dan kejang disangkal oleh pasien. Seperti dalam
teori gejala sistemik berupa otot melemah, berkeringat, menggigil, mual, hipersalivasi (ludah
bertambah banyak), muntah, nyeri kepala, pandangan kabur. Gejala hematotoksik : paru,
jantung, ginjal, peritonium, otak, gusi, hematemesis, dan melena, perdarahan kulit(petekie,
ekimosis), hemoptoe, hematuria, koagulasi intravaskular diseminata (KID) dan neurotoksik :

hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernafasan, ptosis, oftalmoplegi, paralisis otot laring,
refleks abnormal, kejang dan koma tidak ditemukan pada pasien.
Pasien mengatakan digigit ular berwarna hijau yang biasa ada di ladang. Ukuran ular
tidak terlalu besar dan panjang. Pasien tidak mampu menjelaskan secara pasti dari ukuran
ular tersebut. Data ini masih kurang untuk menjelaskan jenis ular apa yang menggigit pasien.
Lebih banyak informasi yang harus ditanyakan. Kalau dari anamnesa tersebut kemungkinan
ular tersebut termasuk jenis Viperidae dimana jenis yang lain adalah ular tanah, ular hijau,
dan ular bendotan puspo. Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat
ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Kita juga
harus memastikan ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil,
dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.
Pasien mengatakan ini baru pertama kali digigit ular. Riwayat penyakit kencing manis,
tekanan darah tinggi, sakit ginjal, sakit jantung, dan kelainan saraf sebelumnya disangkal
oleh pasien. Dengan riwayat sebelumnya dapat diketahui reaksi terhadap gigitan ular ataupun
penggunaan SABU serta adakah penyakit penyerta yang mungkin mengaburkan gejala serta
dapat memperberat kondisi pasien. Data pada riwayat penyakit keluarga seperti kencing
manis, tekanan darah tinggi, sakit ginjal,

sakit jantung, dan kelainan saraf dikeluarga

disangkal oleh pasien juga dapat membantu menemukan masalah yang mengaburkan gejala
serta dapat memperberat kondisi pasien.
Penanganan pertama yang dilakukan pasien ketika terkena gigitan ular adalah
melakukan bebat tekan pada kaki sebelah atas dengan menggunakan kain. Dikatakan bebat
tekan tersebut baru dilakukan kurang lebih 15 menit sebelum dibawa ke puskesmas. Pasien
tidak ada memberikan obat-obatan maupun daun-daunan pada luka tersebut. Pasien juga
menyangkal membersihkan luka gigitan tersebut dengan air. Pasien mengatakan masih
menggunakan kakinya untuk berjalan kaki. Secara teori hal-hal yang dapat dilakukan pertama
saat terkena gigitan ular adalah

Menenangkan korban yang cemas

Luka dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan atau menetralisir bisa ular
yang belum terabsorpsi.

Diistirahatkan serta imobilisasi ( membuat tidak bergerak ) dalam posisi


horizontal terhadap luka gigitan

Bila belum tersedia antibisa, ikatlah 2 ujung yang terkena gigitan. Tindakan ini
kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit paska gigitan.

Beberapa hal yang sering dilakuakan tapi tidak terbukti membantu meringankan keluahan
dan mungkin saja dapat memperparah keluhan pasien yaitu :

hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan


bisa dan menimbulkan pendarahan lokal

Insisi atau eksisi luka tidak dianjurkan, kecuali apabila gigitan ular baru terjadi
beberapa menit sebelumnya. Insisi luka yang dilakukan dalam keadaan tergesagesa atau dilakukan oleh orang yang tidak berpengalaman justru seing merusak
jaringan dibawah kulit dan akan meninggalkan luka parut yang cukup besar.

Pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit.


Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan dari status present dan status general tidak
diketemukan kelainan yang bermakna. Ini menandakan bahwa tidak diketemukan gejala
sitemik pada pasien ini. Secara teori gejala sitemik yang dapat terjadi pada pasien gigtan ular
adalah sebagai berikut : hipotensi, kelainan hematotoksik berupa perdarahan paru, jantung,
ginjal, peritonium, otak, gusi, hematemesis, dan melena, hemoptoe, hematuria, koagulasi
intravaskular diseminata (KID). Kelainan neurotoksik : hipertonik, fasikulasi, paresis,
paralisis pernafasan, ptosis, oftalmoplegi, paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang dan
koma. Pada status lokalis diketemukan Edem (+) 15 cm hingga atas maleolus, hiperemi (+),
perdarahan (-),Nyeri tekan (+), petekie (-), ekimosis (-), bekas gigitan / fang marks (-) tidak
terlihat jelas. Pada gejala lokal biasanya akan ditemukan edema, nyeri tekan pada luka
gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit),
perdarahan pada tempat gigitan serta bekas/tanda gigitan, serta sindrom kompartemen :
edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor, pulselessnes, paralisis, parestesia).
Dari data yang terkumpul pada pasien ini sehingga diambil kesimpulan diagnosisnya
adalah Snake Bite derajat I (Schwartz). Ini juga didasarkan pada Schwartz (Depkes,2001),
gigitan ular dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Deraja
t
0
I
II

Venerasi

Luka

Nyeri

Edema/Eritema

0
+/+

+
+
+

+/+++

<3 cm / 12jam
3-12 cm / 12jam
> 12-25 cm / 12 jam

III

+++

> 25 cm / 12 jam

IV

+++

+++

> ektrimitas

Sistemik
0
0
+
Neurotoksik,
mual, pusing, syok
++
Petekie, syok,
echimosis,
+++
Gagal jantung

akut, koma,
perdarahan.
Pada pasien ini sudah dilakukan tindakan pertolongan pertama pada gigitan ular yang
dilakukan oleh pasien dan kerabatnya. Tindakan yang dilakukan di puskesmas saat itu adalah
imobilisasi , lepas bebat tekan, rawat luka dengan NaCl, Injeksi dexametasone +
Dipenhidramin 1 ampul IM, kemudian pasien dirujuk ke RSUD klungkung karena dikatakan
SABU saat itu tidak ada, selain itu diberikan komunikasi dan edukasi selama perujukan agar
memperhatikan kondisi dan keluhan pasien. Menurut teori yang ada hal-hal yang bisa
dilakukan di sarana pelayanan ksehatan adalah :

Pemberian

tindakan

penatalaksanaan

jalan

pendukung
nafas;

berupa

stabilisasi

penatalaksanaan

yang

fungsi

meliputi
pernafasan;

penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila


kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock, shock perdarahan,
kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat
terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta
kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal

Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.

Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis


dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian
tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat
dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang
terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu.
Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah
dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.

Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah mendapatkan toksoid


maka diberikan satu dosis toksoid tetanus

Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular

Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat


mati/panik

Pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein,
maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di
Indonesia, antibisa bersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap

beberapa bisa ular. Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat
kerusakan jaringan lokal yang luas
Ada beberapa hal yang sering dilakukan tetapi menurut data yang ada, hal ini sudah tidak
dilakukan karena tidak memiliki manfaat secara signifikan yaitu :

Penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah)


yang dilakukan terus menerus. Tindakan ini kurang berguna jika dilakukan lebih
dari 30 menit paska gigitan.

Insisi atau eksisi luka tidak dianjurkan, kecuali apabila gigitan ular baru terjadi
beberapa menit sebelumnya. Insisi luka yang dilakukan dalam keadaan tergesagesa atau dilakukan oleh orang yang tidak berpengalaman justru seing merusak
jaringan dibawah kulit dan akan meninggalkan luka parut yang cukup besar.

pemberian antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti


manfaatnya

DAFTAR PUSTAKA
1. Selvanus, M. Gigitan Ular (Snake bite). RS Muhamadiyah Gombong. 2009.
http://htysite.com/P%20anti%20bisa.htm (akses : 6 Juni 2013)
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V.
Interna Publishing. Jakarta. 2010. Hal 280-3.
3. David, A. Guidelines for the Clinical Management of Snakes bites in the South-East Asia
Region,. World Health Organization Library Cataloguing-in-Publication data, 2010.
(akses : 6 Juni 2013)

Anda mungkin juga menyukai