Anda di halaman 1dari 4

Perbedaan Luka Antemortem dan Postmortem

Dalam banyak kasus informasi tentang waktu terjadinya kekerasan akan dapat digunakan
sebagai bahan analisa guna mengungkapkan banyak hal, teerutama yang berkaitan dengan
alibi seseorang. Masalahnya ialah, tidak seharusnya seseorsng dituduh atau dihukum jika
pada saat terjadinya tindak pidana ia berada di tempat yang jauh dari tempat kejadian perkara.
Dengan melakukan pemeriksaan yang teliti akan dapat ditentukan :
- Luka terjadi ante mortem atau post mortem
- Umur luka
a. Luka ante mortem atau post mortem
Jika pada tubuh jenazah ditemukan luka maka pertanyaannya ialah luka itu
terjadi sebelum atau sesudah mati. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu
dicari ada tidaknya tanda-tanda intravital. Jika ditemukan berarti luka terjadi
sebelum mati dan demikian pula sebaliknya. Tanda intravital itu sendiri pada
hakekatnya merupakan tanda yang menunjukkan bahwa :
1. Jaringan setempat masih hidup ketika terjadi trauma.
Tanda-tanda bahwa jaringan yang terkena trauma masih dalam
keadaan hidup ketika terjadi trauma antara lain :
a) Retraksi jaringan. Terjadi karena serabut-serabut elastis di
bawah kulit terpotong dan kemudian mengkerut sambil
menarik kulit di atasnya. Jika arah luka memotong serabut
secara tegak lurus maka bentuk luka akan menganga, tetapi jika
arah luka sejajar dengan serabut elastis maka bentuk luka tidak
begitu menganga.
b) Retraksi vaskuler. Bentuk retraksi vaskuler tergantung dari
jenis trauma, yaitu :
i. Pada trauma suhu panas, bentuk reaksi intravitalnya
berupa: Eritema (kulit berwarna kemerahan) dan
Vesikel atau bulla
ii. Pada trauma benda keras dan tumpul, bentuk intravital
berupa : Kontusio atau memar.
c) Retraksi mikroorganisme (infeksi). Jika tubuh dari orang masih
hidup mendapat trauma maka pada daerah tersebut akan terjadi
aktivitas biokimiawi berupa :
i. Kenaikan kadar serotinin (kadar maksimal terjadi 10
menit sesudah trauma).
ii. Kenaikan kadar histamine (kadar maksimal terjadi 20-
30 menit sesudah trauma)
iii. Kenaikan kadar enzime yang terjadi beberapa jam
sesudah trauma sebagai akibat dari mekanisme
pertahanan jaringan.
2. Organ dalam masih berfungsi saat terjadi trauma
Jika organ dalam (jantung atau paru) masih dalam keadaan berfuungsi
ketika terjadi trauma maka tanda-tandanya antara lain :
a) Perdarahan hebat (profuse bleeding). Trauma yang terjadi pada
orang hidup akan menimbulkan perdarahan yang banyak sebab
jantung masih bekerja terus-menerus memompa darah lewat
luka.Berbeda dengan trauma yang terjadi sesudah mati sebab
keluarnya darah secara pasif karena pengaruh gravitasi
sehingga jumlah lukanya tidak banyak. Perdarahan pada luka
intravital dibagi 2, yaitu :
i. Perdarahan internal : Mudah dibuktikan karena darah
tertampung dirongga badan (rongga perut, rongga
panggul, rongga dada, rongga kepala dan kantong
perikardium) sehingga dapat diukur pada waktu otopsi.
ii. Perdarahan eksternal : Darah yang tumpah di tempat
kejadian, yang hanya dapat disimpulkan jika pada
waktu otopsi ditemukan tanda-tanda anemis (muka dan
organ-organ dalam pucat) disertai tanda-tanda limpa
melisut, jantung dan nadi utama tidak berisi darah.
b) Emboli udara. Terdiri atas emboli udara venosa (pulmoner) dan
emboli udara arterial (sistemik). Emboli udara venosa terjadi
jika lumen dari vena yang terpotong tidak mengalami kolap
karena terfiksir dengan baik, seperti misalnya vena jugularis
eksterna atau subclavia. Udara akan masuk ketika tekanan di
jantung kanan negatif. Gelembung udara yang terkumpul di
jantung kanan dapat terus menuju ke daerah paru-paru sehingga
dapat mengganggu fungsinya. Emboli arterial dapat terjadi
sebagai kelanjutan dari emboli udara venosa pada penderita
foramen ovale persisten atau sebagai akibat dari tindakan
pneumotorak artifisial atau karena luka-luka yang menembus
paru-paru. kematian dapat terjadi akibat gelembung udara
masuk pembuluh darah koroner atau otak.
c) Emboli lemak. Emboli lemak dapat terjadi pada trauma tumpul
yang mengenai jaringan berlemak atau trauma yang
mengakibatkan patah tulang panjang. Akibatnya jaringan
jaringan lemak akan mengalami pencairan dan kemudian
masuk kedalam pembuluh darah vena yang pecah menuju
atrium kanan, ventrikel kanan dan dapat terus menuju daerah
paru-paru.
d) Pneumotorak. Jika dinding dada menderita luka tembus atau
paru-paru menderita luka, sementara paru-paru itu sendiri tetap
berfungsi maka luka berfungsi sebagai ventil. Akibatnya, udara
luar atau udara paru-paru akan masuk ke rongga pleura setiap
inspirasi. Semakin lama udara yang masuk ke rongga pleura
semakin banyak yang pada akhirnya akan menghalangi
pengembangan paru-paru sehingga pada akhirnya paru-paru
menjadi kolap.
e) Emfisema kulit krepitasi. Jika trauma pada dada mengakibatkan
tulang iga patah dan menusuk pau-paru maka pada setiap
ekspirasi udara, paru-paru dapat masuk ke jaringan ikat di
bawah kulit. Pada palpasi akan terasa ada krepitasi disekitar
daerah trauma. Keadaan seperti ini tidak mungkin terjadi jika
trauma terjadi sesudah orang meninggal.
b. Umur Luka
Untuk mengetahui kapan kapan terjadi kekerasan, perlu diketahui umur luka.
Tidak ada satupun metode yang digunakan untuk menilai dengan tepat kapan
suatu kekerasan (baik pada korban hidup atau mati) dilakukan mengingat
adanya faktor individual, penyulit (misalnya infeksi, kelainan darah, atau
penyakit defisiensi). Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk
memperkirakannya, yaitu dengan melakukan :
1. Pemeriksaan Makroskopik.
Pemeriksaan dengan mata telanjang atas luka dapat memperkirakan
berapa umur luka tersebut. Pada korban hidup, perkiran dihitung dari
saat trauma sampai saat diperiksa dan pada korban mati, mulai dari
saat trauma sampai saat kematiannya. Pada kekerasan dengan benda
tumpul, umur luka dapat diperkirakan dengan mengamati perubahan-
perubahan yang terjadi. Mula-mula akan terlihat pembengkakan akibat
ekstravasai dan inflamasi, berwarna merah kebiruan. Sesudah 4 sampai
5 hari warna tersebut berubah menjadi kuning kehijauan dan sesudah
lebih dari seminggu menjadi kekuningan. Pada luka robek atau terbuka
dapat diperkirakan umurnya dengan mengamati perubahan-
perubahannya. Dalam selang waktu 12 jam sesudah trauma akan
terjadi pembengkakan pada tepi luka. Selanjutnya kondisi luka akan
didominasi oleh tanda-tanda inflamasi dan disusul tanda penyembuhan.
2. Pemeriksaan mikroskopik
Perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopik pada korban mati. Selain
berguna bagi penentuan intravitalitas luka, juga dapat menentukan
umur luka secara lebih teliti dengan mengamati perubahan-perubahan
histologiknya. Menurut Walcher, Robertson dan hodge, infiltrasi
perivaskular dari lekosit polimorfnuklear dapat dilihat dengan jelas
pada kasus dengan periode-periode survival sekitar 4 jam atau lebih.
Dilatasi kapiler dan marginasi sel lekosit mungkin dapat lebih dini lagi,
bahkan beberapa menit sesudah trauma. Pada trauma dengan iinflamasi
aseptik, proses eksudasi akan mencapai puncaknya dalam waktu 48
jam. Epitelisasi baru terjadi hati ketiga, sedang sel-sel fibroblas mulai
menunjukkan perubahan reaktif sekitar 15 jam sesudah trauma.
Tingkat proliferasi tersebut serta pembentukan kapiler-kapiler baru
sangat variatif, biasanya jaringan granulasi lengkap dengan
vaskularisasinya akan terbentuk sesudah 3 hari. Serabut kolagen yang
baru juga mulai terbentuk 4 atau 5 hari sesudah trauma. Pada luka-luka
kecil, kemungkinan jaringan parut tampak pada akhir minggu pertama.
Biasanya sekitar 12 hari sesudah trauma, aktivitas sel-sel epitel dan
jaringan di bawahnya mengalami regresi. Akibatnya jaringan epitel
mengalami atrofi, vaskularisasi jeringan di bawahnya juga berkurang
diganti serabut-serabut kolagen. Sampai beberapa minggu sesudah
penyembuhannya, serabut elastis masih lebih banyak dari jaringan
yang tidak kena trauma. Perubahan histologik dari luka sangat
dipengaruhi oleh ada tidaknya infeksi karena infeksi akan menghambat
proses penyembuhan luka.
3. Pemeriksaan histokemik
Perubahan morfologik dari jaringan hidup yang mendapat trauma
adalah akibat dari fenomena fungsional yang sejalan dengan aktifitas
enzim, yaitu protein yang berfungsi sebagai katalisator reaksi biologik.
Pemeriksaan histokemik ini didasarkan pada reaksi yang dapat dilihat
dengan pemeriksaan mikroskopik dengan menambahkan zat-zat
tertentu. Mula-mula luka atau bagian dari luka dipotong dengan
menyertakan jaringan di sekitarnya, kira-kira setengah inci. Separo dari
potongan itu difiksasi dengan mengunakan formalin 10% di dalam
refrigerator dengan suhu 4 derajat celcius sepanjang malam untuk
membuktikan adanya aktifitas esterase dan fosfatase. Separonya lagi
dibekukan dengan isopentane dengan menggunakan es kering guna
mendeteksi adanya adenosine triphosphatase dan aminopeptidase.
Peningkatan aktifitas adenosine triphosphatase dan esterase dapat
dilihat lebih dini setengah jam setelah trauma. Peningkatan aktifitas
aminopeptidase dapat dilihat sesudah 2 jam, sedang peningkatan acid
phosphatase alkali phophatase sesudah 4 jam.
4. Pemeriksaan biokemik
Meskipun pemeriksaan histokemik telah banyak menolong, tetapi
reaksi trauma yang ditunjukkan masih memerlukan waktu yang relatif
panjang, yaitu beberapa jam sesudah trauma. Padahal yang sering
terjadi, korban mati beberapa saat sesudah trauma sehingga belum
dapat dilihat reaksinya dengan metode tersebut. Oleh sebab itu perlu
dilakukan pemeriksaan biokemik. Histamin dan serotinin merupakan
zat vasoaktif yang bertanggung jawab terhadap terjadinya inflamasi
akut, terutama pada stadium awal trauma. Penerapannya bagi
kepentingan forensik telah diplubikasikan pertama kali pada tahun
1965 oleh Vazekas dan Viragos-Kis. Mereka melaporkan adanya
kenaikan histamin bebas pada jejas jerat antemortem pada kasus
gantung. Oleh peneliti lain kenaikan histamin terjadi 20-30 menit
sesudah trauma, sedang serotonin naik setelah 10 menit.

Sumber:
Abdul Mun’im. 2013. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam
Proses Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto.
Anindita, S.R., Machroes, B.H., and Haryanto, J.I. 2017. Gambaran
Histopatologi Intravital, Perimortem dan Postmortem Luka Iris
pada Kulit dan Otot Punggung Tikus Wistar Ratus Novegicus.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia.
Ritonga, M. 2013. Penilaian Alur Luka untuk Menentukan Penyebab
Kematian. The Journal of Medical School University of Sumatera
Utara. Vol 46 (3): 163 – 165.

Anda mungkin juga menyukai