Anda di halaman 1dari 6

BAB IV

PEMBAHASAN
2.1 Diagnosis
Diagnosis pemfigoid bulosa ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (Stanley, 2008).
Pada anamnesis dapat dijumpai riwayat munculnya gelembung-gelembung
berisi cairan atau lepuh yang hilang timbul dan berlangsung kronis. Pada
pemeriksaan fisik, gambaran efforesensi yang merupakan karakteristik pemfigoid
bulosa adalah bula berukuran besar, berdinding tegang, yang muncul pada kulit
normal atau dengan dasar eritema (Stanley, 2008). Lokasi yang paling sering
terkena adalah abdomen bawah, paha anterior atau medial, sisi fleksor lengan
bawah (forearm). Bula biasanya berisi cairan jernih namun dapat juga terisi cairan
hemoragik. Kulit yang mengalami erosi dari bula yang pecah biasanya mengalami
re-epitelialisasi, dan tidak seperti pemfigus vulgaris, erosi kulit pada pemfigoid
bulosa tidak meluas ke perifer. Tanda Nikolsky negatif pada pemfigoid bulosa.
Erosi pada pemfigoid bulosa juga tidak meninggalkan parut (scar). Penyembuhan
biasanya diikuti dengan hiperpigmentasi (Stanley, 2008). Lesi pada membran
mukosa biasanya terjadi pada kira-kira 10-35% pasien dan hampir selalu terbatas
pada mukosa oral, khususnya mukosa bukal (Langan, 2008). Biasanya dijumpai
bula atau erosi pada mukosa oral.
Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat lepuh atau muncul bula berisi
cairan sejak 4 tahun yang lalu, yang menandakan proses penyakit yang sudah
berlangsung kronis. Bula mengenai hampir seluruh permukaan kulit dan mukosa
oral (generalisata). Gambaran effloresensi berupa bula multipel berdinding
tegang, berisi cairan jernih, dan berada di atas kulit yang normal. Tanda Nikolsky
negatif. Bula timbul spontan tanpa didahului demam atau riwayat trauma
sebelumnya seperti benturan atau gesekan. Didapatkan pula erosi multipel dan
makula hiperpigmentasi yang merupakan tanda sisa dari erosi yang telah
menyembuh. Pada beberapa tempat, seperti punggung kaki kanan dan kiri, bula
mengandung cairan nanah dengan eritema di kulit sekitarnya. Hal ini menandakan
proses infeksi sekunder yang menyertai lesi primer pada kasus ini. Pasien tidak
memiliki riwayat alergi. Riwayat keluhan yang sama pada keluarga juga

disangkal. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dipikirkan


diagnosis kerja yakni pemfigoid bulosa dengan infeksi sekunder.
Pada kasus ini, pemeriksaan penunjang yang diusulkan untuk menegakkan
diagnosis pemfigoid bulosa adalah pemeriksaan sitologi dan biopsi kulit. Pada
kepustakaan disebutkan bahwa tes sitologi (Tzanck smear) dan biopsi kulit dapat
menunjang penegakan diagnosis. Pada tes sitologi untuk pemfigoid bulosa, tidak
dijumpai adanya akantolisis. Gambaran histopatologi spesimen biopsi kulit berupa
bula subepidermal tanpa nekrosis epidermal dengan infiltrat sel-sel radang pada
dermis superfisial yang terdiri dari limfosit, histiosit, dan eosinofil. Eosinofil juga
dapat ditemukan pada rongga bula. Neutrofil juga dapat dijumpai pada infiltrat
sel-sel radang, namun tidak seperti pada dermatitis herpetiformis, pada pemfigoid
bulosa jarang ditemui mikroabses pada ujung-ujung papilla dermis (Stanley,
2008). Gambaran histopatologi ini juga dapat membedakan pemfigoid bulosa
dengan dermatosis vesikobulosa kronik lainnya seperti pemfigus vulgaris.
Diagnosis pasti pemfigoid bulosa dikonfirmasi melalui pemeriksaan
imunohistokimia, baik dengan teknik imunofluoresensi direk dan indirek.
Gambaran yang khas untuk pemfigoid bulosa adalah deposit imunoreaktan (IgG
dan komplemen C3) dalam pola linear pada epidermal basement membrane zone
(BMZ) atau persambungan dermo-epidermal. Sayangnya, tidak semua rumah
sakit memiliki fasilitas pemeriksaan imunohistokimia sehingga pemeriksaan ini
sangat jarang dilakukan.
2.2 Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang dapat dipikirkan pada kasus ini meliputi bermacammacam

penyakit

kulit yang

ditandai

dengan adanya

bula (dermatitis

vesikobulosa), seperti linear IgA disease, chronic bullous disease of childhood


(CBCD), dermatitis herpetiformis, eritema multiforme, dan pemfigus (Stanley,
2008). Pemfigoid bulosa dapat dengan mudah dibedakan dengan bermacammacam

diagnosis

banding tadi melalui

pemeriksaan

histopatologi

dan

imunofluoresensi. Namun, membedakan hanya dengan temuan klinis pada


anamnesis dan pemeriksaan fisik saja bisa cukup menyulitkan. Pemfigoid bulosa
dan CBCD sama-sama menimbulkan bula subepidermal, sehingga gambaran
effloresensinya dapat menjadi mirip. Namun, CBCD memiliki onset pada masa

kanak-kanak, dengan rata-rata umur pada saat onset adalah 4 tahun. Dermatitis
herpetiformis juga menimbulkan bula subepidermal, namun ruam yang timbul
bersifat polimorfik dan tersusun berkelompok dan simetris. Pemfigus umumnya
menimbulkan bula berdinding kendor dan mudah pecah, mengingat bula pada
pemfigus merupakan bula intraepidermal (Stanley, 2008).
Diagnosis banding yang paling sulit dibedakan dengan pemfigoid bulosa
adalah epidermolisis bulosa akuisita (EBA). EBA merupakan penyakit kulit
mekanobulosa non-inflamatorik yang disebabkan oleh antibodi IgG yang
menyerang kolagen tipe VII. Secara klinis, EBA ditandai dengan terbentuknya
bula berdinding tegang pada area yang terpapar trauma mekanis, seperti tangan,
kaki, siku, lutut, sakrum, dan mulut. Terkadang EBA dapat muncul sebagai lesi
inflamatorik yang secara klinis dan histopatologis susah dibedakan dengan
pemfigoid bulosa. Pemeriksaan imunofluoresensi direk dan indirek juga terkadang
sulit membedakan pemfigoid bulosa dengan EBA. Namun, pemeriksaan
imunofluoresensi direk dan indirek dengan menggunakan spesimen biopsi kulit
yang diinkubasi pada larutan NaCl 1M untuk menciptakan bula artifisial melalui
pemisahan lamina lusida dapat digunakan untuk membedakan pemfigoid bulosa
dengan EBA. Antibodi pemfigoid bulosa akan berikatan dengan atap bula (roof
side), yakni dibagian bawah membrana basalis, sedangkan antibodi EBA
berikatan pada dasar bula (base side) pada dermis (Stanley, 2008).
2.2 Etiopatogenesis
Pada mayoritas kasus, bula dapat muncul secara sporadik tanpa adanya faktor
pencetus yang jelas. Namun, dilaporkan bahwa sinar ultraviolet (UV), baik UVA
dan UVB, maupun terapi radiasi dapat menjadi faktor pencetus timbulnya bula
(Stanley, 2008). Pada kasus ini, tidak didapatkan riwayat spesifik yang
mengarahkan faktor pencetus tertentu sebagai penyebab timbulnya bula.
Pada kepustakaan disebutkan bahwa pemfigoid bulosa merupakan sebuah
kondisi patologis pada kulit akibat proses autoimun. Pada pemfigoid bulosa,
terbentuk autoantibodi yang menyerang komponen molekul adhesi pada
persambungan dermis dan epidermis (dermo-epidermal junction), yakni
hemidesmosom. Proses autoimun ini dapat dibuktikan melalui pemeriksaan
imunohistokimia. Pada imunofluoresensi direk kulit perilesional akan tampak

deposit imunoreaktan, yakni komplemen C3 dan IgG, dalam pola linear pada
membran basal epidermis atau dermo-epidermal junction (DEJ) (Stanley, 2008;
Jordon, 2007). Komplemen C3 dan IgG dapat terdeteksi pada hampir semua
pasien. Pada imunofluoresensi indirek, kira-kira 70-80% pasien dengan pemfigoid
bulosa memiliki IgG yang bersirkulasi (circulating IgG) yang mengikat membran
basalis epitel pipih berlapis, seperti epidermis (Stanley, 2001). Pada uji
imunofluoresensi dengan memakai spesimen jaringan kulit yang diinkubasi
dengan larutan NaCl 1 M, antibodi pemfigoid bulosa akan berikatan dengan sisi
atap (roof) bula artifisial (bagian bawah dari sel-sel basal) dan berbeda dengan
antibodi pada pasien epidermolisis bulosa akuisita (EBA) yang berikatan dengan
bagian bawah bula artifisial.
Antigen pada pemfigoid bulosa terletak pada hemidesmosom, yakni suatu
molekul adhesi yang berperan penting menghubungkan sel-sel stratum basalis
dengan membran basalis pada persambungan dermis dan epidermis (Stanley,
2008). Antigen pada pemfigoid bulosa berukuran rata-rata 230 kDa Studi dengan
menggunakan DNA komplementer berhasil mengidentifikasi molekul antigen ini,
yang kini dinamai BPAG1 dan BPAG1e. BPAG1e merupakan molekul adhesi yang
berfungsi mengikatkan (anchoring) molekul filamen intermediet keratin pada
hemidesmosome. Studi imunohistokimia juga menunjukkan hampir semua pasien
dengan pemfigoid bulosa memiliki autoantibodi terhadap molekul BPAG2 (180kDa) atau kolagen tipe VII yang merupakan molekul transmembran (Diaz, 2000).
IgG pada pemfigoid bulosa diketahui dapat menginduksi proses aktivasi
komplemen melalui jalur klasik, yang selanjutnya menyebabkan infiltrasi leukosit
ke dalam zona persambungan dermis-epidermis (dermo-epidermal junction) dan
terpisahnya dermis dan epidermis (Stanley, 2008). Tahap awal pembentukan bula
pada pemfigoid bulosa adalah pengikatan antibodi pada antigen target yang
terletak pada zona membran basal epidermal. Fiksasi IgG pada membran basalis
akan mengaktivasi kaskade komplemen C3. Komplemen C3 yang teraktivasi
selanjutnya akan menginduksi kemotaksis leukosit dan degranulasi sel mast. IgE
anti-BPAg2 juga berkontribusi terhadap degranulasi sel mast. Mediator-mediator
yang dilepaskan sel mast juga menyebabkan kemotaksis eosinofil. Sel-sel leukosit
yang menginfiltrasi persambungan dermis dan epidermis akan melepas berbagai

jenis protease yang pada akhirnya akan menyebabkan pemisahan antara dermis
dan epidermis dan terbentuknya bula subepidermal (Stanley, 2008).
2.3 Penatalaksanaan
Berdasarkan acuan Standar Prosedur Operasional (SPO) Rawat Jalan Kulit
Kelamin RSUP Sanglah pada tahun 2011, terapi pemfigoid bulosa meliputi terapi
topikal dan sistemik. Pada lesi yang sudah kering, dapat diberikan krim yang
mengandung hidrokortison 1-2,5% dan antibiotik. Bila bula masih utuh, diberikan
bedak salisil 1% dan mentol 0,5%. Bila lesi basah dilakukan kompres dengan
larutan NaCl 0,9% atau larutan kalium permanganas 1/10.000. Terapi sistemik
meliputi pemberian kortikosteroid (prednison, metilprednisolon, deksametason)
dan antihistamin (jika disertai keluhan gatal). Dosis awal 60 mg/hari, kemudian
dilakukan tapering secara perlahan-lahan bila kondisi klinis pasien membaik. Jika
tidak dijumpai perbaikan dengan pemberian kortikosteroid, dapat diberikan DDS
200-300 mg/hari. Tetrasiklin (3x500 mg) dan nikotinamid (3x500 mg) diberikan
bila terdapat kontraindikasi pemberian kortikosteroid dan DDS atau bila ingin
menurunkan dosis steroid yang diberikan. Konsultasi dengan bagian Penyakit
Dalam, Gigi dan Mulut, dan Mata dapat dilakukan jika disertai penyulit di bidang
yang bersangkutan.
Diagnosis pada kasus in adalah pemfigoid bulosa dengan infeksi sekunder.
Pasien mendapatkan terapi topikal dan sistemik. Terapi topikal yang diberikan
adalah

krim

yang

Desoksimetasone

mengandung

merupakan

desoksimetasone

kortikosteroid

potensi

dan

asam

sedang.

fusidat.

Penggunaan

desoksimetasone topikal pada kasus ini bertujuan. Asam fusidat merupakan.


Asam fusidat bermanfaat dalam .
Terapi sistemik yang diberikan adalah metilprednisolon dan sefadroksil.
metilprednisolon merupakan kortikosteroid potensi . Sefadroksil diberikan
untuk mengatasi proses infeksi sekunder yang dicurigai disebabkan oleh bakteri.
2.4 Prognosis
Kematian jarang terjadi pada pemfigoid bulosa dan dapat terjadi remisi spontan
(self-limiting disease) (Wiryadi, 2010). Namun, pada beberapa kasus pemfigoid
bulosa dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Usia tua

dan keadaan umum jelek berhubungan dengan prognosis yang buruk (Stanley,
2008). Pemfigoid bulosa pada pasien ini sudah berlangsung selama 4 tahun.
Selama periode 4 tahun tersebut, pasien sudah pernah dirawat inap di rumah sakit
sebanyak 4 kali. Pasien ini juga tidak pernah mengalami periode bebas gejala atau
remisi. Saat ini kondisi pasien lemah dan kurus, dengan lesi yang mengenai
hampir seluruh tubuh pasien. Pada pasien juga dijumpai infeksi sekunder. Dapat
disimpulkan prognosis pasien mengarah ke buruk.

Anda mungkin juga menyukai