Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ILMU PENYAKIT MULUT

“PEMFIGUS VULGARIS”

Disusun Oleh :
1. Naufal Delvin Andriatama 20180720096
2. Nilam Sri Rahmawati 20180720097
3. Nitya Meilani S 20180720098
4. Nur Octavia 20180720099
5. Octa Devi Utami 20180720100
6. Phebe Fedora C 20180720101
7. Pius Alexander 20180720102
8. Priska Evita Setia D 20180720103

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2019
PEMPHIGUS VULGARIS

1.1 DEFINISI

Pemphigus vulgaris adalah penyakit autoimun dengan manifestasi berupa


lepuhan dan erosi pada permukaan kulit atau mukosa (Gregorious&Efthmiou,
2015). Penyakit ini melibatkan autoantibodi, seperti IgG yang merusak protein
pada desmosome, yaitu protein yang membantu adhesi antar sel (hilangnya
desmoglein (Dg)) sehingga menyebabkan pelepasan sel epitel yang dikenal
dengan akatolisis. Perluasan ulserasi yang diikuti ada lepuhan menyebabkan rasa
sakit, kehilangan cairan dan elektrolit sel (Dimarco, 2016; Kumar dkk, 2016).

1.2 EPIDEMOLOGI

Penyakit ini termasuk penyakit yang langka dengan kemungkinan insiden


kejadian 2-10 per 1.000.000 penduduk di dunia. Prevalensinya 0,1-0,7 per
100.000 penduduk (Dimarco, 2016). Umumnya mengenai usia 45-70 tahun.
Penyakit ini biasanya ditemuka di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang
(Kasperkiewicz dkk, 2017). Frekuensi kedua jenis kelamin umumnya sama antara
pria dan wanita. Namun, dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalensi
pemfigus cenderung sedikit lebih banyak menyerang wanita (Nola, 2014)
ETIOLOGI

2.1 Etiologi Pemfigus Vulgaris

Pemfigus vulgaris disebabkan oleh kerusakan autoantibodi dari adhesi


protein (desmoglein) dari epitelium yang membentuk desmosom. Desmosom
adalah substansi interselular seperti lem yang menahan sel-sel epitelial. Kerusakan
desmoglein (tipe 3 an 1) menyebabkan pemisahan sel dengan sel (akantolisis),
terutama lapisan sel basal dari stratum spinosum yang terletak diatasnya. Kejadian
yang merasang produksi autoantibodi (antidesmoglein 3IgG) tidaklah diketahui,
tetapi kadang-kadang hal ini dirangsang oleh obat. Kerusakan perlekatan protein
akan menimbulkan celah intraepitel atau lepuh (bula) yang pecah dan dengan
cepat meninggalkan erosi pada kulit dan mukosa mulut yang terasa sakit. Lesi
berkembang dengan cepat dan membentuk bula yang berair atau plak gelatin
bening ( bula yang kolaps). Bula sangat rapuh dan dengan cepat mengalami
disintregasi, berdarah, dan membentuk krusta. Bula cenderung muncul kembali
dan menyebar. Jika diberikan tekanan lateral yang ringan pada bula akan
terbentuk lepuhan yang melebar dan meluas. Temuan khas pada mukosa adalah
munculnya lapisan superficial yang keputihan, dan merupakan atap dari bula yang
kolaps dan dapat dengan mudah di kupas (Langlais, 2016).

2.2 Faktor presdiposisi

Predisposisi pemphigus terkait dengan faktor genetik. Anggota keluarga


generasi pertama dari penderita pemphigus lebih rentan terhadap penyakit ini
daripada kelompok kontrol dan memiliki antibodi anti desmoglein sirkulasi yang
lebih tinggi. Genotip MHC kelas II tertentu sering ditemukan pada pasien
Pemphigus Vulgaris dari semua ras. Alela subtype HLA-DRB1 0402 dan DRB1
0503 memberi resiko terjadinya pemphigus dan menyebabkan adanya perubahan
struktural pada ikatan peptide, berpengaruh pada presentasi antigen dan
pengenalan oleh sel T.
Di inggris dan india, pasien dengan haplotip desmoglein tertentu juga memiliki
resiko Pemphigus Vulgaris dan hal ini tampaknya menambah efek yang
diakibatkan oleh HLA-DR. Kerentanan juga dapat disebabkan pengkodean
immunoglobulin oleh gen atau oleh gen dalam pemprosesan pada antigen HLA
kelas I. Penyebab
kematian pada Pemphigus Vulgaris adalah infeksi serius yang sering
dikombinasikan dengan dehidrasi, yang dengan mudah terjadi jika memiliki area
luka yang sangat luas. untuk itu perlu penanganan secara cepat dan tepat agar
insidensi kematian pada pasien Pemphigus Vulgaris dapat diminimalisir (Syuhar
MA, 2014).

2.3 Etiopatogenesis
Berbagai teori telah diajukan untuk memahami patoenesis pemfigus.
Diketahui bahwa autoantibodi memainkan peran penting dalam pathogenesis dan
berkembangnya PV (Zingande et al, 2018). Patogenesis PV melibatkan serangan
autoimun terhadap desmosome dan hemidesmosom yang bertanggung jawab atas
kepatuhan sel epitel. Desmogleins adalah protein yang reaktif terhadap antibodi
autoimun dalam PV. Teknik Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
dapat menunjkkan sirkulasi antibodi yang melibatkan desmoglein.

Tiga jenis desmoglein dapat dibuktikan pada epitel skuamosa berlapis (tipe
1, 2, dan 3). Pada kulit dan mukosa, desmogelin tipe 1 teridentifikasi dalam
lapisan sel suprabasal, desmogelin tipe 2 terlihat di lapisan sel basal, dan
desmoglein tipe 3 muncul dilapisan basal dan lapisan suprabasal immediate. Pada
mucosal oral, Dsg1 diekspersikan dengan minimal (Hasan et al, 2019).
Keberadaan Dsg ini dapat menjaga integritas epidermis dan mukosa. Secara klins
tipe pemfigus ditentukan berdasarkan kedua distribusi antigenic diferensial dan
pembentukan antibodi.

Secara histologis penyakit ini ditandai dengan acantholysis yang berarti


hilangnya adhesi sel-sel antara keratinosit, dan secara imunopatologis dengan
adanya immunoglobulin yang diarahkan ke permukaan sel. Keratinosit atau
autoantibodi yang bersirkulasi diarahkan melawan Dsg 1 dan/atau Dsg 3. PV
adalah varian yang paling umum dan ditandai oleh sirkulasi antibodi
immunoglobulin G (IgG) yang diarahkan terhadap Dsg3. Berikatannya
autoantibodi ini dengan desmoglein menyebabkan hilangnya koneksi interselular
antar keratinosit (acantholysis) (Zingande et al, 2018).

Pada PV terbentuk udem interselular dalam lapisan epithelial, hancurnya


jembatan interselular dan menyebabkan separasi atar sel. Dengan meningkatnya
cairan, ruang tersebut bertambah besar dan terbentuk bula di atas lapisan sel basal
(suprabasal). Selama proses tersebut, penderita tidak merasakn kelainan khas,
vesikel dan bula mudah pecah terutama didalam mulut. Setelah bula pecah terjadi
rasa sakit akibat tebukanya ujung serabut saraf (Tarmidi dan Noegroho, 2001).

PEMERIKSAAN PADA PEMFIGUS VULGARIS

3.1 Ekstra Oral

Dari pemeriksaan ekstra oral, umumnya tampak beberapa daerah


erosi pada kulit wajah. Kuku pecah-pecah dan pernah lepas dengan sendirinya.
Mata terasa perih, merah dan belekan. Telapak tangan terdapat daerah erosi. Jari
tangan dan kaki terdapat bula dan erosi, kuku terlihat distrofik (Zeina, 2011).
. Pada mata terdapat eksudat dan kemerahan di konjungtiva dan palpebra.
Dari pemeriksaan ekstra oral, tampak beberapa daerah erosi pada kulit wajah.
Bibir atas dan bawah terdapat krusta, hemorrhagic area, edema dan erosi
(Setyawati et al, 2009).
3.2 Intra Oral

Pada pemeriksaan intra oral terlihat erosi multipel dan daerah eritematus
pada mukosa labial, bukal, gingiva, lidah, dan palatum, terdapat Massa eksofitik
pada mukosa bukal kiri dan lidah, beberapa gigi goyang derajat 2 (Scully, 2002).
Ditemukan plak putih dapat diangkat, meninggalkan daerah kemerahan, sakit pada
mukosa bukal, lidah bagian dorsum. Pada rongga muut berupa erosi dan ulserasi
pada mukosa (Ahmed et al, 2006).
Gambaran khas secara histopatologis terlihat cleft intra epitel atau
akantolisis epitel suprabasal dengan sel membulat, disebut Tzanck cells. Bulla
dengan dasar non-inflamasi kemudian cepat pecah menjadi ulser ireguler,
terdapat sisa epitel di sekitarnya kemudian meluas hingga mencakup area yang
besar (Neville et al, 2002).

3.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium


kimia darah untuk mencari factor penyebab munculnya penyakit pemphigus
vulgaris. Kadar gula dalam darah penting untuk diperiksa agar dapat
menyingkirkan keadaan yang dapat memperberat lesi pasien. Pemeriksaan darah
lengkap juga dianjurkan untuk diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya infeksi
sekunder. Pemeriksaan imunoflourensi juga perlu dilakukan untuk membantu
dalam menegakkan diagnosis banding (Syuhar, 2014). Pemeriksaan
imunofluorensi merupakan suatu jenis pemeriksaan imunologis untuk mengetahui
adanya antigen atau mencari lokalisasi antigen dalam jaringan atau sel specimen
klinik dengan menggunakan pewarnaan fluorescent (Mahasri., et al. 2016).
TATALAKSANA KASUS

4.1 Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmako yang biasa diberikan pada penderita pemphigus


vulgaris adalah edukasi cara membersihkan dan memelihara gigi serta rongga
mulut. Pasien juga diberikan diet makanan lunak dan sikat gigi yang lembut untuk
membantu meminimalkan trauma local (Suniti & dewi, 2018).

4.2 Terapi Farmakologi

Tujuan terapi adalah mengendalikan secepat mungkin, mencegah


hilangnya serum serta terjadinya infeksi sekunder, dan meningkatkan
pembentukan epitel kulit (pembaruan jaringan epitel). Kortikosteroid diberikan
dalam dosis tinggi untuk mengendalikan penyakit dan menjaga agar kulit bebas
dari bula. Kadar dosis yang tinggi dipertahankan sampai kesembuhan terlihat
jelas. Pada sebagian kasus terapi ini, harus dipoertahankan seumur hidup
penderitanya (Wiryadi, 2007).

Kortikosteroid diberikan bersama makanan atau segera setelah makan, dan


dapat disertai dengan pemberian antacid sebagai pemberian profilaksis untuk
mencegah komplikasi lambung. Yang penting pada penatalaksanaan terapetik
adalah evaluasi berat badan, tekanan darah, kadar glukosa darah, dan
keseimbvangan cairan setiap hari.

Preparat Immunosupresif (azatriopi, siklofosfomid) dapat diresepkan


dokter untuk mengendalikan penyakit dan mengurangi takaran kortikosteroid.
Plasma feresis (pertukaran plasma) secara temporer akan menurunkan kdar anti
bodi serum (Mansjoer dkk, 2012 ; Nelis, 2016)

A. Penatalaksanaan Umum

• Perbaiki keadaan umum

• Atasi keseimbangan cairan ( input atau output ), elektrolit, tanda-tanda vital


B. Penatalaksanaan Sistemik

• Kortikosteroid : Prednison 60-150 mg/hr ( tergantung berat ringannya penyakit

• Tapering off disesuaikan dengan kondisi klinis dan kadar IgG dalam darah
sampai dosis pemeliharaan

• Dapat dikombinasikan kortikosteroid dan sitostatika (Azotlapin 1-3 mg/kg BB )


untuk sparing efek.

• Antibiotika bila ada infeksi sekunder

• KCL 3x500 mg/ hari

• Anabolik ( Anabolene 1x1 tablet/ hari )

C. Topikal

• Eksudatif : kompres

• Darah erosif : Silver sulfadiazine

• Krim antibiotik bila ada infeksi

• Kortikosteroid lemah untuk lesi yang tidah eksudatif

PROGNOSIS KASUS

5.1 Prognosis

Pemphigus Vulgaris bukanlah penyakit yang disembuhkan. Davatchi dkk


dalam penelitiannya mendapatkan angka kematian pada penderita PV dengan
keterlibatan lesi kulit dan mukosa sebesar 8,3%, dan sekitar 3% pada penderita
PV dengan hanya melibatkan lesi kulit. Penyakit ini sendiri bersifat persisten,
biasanya kambuh dan tidak pasti apakah terapi yang diberikan akan menekan
manifestasi penyakit, sehingga konsekuensinya terapi harus tetap dilanjutkan,
ataukah terapi akan menginduksi remisi yang lengkap dan selamanya sehingga
terapi dapat dihentikan (Rahmayanti, 2011).
Faktor lain yang juga mempengaruhi kesembuhan pemvigus vulgaris
adalah faktor penderita (usia penderita, keadaan umum, riwayat penyakit lain,
seperti diabetes 9ecade9u, hipertensi atau 9ecade9us9is) dan faktor obat (meliputi
efikasi, efek samping dan harga) (Syuhar, 2014).

Prognosis 9ecade9us telah meningkat secara nyata selama beberapa


9ecade terakhir dengan terapi steroid. Setelah terapi steroid dan agen penghilang
steroid, tingkat kelangsungan hidup jauh lebih baik. Sebelum kortikosteroid
digunakan, maka kematian terjadi pada 50% penderita dalam tahun pertama.
Sebab kematian ialah sepsis, kakeksia, dan ketidakseimbangan elektrolit.
Pengobatan dengan kortikosteroid membuat prognosisnya lebih baik
(Wonjnrowska, 2016 dan Mansjoer dkk, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed AR, Spigelman Z, Cavacini LA et al. Treatment of pemphigus vulgaris


with rituximab and intravenous immune globulin. Engl J Med 2006; 355:
1772-9.

Dimarco C. 2016. Pemphigus: Pathogenesis to Treatment. Rhode Island Medical


Journal. Pg. 28-31

Gregorious&Efthmiou. 2015. Management of Pemphigus Vulgaris: Challenges


and Solutions. Dovepress, 8: 521-527.

Hasan S, Ahmed S, Kiran R. 2019. Pemphigus Vulgaris: An Update On


Etiophatogenesis, Clinical Manifestations, Diagnosis And Treatment
Modalities. International Research Journal Of Pharmacy 10(3): 1-6.

Kasperkiewicz M, Ellebrecht CT, Takahashi H, Yamagami J, Zillikens D, Payne


AS, Amagai M. 2017. Pemphigus. PMC. 11, 3: 1-40.

Kumar SJ, Anand SN, Gunasekaran N, Krishnan R. 2016. Oral Pemphigus


Vulgaris: A Case Report with Direct Immunofluorescence Study. Journal
of Oral & Maxillofacial Pathology. 20, 3: 549.

Langlais RP, Miller CS, Nield-Gehrig JS, 2016. Atlas Berwarna Lesi Mulut Yang
Sering Ditemukan. Ed4. Jakarta:EGC. P 170

Mansjoer, Arief dkk. 2012. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Dalam Kapita
Selekta Kedokteran. 3 ed. Jakarta: FKUI: 86-92.

Nelis, Surya. 2016. Pemfigus Vulgaris Oral terkait Infeksi Virus Herpes Simpleks
(Laporan Kasus). Jurnal Kesehatan Gigi. 3(1).
Neville BW, Damm Dd, Allen CM et al. Oral & maxillofacial pathology, 2 ed.
Pennsylvania: Saunders, 2002.

Nola S. 2014. Karakteristik Pasien Pemfigus Vulgaris di RSUP H. Adam Malik


Medan Periode Tahun 2009-2013. Universitas Sumatera Utara.

Rahmayanti. 2011. Pemphigus Vulgaris Oral : Mengenali Gambaran Klinis Awal


dan Tatalaksana (Laporan Kasus). Jurnal PDGI. 60 (1) Hal. 29-34.

Rezeki S, Setyawati T. Pemphigus vulgaris:pentingnya diagnosis dini,


penatalaksanaan yang komprehensif dan adekuat. J Dent Indones. 2009;
;16:1--7. Indonesian.

Scully C, Challacombe SJ. Pemphigus vulgaris:update on etiopathogenesis, oral


manifestations, and management. Crit Rev Oral Biol Med 2002; 13 (5):
397-408.

Suniti, Dewi, Setiani. Tenny., 2018. Transisi Pemphigus Foliaceus Menjadi


Pemphigus Vulgaris Dengan Keterlibatan Lesi Oral : Laporan Kasus.
Jurnal B-dent, Vol. 5, No. 2 (101-115).

Surfianti, Oktarina., Soewarno., Mahasri, Gunanti. 2016. IDENTIFIKASI KHV


DENGAN UJI Immunoflourescene DAN Immunocytochemistry
BERDASARKAN UJI Polymerase Chain Reaction POSITIF KHV PADA
IKAN KOI (Cyprinus carpio). Jurnal Biosains Pascasarjana Vol. 18 (3).

Syuhar MA, 2014. A 56 Years Old Man With Pemphigus Vulgaris.J Medula
Unila. Vol 1 No 2. P 69

Syuhar, Muhammad Aprimond. 2014. A 56 years Old Man with Pemphigus


Vulgaris. Jurnal Medula Unila, 3(2).
Syuhar, Muhammad Aprimond. 2014. A 56 YEARS OLD MAN WITH
PEMPHIGUS VULGARIS. Jurnal Medula Unila, Vol. 1 (2).

Tarmidi M, Noegroho HS. 2001. Pemfigus Vularis Manifestasi Di Mulut dan


Penatalaksanaanya. Jurnaal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia 8(3):
35-43.

Wiryadi, E Benny. 2007. Dermatitis Vesikobulosa Kronik Dalam Ilmu Penyakit


Kulit dan Kelamin. 5 ed. Jakarta: FKUI, p: 204-208.

Wonjnrowska F., Venning V.A., Burge S.M. Immunobullous Diseases. In: Burns
T., Breathnach S. Cox N., Griffths C. Eds. Rook’s Textbook of
Dermatology. 8th ed. United Kingdom: Willey-Blackwell Ltd. 2010. p.
40.1-40.12.

Zeina B, Elston D. Pemphigus vulgaris. Medscape Reference [Internet]. [cited


2011 June 6].

Zingade J, Gujjar P, Kumar A. 2018. Etiopathogenesis and recent diagnostic


modalities of pemphigus: A review. Iternational journal of Applied Dental
Sciences 4(2): 68-71.

Anda mungkin juga menyukai